
MARRIAGE IS BUSINESS. BUSINESS IS MARRIAGE.
Setahun yang lalu, dua perusahaan jamu yang sama-sama mengalami kesulitan finansial memutuskan untuk merger. Papa Diva bersedia menyatukan perusahaan mereka dengan satu syarat: putrinya akan menikahi Karma, anak laki-laki satu-satunya keluarga Samaratungga.
山无陵,[Ketika semua bukit menjadi datar]
Pernikahan—apalagi yang tanpa cinta—adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Selain itu, Diva juga nggak punya alasan untuk menyukai tunangannya, yang...
—
Hellaw, sayang-sayangnya Bangse!
Akhirnya setelah lama menghilang, Bangse nongol lagi dengan novel baru di Karyakarsa. Sekadar curcol, novel ini sempat nggak jadi dibuat karena awalnya Bangse cuman kepengen menulis novel yang terinspirasi dari jeruk. Pantes aja nulisnya tersendat-sendat, inspirasinya aja gitu ya wkwkwkwk!
Dan seperti jeruk (teteup), Bangse mempersembahkan MANDARIN, novel romantis yang asam manis. Kalian juga bisa menebak tema besarnya berdasarkan blurb: ini novel pernikahan. Lagi. Kalo dihitung-hitung, berarti ini novel ketiga yang bertema itu. Perasaan Bangse selama menulis? I love it so much! Riset tentang perusahaan jamu akhirnya kepake juga (udah ada dari kapan tahun, tapi nggak ada cerita yang cocok). Beberapa situasi di novel ini juga terinspirasi dari kejadian nyata di perusahaan jamu. Can you guess which ones? *tersenyum sok misterius*
Terus apa lagi ya? Oh iya, Bangse juga dengan bangga ngenalin kalian semua sama Karma dan Diva. Berbeda dengan novel-novel sebelumnya yang biasanya berat di tokoh cowoknya, kali ini cinta Bangse terbagi dua dengan Diva juga. She’s my personal favorite—plus rambut Velma-nya adalah ide yang muncul mendadak saat menulis novel ini.
Semoga suka ya.
Dan jangan pikir, hanya karena kalian bacanya online, Bangse bakalan lupa ngucapin: SELAMAT JATUH CINTA.
Mwa mwa,
CHRISTIAN SIMAMORA
—
satu
SALAM SAYANG DARI TUNANGANMU YANG GANTENG.
—
“Hi, you don’t know me, but we’re gonna be married.”
[The Suite Life Of Zack and Cody (2005)]
—
[TRANSKRIP PESAN SUARA DAN TEKS KARMA DAN DIVA]
JUMAT, 29 JULI 2022
Godiva Wisnuwardhana:
[2 pesan suara]
“*kresek, kresek*
What. The. Fuck. WHATTHEFUCKWHATTHEFUCKWHATTHEFUCKKKKKK?!
Aku kira hari ini bakalan kayak yang tercatat di jadwal: aku dan papamu ketemu sama kamu dan papamu di kantor kalian, ngebahas tentang rencana merger kedua perusahan kita. Aku juga nggak curiga waktu papaku ngajak aku ikut ke Jakarta, karena aku pikir kita mungkin bakalan ngebahas poin-poin penting menyangkut merger untuk terakhir kalinya—you know, macam finansial, timeline pengumuman merger, dan tetek bengek legalitas yang harus kita bereskan bersama. Itu sebabnya aku bawa dua tas hari ini karena aku nggak pengen ada satu pun yang tertinggal di Surabaya. Aku juga nyiapin segala sesuatu jauh-jauh hari, nge-print semua materi dan, yeah, aku bikin presentasi PowerPoint juga. Just because.
Jadi bayangin betapa kagetnya—NO, KAGETNYA PAKE HURUF KAPITAL—aku baca ulang kontrak, aku nemu poin mencurigakan di dalamnya: bahwa aku dan kamu—YES, US—harus menikah sebagai tanda kesepakatan merger ini. Dan tahu nggak bagian lucunya lagi, saat menanyakan ini, aku sengaja mengedarkan pandangan ke semua orang yang ada di ruang rapat; papaku, papamu, kamu, dan pengacara kalian yang seumur-umur baru sekarang aku lihat batang hidungnya. And guess what, nggak satu pun dari kalian yang kaget dengan poin kontrak ini. Yang artinya semuanya tahu kecuali aku, Kar! KECUALI AKU! WHAT THE FUCKKKK?!
Lemme drink my kombucha, because I’m fucking need it.
*kresek, kresek*
Oke. Sekarang aku siap buat marah-marah lagi. WHAT THE FUCK?!
Terhitung sejak kita ketemu buat ngomongin rencana merger ini—I dunno, enam, tujuh kali?—nggak sekali pun aku pernah mendengar tentang rencana pernikahan ini. NEVER! Dan oh, satu lagi, kamu dan aku kan nggak dekat-dekat amat. No, lemme rephrase that. We’re basically strangers. Cuman kenal nama dan muka. And maybe, social media account. No, scratch that. Aku nggak pernah follow kamu di Instagram. Alasan kenapa sampe sekarang IG-ku nggak dibikin public dan cuman nge-follow akun-akun tertentu aja karena aku menyukai privasiku. Dan nggak heran follower-ku nggak nambah-nambah, cuman 102—no, 98 malah, berdasarkan yang aku lihat dari laptopku sekarang—kebalikan dari kamu yang... lemme check... omaigat, 112 ribu?! Gila, yang follow akun Instagram Wisnuwardhana Herbal aja nggak nyampe seperdelapannya. Orang semua tuh???
Wait. Kita ngomongin apa tadi? Oh iya. Kamu dan aku orang asing. That’s right. Nggak hanya itu, saat ketemu pun kita paling cuman say hi dan basa-basi doang. Nggak lebih. Dan meskipun aku nyimpen nomormu di handphone—thanks to kartu nama yang kamu kasih di pertemuan pertama kita kapan tahun itu—baru sekali ini aku nge-WhatsApp kamu. So yeah. That quite explains how close we are. Sama, oh ya, satu lagi, setahuku kamu juga udah punya pacar. Not that I care or specifically ask about that, tapi pernah ada yang bilang kalo kamu udah punya anji—sori, udah ada yang punya. So basically, there’s no way this marriage should ever happen.
But this is when the situation is going from bad to worse. Kamu, papamu, dan pengacaramu—siapa namanya? Aku lupa—malah kompakan ngelirik papaku. Awalnya aku nggak ngerti, tapi kemudian papaku buka mulut dan... WHAT THE FUCK PART DUA: TERNYATA PAPAKU YANG NGUSULIN PERNIKAHAN INI?!
Just so you know, ada beberapa momen memalukan yang nggak akan pernah aku lupain. Satu, waktu aku ikut drama Natal pas sekolah minggu dulu. Bukan pemeran utama, of course. Cuman salah satu gembala yang datang menyaksikan kelahiran Yesus. Aku juga dikasih satu line: “Kalau begitu, marilah kita pergi ke Betlehem, melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Yang kuhafal setengah mati sampe bernapas pun aku bisa mengucapkannya dengan lancar. Tapiiii... saat tiba naik ke panggung, aku tersandung jubah gembala lain yang berjalan lebih dulu. Aku nggak jatuh—thank God—karena keburu ditangkap teman yang kebetulan berada di sampingku. Tapi momen itu benar-benar mengejutkan, bahkan ketika giliranku mengucapkan line itu, aku cuman bisa bengong dan menatap ke arang bangku penonton. And my disappointed parents, for sure.
Sedangkan pengalaman kali kedua terjadinya waktu SMA. Ada cowok yang aku taksir sejak kelas 10, namanya Topan Sitorus. Sebulan setelah naik kelas 11, Topan ngajak aku ngobrol empat mata di taman belakang sekolah, yang by the way terkenal sebagai tempat nembak dan pacaran. Segala skenario romantis manga Jepang berlompatan di kepala, yang bikin mukaku panas dan jantungku berdebar-debar menggila. Sesampainya di taman, Topan membuka mulutnya. Tapi aku, si bodoh, memutuskan untuk ngomong duluan dan bilang “Iya” dengan muka tersipu-sipu babi. Seperti yang bisa ditebak, Topan balik bertanya dengan kering berkerut, “Apanya yang iya?” Dan kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Surat cinta. Hooo, is that for me? Nope. Ternyata dia ngajak ketemuan buat jadiin aku kurir surat cintanya. Topan pengen aku nerusin ke teman sebangkuku yang saking cantiknya bikin dia terlalu malu dan deg-degan untuk ngasihin suratnya langsung ke orangnya.
Back to that meeting. Yes, seratus kalo kamu bisa nebak, dengan cepat kejadian tadi melesat naik di daftar pengalaman hidupku yang supermalu-maluin. Aku stuck duduk di kursi rapat, harus mendengarkan monolog Papa—darah dagingku sendiri—menjelaskan alasannya meminta poin itu harus ditambahkan ke kontrak. Simply karena aku nggak laku, nggak ada cowok yang mau. Papa kepengen aku ada yang ngurus, yang alih-alih terdengar sebagai kata-kata seorang ayah yang mencintai putri satu-satunya, malah seperti pengakuan desperate seseorang yang pengen menyingkirkan beban keluarga. Bukan itu saja, aku a.k.a. beban keluarga ini juga jadi tahu kalau Papa nggak hanya mengharapkan merger ini sebagai solusi untuk masalah perusahaan kami selama ini, dia juga memanfaatkannya untuk sekaligus memastikan aku menikah karena clearly aku mustahil bisa melakukannya dengan usahaku sendiri. Tapi saat mengalihkan pandangan ke seberang meja, aku juga menyadari kalau bukan hanya papaku saja yang terlihat menyedihkan. Papamu clearly juga segitu pengennya merger ini beneran terjadi sampai merelakan anaknya yang jelas-jelas udah punya pacar itu untuk menikah dengan cewek random dari Surabaya.”
“Sori, tadi tanganku nggak sengaja lepas pas mau minum kombucha. Sampai di mana tadi? Ah iya, tentang kita nikah. Sekadar info, aku bukannya nggak laku selama ini, lebih karena nggak pengen nikah. Dan kamu juga salah lagi kalau mengira ini ada hubungannya dengan orientasi seksual—like I’m a closet lesbian or something.
Not at all.
Aku beneran nggak pengen aja. Karena punya relationship berarti aku harus siap menyisihkan waktu untuk pasangan. Waktu yang, ngomong-ngomong, aku sendiri nggak pernah pake buat berleha-leha karena semuanya didedikasikan penuh buat fokus di perusahaan. Aku nggak tahu alasanmu kenapa kamu belum nikah sampe sekarang, tapi aku yakin kamu juga nggak pengen nikah sama aku.
Or in other words, the feeling is mutual.
Jadi setelah mendengar narasi panjang lebar kali tinggi Papa tentang betapa pernikahan ini adalah satu-satunya solusi untuk kenggaklakuanku, aku refleks melirik ke arahmu. Berharap kamu adalah satu-satunya yang berpikiran jernih di situasi ini, yang akan memberontak bareng dari perjodohan ala Siti Nurbaya yang jelas udah nggak zaman lagi. Kamu juga tahu aku bukan tipemu sama sekali, jangankan buat jadi istri, buat dilirik juga nggak. So there’s no way you’ll be okay with this shit.
Tapi apa yang aku lihat? Kamu tersenyum manis sekali, lebih manis dari pelayan Pizza Hut saat bilang, “Pilihan yang tepat sekali,” sambil mencatat pesanan. Dan seolah itu nggak cukup mengejutkan, kamu menjawab, “Aku pikir selama ini Pak Hakim sudah ngomongin ini baik-baik dengan Diva. Kalo aku sih nggak keberatan.”
What the fuck I just heard? Kalo. Aku. Sih. Nggak. Keberatan?!
Seandainya kamu bisa lihat aku sekarang, aku gemetar sebadan-badan di kamar hotel ketika harus mengulangi ucapanmu itu dengan mulutku sendiri. Sumpah, bener-bener nggak nyangka. Rasanya seperti ditinju bolak-balik sama Chris John. Aku nggak begitu ingat apa yang terjadi setelah itu, tapi yang jelas waktu itu aku merasa kalau ini adalah perangku sendiri. Tiga lawan satu—jelas nggak mungkin menang. Nggak peduli sekeras apa usahaku berdebat, membantah alasan dan semi-ancamannya papaku, aku tahu pada akhirnya aku harus mengaku kalah. Dan itu juga sebabnya kenapa pengacara kalian membuat kontrak itu, karena udah yakin banget kedua papa kita nggak akan mengoreksi apa pun lagi. Aku juga tahu, seandainya aku menolak, lalu keluar dari ruang rapat itu dengan dramatisnya, seluruh merger akan batal, banyak yang akan kehilangan pekerjaannya, dan semuanya tentu saja adalah salahku.
Jadi dengan kata lain, atau berdasarkan rangkuman dari pengacaramu, kita akan bertunangan selama satu tahun penuh, lalu menikah bulan Juli tahun depan—paling lambat sebelum hari ulang tahun perusahaan kalian. Kalau nggak, merger ini nggak akan pernah kejadian. Dan seperti Siti Nurbaya—aku nggak pernah baca, by the way, cuman pernah denger garis besar ceritanya aja dari guru Bahasa Indonesia—aku menandatangani kontrak itu. Kamu juga melakukan hal yang sama.
Fuck, kamu ngerti nggak sih konsekuensi kontrak ini? Kita beneran harus menikah, Kar. You and I. Dan itu belum termasuk kenyataan kalau aku harus pindah ke Jakarta—karena Papa bilang dalam perjalanan pulang tadi, aku harus ikut ke mana pun suami pergi. Kamu juga harus rela putus dari pacarmu—aku nggak tahu siapa tapi asumsiku pasti cantik banget. ‘Cause there’s no way I’ll let this marriage be like the plot of Gone Girl. Aku nggak sudi nikah sama suami yang diam-diam slengki sama cewek lain di luar sana. Dan seandainya pun ini beneran kayak Gone Girl, just so you know, aku nggak akan ngambil jalan yang sama kayak Amy di film itu. I won’t do the complicated work of fake murdering myself and go hide in a skeezy motel bla-bla-bla. NO! I would definitely kill you in an Criminal Minds unsub style if you ever cheated on me! Karena sejak awal kamu tahu betul seperti apa perasaanku sama pernikahan ini. Jadi kalo kamu pikir bisa enak-enakan parkir burung tanpa sepengetahuanku, aku akan jadi istri paling dajjal yang pernah kamu lihat. Karena aku benci diselingkuhi. Meskipun belum pernah ngalamin, aku nggak akan membiarkan diriku jadi korban pengkhianatan siapa pun.
Dan itu juga alasanku ngirim voice message ini. Karena aku nggak bisa menghubungi nomormu sama sekali. Jadi daripada aku uring-uringan sendiri, lebih baik aku kirim pesan kayak gini. Karena aku mau kamu pikirin baik-baik keputusan yang kamu buat hari ini. Pilih mana, hidup aman dan damai atau menikah tanpa cinta dengan cewek yang nggak bakalan kamu lirik di kehidupan nyata? Dengan cewek yang kalo boleh aku tambahan, terang-terangan bilang akan membunuhmu kalo sampai ketahuan selingkuh. You clearly don’t want that. Jadi mumpung masih ada waktu, aku pengen kamu menghadap papamu sekarang. Minta dia menghubungi pengacaranya dan mengoreksi kontrak yang kita tanda tangani bersama barusan. Dan mumpung aku dan Papa masih di Jakarta juga. Kami pulang naik pesawat jam 13.30 besok. Jadi kamu punya banyak waktu buat membujuk papamu. Jangan persulit hidupmu dengan pernikahan yang sebenernya nggak kamu inginkan ini. Pleeeeeease!”
Karmapala Samaratungga:
[2 pesan suara]
“Sebelumnya aku minta maaf. Handphone-ku mati sejak tadi malam karena lupa bawa charger dan power bank ke meeting. Aku baru ingat nge-charge tadi pagi, tepatnya setelah bangun, dan baru dengerin pesan suaramu setelah nyampe kantor. Berhubung alasan aku baru balas sudah jelas, aku cuman pengen bilang: tenaaang. Jangan dibawa serius. Aku juga sadar penuh kita nggak kenal-kenal amat satu sama lain. Tapi bukan berarti aku bakalan sependapat sama kamu. No, kamu nggak se-unappealing itu. Kamu cuman kelewat serius, yang bikin ekspresi tegang dan kerutan di dahimu terasa permanen. Dan sekali pun aku nggak pernah bilang kamu jelek. So please remind me, karena berdasarkan pesan suaramu kemarin, aku menangkap kesan kalau aku pathetic banget, mau-maunya dijodohkan sama The Beast tapi versi cewek.
Mau tahu apa pendapatku tentang kamu? Kamu adalah versi nyata karakter novel yang cute and nerdy. Matamu bulat dan berbinar di balik kacamata berbingkai bundarmu, yang dengan mudah memancarkan kecerdasan dan pesona nerd girl yang sebelas dua belas dengan... say, Velma-nya Scooby Doo. Dan sekali lagi, kayak Velma, kamu juga dianugerahi rambut sebahu dengan poni menggemaskan. Pilihan pakaianmu juga nggak selalu mengikuti tren terbaru, but it definitely looks good on you.
Selama beberapa kali ketemu kita memang jarang ngobrol, tapi kamu juga harus mengakui kalo sebagian besar penyebabnya adalah karena kamu asyik sendiri dengan bacaanmu. Aku hampir nggak pernah melihatmu tanpa buku di tangan—entah itu novel atau nonfiksi bisnis macam Exponential-nya Jeff Rosenblum. Aku juga pernah mencoba mengajakmu ngobrol. Atau lebih tepatnya, nge-joke tentang novel The Hunger Games yang kebetulan lagi kamu baca ulang. “Kayaknya cerita di buku itu bakalan tamat di bab satu seandainya semua karakter di dalamnya diajak makan sepuasnya di restoran All You Can Eat.” Aku tahu itu memang nggak lucu-lucu amat, but boy you don’t make things easier either. Tatapan tajammu waktu itu mengurungkan keinginan untuk mencoba dekat sama kamu lagi.
Tapi apa itu berarti aku setuju dengan kata-kata papamu kemarin? Nggak sama sekali.
Malah, yang ada tuh, papamu harus menyanjung-nyanjungmu dengan pujian, karena aku tahu betul apa saja yang sudah kamu lakukan untuk perusahaannya. You practicaly run the company yourself. Apa papamu bisa menjelaskan secara mendetail gimana caranya PT Wisnuwardhana Herbal bisa mendongkrak naik omzetnya tahun lalu? Berani taruhan, cuman kamu yang tahu jawabannya.
By the way, berhubung kamu sendiri bilang nggak begitu tahu apa yang terjadi setelah papamu selesai bermonolog ria, dengan senang hari akan aku ingatkan. Papamu lalu nge-joke, “Aku akuin ini salahku juga sampai mendorong putri semata wayangku ini jadi anak yang pintar. Padahal kurang banyak apa bukti di luar sana yang membuktikan kalo laki-laki lebih memilih istri yang cantik ketimbang yang pintar,” yang dilanjutkan dengan penjelasan—lengkap dengan ekspresi minta dikasihani—kenapa kemudian beliau memasukkanmu sebagai bagian dari merger. Sedangkan papaku, yang menginginkan merger ini terjadi bagaimana pun caranya, sama sekali nggak peduli dengan pendapatku tentang ini.
Padahal jujur, aku juga nggak setuju. Tapi alih-alih marah sama papaku, aku justru sangat marah ke papamu. Tega banget bilang kayak gitu tentang putrinya sendiri. Udah gitu, dia bahkan nggak merasa bersalah sama sekali udah terang-terangan mempermalukan dirimu di depan orang lain.
Tahu nggak, saking marahnya, aku sempat berpikir kamu akan menendang papamu keluar ruang rapat. Tapi ternyata kamu bukan tipe yang seperti itu. Kamu diam saja, tapi aku melihat dengan jelas perubahan di wajahmu. Pipimu merah jambu, ujung telingamu juga—but that’s it. Kamu nggak bilang apa-apa, nggak marah atau melotot atau apa pun. Alih-alih menganggapmu pengecut, aku justru kagum dengan pertahanan dirimu. You clearly are more patient than me. Yang kamu lakukan hanya menatap lurus-lurus ke arahku, seakan mentransfer segenap kemarahan yang kau rasakan, membuatku bisa merasakan dengan jelas apa yang tengah menggelegak di dalam dirimu saat itu. Dan itu juga alasanku bilang iya. Menolak berarti membenarkan papamu yang begitu yakinnya saat bilang kalo kamu nggak laku.
Saat papaku bilang—again, sambil bercanda, “Kar, sebagai tanda jadi, gimana kalo kamu berlutut di depan Diva sekarang? Lamar dia secara resmi.” Jujur, dengan senang hati akan aku lakukan seandainya nggak kalah cepat denganmu yang langsung mengambil pulpen dari tangan papamu dan bilang, “Yawdah kalo gitu. Biar aku tanda tanganin sekarang.” And just like that, tahu-tahu aja aku sudah punya tunangan.
*samar-samar mendengar suara cewek—sepertinya asisten Karma—datang dan mengatakan sesuatu tentang berkas yang harus dia periksa*
Eh, nanti kita lanjutin lagi ya, Di. Ada sesuatu yang harus aku kerjain.”
“Okay. Now... let’s talk out our engagement.
Ini jelas nggak akan seperti plot FTV yang pernah aku tonton kapan tahu gitu, tentang cowok dan cewek yang dijodohkan oleh kedua orangtua mereka, tapi diam-diam cowok itu memendam rasa ke si cewek selama ini. Hatiku nggak berdebar-debar sama sekali setiap kali memikirkanmu, juga nggak menyimpan fotomu yang aku curi dari Instagrammu—yang by the way juga mustahil terjadi secara aku bukan salah satu dari 98 orang pilihan yang kamu izinkan untuk nge-follow akunmu. Just so you know, hanya karena aku bilang kamu cute, nggak pernah sekali pun aku terpikir untuk menikah sama kamu. Atau sama siapa pun. Dan satu lagi yang harus aku koreksi: aku nggak punya pacar. Seandainya kita saling follow di Instagram, kamu bisa tahu dengan pasti kalo tiga bulan terakhir ini aku menjomblo. Nggak punya gebetan, naksir siapa pun juga nggak.
Tapi aku setuju seratus persen denganmu. Perjodohan ini benar-benar nggak masuk akal.
Jadi kenapa papaku kemudian menyetujuinya? Karena dia sendiri yang bilang, kami nggak punya bargaining power. Kamu sendiri sudah membaca laporan keuangan kami kan? Nggak ada alasanku untuk menyembunyikan ini: perusahaan kami sedang kesulitan keuangan. Omzet kami menurun terus setiap bulannya, tapi nggak sepenuhnya karena pandemi dan resesi setelahnya seperti yang kamu bilang tentang perusahaanmu saat presentasi dulu itu.
Saatnya buka-bukaan: perusahaan kami kesulitan keuangan sejak kehilangan hak produksi larutan penyegar kami. Aku sendiri bahkan baru tahu kalau merek dagang dan formula produk itu ternyata dilisensi dari sebuah perusahaan obat-obatan di Cina. Mendiang kakekku menandatangani kontrak lisensi selama 25 tahun yang berakhir tahun 2020 lalu, tepatnya tiga bulan setelah pemerintah mengumumkan pandemi Covid-19. Berhubung nggak ada satu orang pun yang ngantor ketika itu, termasuk papaku, perusahaan kami pun terlambat menyadari tentang kontrak itu. Tapi sebelum kami melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan, perusahaan Cina itu ternyata diam-diam menghubungi perusahaan saingan dan membuat kesepakatan baru dengan mereka. The damage was already done, kami kehilangan lini produk nomor satu di perusahaan kami. Itu jugalah sebabnya, setelah pemerintah mengizinkan perusahaan untuk beroperasi lagi, hal pertama yang aku lakukan adalah mencari CFO baru. Aku butuh seseorang yang bisa diandalkan untuk memastikan kondisi finansial perusahaan kami nggak terjun bebas—juga meminimalisir kemungkinan blunder seperti kasus lisensi larutan penyegar itu nggak terulang lagi ke depannya.
One thing for sure, kami lebih membutuhkan merger ini daripada kalian. Merger ini adalah kesempatan untuk membalikkan keadaan—dan aku berani sumpah sama kamu, aku pasti akan membalikkan keadaan. Bahkan kalo itu termasuk harus menandatangani perjanjian pertunangan, aku akan melakukannya tanpa pikir dua kali. Kebahagiaanku jelas nggak ada apa-apanya dibanding kebangkrutan perusahaan, yang berarti semua orang akan kehilangan pekerjaan.
Dan berdasarkan isi kontrak yang kita tanda tangani bersama kemarin, aku cuman punya waktu setahun untuk menyelamatkan perusahaan ini.
I know this may sounds overoptimistic, but I promise you I will do everything in my power to cancel the merger. Bukan karena aku nggak percaya pada perusahaan kalian, tapi lebih karena poin pernikahan itu. Seperti kamu, aku juga nggak menginginkannya. Dan bukan itu saja, aku akan mencari tahu sendiri—diam-diam tentunya—apakah ada loophole yang bisa dimanfaatkan untuk lepas dari tanggung jawab menikahi kamu. Satu hal lagi yang perlu kamu tahu, pengacara yang ditunjuk papaku namanya Andalas Samarinda. Dan aku cukup kenal beliau hingga bisa mengatakan ini: he’s too drunk to be a descent lawyer. Terlalu sering aku melihat beliau dan papaku nongkrong bareng sampai malam, dan pulang-pulang dalam keadaan mabuk berat. Jadi aku punya waktu setahun untuk memeriksa kontrak itu, dan seandainya tak mungkin pun, aku akan berusaha membujuk Papa supaya membatalkan rencana pernikahan kita.
Jadi nggak usah khawatir ya, Lady. Semuanya akan baik-baik saja.
Dan sementara aku berusaha dari sini, kamu bisa pura-pura senang dengan status barumu. C’mon, aku kan nggak jelek-jelek amat, minimal cukup bisa dibanggakan buat jaga sepatu pas arisan. Aku juga bilang gini bukan karena aku kelewat narsis. The proof is in the pudding, orang-orang yang follow dan rajin follow di postinganku selama ini, melakukannya bukan karena aku intelek atau seseorang yang bisa dijadikan role model. It’s simply because I’m good looking—sesuatu yang kamu sendiri juga tahu.
Dan terakhir, aku mau ngomentarin tentang pesan suaramu yang terakhir. Not my original thought but from my new CFO. Dia nggak sengaja denger pas masuk kantorku tadi. Dia bilangnya begini, “Titip bilang sama tunanganmu dong, aku nggak tahu unsub-nya Criminal Minds itu kayak apa, tapi asumsiku pasti ngelakuin sesuatu yang sadis dan berdarah-darah. Jadi seandainya kamu sampai kenapa-napa, pesan tadi bisa dipakai polisi sebagai dasar untuk menuduhnya sebagai pelaku.” Oh ya, satu lagi, saranku: kamu juga jangan kebanyakan minum kombucha. Aku pernah denger dari temenku yang suka minum begituan; katanya, meskipun nggak mengandung alkohol, ada kandungan yang bikin kamu nge-buzz kayak kelakuan orang lagi mabuk.
Udah, gitu aja. Talk to you soon, Lady. Selamat-selamat sampai Surabayanya.
Salam sayang dari tunanganmu yang ganteng, hehehehehe!”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
