
Babad Topeng Ireng
Getih Puputan - Rai Lembu
Kelanjutan dari series berikut :
https://karyakarsa.com/diosetta69/babad-topeng-ireng-getih-puputan
"… Part ini menceritakan kisah Pujo yang terpaksa bertarung melawan Yono penyandang gelar Rai Lembu yang ingin membalas dendam atas kematian ayahnya Lek Giman yang dibunuh oleh ayahnya .
Sebuah pertarungan penentuan siapa yang pantas untuk menyandang gelar Putra Agung. Sebuah gelar untuk mampu melawan penyandang gelar Sang Hanoman, ayah Pujo sendiri…
Note :
Total...
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Babad Topeng Ireng
Selanjutnya
Alas Sewu Lelembut Part 3 - Pendekar Pasundan
10
15
Alas Sewa LelembutPart 3 - Pendekar PasundanSpoiler :… Tokecang, tokecang… Balagendir tosblong… Suara itu seperti mendekat menuju ke arah desa.Imah akang, bau arang…Barudak leutik.. Gosong…(Rumah abang, bau arang.. Anak kecil.. Gosong…)Mendengar suara itu sontak akupun memaksa diriku untuk terbangun dari tidur. Aku yakin memang ada yang mendekat ke desa ini.“Paklek!” aku mencoba membangunkan Paklek yang masih terlelap.Ia membuka matanya dan aku memberinya isyarat bahwa aku curiga akan sesuatu. Paklek yang cemas semenjak tadi segera mengambil tasnya dan mengikutiku menuju keluar.Tokecang… tokecang…Benar, ada sosok yang mendekat membawa obor. Ia masuk ke dalam desa sembari menari-nari mengenakan pakaian wayang orang dengan wajah yang dicat putih. Jelas dia bukan manusia biasa.Aku memperhatikan seluruh warga yang bertugas berjaga tertidur lelap. Kecurigaanku muncul bahwa ngantuknya Paklek dan warga desa adalah akibat ilmu dari sosok itu.Sambil terus menyanyi dan menari ia memasuki desa yang kini sangat hening ini. Orang itu menunjuk satu persatu rumah seolah sedang menandai dimana rumah yang ia incar.Aku dan Paklek memperhatikan dari jauh. Orang itu mengetuk salah satu pintu warga desa. ia menunggu sambil terus menari dengan asik di depan pintu rumah orang itu.Tak berapa lama, seorang anak keluar dari rumah itu dengan tatapan kosong. Degan segera ia menjambak anak itu dan menyeretnya ke jalan sembari terus menari-nari.Iapun pergi ke rumah berikutnya dan melakukan hal yang sama. anak-anak itu hanya menurut saja dengan perlakuan kasar dari orang itu. anehnya semua warga dan anggota keluarga tidak ada yang terbangun.Kamipun tidak mau menunggu lama dan menghadang makhluk itu. iapun mengernyitkan dahinya saat melihat kami. tak lama setelahnya dia menoleh ke salah satu atap rumah.“Nyai Runtak Goblok! Masih aya nu teu sare!” (Nyai Goblok! Masih ada yang belum tidur) ucap orang itu. Aku dan Paklek menoleh ke arah orang itu menoleh. Kamipun baru sadar bahwa ada sosok di atas salah satu rumah.Ada sosok perempuan berambut panjang bermata buta di sana. Ia mengenakan baju kebaya yang sudah lusuh sambil menggendong bangkai binatang seperti kucing yang berdarah-darah dan mengelus-elusnya.“Khikhikhi… mereka sudah tertidur, tapi bangun lagi.. khikhikhi. Selanjutnya urusanmu goblok!” Balas sosok itu.Kami yakin dua orang ini bukan manusia biasa. Sosok yang menari itupun melempar anak-anak itu ke pinggir dan berjalan mendekati kami.“Kang Jawir teh nggak suka ribut! Kang Jawir teh nggak suka berantem!” Ucapnya sembari tertawa.“Kalau begitu lepaskan mereka dan pergi jauh dari sini!” Ucapku.“Hihihihi…” Kang Jawir malah tertawa seolah sedang bercanda.“Mereka sudah dipilih, Kang Jawir teh cuma ngejemput, hihihi,” Paklek menepuk bahuku. Sepertinya Paklek mencoba memperingatkanku.“Mereka kuat, Paklek sama sekali tidak tahu ilmu apa yang mereka gunakan,” ucap Paklek.Ucapan Paklek benar. Walau terlihat seperti orang tidak waras, Kang Jawir dan Nyai Runtak menyembunyikan ilmu yang tidak kami ketahui. “Kami tidak mungkin membiarkan kalian membawa anak-anak itu,” ucapku. “Hihihi, maneh teh saha? Sugik bae teu wani ngatur aing,” (Kamu itu siapa? Sugik saja tidak berani ngatur saya) Ia tertawa tapi setelahnya matanya berubah menjadi ancaman. Kali ini aku merasa dalam bahaya. Akupun menarik Keris Ragasukma dari sukmaku dan bersiap menghadapinya. Tapi saat aku hendak menariknya dari warangkanya. Tiba-tiba tangan Kang Jawir sudah menahan tanganku hingga tak mampu mencabut keris itu. “Jangan buru-buru,” ledeknya. Paklek yang melihat hal itu juga mencabut keris sukma geninya dan menyerangnya untuk mengusirnya dari dekatku. Dengan sigap Kang jawir melompat ke belakang sembali kembali menari. “Hiji.. dua.. tilu… Jurig didinya, jurig didieu,” Kang jawir mengucapkan kalimat itu sembari menatap tajam ke arah kami. Aku merasakan firasat buruk dari apa yang ia ucapkan. Iapun melompat sembari mengulang-ulang kalimat itu. dan tepat saat kakinya menyentuh tanah kami tercengang dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba di seluruh desa muncul berbagai macam sosok yang sudah mengincar kami. Aku menelan ludah saat melihat kumpulan pocong bergelimpangan di atap-atap rumah. Roh manusia yang mati dengan tidak sempurna memandangi kami dengan wajahnya yang rusak dari sudut-sudut jalan. hingga tubuh tanpa kepala yang berjalan mendekati kami.…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan