BERITA DARI LANGIT

0
0
Deskripsi

Bab 1 "Berita dari Langit" membuka kisah dengan serangkaian kecelakaan pesawat yang misterius, memicu penyelidikan oleh Fahri, seorang jurnalis rasional yang skeptis terhadap teori konspirasi. Rekannya, Andaryono, percaya ada fenomena besar di balik peristiwa ini, terutama dengan meningkatnya aktivitas seismik dan atmosfer yang tak biasa.

Fahri mulai menggali lebih dalam, mewawancarai para ahli dari BRIN dan LAPAN, yang mengungkap kemungkinan keterkaitan dengan Komet 12P/Pons-Brooks dan gangguan...

H-7 | Kantor BeritaRaya.id – 10:15 WIB

Untuk ketiga kalinya dalam dua minggu, sebuah pesawat jatuh dari langit.

Fahri menatap layar laptopnya dengan sorot mata lelah. Jemarinya terus mengetik, merangkai berita terbaru tentang tragedi pagi ini.

“Pesawat komersial dengan 150 penumpang jatuh di perairan dekat Kepulauan Seribu. Tim SAR masih melakukan pencarian korban, sementara penyebab kecelakaan masih dalam penyelidikan. Dugaan awal mengarah pada gangguan sistem navigasi.”

Fahri menghela napas. Ini bukan pertama kalinya ia meliput kecelakaan pesawat. Tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa janggal.

Di meja sebelahnya, Andaryono bersandar santai di kursinya, satu tangan menggulir layar ponselnya, yang lain menggenggam cangkir kopi.

"Lo nggak ngerasa ini aneh, Ri?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.

Fahri menoleh sebentar sebelum kembali mengetik. “Aneh gimana?”

“Tiga pesawat jatuh dalam waktu berdekatan. Gua baca di beberapa forum konspirasi, ada yang bilang ini bukan sekadar kesalahan teknis. Bisa jadi ada gangguan elektromagnetik dari luar angkasa.”

Fahri mendengus kecil. “Dary, lo keseringan baca teori konspirasi. Bisa aja cuaca ekstrem, human error, atau murni masalah teknis. Nggak semua kejadian harus ada teori aneh di belakangnya.”

Andaryono tertawa pendek, lalu meletakkan ponselnya di meja. “Justru karena lo terlalu rasional, banyak hal yang nggak lo sadari. Coba pikir, bukan cuma pesawat yang kena. Aktivitas seismik juga naik drastis. Gempa di Turki minggu lalu, letusan Gunung Etna di Italia, sekarang gunung-gunung di Indonesia mulai aktif lagi. Ini bukan kebetulan.”

Fahri berhenti mengetik, menatap sahabatnya itu dengan skeptis. “Dan lo yakin ini semua pertanda dari langit?”

Andaryono menyesap kopinya, lalu menatap Fahri dengan pandangan serius. “Banyak yang percaya, Ri. Nabi udah ngomong soal tanda-tanda akhir zaman. Tapi gua juga baca dari sumber lain—ada yang bilang ini bagian dari siklus besar peradaban. Yang jelas, dunia ini lagi nggak baik-baik aja.”

Sebelum Fahri sempat membalas, suara berat Hendriko, pemimpin redaksi mereka, terdengar dari arah ruangannya.

“Fahri! Andaryono! Ke ruangan gue sekarang!”

Mereka saling berpandangan. Tak ada yang bicara, tapi mereka tahu: ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Di meja, sisa kopi mereka mulai dingin, sama seperti perasaan tidak nyaman yang mulai merayapi pikiran Fahri

H-7 | Ruang Redaksi BeritaRaya.id – 10:30 WIB

Hendriko menatap dua jurnalis di hadapannya dengan ekspresi serius. Tangannya mengetuk meja kayu dengan ritme pelan, tanda pikirannya tengah bekerja. Matanya terlihat lelah, tapi sorotannya tajam.

“Dengar baik-baik,” katanya akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Gue mau liputan mendalam soal kecelakaan ini. Tiga pesawat jatuh dalam dua minggu? Ini bukan sesuatu yang bisa kita abaikan.”

Fahri mengangguk. “Maksudnya investigasi lebih dalam, Bang? Ke pihak maskapai, KNKT, atau gimana?”

“Bukan cuma itu.” Hendriko menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu melipat tangannya di dada. “Gue mau lo cari pola. Kita butuh angle yang bikin pembaca terpaku, sesuatu yang bikin mereka penasaran. Apakah ini kesalahan teknis? Atau ada faktor cuaca ekstrem? Bahkan kalau perlu, cari kemungkinan sabotase.”

Fahri sedikit mengernyit. “Sabotase?”

Hendriko menarik napas. “Ada info yang masuk ke gue… seseorang bilang ini lebih dari sekadar kecelakaan biasa. Tapi dia nggak bisa ngomong banyak di telepon.”

Andaryono yang sejak tadi duduk bersandar dengan santai akhirnya angkat bicara. “Bang, kalau boleh saran, gimana kalau kita ambil sudut pandang lebih luas? Gua baca di beberapa jurnal dan forum, ada kemungkinan gangguan elektromagnetik dari luar angkasa yang bisa memengaruhi sistem navigasi pesawat.”

Hendriko menoleh dengan tatapan malas. “Gangguan elektromagnetik? Dari mana lo dapet teori begitu?”

Andaryono tersenyum tipis. “LAPAN beberapa waktu lalu pernah ngebahas soal aktivitas matahari yang meningkat. Radiasi matahari yang kuat bisa ganggu komunikasi satelit dan navigasi. Apalagi kalau ada benda langit yang lewat dalam jarak dekat, bisa aja ada efek lain yang belum kita sadari.”

Hendriko mengangkat alis, lalu menggelengkan kepala. “Menarik, tapi terlalu berat buat pembaca kita. Kita bukan media sains atau konspirasi. Pembaca maunya yang simpel dan langsung ke inti masalah. Gue nggak mau ada teori aneh-aneh yang bikin kita kehilangan kredibilitas.”

Andaryono mengangkat bahu. “Padahal kalau kita gali lebih dalam, ini bisa jadi liputan besar.”

“Terserah.” Hendriko melambaikan tangan. “Fahri, lo yang gue tunjuk buat liputan ini. Mulai dengan wawancara pihak BMKG dan LAPAN. Gue mau ada kejelasan soal cuaca dan fenomena atmosfer yang mungkin berpengaruh.”

Fahri mencatat cepat di buku kecilnya. “Siap, Bang. Target deadline?”

“Gue kasih lo dua hari. Gue mau artikel ini tayang sebelum makin banyak media lain yang bahas.”

Fahri mengangguk mantap. Tapi sebelum mereka berdiri, Hendriko menambahkan dengan nada yang lebih serius.

“Oh, satu lagi. Hati-hati dalam gali info ini. Gue nggak tahu siapa sumber yang ngasih info ke gue tadi, tapi dia terdengar takut. Ini bisa lebih besar dari yang kita kira.”

Sejenak, ruangan terasa sunyi. Andaryono yang biasanya santai pun terdiam.

Fahri merasakan bulu kuduknya sedikit berdiri. “Maksudnya… ada yang nggak mau ini dibahas?”

Hendriko tidak menjawab langsung. Ia hanya memijit pelipisnya sebelum akhirnya berkata, “Gue cuma bilang… hati-hati.”

Fahri dan Andaryono saling berpandangan sebelum bangkit dari kursi. Saat mereka keluar dari ruangan, Andaryono menepuk bahu Fahri sambil terkekeh, meskipun tawanya terdengar agak dipaksakan.

“Jurnalis sains yang gagal. Kayaknya lo harus wawancara BMKG tanpa gua.”

Fahri tertawa kecil, mencoba mengusir perasaan aneh yang mulai merayap. “Bukan gagal, cuma belum waktunya.”

Mereka kembali ke meja kerja, sementara di luar sana, langit Jakarta masih terlihat mendung.

H-7 | Rumah Fahri – 21:00 WIB

Fahri melemparkan tas kerjanya ke sofa dan menghela napas panjang. Hari yang panjang, penuh dengan berita buruk dan spekulasi. Kopi dingin yang masih tersisa di termosnya menjadi saksi betapa sibuknya ia sejak pagi.

Dari dapur, Dewi muncul membawa dua cangkir teh hangat. “Capek banget, ya?” katanya sambil duduk di seberang suaminya.

Fahri mengangguk, menerima cangkirnya. “Tiga pesawat jatuh dalam dua minggu. Gue disuruh liputan mendalam soal ini.”

Dewi mengaduk tehnya perlahan, tapi matanya tidak lepas dari Fahri. “Menurut kamu ini kebetulan?”

Fahri mengangkat bahu, mengembuskan napas berat. “Mungkin. Mungkin juga ada faktor cuaca, kesalahan teknis, atau faktor lain yang belum kita tahu.”

Dari televisi yang menyala di sudut ruangan, suara pembawa berita terdengar samar. “BMKG masih menyelidiki anomali atmosfer yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Sementara itu, para ahli memperingatkan adanya peningkatan aktivitas elektromagnetik di…”

Dewi melirik layar, lalu menatap Fahri lagi dengan sorot mata lebih tajam. “Aku merasa ini lebih dari sekadar kebetulan, Mas. Ini bisa jadi peringatan dari Allah.”

Fahri menoleh dengan ekspresi skeptis. “Peringatan?”

Dewi mengangguk. “Bencana alam makin sering terjadi. Gempa, letusan gunung, cuaca makin ekstrem. Dan sekarang kecelakaan pesawat beruntun. Aku nggak bisa nggak mikir kalau ini semua ada hubungannya.”

Fahri menghela napas, mencoba menahan keinginan untuk berdebat. “Dew, dunia ini memang penuh ketidakpastian. Ada hal-hal yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Alam punya polanya sendiri. Kita nggak bisa langsung bilang ini pertanda akhir zaman.”

Dewi menatap suaminya lebih lama kali ini, suaranya lebih pelan. “Tadi sore aku dengar cerita dari Bu Rahma. Dia bilang anaknya mimpi aneh—tentang langit yang gelap tiba-tiba, suara gemuruh tanpa petir, dan udara yang tiba-tiba jadi berat. Aku tahu itu cuma mimpi anak kecil… tapi kenapa rasanya semua ini nggak biasa?”

Fahri terdiam sejenak. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. Ia ingin menolak argumen Dewi, ingin menertawakan cerita itu, tapi sesuatu dalam dirinya ragu.

Dari luar, terdengar suara angin bertiup lebih kencang. Lampu di ruang tamu berkedip sesaat sebelum kembali normal. Dewi meremas cangkirnya erat.

“Aku cuma takut… kalau kita terlalu sibuk cari jawaban ilmiah, kita malah nggak siap kalau ini benar-benar peringatan dari Allah,” bisiknya.

Fahri menyesap tehnya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Aku ngerti maksud kamu. Tapi aku belum bisa percaya kalau ini tanda-tanda besar. Aku harus cari tahu dulu.”

Dewi tersenyum tipis, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Aku cuma berharap kamu nggak terlambat menyadarinya, Mas.”

Malam itu, meski mereka masih duduk di ruangan yang sama, ada jarak yang terasa di antara mereka. Dan di luar sana, angin berhembus semakin kencang, seolah membawa sesuatu yang belum mereka pahami.

H-6 | Kantor BRIN – 09:45 WIB

Fahri duduk di ruang wawancara kecil di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berhadapan dengan Dr. Satria Pranoto, seorang pakar atmosfer dan geofisika. Pria paruh baya itu tampak lelah, mungkin karena rentetan pertanyaan serupa dari berbagai media dalam beberapa hari terakhir.

Di luar jendela, langit tampak lebih kelabu dari biasanya, seolah ada sesuatu di udara yang sulit dijelaskan.

“Kami memang mencatat peningkatan aktivitas seismik dan beberapa anomali atmosfer dalam beberapa bulan terakhir,” ujar Dr. Satria sambil membetulkan kacamatanya. “Namun, sejauh ini, data masih menunjukkan semuanya dalam batas normal. Tidak ada indikasi bahwa fenomena ini saling berkaitan.”

Fahri mengangguk sambil mencatat di buku kecilnya. “Tapi, tiga kecelakaan pesawat dalam dua minggu, gempa di beberapa negara, dan cuaca ekstrem yang makin sering terjadi… Bukankah itu terlalu sering untuk disebut kebetulan?”

Dr. Satria tersenyum tipis, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang tidak sepenuhnya yakin. “Saya mengerti keprihatinan Anda. Namun, kita harus tetap berpegang pada data. Pesawat jatuh bisa disebabkan banyak faktor—kesalahan teknis, human error, atau kondisi cuaca buruk. Sedangkan peningkatan aktivitas seismik memang siklus alami bumi.”

Fahri menatapnya dengan sedikit ragu. Ada jeda sejenak sebelum ia kembali bertanya, “Jadi, Anda yakin ini bukan sesuatu yang lebih besar?”

Dr. Satria menghela napas panjang. “Saya tidak bisa bilang pasti. Ilmu pengetahuan selalu berkembang. Tapi sejauh ini, belum ada bukti kuat yang mengarah ke sesuatu di luar batas wajar.”

Namun, di balik kata-katanya yang terdengar rasional, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme gelisah. Sesuatu dalam bahasa tubuhnya memberi kesan bahwa ia menyembunyikan sesuatu—atau mungkin, ia sendiri mulai meragukan keyakinannya.

Sebelum Fahri sempat bertanya lebih lanjut, ponselnya bergetar di atas meja.

Layar menyala, menampilkan pesan dari Andaryono:

“Ri, gua nemu sesuatu. Ini lebih besar dari yang lo pikir. Lo harus dengerin ini. Call me ASAP.”

Fahri menatap pesan itu sesaat, lalu melirik kembali ke arah Dr. Satria. Ada dorongan untuk menggali lebih dalam—tetapi ia juga harus segera mencari tahu apa yang ditemukan Andaryono.

Di luar ruangan, angin berembus lebih kencang, membuat ranting pohon di luar jendela bergesekan seperti bisikan samar.

Fahri keluar dari gedung BRIN dengan langkah cepat, mengabaikan dinginnya angin malam yang terasa lebih menusuk dari biasanya. Tangannya langsung merogoh ponsel dan menekan nomor Andaryono.

Nada sambung hanya terdengar sekali sebelum suara tergesa-gesa menyambutnya.

“Lo di mana sekarang?” suara Andaryono terdengar tegang.

“Baru selesai wawancara di BRIN. Ada apa sih? Kenapa lo kayak orang dikejar setan?”

Ada jeda sesaat. Lalu, suara napas berat terdengar dari seberang. “Ri, ini serius. Gue dapet rekaman dari sumber internal. Lo harus denger sendiri.”

Fahri merapatkan jaketnya, firasatnya mulai tidak enak. “Rekaman apa?”

“Percakapan antara beberapa ilmuwan senior. Mereka bicara soal anomali yang nggak masuk akal.”

Jantung Fahri berdegup lebih cepat. “Maksud lo? Kayak apa?”

“Ada pola gelombang elektromagnetik aneh di atmosfer. Bukan dari satelit, bukan dari badai matahari. Nggak ada sumber yang jelas. Seolah-olah ada sesuatu yang ‘bangun’ di atmosfer kita.”

Angin bertiup lebih kencang, membuat beberapa daun kering melayang di trotoar.

“Ini masih bisa dijelasin secara ilmiah, kan?” tanya Fahri, setengah berharap jawaban yang meyakinkan.

Tapi suara Andaryono justru merendah. “Itu dia, Ri. Salah satu ilmuwan di rekaman itu bilang… ‘kalau ini bukan dari Bumi, kita punya masalah yang lebih besar dari sekadar fenomena atmosfer biasa’.”

Fahri berhenti melangkah. Darahnya terasa berdesir dingin.

“Lo di mana sekarang?” tanyanya pelan.

“Gue di apartemen. Datang sekarang. Lo harus denger rekamannya langsung.”

Fahri menatap langit Jakarta yang kini dipenuhi mendung tebal. Sesuatu di dalam dirinya tahu—jawaban dari semua ini bisa mengubah segalanya.

Tanpa pikir panjang, ia menyetop taksi pertama yang lewat. Ia harus bertemu Andaryono. Sekarang.

H-6 | Kantor LAPAN – 14:20 WIB

Setelah meninggalkan BRIN, Fahri langsung menuju kantor Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Ia sudah membuat janji dengan Dr. Reza Alamsyah, seorang ahli astronomi yang dikenal memiliki pemahaman luas tentang fenomena luar angkasa.

Di dalam ruangannya yang dipenuhi poster galaksi, model tata surya, dan tumpukan jurnal penelitian, Dr. Reza tampak sibuk di depan layar komputer, memperhatikan grafik kompleks yang menunjukkan pergerakan benda langit. Cahaya monitor memantulkan bayangan samar di wajahnya yang serius.

“Saya sudah membaca berita yang Anda tulis,” ujar Dr. Reza sambil menyilangkan tangan. “Dan saya paham kenapa Anda tertarik menghubungi kami.”

Fahri membuka buku catatannya. “Beberapa ahli berpendapat bahwa cuaca ekstrem dan gangguan elektromagnetik bisa saja dipengaruhi oleh aktivitas matahari atau bahkan benda langit tertentu. Apa ada kemungkinan seperti itu?”

Dr. Reza mengangguk, lalu bersandar di kursinya. “Tentu saja. Aktivitas matahari memang berfluktuasi, dan badai matahari bisa berdampak pada komunikasi satelit serta sistem kelistrikan di bumi. Namun, yang menarik perhatian kami justru sesuatu yang lain.”

Fahri mencondongkan tubuhnya. “Maksud Anda?”

Dr. Reza mengetik sesuatu di komputernya, lalu memutar layar ke arah Fahri.

Di layar, sebuah diagram menunjukkan lintasan benda langit—dengan satu objek yang ditandai merah bergerak semakin dekat ke orbit Bumi.

“Ini data pergerakan benda langit yang kami pantau. Salah satunya adalah Komet 12P/Pons-Brooks, yang dikenal sebagai ‘Komet Iblis’. Komet ini sedang dalam perjalanan mendekati orbit bumi.”

Fahri mengernyit. “Dan itu berbahaya?”

Dr. Reza menggeleng, tetapi ada sedikit keraguan di wajahnya. “Tidak secara langsung. Komet ini tidak akan menabrak bumi. Tapi… ia memiliki ekor panjang yang mengandung gas dan debu yang bisa mempengaruhi atmosfer jika cukup dekat. Selain itu, ada kemungkinan interaksi elektromagnetik yang bisa mempengaruhi sistem teknologi kita.”

Fahri mencatat dengan cepat. “Jadi, bisa jadi ini penyebab anomali yang kita alami?”

Dr. Reza menghela napas. “Kami belum bisa memastikan. Data masih kami kumpulkan. Tapi, ada satu hal yang aneh.”

Fahri menatapnya. “Apa itu?”

Dr. Reza mengetik lagi, lalu menunjuk grafik lain di layar. “Biasanya, interaksi medan magnet Bumi dan partikel dari komet bisa diprediksi berdasarkan perhitungan fisika biasa. Tapi kali ini… ada pola yang tidak seharusnya ada.”

Fahri mengerutkan kening. “Maksud Anda?”

Dr. Reza menatapnya tajam. “Seolah-olah ada ‘sesuatu’ di luar sana yang ikut memengaruhi pergerakan partikel ini. Sesuatu yang belum bisa kami identifikasi.”

Sebelum Fahri bisa merespons, ponselnya kembali bergetar.

Layar menyala, menampilkan pesan dari Andaryono:

“Lo harus ke BMKG. Ada sesuatu yang lebih aneh lagi.”

Fahri merasakan bulu kuduknya sedikit meremang. Angin dingin merambat melalui celah jendela, seakan memberi isyarat samar.

Sesuatu sedang terjadi. Dan ia semakin yakin ini bukan sekadar rangkaian kebetulan.

H-5 | Kantor BeritaRaya.id – 11:30 WIB

Di dalam ruang redaksi yang riuh dengan suara ketikan keyboard dan telepon berdering, Fahri duduk di mejanya, menatap layar laptop dengan alis berkerut. Draft artikel yang ia susun berdasarkan wawancara dengan LAPAN dan BRIN masih terpampang di layar. Artikel itu menguraikan secara objektif tentang anomali atmosfer, peningkatan aktivitas seismik, serta kemungkinan pengaruh dari Komet 12P/Pons-Brooks.

Namun, saat ia mengklik laman utama BeritaRaya.id, sebuah headline besar justru terpampang di sana:

“Fenomena Langit Misterius! Tanda Akhir Zaman atau Bencana Besar?”

Fahri menghela napas. Judul itu jelas bukan miliknya. Ia melirik ke ruang pemimpin redaksi dan mendapati Hendriko berdiri di ambang pintu, tersenyum penuh kemenangan.

Tak lama kemudian, suara Hendriko menggema di ruangan.

“Fahri! Ke sini sebentar!”

Dengan langkah enggan, Fahri masuk ke ruangan pemimpin redaksi itu. Di dalam, Hendriko sudah bersandar santai di kursinya, sebatang rokok terselip di jarinya.

"Lo liat judul berita kita hari ini?" tanyanya sambil terkekeh.

Fahri mengangguk. “Tapi itu bukan sudut pandang yang saya tulis.”

Hendriko mengangkat bahu. “Ini bisnis, Ri. Lo tahu kan, berita yang bombastis bakal lebih laku? Pembaca suka yang sensasional. Mau jujur-jujuran doang, media kita bakal tenggelam.”

Fahri merasakan ketidaknyamanan merayap di dadanya. “Tapi ini bisa bikin panik, Rik. Ini bukan hoaks, tapi framing-nya bisa bikin orang berpikir bahwa dunia bakal kiamat besok.”

Hendriko tersenyum miring. “Lagian, apa lo sendiri yakin ini semua cuma fenomena biasa? Lo udah wawancara para ahli, lo juga pasti lihat ada sesuatu yang aneh. Kenapa nggak kita buat lebih menarik?”

Fahri tak menjawab. Ada pergolakan dalam dirinya. Sebagai jurnalis, ia ingin tetap berpegang pada fakta. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa dalam industri media, berita tanpa daya tarik tak akan mendapat perhatian.

Tiba-tiba, pintu ruangan Hendriko terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah percaya diri. Jas mahal yang dikenakannya menunjukkan statusnya sebagai orang penting.

Akhrom.

Pemilik PT. Jaringan Berita Raya, sekaligus seorang politisi berpengaruh.

Hendriko segera berdiri, menyambutnya dengan senyum lebar. “Pak Akhrom, selamat datang!”

Akhrom melirik sekilas ke arah Fahri sebelum berkata, “Kita perlu bicara, Hendriko. Ada beberapa hal yang perlu kita sesuaikan dalam pemberitaan.”

Fahri menangkap sesuatu dalam nada suara itu—sebuah kontrol yang tak terlihat, tetapi nyata.

Fahri melangkah mundur, tahu bahwa ini bukan lagi urusannya. Namun, di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: Seberapa jauh media ini akan dikendalikan oleh kepentingan yang lebih besar?

H-5 | Rumah Fahri – 20:00 WIB

Di meja makan yang hanya diterangi lampu gantung redup, Fahri menyendok makan malamnya dengan malas. Pikiran masih berkecamuk setelah kejadian di kantor siang tadi. Dewi duduk di seberangnya, tapi tatapan perempuan itu lebih tertuju pada suaminya daripada pada makanannya sendiri.

"Kamu baca berita hari ini?" tanya Dewi, suaranya lembut, tapi sarat makna.

Fahri meneguk air putih sebelum menjawab, “Tentu saja. Aku yang nulis.”

"Bukan. Maksudku berita-berita lain," Dewi meletakkan sendoknya, menatap suaminya dengan serius. “Tentang bencana yang semakin banyak terjadi. Ini semua seperti peringatan.”

Fahri menghela napas, bersandar ke kursinya. “Dew, kita udah bahas ini. Semua ini ada penjelasan ilmiahnya. Aku tadi siang wawancara orang BRIN dan LAPAN. Mereka bilang ada anomali, tapi masih dalam batas wajar.”

"Masih dalam batas wajar?" Mata Dewi menyipit, suaranya sedikit meninggi. “Gunung meletus, gempa, pesawat jatuh, cuaca makin nggak menentu, dan kamu bilang masih dalam batas wajar? Fahri, kita harus mulai berpikir kalau ini lebih dari sekadar fenomena alam.”

Fahri mengusap wajahnya, mencoba menahan diri. “Dewi, aku kerja di media. Aku tahu bagaimana berita bisa dibesar-besarkan. Kalau kita terlalu cepat menarik kesimpulan, kita bisa terjebak dalam paranoia.”

"Tapi kamu nggak bisa terus-menerus menyangkal semuanya!" suara Dewi bergetar. “Banyak orang mulai sadar bahwa ini bisa jadi tanda peringatan dari Allah, tapi kamu malah sibuk mencari jawaban di balik teori-teori manusia!”

Fahri merasakan panas di dadanya. “Jadi aku harus percaya begitu saja tanpa mencari bukti? Aku bukan orang yang mudah percaya, Dew!”

Dewi menggeleng, sorot matanya terluka. “Masalahnya bukan percaya atau nggak, Fahri. Masalahnya adalah apakah kamu siap atau nggak kalau memang ini benar-benar peringatan terakhir.”

Sebelum Fahri sempat menjawab, ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Nama Andaryono muncul di layar.

Fahri menghela napas panjang, lalu mengangkatnya. “Halo, Dary? Ada apa?”

Suara Andaryono terdengar bersemangat, bahkan sedikit tergesa-gesa. “Lo di rumah, kan? Gue perlu ketemu lo sekarang. Ada sesuatu yang harus lo lihat sendiri.”

Fahri melirik Dewi yang masih menatapnya dengan kecewa. “Dary, kalau ini soal teori lo yang aneh-aneh itu, gue—”

"Bukan teori, Ri," potong Andaryono cepat. “Gue baru dapet info dari sumber yang... bisa dibilang orang dalam. Ini lebih besar dari yang lo kira.”

Fahri terdiam sejenak. Nada suara Andaryono terdengar terlalu serius untuk diabaikan.

“Oke, gue otw.”

Ia menutup telepon, lalu berdiri, meraih jaketnya.

Dewi menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu lebih percaya sama teori konspirasi teman kamu daripada sama peringatan dari Allah?”

Fahri menatapnya sejenak, lalu menggeleng. “Aku cuma mau cari kebenaran, Dew.”

Dewi tersenyum tipis, tapi matanya penuh kesedihan. “Atau kamu hanya mencari jawaban yang kamu inginkan?”

Fahri tak menjawab. Ia hanya melangkah keluar, tanpa sadar bahwa perdebatan ini bukan sekadar perselisihan suami istri—melainkan awal dari perubahan besar dalam hidupnya.

H-4 | Lokasi Bencana Alam – 13:15 WIB

Angin panas berhembus di antara puing-puing bangunan yang runtuh. Bau tanah basah dan debu masih terasa di udara, sisa dari gempa yang mengguncang kawasan ini dua hari lalu. Suasana di tempat kejadian penuh dengan aktivitas: tim SAR masih mencari korban, sementara warga setempat berusaha menyelamatkan barang-barang yang tersisa.

Fahri dan Andaryono berdiri di tepi area yang porak-poranda, mengamati pemandangan dengan ekspresi serius. Kamera Andaryono sudah aktif, merekam setiap detik dari bencana ini.

“Kita mulai dari mana, Ri?” tanya Andaryono, menyesuaikan fokus lensanya.

Fahri menatap sekeliling. “Korban selamat dulu. Kita butuh kesaksian langsung.”

Mereka mendekati seorang pria paruh baya yang duduk di pinggir jalan, matanya kosong menatap kehancuran di sekitarnya.

“Pak, bisa ceritakan apa yang terjadi saat gempa datang?” tanya Fahri, mencatat di buku kecilnya.

Pria itu menghela napas, wajahnya penuh kelelahan. “Itu terjadi tiba-tiba. Saya lagi di dalam rumah, terus lantai mulai bergetar. Saya pikir gempa biasa, tapi ini… ini beda. Rasanya lebih kuat, lebih lama. Seperti ada sesuatu yang mendorong dari dalam bumi.”

Fahri mengangguk, mencatat setiap detail. “Ada tanda-tanda sebelum gempa?”

Beberapa orang lain yang berdiri di dekat mereka ikut berbicara.

“Ada suara aneh dari dalam tanah sehari sebelumnya.”

“Hewan-hewan di kampung ini bertingkah aneh, ayam nggak mau masuk kandang, anjing menggonggong tanpa henti.”

“Dan langit… sebelum gempa, warna langit aneh, lebih merah dari biasanya.”

Fahri saling pandang dengan Andaryono. Ini bukan pertama kalinya mereka mendengar cerita seperti ini.

Seorang pria tua berjenggot putih yang mengenakan peci mendekat. Raut wajahnya penuh kebijaksanaan dan ketenangan. Ia ulama setempat yang dikenal oleh warga sekitar.

“Anak muda, kalian dari media?” tanyanya dengan suara dalam dan berwibawa.

Fahri mengangguk. “Iya, Pak. Kami sedang mencari informasi tentang gempa ini.”

Ulama itu tersenyum tipis. “Kalau kalian hanya mencari penjelasan teknis, mungkin kalian tidak akan menemukan jawaban yang memuaskan. Tapi kalau kalian siap melihat lebih luas, kalian akan sadar bahwa ini bukan sekadar fenomena alam biasa.”

Fahri mengangkat alis. “Maksudnya?”

Ulama itu menatap langit yang mendung, seolah merenung. “Sudah terlalu banyak kejadian aneh dalam waktu berdekatan. Ini bukan kebetulan. Gempa, letusan gunung, cuaca ekstrem, bintang-bintang yang bergerak tak seperti biasanya. Kita sedang diingatkan, Nak.”

Andaryono mencondongkan tubuhnya, tertarik. “Maksud Pak Kyai, ini tanda-tanda kiamat?”

Pria tua itu menghela napas. “Saya bukan Tuhan yang tahu pasti kapan kiamat tiba. Tapi saya tahu satu hal—dunia ini sedang bergetar, dan manusia terlalu sibuk untuk menyadarinya.”

Fahri terdiam. Kata-kata ulama itu terasa menusuk, bukan hanya sebagai pernyataan, tapi sebagai peringatan.

Andaryono akhirnya bersuara. “Ri, kita nggak bisa mengabaikan ini. Semua yang kita temui, dari ilmuwan sampai orang-orang biasa, semuanya bilang kalau dunia memang berubah.”

Fahri menggenggam buku catatannya erat. Untuk pertama kalinya, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebetulan. Sesuatu yang belum bisa ia jelaskan—tapi semakin sulit untuk ia abaikan.

H-1 | Rumah Fahri – 22:30 WIB

Fahri duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus jendela kamar. Gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Di luar, langit tampak lebih gelap dari biasanya. Bukan karena awan tebal atau polusi, tetapi ada nuansa kelam yang berbeda. Seakan malam menelan cahayanya sendiri. Lampu-lampu jalan masih menyala, tapi redup, seolah kehilangan daya melawan pekatnya kegelapan.

Udara terasa lebih berat. Angin yang berembus melalui celah jendela membawa hawa dingin yang aneh, bukan seperti kesejukan malam biasa, tapi lebih seperti peringatan yang tak terucapkan.

Dari kejauhan, suara azan yang menandai waktu tarawih telah lama berlalu, berganti dengan lantunan ayat suci dari masjid-masjid yang masih terbuka hingga larut. Ini adalah malam pertama Ramadhan. Malam yang seharusnya penuh ketenangan, tapi justru terasa berbeda. Hening, tapi bukan hening yang menenangkan.

Fahri melirik ke belakang, ke arah Dewi yang tertidur di sisi ranjang. Napas istrinya teratur, tapi ada sedikit kerutan di dahinya. Bekas kecemasan dari percakapan mereka sebelumnya masih membekas di sana.

Ia kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ada firasat aneh yang mengusik pikirannya, seperti ada sesuatu yang menunggu di ujung malam ini. Sejak kapan ia merasa begini? Sejak kapan ia mulai mempertanyakan semua ini?

Seketika, angin bertiup lebih kencang. Tirai jendela bergoyang pelan, dan dalam sekejap, aroma tanah basah menyeruak ke dalam kamar. Padahal tidak ada hujan.

Dewi tiba-tiba bergerak, tubuhnya sedikit bergeser sebelum matanya perlahan terbuka. Ia menatap Fahri dengan sorot mata yang dalam, seolah tahu persis apa yang sedang suaminya rasakan.

"Ri…" suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Fahri menoleh. “Kenapa?”

Dewi menatapnya sejenak sebelum berkata dengan suara yang penuh makna.

“Apa pun yang terjadi besok, aku harap kamu tetap di sampingku.”

Fahri terpaku. Kata-kata itu menusuk sesuatu di dalam dirinya, seakan menjadi pertanda.

Ia menelan ludah. Bahu dan tengkuknya semakin terasa berat, seolah atmosfer di sekelilingnya berubah menjadi lebih pekat.

"Besok…" gumamnya lirih.

Di kejauhan, samar-samar terdengar suara gemuruh. Mungkin hanya suara kendaraan, mungkin juga tidak. Tapi yang jelas, malam ini terasa lebih panjang dari biasanya.

Dan entah mengapa, ia merasa besok bukanlah hari yang biasa.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya LANGIT BERUBAH
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan