Kau Rebut Dia dengan Pelet, Tanpa Tahu Aku Konglomeratnya - Part 2

8
0
Deskripsi

Part 2 - KINANTI

 

BAGIAN 2

Suara kunci kamar yang berputar membangunkan aku dan Gilang. Mata anakku masih sembab karena tangis semalam. Aku buru-buru mengusap air mataku, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Kupikir Mas Adi yang datang.

Ternyata bukan.

“Kalian mandi dan ganti baju. Orang tua Kinanti akan segera datang.”

Suara dingin itu milik Bu Sundari—mertuaku. Tatapannya tetap sama seperti biasa: mengucilkan, menilai, dan tak pernah benar-benar menganggapku bagian dari keluarga mereka.

“Bu! Mas...

Dari balik pintu, kudengar percakapan mereka. Hangat. Penuh canda.

 “Akhirnya kinanti bisa tinggal sama kamu ya, Adi.” Ucap seorang pria.

“Akhirnya ya, Pak.”

“Berarti nanti kami juga bisa tinggal di rumah ini, kan?” 

“Ah bapak bisa saja. Rumah bapak kan lebih mewah dari ini..” Balas Adi.

“Iya, Pak Sugeng. Kan rumah bapak lebih mewah dari ini. Omong-omong…” Suara ibu mertuaku terdengar dengan antusias. “Setelah menikah nanti, jadi nggasi suntikan modal untuk Indra adiknya Adi, kan?”

“Tenang saja Bu Sundari, kalau sudah jadi keluarga kan harus saling bantu.” Balas Ibu Kinanti. “Ngomong-ngomong, mobil itu atas nama Adi kan?”

“Eh.. iya, Bu.” Jawab Mas Adi.

“Maksudnya bukan atas nama istrimu, Kan?” 

“Bukan, kan hasil jerih payah saya!” Jawab Mas Adi bangga.

Saat itu seketika teringat kenangan kami saat membeli mobil honda jazz abu kesayangan kami itu. ketika itu mas adi mengutarakan bahwa ia sedang menabung untuk dp mobilnya. Ia mengatakan bahwa sebagai supervisor, memiliki mobil adalah nilai lebih di mata koleganya. Aku ingat betapa senangnya dia saat aku menunjukkan uang 20 juta hasil tabunganku selama ini, dan dengan tabungan 20 juta miliknya, kami bisa menyicil mobil yang memberikan kenangan indah untuk kami.

Tak tahan dengan perbincangan ini, aku menyelesaikan dandananku dan keluar dari kamar bersama Gilang.

“Akhirnya muncul juga. Kenalin mereka orang tua Kinanti, kami akan menikah minggu depan.” Ucap Mas Adi.

Aku tak menatap sedikitpun kepada orang tua kinanti, justru aku terpaku pada seorang anak kecil berumur tiga tahun yang dengan manja bermain di tengah kinanti dan Mas Adi.

“Dia anakmu?” Tanyaku tegas.

“Tidak sopan!” Mas Adi berdiri.

“DIA ANAKMU?” Kali ini aku meninggikan suaraku tak mampu lagi menahan amarahku.

Mas Adi terlihat tak berani menjawab, namun Kinanti dengan senyum kecilnya memberi isyarat.

“Fandi, ayahmu lagi repot. Jangan diganggu dulu, ya!” bisiknya dengan maksud yang kumengerti.

“Silahkan kalian menikah! Tapi itu terjadi setelah perceraian kita!” Teriakku.

“Kamu tidak usah emosi, Saras. Kamu bisa tetap tinggal di rumah merawat Gilang dan Fandi. Kinanti akan lebih banyak menemaniku di tempat kerja.” Balas Mas Adi.

“Aku tidak sudi!” Balasku yang masih diliputi dengan emosi. Terlebih saat melihat anak bernama Fani hasil perzinahan mereka berdua. 

“Mas, jangan cerai.” Ucap Kinanti dengan manja. “Nanti kamu jadi harus membagi harta gono-gini.”

Dasar ular. Aku sudah membaca niatnya. 

“Tenang saja, Kinanti. Sejak awal nikah, Adi menandatangani status pisah harta. Nggak usah khawatir.” Balas Ibu mertuaku dengan wajah yang justru terlihat senang itu. “Lagipula Saras tidak akan berani bercerai dengan Adi. Mau jadi apa? Gelandangan?”

Aku tak terima direndahkan seperti ini. Aku pun kembali ke kamar dan mengemasi barang-barangku. Dengan tangan gemetar, aku menelepon ke rumah ibu dan meminta Mang Ujang untuk menjemputku dan gilang untuk keluar dari rumah ini.

Setelah memastikan Mang Ujang sudah dekat, aku pun keluar dari kamar.

“Gimana, Saras? Sudah tenang?” Tanya Mas Adi. 

Aku tak menjawab dan sibuk mengeluarkan beberapa tas dari kamarku.

“Kamu ngapain?!” Mas Adi menghampiriku. 

“Perselingkuhan kalian memastikan hak asuh Gilang akan jatuh ke tanganku! Pengacaraku yang akan mengurus perceraian ini!” Ucapku yang buru-buru keluar bersama Gilang.

“Kamu ngelantur, Saras? Pengacara?” Mas Adi membalasku sambil tertawa. Ia mengira ucapanku hanyalah gertakan.

“Mbak Saras, nggak usah nge halu. Mas Adi nggak akan bayarin pengacara.” Ucap Kinanti.

Saat itu sebuah mobil alphard datang dan berhenti tepat di depan pagar. Terlihat beberapa tetangga yang merasa penasaran dengan mobil itu.

Mas Adi, Kinanti, dan semua yang di rumah pun heran dengan kedatangan mobil itu.

“Ayo, Gilang. Mobil kita sudah datang.” Ucapku mengajak Gilang.

“Mobil kita?” Mas Adi bingung.

“Segitunya acting, mobil rental diakuin mobil sendiri.” Ibu mertuaku menimpali tak percaya dengan perkataanku.

“Dasar nggak tahu diri! Ngabisin duit buat rental mobil begini!” Teriak Mas Adi.

Aku tak membalas ucapanya itu dan memasukkan barang-barang dan Gilang ke dalam.

“Pak! Pokoknya jangan kasi tagihan rental mobil ini ke saya! Saya nggak akan mau bayar!” Mas Adi dengan sombongnya berkata pada Mang Ujang yang membantuku memasukkan barang.

“Rental?” Wajah Mang Ujang terlihat bingung.

“Udah Mang Ujang, nggak usah diladenin. Aku mau cepet pergi dari sini!” Ucapku yang tanpa sadar mulai menitikkan air mata. Saat melihat keadaanku Mang Ujang mulai membaca situasinya. Ia pun berbalik sejenak ke arah mas adi sebelum masuk ke mobil.

Mang ujang adalah karyawan yang sudah bekerja lama pada orang tuaku. Ia tidak terima saat melihat bagaimana mereka memperlakukanku.

“Maaf ya, Mas. Ini bukan mobil rental. Mobil ini punya Mbak Saras. Saya Cuma supirnya..” 

Ucapnya menyodorkan lembaran STNK dari dompet stnk yang menyatu dengan remote mobilku. “Noh.. liat!”

“Mang Ujang! Udah!” Ucapku.

“Iya, Mbak Saras..” 

Mas Adi dan Ibu mertuaku terlihat bingung dengan apa yang terlihat di hadapanya itu.

“Sejak kapan Saras punya mobil mewah begitu?” Ucap Ibu mertuaku.

“E—enggak tahu…” Mas Adi bingung, namun aku tak peduli. Aku pun menutup pintu dan bersiap meninggalkan rumah yang pernah memberikan kenangan untukku. Tempat yang kukira merupakan rumah dimana aku dan Gilang akan hidup bahagia.

Namun saat sekali lagi aku menoleh, tiba-tiba terlihat sesuatu yang membuatku mengernyitkan dahi.

Wajah Kinanti.. aku tiba-tiba merinding menatapnya.

Wajah kinanti terlihat menghitam, dan dari balik jendela rumah terlihat bayangan samar sosok wanita yang mengenakan kebaya merah. 

Seketika aku mencium bau kemenyan yang menyengat.

Dan entah kenapa... Gilang menggenggam tanganku lebih erat dari sebelumnya.

"Bu... siapa itu?" bisiknya lirih.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kau Rebut Dia dengan Pelet, Tanpa Tahu Aku Konglomeratnya - Part 3
6
0
Part 3 - Mereka Tak Tahu Siapa Aku Saras Dewangga. Itu adalah namaku sebelum aku menjadi istri dari Adimas Wicaksana—lelaki yang dulu begitu aku percaya. Dulu... dia tampak penyayang, sederhana, dan pekerja keras. Lelaki yang membuatku begitu yakin, sampai aku rela menentang jalan yang telah disiapkan oleh keluargaku, keluarga Dewangga, pemilik salah satu dinasti bisnis paling disegani di negeri ini.Kini, aku kembali. Bersama Gilang, putra kecilku, dengan langkah pelan dan hati yang remuk. “Ibu?” panggilku pelan saat pintu rumah terbuka. Ibu langsung menyambut kami dengan hangat, namun matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan yang ia tahan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan