Dinikahi Duda (Perjaka)

1
0
Deskripsi

Part 6, 7 dan 8

● Part 6
● Sedingin Salju

POV Naira


Aku terdiam dengan pikiran tak menentu. Di satu sisi, tak tega melihat Ayah dan Bu Wijaya kecewa. Karena sepertinya, kedua orang sepuh ini sangat senang dengan perjodohan kami.

Namun di sisi lain, aku takut jika nantinya kami akan saling menyakiti. Sebab pernikahan yang dipaksakan, kemungkinan besar akan saling menyiksa.

Allah, bagaimana ini ...?

"Neng! Malah bengong," kata Ayah mengagetkan.

"Emm, Yah, Mas Shaka. Aku boleh minta waktu sebentar lagi?" Tanyaku ragu. Aku hanya ingin meminta petunjuk pada Allah, satu kali lagi saja.

"Boleh, Ra. Gunakan lah waktu sesuai yang kamu butuhkan. Jangan merasa diburu waktu. Cuma yang pasti, Mas siap kapanpun itu," jawab Mas Shaka bijak.

Ah, tumben sekali dia bisa berkata sebijak ini. Saat berdua denganku, ke mana kata-kata bijak itu? Aku bermonolog di dalam hati.

"Terima kasih, Mas. Kalo gitu, aku permisi sebentar," pamitku. Aku beranjak hendak mengambil wudhu.

Jika 'lebih cepat lebih baik' itu benar, maka akan kusegerakan menghadap sang Illahi untuk memohon petunjuknya.

Kutinggalkan kedua lelaki tua dan muda itu di ruang tamu. Aku masuk ke kamar setelah selesai berwudhu.

**
Kutadahkan kedua tangan menghadap kiblat, dengan masih berselimut gundah. Kumohon pada sang pemilik hidup, agar senantiasa memberikan petunjuk padaku.

Sungguh aku tengah dalam kegelapan menuju ridho-Mu, Rabb. Sungguh aku tengah takut salah  arah. Sungguh aku butuh pertolongan berupa petunjuk-Mu.

Usai sholat istikharah, aku kembali menemui Mas Shaka yang nampak kelelahan. Ia tetap meladeni obrolan Ayah yang terkadang diselingi candaan. Ayah memang humoris, suka membuat lawan bicaranya tertawa.

"Neng, baru isya?" Tanya Ayah. Mungkin Ayah pikir, aku baru mengerjakan sholat isya. Padahal aku sudah mengerjakannya saat Ayah di masjid.

Aku menggeleng, "minta petunjuk sama Allah, Yah."

"Mashaa Allah," gumam Mas Shaka yang samar kudengar. Aku lantas menoleh padanya yang tengah mencuri pandang.

"Yah, apa boleh Naira bicara berdua dengan Mas Shaka?" Tanyaku meminta ijin. Aku tahu ini mungkin kurang baik. Tapi aku butuh itu, untuk meyakinkan hati.

"Silakan, Neng. Kalo gitu, Ayah pamit ke kamar duluan. Sudah ngantuk juga, nih, hoaaam ..." Ayah menguap, perlahan bangun dan hendak ke kamar.

Aku tahu Ayah bohong, beliau pasti hanya ingin memberi waktu pada kami.

"Oh, ya, Nak Shaka. Nanti kalo mau pulang, pulang lah. Ayah tidur duluan, sudah ngantuk. Maaf, ya," pesan Ayah pada Mas Shaka.

Lelaki muda itu mengangguk lalu berkata, "silakan, Yah. Maaf, nih, Shaka jadi ganggu malam-malam gini. Setelah Naira bicara, Shaka janji langsung pulang, Yah."

"Iya, Nak. Sekali lagi maaf, ya, Ayah gak maksud nyuruh cepat pulang. Cuma memang sudah malam." Ayah mengulas senyum, lalu berjalan meninggalkan kami.

"Emm ... Yah!" Panggilku. Ayah menoleh, memasang wajah seolah bertanya ada apa.

"Kalo gitu, Naira ngomongnya besok saja sama Mas Shaka. Gak enak sekarang sudah malam," tukasku.

"Gak pa-pa. Baru setengah sepuluh," kata Ayah sambil berlalu.

Aku diam menunduk, memilin ujung tunik yang kukenakan. Keraguan kembali hadir menyelimuti.

"Mau bicara apa, Ra?" Tanya Mas Shaka.

"Eh. Em-itu, Mas. Sebenarnya aku mau tanya, boleh?" Tanyaku gugup.

Pria berkaus abu-abu muda itu mengangguk tanpa senyuman. Benar, kan. Saat tak ada Ayah, senyumnya seolah hilang ditelan salju.

"Apa Mas yakin mau nikahin aku?" Tanyaku meski ragu. Rasanya sudah tak ada waktu lagi untuk mengulur. Lebih baik segera kuselesaikan masalah perjodohan ini.

"Kamu masih nanya gitu? Kalo aku gak yakin, buat apa aku setiap malam datang ke sini? Apa lagi malam ini, gak sempat istirahat demi nganterin oleh-oleh pesanan Ibu," ketusnya.

Astaghfirullah. Kenapa bisa berubah secepat ini, kamu, Mas! Bathinku.

"Pesanan Ibumu, kan? Kami gak minta, lho!" Sindirku kesal. Percuma bersikap manis pada laki-laki aneh ini.

"Tapi Ibu yang minta antar itu buat kamu," ketusnya lagi.

"Kalo Mas gak ikhlas, ya, gak usah maksain!" Tukasku tak kalah ketus.

"Ya, enggak, lah! Kalo gak ikhlas, aku gak akan ada di sini," katanya dengan sedikit rendah.

"Ya, terus kenapa sikapmu bisa berubah-ubah, gitu? Aneh! Tadi ada Ayah, baik banget. Manis. Sekarang kayak ngomong sama musuh!" Geramku. Terus terang memang caraku untuk mengobati emosi.

"Ya, emang aku baik dan manis," katanya dengan senyum mengejek.

Menyebalkan! Padahal, melihat pengorbanan dan kebaikan dia malam ini, sudah hampir membuatku menekan keraguan. Tapi sekarang, sikap dinginnya kembali hadir.

"Gak usah ge-er. Mas Shaka baik dan manis kalo ada Ayah doang. Entah gimana nasibku nanti kalo jadi Istrimu," ketusku.

"Aku heran, deh, sama Mas. Apa, sih, yang bikin Mas Shaka mau nikahin aku? Padahal, Mas sama sekali gak bisa bersikap baik sama aku? Terus, nih, kenapa juga baik banget sama Ayah dan Adik-adikku? Caper doang?" Sambungku bertanya blak-blakan.

"Maksud kamu, apa? Aku ini emang baik. Gak ada, tuh, niat mau caper sama Ayah. Kami emang dekat sejak beberapa bulan lalu. Enak aja, ngobrol sama Ayah. Nyambung terus. Gak kayak sama kamu," pungkasnya sambil menatap jam di dinding.

"Apa? Emang aku kenapa?" Tanyaku. Kutatap wajahnya dengan penuh keheranan.

"Ya, gak, tau." Yang ditatap justeru malah salah tingkah. Aneh.

"Mas gak suka sama aku? Benci sama aku? Lalu, buat apa maksa manis-manis di depan Ayahku. Sok-sok-an udah siap nikahin aku kapan aja?" Emosiku sepertinya naik bebarapa tingkat.

"Oke, Naira. Maaf kalo sikapku kurang baik. Jadi, aku ini senang jika bisa menjadi bagian dari keluarga Ayahmu--Pak Karim. Dan aku juga gak mau kecewain Ibu, yang sudah sangat berharap bisa menjadikanmu menantunya."

Lelaki di depanku itu menatapku serius, lalu menghela napas sejenak. Aku membalas tatapannya dengan wajah kesal. Sinis dan tak kalah dingin dengannya.

Enak saja berkata seperti itu padaku. Apa dia tidak tahu caranya menjaga perasaan wanita? Orang yang menolak perjodohanpun, rasanya akan tetap bersikap baik agar tidak melukai. Lah, dia, sudah jelas ingin perjodohan ini terlaksana. Tapi tidak bisa bersikap baik padaku, yang akan menjadi teman hidupnya. Benar-benar aneh!

"Aku memang belum punya perasaan apapun terhadapmu. Tapi, aku yakin kamu baik. Kamu bisa jadi menantu yang baik buat Ibu," lanjutnya. Aku kembali menoleh, kupicingkan mata demi memberikan kesan seram.

"Mas pikir, nikah itu cuma harus jadi menantu yang baik untuk mertuanya? Menurutmu aku baik untuk Ibumu, dan Mas baik untuk Ayahku. Apa itu cukup? Aku tau pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua insan. Tapi juga kedua keluarga. Mas lupa satu hal. Sebelum menyatukan kedua keluarga, Mas juga harus bisa menyatu dengan pasangan.

Untuk apa hanya baik di hadapan orang tua kita, sementara kita berdua gak ada kecocokan? Aku gak mau nikah, cuma buat saling menyiksa. Aku gak akan sanggup jalani pernikahan tanpa cinta," jelasku panjang lebar. Dia hanya diam menyimak.

"Cinta? Kita udah sama-sama dewasa, Naira. Ada banyak hal yang harus dikedepankan selain cinta. Nyatanya, masih banyak pasangan yang berpisah, padahal mereka menikah karena cinta." Mas Shaka nampak memalingkan wajah ke sudut ruang tamu.

"Seperti Mas dan Mbak Fitri? Sadar, Mas. Kalian berpisah atas takdir Allah. Cinta kalian hanya sampai saat itu." Aku mencoba menebak.

"Hubungan kami yang hanya sampai waktu itu. Tapi cinta kami akan abadi selamanya," jawabnya tanpa menoleh. Nadanya merendah, seperti menahan nyeri.

"Hah? Bucin! Kenapa Mas gak ikut aja sama Mbak Fitri?" Sindirku.

"Kami pikir aku gila? Aku masih waras," sinisnya.

"Oke. Kalo gitu, maaf, aku gak bisa nerima perjodohan ini. Sepertinya akan sangat sakit, hidup sebagai Istri dengan bayang-bayang almarhumah Istri pertama," kataku. Sepertinya ini jawaban yang tepat.

Allah mungkin sedang memberikan petunjuk padaku, melalui kejujurannya.

"Naira! Gak bisa gitu, dong. Kamu gak boleh nolak perjodohan ini," tukasnya sambil menggeser posisi duduk, mendekat ke arahku.

"Lho, kenapa? Mas aja bebas mengutarakan isi hati Mas sejujur-jujurnya, tanpa memikirkan sedikitpun perasaanku. Lalu, kenapa aku gak boleh nolak?" Tanyaku sengit. Aku menggeser lagi, agar tetap berjauhan.

"Ya, Allah, Nai. Maafin aku. Bu-bukan gitu, maksudnya," kata Mas Shaka seolah bingung untuk menjelaskan.

Tanpa kamu jelaskan juga, aku sudah paham seperti apa hatimu. Kamu hanya terlalu larut mencintai orang yang sudah meninggal, sampai hatimu tertutup rapat tanpa celah. Tapi bodohnya, kamu memaksaku masuk ke dalam sana.

"Naira, bukan Nai," sindirku.

"Maaf, Ra." Lelaki itu tertunduk. Aku menoleh, menatapnya sejenak. Sepertinya, ada penyesalan di raut wajahnya.

Entah lah. Yang jelas, aku tidak mau sakit nantinya. Jika aku menerimanya, kemungkinan hanya luka yang kudapat.

"Sudah malam, Mas. Aku juga sudah selesai bicara. Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Maaf, aku bukannya menolak perjodohan ini. Tapi kamu sendiri yang menolak kehadiranku di hatimu." Aku mengatakan itu, agar Mas Shaka segera pulang.

Sepertinya, sudah cukup masa perkenalan kami.

"Naira ... bukan seperti itu." Dia diam lagi setelahnya. Aku tahu, pasti tengah bimbang.

"Lalu? Oh, ya, aku kasih tau sama Mas. Cara menarik hati wanita yang ingin Mas nikahi. Pertama, bersikap, baik, manis, romantis kalo perlu, seperti apapun perasaan Mas sama wanita itu. Karena Mas sendiri yang ingin menjadikan wanita itu pasangan, kan?

Kedua, jangan membawa masa lalu dalam perbincangan kalian. Cobalah memposisikan diri, berada di posisi lawan bicara.

Ketiga, kubur dalam-dalam perasaan masa lalumu. Buka lembaran baru dengan orang yang ingin kamu nikahi. Agar nantinya, kalian sama-sama merasakan cinta yang tumbuh bersemi di dalam hati," jelasku.

Sebetulnya aku tidak benar-benar mengajarinya. Aku hanya mengutarakan kesakitanku.

"Tadi kamu, lho, yang bawa-bawa masa laluku," tukasnya.

"Iya. Tapi Mas membenarkan bahwa cinta Mas selamanya hanya untuk Mbak Fitri," jawabku.

"Kamu gak pernah tau gimana upayaku untuk melupakan kejadian itu. Kamu gak pernah tau, seberapa besar usahaku untuk bisa kembali bangkit dari keterpurukan." Aku menoleh pada lelaki yang sedang bicara padaku. Wajahnya menyiratkan duka mendalam.

"Mas pikir, cuma Mas aja yang punya masa lalu menyakitkan?" Tanyaku.

"Aku tau masa lalumu, Ra. Karena itu juga, aku yakin ingin mekahimu. Aku ingin belajar padamu, cara untuk mencintai diri sendiri, agar tidak lagi larut dalam duka masa lalu," katanya dengan mata berkaca.

Aku memang tidak tahu, seperti apa caranya dia bangkit dari keterpurukan itu. Entah kenapa, melihat sorot matanya, seolah aku turut hanyut dalam duka yang paling dalam.

"Aku ingin belajar mencintai diriku sendiri, agar aku bisa memikirkan kebahagiaanku. Dan tidak lagi terpaku pada masa lalu. Aku yakin, denganmu aku bisa. Aku yakin, kamu bisa mengembalikan kepercayaan diriku. Aku yakin, kamu akan mampu membuatku jatuh cinta. Mas yakin itu, Ra," jelasnya. Lelaki itu berdiri, lalu menghampiriku. Ia berlutut di dahapanku.

Aku diam memaku. Kembali merasakan manis yang ada dalam dirinya.

"Maukah kamu membantu Mas, untuk kembali hidup dengan cinta?" Tanyanya.

Tanpa berpikir pagi. Aku mengangguk dengan seulas senyuman.
   

● Part 7
● Dipercepat

POV Naira

Siang yang terik, membuat dahagaku meningkat drastis. Terbayang Ayah yang tengah bekerja di sawah.

Kuputuskan untuk membawakan minuman segar untuk Ayah. Kututup konter sementara waktu, namun tetap aktif meng-iklankan daganganku secara online.

Tring!

Ponsel dalam saku gamisku bergetar, pertanda pesan masuk. Gegas kubuka, berharap itu pesan dari pelanggan yang ingin memesan daganganku.

"Pak Sekdes," gumamku. Ah, ya, aku lupa mengganti nama Mas Shaka dalam kontak. Pertama kali menyimpan nomornya, kupakai nama itu. Pak Sekdes.

[Naira, lagi apa?] Isi pesannya. Tumben sekali dia mengirim pesan basa-basi macam ini.

[Mau anter es buat Ayah di sawah, Mas. Ada apa?] Balasku, lalu gegas memasukannya kembali sebelum melangkah.

[Panas seperti ini jangan kasih Ayah es. Air putih lebih baik, Ra. Khawatir nanti jadi radang,] balasnya. Aku tersenyum getir. Perhatian memang. Tapi sayang, belum bisa seperti itu padaku.

[Iyakah, Mas?] Tanyaku dalam pesan balasan. Aku mengetik pesan itu sambil berjalan melewati beberapa rumah warga yang dekat dengan sawah.

"Punten, Mak," ujarku saat melewati Mak Ijah yang sedang memilah gabah pada berasnya.

"Mangga, Geulis," jawabnya ramah.

[Iya, Ra. Cuaca panas, gak baik langsung minum es. Boleh, sesekali tapi jangan langsung dan sering-sering,] balasnya lagi.

[Oh, gitu. Makasih, Mas udah kasih tahu. Ayah gak bakal banyak minumnya, karena gak begitu suka manis,] ketikku.

[Kalo kamu, sukanya apa, Ra?] Tanyanya. Aku mengernyit, merasa kurang nyambung dengan balasannya.

[Aku pemakan segala, Mas,] ketikku lalu dibubuhi emot tertawa sambil menutup mulut.

[Bagus, deh.] Hanya itu balasannya. Aku menghela napas dalam. Sudah biasa dengan sikapnya yang ambigu.

Kumasukan kembali ponsel ke dalam saku, lalu mulai menyurusi jalan setapak di tengah sawah. Sedikit ngeri, karena harus turun dan naik dengan medan jalan yang licin dan hanya selebar empat puluh senti.

"Assalamu'alaikum, Yah," sapaku pada Ayah.

"Wa'alaikumussalam," jawab Ayah pelan. Lelaki hebatku itu menoleh lalu tersenyum.

"Tumben anak gadis Ayah nyusul panas-panas begini?" Tanyanya mengejek. Aku memang sangat jarang ke sawah jika sedang musim menanam seperti ini. Aku lebih suka membantu ketika panen.

"Bawain Ayah es buah. Cuaca hari ini panas banget, Yah. Naira di rumah aja haus mulu. Makanya kepikiran sama Ayah," jawabku. Kubuka gelas plastik besar bermerk yang tadi kupakai untuk membawa es buah.

"Waah ... enak, nih, seger," ujar Ayah sambil duduk di dekatku, di bawah pohon besar yang sengaja di tanam untuk meneduh ketika terik seperti ini.

"Tapi, Yah. Kata Mas Shaka, jangan langsung es dan jangan banyak-banyak," kataku menyampaikan apa yang Mas Shaka katakan.

"Kenapa?" Tanya Ayah sambil minum air putih yang kusodorkan.

"Takut radang, katanya," jawabku.

"Deuh, perhatian banget, ya, Mas Shaka," ledek Ayah.

"Iya, sama Ayah. Sama Naira mah, biasa aja," tukasku.

"Masa? Gak ngerasa kali. Atau, Neng cemburu sama Ayah, ya?" Ledek Ayah lagi membuatku malas.

"Ada-ada aja, Ayah mah," ketusku. Kuminum duluan es yang sudah kupindahkan pada gelas kecil untukku.

"Itu siapa, Neng?" Tanya Ayah sambil menunjuk ke arah perkampungan. Tentu hal itu membuatku langsung menoleh.

"Hah?" Seorang lelaki tinggi gagah dengan seragam khas pegawai negeri tengah menuju ke arah aku dan Ayah. Di tangan kanannya ada sebuah paper bag cukup besar. Mas Shaka.

"Shaka, bukan, sih?" Tanya Ayah memperjelas.

"Iya, Yah. Siapa lagi pegawai desa yang mau nyamperin kita di sini," jawabku.

"Iya, ya," kata Ayah sambil melanjutkan aktivitas minum es buah.

"Assalamu'alaikum," sapanya.

Aku dan Ayah menjawab serentak, lalu lelaki itu jongkok di sampingku.

"Nih, buat makan siang kita," katanya menyodorkan paper bag tadi.

Kubaca tulisan pada paper bag tersebut. Resto salero minang, masakan padang.

"Kita?" Tanyaku sedikit aneh.

Mas Shaka mengangguk pasti, dengan senyum tipis di wajahnya.

"Mumpung Mas istirahat. Pengen ngerasain makan di sawah, rame-rame gini," katanya. Kali ini senyumnya melebar. Aku cukup terpaku dibuatnya.

"Mashaa Allah ... terima kasih, Nak Shaka. Jadi merepotkan gini," kata Ayah.

"Sami-sami, Yah. Gak ngerepotin sama sekali," ujar Mas Shaka.

Kugelar tikar yang selalu terselip di dahan pohon besar ini. Ayah sengaja menyediakannya.

"Duduk, Mas," tawarku. Lalu kubuka bungkusan yang tadi Mas Shaka bawa. Ternyata sudah lengkap dengan alat makan sekali pakai. Ada piring plastik tipis berwarna putih, beserta sendok dan garpu. Tak lupa dengan tisyunya.

Aku hanya membuka bungkusnya, lalu menaruhnya ke atas piring plastik tadi. Karena ada kenikmatan tersendiri ketika makan nasi padang langsung dari bungkusnya. Bukan dituang.

"Makasih, ya, Mas," ucapku sambil memberikan sendok padanya. Kutatap wajahnya lekat. Bukan tak sopan, aku hanya ingin tahu seperti apa reaksi.

Jujur, menyelami hati dan pikirannya sungguh sangatlah sulit.

"Sama-sama," jawabnya sedikit gugup. Ia mengalihkan pandangan ke depan, pada hamparan hijau daun pagi yang belum lama ditanam.

Kami makan diselingi dengan obrolan ringan, yang dibarengi candaan mengundang tawa dari Ayah. Terkadang aku malu atas candaan Ayah. Namun rasa syukurku jauh lebih besar, sebab memiliki Ayah sehebat ini.

"Emm ... Yah, Shaka mau bicara serius, boleh?" Tanya Mas Shaka setelah aku selesai membersihkan bekas makan kami.

"Di sini? Sekarang?" Tanya Ayah seolah tidak percaya.

"Iya, gak pa-pa. Malah enak kena angin alami gini," tukasnya.

Aku yang merasa ini ada hubungannya dengan pembicaraan kami semalam, mulai gelisah menahan gugup.

"Apa, Nak Shaka?" Tanya Ayah penasaran.

"Jadi, semalam Naira udah bicara banyak sama Shaka, Yah. Shaka juga sudah sampaikan keinginan Shaka. Naira udah setuju untuk menikah dengan Shaka," tutur Mas Shaka dengan banyak jeda.

'Hah? Aku, kan, cuma ngangguk pas dia bilang, mau aku membantunya hidup dengan cinta.' Aku berkata dalam hati.

'Apa itu artinya menikah? Kirain masih perkenalan, gitu,' gerutuku tanpa suara.

"Alhamdulillah ... serius, Neng?" Tanya Ayah dengan mata berbinar, yang kian terpancar di bawah terik matahari.

Melihatnya, aku tak tega untuk mengatakan yang kumaksud semalam. Ragu-ragu aku pun mengangguk.

"Alhamdulillah. Makasih, ya, Neng. Terus-terus, gimana rencananya?" Tanya Ayah antusias. Aku yang belum punya rencana apapun, hanya diam dengan kebingungan.

"Shaka, sih, mau secepatnya, Yah. Menurut Ayah gimana?" Tanya Mas Shaka balik.

'Yang anaknya siapa, sih? Kok, Mas Shaka kayak lagi ijin nikah ke ortunya sendiri,' kata hatiku.

"Ayah setuju. Ayah selalu setuju dan mendukung kalian," kata Ayah semangat.

"Tuh, kan. Gimana, Ra?" Tanya Mas Shaka.

Aku sedang tidak terlalu fokus, terlonjak kaget saat pertanyaan itu terlontar.

"Hah, apa, Mas?" Tanyaku.

"Nikah secepatnya. Ayah udah setuju, tuh," katanya. Seolah menegaskan agar aku tidak perlu khawatir Ayah tak setuju.

"Amm ... Naira gak bisa mikir kalo lagi panas gini, Mas," tukasku mencari alasan.

"Mikirin apa? Kan, semalam udah sepakat. Kita hanya tinggal minta ijin Ayah untuk nikah secepatnya. Kalo Ibu, Mas udah bilang. Tentu Ibu senang," jelas Mas Shaka.

Seketika mataku membulat menatapnya. Aku tidak merasa sudah menyepakati hal ini. 'Nih, Mas Duda mikirnya gimana, sih?' Geram hatiku.

"Ayah pernah bilang, kan, labih cepat lebih baik. Malah enak, lho, pacaran setelah menikah," tukas Ayah membuat napasku kian sesak. Bagaimana ini.

"Naira semalam udah setuju, kok, Yah. Alhamdulillah, Ayah juga setuju. Kalo gitu, malam minggu depan, Shaka dan keluarga akan datang ke rumah untuk melamar Naira secara resmi. Sekaligus, nyari hari baik untuk pernikahan kami nanti." Mas Shaka berbicara tanpa menunggu jawabanku.

Ya Allah, kenapa aku sulit sekali mengatakan sepatah katapun. Bahkan sekadar untuk mengulur waktu. Jujur, aku masih butuh waktu lebih lama untuk membuat Mas Shaka mencintaiku sebelum kami resmi menikah.

Apa jadinya, jika nanti cinta itu belum tumbuh. Apa kami bisa menjalani hari-hari layaknya sepasang suami-istri? Aku khawatir.

Tapi, lidahku seolah kelu untuk menahan. Rasa haru yang muncul dari wajah Ayah, mampu menyingkirkan keraguan dalam diriku.

"Alhamdulillah, Ya Allah ... Ayah senang dengarnya. Semoga acaranya berjalan lancar, ya, nanti," kata Ayah sambil menepuk bahu Mas Shaka.

Sebelum adzan berkumandang, Mas Shaka mengajak Ayah untuk pulang dan membersihkan diri.

Kami pulang bersama, menyusuri jalan setapak dengan sangat hati-hati.

Kukira, Mas Shaka akan langsung ke masjid atau pulang. Ternyata lelaki itu duduk menunggu di kursi pembeli konterku.

"M-mas gak ke masjid?" Tanyaku ragu.

"Nunggu Ayah. Bareng aja," katanya dengan seulas senyum yang segera ia palingkan.

"Oh." Aku masuk tanpa permisi.

Kugelar sajadah, usai kepergian Ayah dan Mas Shaka ke masjid bersama.

**
"Udah pulang, Yah?" Tanyaku sambil mencari seseorang, setelah Ayah mengucap salam dan kujawab.

"Udah. Nyari siapa?" Tanya Ayah.

"Eh. Enggak, Yah," jawabku gugup. Jangan sampai Ayah tahu jika aku mencari Mas Shaka.

"Shaka langsung ke kantor. Jadi tadi, tuh, motornya sengaja di parkir di depan masjid. Udah rencana mau sholat setelah nyamperin kita." Ayah menjelaskan seolah tahu apa yang kucari.

"Oh, gitu. Ya udah, Naira mau buka konter. Siapa tau ada yang mau beli pulsa," kataku sambil berlalu ke luar.

"Iya." Ayah mengangguk.

**
Hari berlalu begitu cepat. Hari ini, aku kembali dirias sederhana untuk menyambut Mas Shaka dan keluarganya. Bayangan masa beberapa tahun lalu berkelebatan.

Aku takut. Takut sekali. Luka di masa lalu seolah muncul kembali membayangi masa depanku yang akan menikah tanpa cinta.

Aku dan Kak Rayhan yang saling mencintai pun, berpisah begitu saja menjelang hari pernikahan. Apa kabarnya dengan kami yang belum memiliki rasa satu sama lain.

Bagaimana jika hal itu kembali terjadi padaku? Apa aku masih mampu untuk berdiri menjalani sisa usiaku? Rasanya sulit.

"Neng, udah siap?" Tanya Wak Siti.

"U-udah, Wak," kataku lalu mengusap sedikit air di sudut mata.

"Buang jauh-jauh rasa takutmu, Neng. Keraguan yang membuatmu sulit menata masa depan, hanya akan menyulitkanmu menemukan kepercayaan pada lelaki yang akan menjadi suamimu."

Wak Siti merapikan hijab yang kupakai, sambil memberikan wejangan.

"Do'ain Naira, ya, Wak," pintaku.

Wak Siti mengangguk dengan tersenyum haru, lalu membawaku hanyut dalam dekapannya.

Di luar terdengar riuh oleh para tamu yang nampaknya sudah tiba. Rombongan calon besan Ayah.

"Wak ke luar dulu, ya. Jangan grogi. Tarik napas, buang. Tenang aja, ya." Wak Siti menepuk-nepuk bahukku lalu ke luar.

Tidak berapa lama, Ayah menjemputku ke kamar. Katanya, acara lamaran sudah dimulai. Kini waktunya aku untuk menjawab menerima pinangan Mas Shaka.

Sama seperti dulu. Bahkan prosesinya hampir mirip. Aku kembali terbayanga wajah bahagia Kak Rayhan kala itu.

Kutatap wajah lelaki yang meminangku saat ini. Tangannya terulur hendak memasangkan cincin di jari manisku. Aku menerimanya tanpa nyawa. Seolah nyawaku pergi mengunjungi masa lalu.


● Part 8
● Tom and Jerry

POV Naira

Dua hari sudah aku berganti status sebagai calon istri Mas Shaka. Namun hingga kini, rasa itu belum ada. Aku bahkan tak yakin mampu membuatnya terpesona.

"Kak Rayhan, apa kabarmu?" lirihku seorang diri. Kutatap butiran air yang masih menempel di kaca jendela kamar, sisa gerimis sore tadi.

Aku masih berpikir, jika memang Kak Rayhan tidak bersalah, mengapa hingga saat ini ia tidak datang untuk menjelaskan padaku. Apa itu artinya lelaki yang pernah mengisi relung hatiku sampai hari ini, benar-benar melakukan hal keji?

Bulir bening mulai menetes dari sudut mataku, mengiringi gerimis yang mulai turun lagi. Kusibak gorden lebih lebar, kutatap langit gelap tanpa satupun bintang yang bersinar, sebab mendung bergelayut.

"Assalamu'alaikum," salam Ayah yang baru pulang dari masjid, usai berjamaah sholat isya.

"Wa'alaikumussalam," jawabku sambil menyeka pipi yang basah. Semoga wajah sembabku tidak terlalu nampak.

Kubuka mukena dan melipatnya, lalu memakai hijab instan karena khawatir Ayah mengajak Mas Shaka masuk tanpa sepengetahuanku. Seperti malam kemarin, aku sampai harus berjongkok bersembunyi di belakang kursi ruang tamu. Ayah masuk ke kamarku untuk mengambilkan hijab instanku.

"Neng," sapa Ayah yang sudah duduk di kursi ruang tamu.

"Nanda sama Wahyu mana, Yah?" Tanyaku, karena Ayah hanya pulang sendiri.

"Diajak Shaka ke rumahnya, main PS, katanya," jawah Ayah.

"Oh. Ayah gak ikut?" Tanyaku. Biasanya, Ayah selalu suka ngobrol dengan Mas Shaka. Begitu pun sebaliknya.

"Enggaklah. Mainan anak muda, gak ngerti Ayah," cetus Ayah. Aku tersenyum mengejek.

"Ciee ... yang gak bisa ngobrol sama Mas Shaka," ledekku lagi.

"Ciee ... yang kangen sama calon suami," balas Ayah. Sembarangan. Sejak kapan aku kangen sama laki-laki sedingin itu.

"Enak aja. Enggak, lah!" Sanggahku sambil membuka hijab di depan Ayah. Toh tidak ada yang bertamu pikirku.

"Assalamu'alaikum," ucap Wahyu dari luar. Tentu aku hafal suaranya. Bocah itu langsung mendorong pintu tanpa permisi.

Kukira hanya Wayhu saja, nyatanya mereka pulang bertiga. Aku gelagapan memakai hijabku lagi.

Mereka masuk. Wahyu menenteng alat elektronik yang mereka bilang PS. aku hanya diam memperhatikan, sambil mengatur napas yang terlanjut kaget.

"Teh! Teteh pake kerudung kebalik, ya?" Tegur Wahyu sambil memperhatikanku.

Aku sontak menunduk, melihat jahitan hijab yang ada di luar. Ya Allah ...

"Kamu, sih, main buka pintu aja," sambar Ayah.

Jantung yang terlanjur kaget, terpaksa harus berdetak kuat lagi karena malu. Aku menoleh pada Mas Shaka yang hanya tersenyum menyaksikan.

"Maaf, Mas aku ke dalam dulu." Aku bangkit dan bergegas menuju kamar, sampai kakiku tersandung kaki meja. Astaghfirullah ... sakitnya. Aku berjongkok memegangi kaki, berusaha menahan sakit.

"Ya Allah ... Pelan-pelan, Neng!" Ayah bangun hendak membantuku berdiri. Namun Mas Shaka sampai di depanku lebih dulu. Kedua Adikku sudah sibuk dengan colokan di ruang televisi-- ruang keluarga.

Lelaki itu membantuku bangun dan duduk ke atas kursi, lalu meraih kakiku. Ditaruhnya kaki ini di atas lututnya dan dia mulai memperhatikan bagian yang sakit.

"Mas," panggilku sambil mencoba menurunkan kaki.

"Gak pa-pa. Mas lihat dulu yang kena kaki mejanya," katanya menahan. Entah lah, aku merasa tidak sopan.

"Lumayan kenceng ini. Bisa-bisa memar, Yah," kata Mas Shaka pada Ayah.

Yang sakit aku, yang diajak ngomong Ayah. Kan, aneh.

"Udah, Mas turunin," kataku sambil menurunkan lagi.

Dia membantuku, lalu menaruhnya di lantai dengan sangat hati-hati. Seperhatian ini, ya, kalau ada Ayah.

"Makasih, Mas," ucapku. Aku kembali berdiri pelan, lalu melangkah menuju kamar. Tanpa diduga, dia memapahku sampai ke depan pintu kamar.

"Gara-gara tadi pake dibuka, sih, jadi gini, kan!"  Omelku pelan di dalam kamar. Kubetulkan hijabku yang terbalik.

Aku kembali ke luar. Dan sangat terkejut ketika baru membuka pintu. Mas Shaka masih berdiri di depan pintu kamarku.

"Ngapain, Mas?" Tanyaku heran.

"Nunggu kamu. Nanti siapa yang bantuin jalan?" Tanyanya. Aku mengernyit, lalu menoleh pada Ayah yang diam-diam tersenyum.

"Aku bisa sendiri, kok." Aku melawatinya dengan berjalan sedikit pincang.

"Ya udah," katanya sambil mendahului duduk di kursi yang kutuju. Mashaa Allah ...

Mau tidak mau aku harus duduk di kursi seberangnya yang agak jauh dari jangkauanku.

Ayah terkekeh, entah apa yang ditertawakan.

"Kalian lucu. Saling perhatian tapi malu-malu. Sok lah lanjutin jadi Tom and Jerry. Sepuluh hari lagi baku hantam di atas ranjang," kata Ayah berkelakar di akhiri dengan tawa renyahnya.

Mas Shaka hanya terkekeh. Pura-pura tak paham atau bagaimana, entahlah. Dia, kan, Duda.

Malunya aku. Apa maksudnya baku hantam di atas ranjang. Kumajukan bibir dengan mata menatap dinding. 'Kalian kompak,' bathinku.

Ya, sepuluh hari lagi kami menikah. Terpaksa menikah lebih tepatnya. Karena aku yakin, sampai hari ini pun Mas Shaka belum bisa menyukaiku.

"Ayah ke dalam dulu, mau lihat cara main PS." Ayah meninggalkan kami di ruang tamu.

"Mau minum apa, Mas?" Tanyaku basa-basi. Karena sejak melamarku, lelaki ini rajin main dan selalu menolak setiap ditawari minum. Tidak mau merepotkan, katanya.

"Gak usah, Ra. Kaki kamu juga lagi sakit, kan," tolaknya. Aku mengangguk saja membenarkan ucapannya.

"Kalau haus bilang aja, Mas. Nanti kuambilkan," tawarku.

"Iya, Ra. Makasih," jawabnya singkat.

"Kenapa PSnya dibawa ke sini?" Tanyaku. Entah apa yang terjadi jika aku tidak selalu banyak bertanya. Mungkin kami saling diam seperti patung.

"Kasihan Ayah gak ada temen ngobrol. Jadi Mas pikir, lebih baik mainnya di sini."  Lelaki itu menoleh sebentar dengan seulas senyum tipis-tipis.

"Oh. Kasihan Ayah, ya? Bukan kangen sama aku?" Tanyaku memancing. Nyatanya, dia memang jadi rajin sekali berkunjung. Pagi sebelum ke kantor, siang saat istirahat, sore sepulang dari kantor dan malam sepulang dari masjid.

"Percaya diri sekali, Bu?" Candanya sambil terkekeh. Aku tersenyum getir. Menumbuhkan cinta, nyatanya tak semudah membalikan telapak tangan.

"Iya, lah. Kalo gak percaya diri, mau percaya sama siapa? Sebelum orang lain percaya pada kita, kita harus sudah lebih mempercayai diri sendiri," sarkasku. Tersentil lah, Kau ...

"Kamu nyindir Mas?" Tanyanya sengit. Aku tertawa sekilas. Puas.

"Ya. Percaya pada diri sendiri itu penting, Mas," jawabku.

"Contohnya?" Ia bertanya lagi.

"Aku percaya bahwa aku mampu mengobati lukaku. Dengan kepercayaan itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk sembuh dan bangkit. Dan lihat hasilnya, aku bisa," jawabku memberikan contoh kehidupanku.

"Lagi?" Ia memintaku memberikan contoh lagi.

"Lagi-lagi, lagi apanya?" Tanyaku.

"Ya, kasih contoh lain lagi," jawabnya.

"Aku percaya bisa buat Mas jatuh cinta sama aku. Aku belum usaha pun, Mas udah rindu sama aku," ledekku. Ah, tidak. Sebetulnya aku sedang meledek diri sendiri yang kesulitan meluluhkan hatinya.

"Halah. Itu mah ke-PD-an namanya," cetus Mas Shaka. Aku menganga, tak percaya dengan ucapannya. Tega, kamu Mas!

"Dih. Ya udah kalo gak percaya!" Ketusku. Sudah lah, melawannya tidak akan menang.

"Kok, ngambek? Ha ha," kekehnya mengejekku.

"Siapa juga yang ngambek!" Aku makin ketus dan sedikit nyolot.

"Mas gak nyangka bakal punya istri segalak kamu," kelakarnya masih dengan kekehan menyebalkan.

"Aku juga gak nyangka bakal nikah sama laki-laki sedingin Mas," balasku.

"Dingin? Katanya baik dan manis ..." dia kembali meledekku.

"Kapan aku bilang gitu?" Tanyaku tak terima.

"Hemm ... pura-pura lupa. Nanti cepet tua, lho," ejeknya.

"Mas ngatain aku tua? Mas yang udah tua, tuh," balasku. 'Duda lagi,' sambungku dalam hati.

"Gak boleh, lho, ngejek orang yang lebih tua. Dosa," katanya sambil masih tersenyum mengejek.

"Ngaku juga udah tua," gumamku.

"Apa?" Tanyanya agak kencang. Aku terlonjak dan spontan menoleh.

"Bisa ngomong yang halus, gak, sih sama cewek, tuh?" Sindirku.

"Ya, tergantung ceweknya. Kalo ceweknya halus, manis, kalem. Ya, bisa aja Mas halus," jawabnya sambil menatap lampu. Mungkin sedang membayangkan wanita seperti yang ia sebutkan.

"Maksud Mas, aku?" Tanyaku aneh.

Lelaki itu diam menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan.

"Emang kapan aku pecicilan depan Mas? Perasaan udah kalem banget, deh," ketusku.

Intinya, ngomong sama dia gak akan menang. Selalu ada saja jawaban untuk merendahkanku.
His! Menyebalkan.

"Sudah, sudah ... kalian itu, lho! Ditinggal bukannya akrab, malah makin jadi." Tiba-tiba Ayah datang dari ruang televisi menghampiri kami lagi.

Bagus lah Ayah datang. Capek sekali aku meladeninya.

"Yah," sapa Mas Shaka gugup. Syukurin ketahuan Ayah.

"Lanjutin. Ayah mau nonton. Kayaknya seru kalo nonton langsung," ejek Ayah yang sudah duduk di kursi tengah. Aku menunduk sambil tertawa senang. Akhirnya Ayah tahu seperti apa Mas Shaka padaku saat tak ada Ayah.

Lelaki itu diam menunduk saat kucuri pandang. Aku semakin senang menertawakan.

"Kalian itu sudah mau nikah. Belajar lah saling menghargai satu sama lain. Naira benar, cobalah bicara yang halus pada wanita. Apa lagi wanita itu akan jadi istrimu." Ayah menasehati Mas Shaka.

Aku makin kegirangan dibuatnya, sampai tak terasa tawaku memecah keheningan.

"Kamu juga, Neng. Belajar sopan sama Masmu. Masa, calon suami sendiri dikatain tua! Percaya diri boleh, over jangan," kata Ayah padaku. Seketika aku terdiam. Merasa tersentil dengan kalimat akhir Ayah.

Percaya diri boleh, over jangan. Apa aku terlalu berlebihan percaya diri akan membuat Mas Shaka jatuh cinta? Ah, mungkin saja benar kata Ayah. Lalu, bagaiman jika aku tidak berhasil? Apa pernikahan kami hanya akan menjadi sebuah percobaan?

Tidak. Aku tidak mau sampai mengorbankan masa depanku. Jika memang ragu, baiknya kukatakan.

"Yah," panggilku.

"Ayah mau kasih wejangan buat kalian. Tentang pernikahan. Kalian harus dengar," potong Ayah. Duh, bagaimana ini.

"Pernikahan itu bukan ajang coba-coba. Bukan juga untuk main-main. Selain harus ada kepercayaan satu sama lain, keyakian akan saling membahagiakan, kalian juga harus punya cara untuk selalu kompak. Kompak dalam hal apa? Dalam segala hal yang berkaitan dengan rumah tangga kalian.

Kuncinya apa? Komunikasi. Komunikasi yang baik, akan memupuk rasa di dalam hati masing-masing. Komunikasi yang jujur, akan menambah rasa percaya satu sama lain. Kalo kalian komunikasinya begitu, apa bisa saling percaya? Apa bisa saling cinta?" Ayah berbicara panjang pada kami berdua. Sepertinya sesi ceramah sudah dimulai.

"Belajarlah berkomunikasi yang baik, yang jujur. Apa yang kalian rasakan, katakan. Apa yang kalian mau, katakan. Apa yang kalian suka dan tidak suka, katakan. Jangan rindu bilangnya tidak," sambung Ayah. Aku paham siapa objek tujuan Ayah sekarang. Aku kembali terkekeh merasa menang.

"Jangan muji baik, manis, tapi besoknya gak ngaku," sambung Ayah sambil menoleh padaku. Spontan aku terdiam. Lalu menoleh pada Mas Shaka yang mulai terkekeh. Gantian.

Bersambung ...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dinikahi Duda (Perjaka)
1
0
Part 9, 10 dan 11
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan