
Subuh itu mentari masih tak nampak, suara-suara lantunan adzan berkumandang subuh itu. Mala dan Abah melaksanakan sholat subuh dirumah, biasanya Abah sholat di Mushola di daratan, tapi tubuhnya masih lemas karena tak kunjung sehat.
Pagi-pagi di kota seribu sungai, seorang pemuda dengan motornya menyusuri jalan-jalan yang masih tampak tak seramai jika sudah siang menerpa. Pemuda dan motor hitam itu melaju di jalan dengan membawa kamera dan menyusuri kota seribu sungai itu, berhenti di siring kota dan sedikit memotret embun di sungai martapura.
Pemuda itu tak lama beranjak dari sana dan menuju sebuah bantaran yang sering digunakan klotok-klotok dan jukung untuk memarkirkan perahu kecil mereka. Pemuda dengan kameranya tak sengaja menangkap foto seorang perempuan muda yang mengayuh jukung dengan dayungnya, dia menghentikan jukungnya persis di bantaran sungai itu, tanpa suara dan berpamitan pada seorang pria yang juga ada di bantaran sungai menyapanya.
Pemuda itu sekilas terpana, dia tak pernah melihat seorang perempuan muda menaiki jukung sebelumnya, itu kali pertama dia melihat perempuan bertubuh mungil dengan seragam putih abu-abu melintas di hadapannya dan berlari kecil dengan kaki-kaki kurusnya, pemuda itu langsung tertarik padanya, si perempuan muda berkepang dua.
Tapi lamunannya seketika terhenti karena sebuah alarm yang bergetar di ponselnya. Jam di ponsel sudah melihatkan jam setengah delapan pagi dan pemuda itu belum siap sama sekali untuk pergi ke kampus, padahal dia harus bersiap karena ada mata kuliah pertamanya hari itu, dan harus berada disana tepat pada jam delapan pagi.
"Tidak! Sudah jam segini lagi, aku bisa terlambat," memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana, mengalungkan kembali kameranya dan berlari menuju motor hitam yang terparkir tepat di dekat trotoar.
Singkat waktunya pemuda bertubuh tinggi itu tiba tepat jam delapan di kampus fakultasnya, namun tidak dengan kelasnya yang terbilang cukup memakan waktu untuk pergi kesana. Motor hitamnya dihentikan dan tanpa pikir panjang dia berlari menyusuri koridor-koridor kampus itu.
"Kau terlambat lagi Zul, bukannya kemarin kau terlambat juga," Dosen pengampu yang memarahi pemuda yang sangat tergesa-gesa itu, Pak Dalli dengan tatapannya yang mengintimidasi.
"Maaf Pak," Pemuda itu hanya tertunduk.
"Ya sudah duduk, sekali lagi Bapak temui kau terlambat di mata kuliah Bapak, kau tak boleh lagi ikut belajar, kau paham?"
"Paham Pak," jawabnya menyesal lalu duduk menuju kursi kosong di bagian belakang.
Gusti Zulfikar Hamdan, seorang mahasiswa ilmu komunikasi di salah satu Universitas ternama di kota itu. Menuntut ilmu di bidang kesukaannya tak membuatnya selalu mematuhi peraturan kampus, termasuk masuk di jam kuliah pagi, Zul hampir selalu terlambat ketika jam kuliah pagi.
Zul memang sering mengambil foto alam di pagi hari, menurutnya alam itu sangat unik, termasuk sungai di kota itu. Dia juga tak jarang memasukkan foto-fotonya sebagai dokumentasi dalam sebuah artikel yang dibuatnya, bukan hanya alam, tapi artikel bertajuk seni dan budaya, lingkungan, sosial, kesehatan bahkan politik dan lainnya yang dibinanya dari sekolah menengah atas bersama teman-teman komunitasnya. Tak jarang komunitasnya bekerjasama dengan media-media besar untuk menghasilkan berita, termasuk isu berita penting yang lagi populer di kota itu.
"Bu tidak bisa, ini tidak bisa kita jadikan sebuah berita," ucap Zul di sebuah tempat yang sering dikunjunginya.
"Tapi berita ini akan viral Zul, agar masyarakat juga tahu kalau budaya sungai itu sebenarnya tak baik, dan tak sepatutnya menjadikan sungai seenaknya yang mereka lakukan," jawab perempuan berjas yang berbicara dengan Zul.
"Tapi itu budaya turun temurun Bu, sudah ada jauh sebelum kota ini maju seperti sekarang, tak akan pernah terpisah dari urat nadi kota ini," sanggah Zul kembali menjelaskan.
Wanita itu tampak kesal, dan suaranya seakan mengintimidasi dan mengancam pemuda di depannya, "Turuti saja perintah saya, bukannya kau ingin komunitasmu punya nama di pandangan masyarakat kota maupun luar kota."
"Tapi tidak dengan cara seperti ini Bu, menyebarkan berita bohong juga dianggap penipuan publik, itu akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, maaf Bu kami tidak bisa, saya minta maaf dan saya izin pulang," tuturnya beranjak dari tempat duduk, wajahnya juga terlihat tampak menyembunyikan kekesalan.
"Zul, Zul, berhenti dulu! Saya belum selesai," teriaknya wanita yang berjas hitam itu.
Tapi pemuda itu tetap beranjak, dan tak memperdulikan suara yang memanggilnya. Dengan membawa tas, jas kampus, serta kameranya dia beranjak dari tempat itu dan tak menoleh ke belakang.
Siang menuju sore, pemuda itu mengendarai motor hitamnya dengan helm yang menutupi penuh wajahnya. Helm itu hanya melihatkan matanya yang tampak tajam melihat ke arah depan. Secara tiba-tiba rintik turun membasahi matanya, dan secara cepat turun dengan deras. Zul yang masih berada di jalan harus berteduh di sebuah ruko yang tampak berdebu, tak lagi buka.
Pemuda itu membuka helmnya, dan membuka jasnya yang terlanjur basah karena hujan. Tak disangka disana sudah ada perempuan muda yang juga telah berteduh. Melambaikan tangannya ke rintikan hujan yang turun dari atap ruko, wajahnya yang sangat familiar bagi Zul, perempuan muda yang dilihatnya di bantaran sungai, memang dia orangnya, si kepang dua.
Perempuan muda itu mengeluarkan sebuah buku kecil dan pena dari kantongnya, menulis kata-kata dan tulisan dan sesekali melihat hujan lalu menatap dengan dalam sembari tersenyum ke arah jatuhnya air. Zul hanya kagum melihat senyumnya, perempuan itu tak sedikitpun melihatkan kekecewaan akan turunnya hujan, namun dia tertawa kecil lalu tersenyum dihadapan anugerah itu. Secara tak sadar Zul juga ikut menyimpulkan senyum setelah menatap dalam perempuan muda di hadapannya, hati yang tadinya dipenuhi amarah berubah menjadi damai seketika.
Tak sadar, hujan telah reda, dengan tergesa-gesa perempuan muda itu memasukkan kembali buku dan penanya lalu berlari menerjang jalan yang basah karena hujan yang turun, tapi buku kecil itu terjatuh dan membuat lamunan Zul ikut berhenti dan mulai menyadari kalau hujan telah reda.
Zul melihat sebuah buku yang terjatuh ketika perempuan muda itu ingin memasukkannya kembali, "Hai tunggu, tunggu bukumu terjatuh," teriak Zul namun tak ada sahutan dari perempuan muda itu, dia terus melaju menutupi kepala dan wajahnya dari rintik air yang masih turun membasahi.
******************************************************************************************************************
Subuh itu mentari masih tak nampak, suara-suara lantunan adzan berkumandang subuh itu. Mala dan Abah melaksanakan sholat subuh dirumah, biasanya Abah sholat di Mushola di daratan, tapi tubuhnya masih lemas karena tak kunjung sehat.
Setelah sholat, Mala mempersiapkan jualan yang sudah dibuatnya bersama Abah, kerajinan tangan untuk di jual di pasar terapung pagi itu. Hari itu hari minggu, mungkin saja peruntungan dan rezeki menyertai perempuan muda itu. Selain menjual kerajinan, Mala juga menjual kue yang dibuatnya sendiri.
Perempuan muda menyusun jualannya di jukung yang sudah menunggu di tepian sungai, bak menunggu tuannya untuk segera melaju mencari peruntungan di pagi yang lumayan dingin dengan embun.
Perempuan muda itu mengayuh jukungnya yang melaju di sungai martapura, banyak Acil-acil yang sedang melakukan aktivitas di tepi sungai, seperti mencuci pakaian, mandi dan lainnya. Tak jarang Amang-amang yang juga lewat menggunakan jukung dan kelotok membawa beberapa barang dan pergi ke daratan. Dengan kota yang dikenal sebagai kota seribu sungai, memang banyak dianugerahi anak-anak sungai yang membentang, masih banyak pula masyarakatnya yang melakukan aktivitas di tepian sungai, sudah menjadi budaya dan erat kaitannya dengan urat nadi masyarakatnya. Sungai adalah anugerah dan rezeki bagi yang menjaganya dengan baik.
Mala sudah tiba di tujuannya, pasar terapung di susur sungai martapura, yang sering banyaknya wisatawan atau orang-orang daratan yang membeli kebutuhan mereka atau hanya berwisata. Mala memang berbeda, biasanya Acil-acil yang berjualan di pasar terapung, baik berjualan buah-buahan, sayur mayur atau kue-kue yang sejatinya adalah suatu yang dapat dikonsumsi.
Mala, adalah perempuan muda yang tak malu bercengrama dan bersahabat baik dengan Acil-acil di pasar terapung yang sedang berjualan, dia selalu menjajakan kerajinan tangannya dengan sopan untuk membantu Abahnya yang belum bisa bekerja seperti sedia kala karena sedang sakit. Jadi, Mala harus bekerja keras untuk membeli obat dan makanan untuk Abah. Walau dulu Abah melarangnya berjualan di pasar terapung karena resiko cuaca atau lainnya, ditambah Mala yang masih sangat muda, pria itu khawatir pada putri kecilnya itu. Tapi ternyata Mala membuktikan kalau dia lebih kuat dari dugaan Abahnya sebelumnya.
Segerombolan anak laki-laki melintasi pasar terapung dengan brutal, mereka tertawa lepas dan berjalan melewati para pedagang, lagaknya seperti preman. Mereka masih muda, seumuran Mala terlihatnya, anak-anak muda yang tak menghargai orang tua dalam pandangan Mala. Seringkali Acil-acil berteriak karena dagangannya diambil paksa dan di hancurkan anak-anak muda itu, hingga sampai di Jukung Mala mereka berhenti.
Anak-anak muda dengan penampilan yang berantakan itu, melihat dagangan Mala. Salah satunya yang sepertinya ketua dari gerombolan anak-anak nakal itu melihat Mala dengan tajam, Mala terlihat tak takut sedikitpun, dia membalasnya dengan tatapan yang tajam pula.
"Kami ambil ini, oke," ucapnya sambil tertawa bersama teman-temannya yang lain mengambil beberapa barang di jualan Mala.
Tapi tangannya dihentikan oleh Mala, lalu dia mencengkramnya sangat erat hingga tangan anak laki-laki itu memerah, dan anak laki-laki itu tak bisa berkutik.
"Lepaskan! Aku bilang cepat lepaskan gadis jalang!" Sambil mengancamnya dengan nada cukup keras.
Tapi Mala tak goyah sedikitpun, ancamannya tak akan membuat Mala mendengarnya walau sekeras apapun anak laki-laki itu menggertaknya. Kesabaran anak itu ternyata sangat mudah tersulut, dia terlihat menyimpan amarah di matanya karena Mala tidak meresponnya. Tangan sebelahnya tiba-tiba melayang diudara dan ingin menampar perempuan muda di depannya, hingga semua Acil-acil ikut histeris dan berteriak. Namun, seorang pemuda datang tepat waktu dan menahan tangan anak itu, dia membuat semua orang sangat panik dan juga membuat Mala terlihat panik.
"Siapa kau?!" Tanya anak laki-laki itu heran melihat seorang pemuda yang berani menangkap tangan anak laki-laki yang melayangkan tangannya pada Mala.
"Apakah menyakiti perempuan sudah menjadi hal biasa untukmu?" Ucap pemuda itu sinis tatapannya.
Anak laki-laki melepaskan tangannya dari cengkraman pemuda yang menahan tangannya sebelumnya. Mala jua sudah melepaskan tangannya setelah melihat pemuda itu, "Jangan ikut campur urusan kami!", ancam anak laki-laki itu menunjuk ke arah wajah pemuda yang beradu mulut dengannya.
"Kalian lucu sekali, masih muda tapi hanya bisa berbuat onar seperti segerombolan monyet liar. Saya wartawan dari Liputan Banua, kalian mau aksi kalian pagi ini saya siarkan dalam surat kabar?" Pemuda itu balik mengancam anak laki-laki yang masih terlihat emosi dengan tanda pengenal yang tergantung di lehernya.
"Kau tak punya bukti!" Anak itu tertawa seakan sangat lepas dan menganggap ancaman pemuda di depannya hanya main-main.
"Siapa bilang saya tak punya bukti, lihatlah," menunjuk ke arah kamera yang terekam dan berada di tangan teman pemuda itu, "Apa itu tidak cukup? Lihatlah lagi di sekitarmu, bahkan banyak orang-orang yang merekam aksi tak bermoral kalian," tutur pemuda itu lagi.
Anak itu menatapnya tajam, "Awas kau! Ayo pergi!" Ucapnya pergi menjauhi mereka, banyak pengunjung dan Acil-acil saling bercengkrama karena kejadian itu.
"Kau baik-baik saja?" Tanya pemuda tinggi itu, Zul, kepada perempuan muda di depannya, Mala.
Tatapan mata sipit perempuan muda itu membuatnya sekali lagi merasa berdebar, tepat seperti ketika di bantaran sungai kemarin. Zul tak percaya dia bisa bertemu dengan perempuan muda itu lagi. Mala tersenyum lebar pada Zul, dan membuatnya semakin berdebar dan salah tingkah, hingga ada seseorang yang mengetuk pundak pemuda itu, namun dia tak berkutik sedikitpun.
"Zul, kau ini memang tidak berubah dari dulu, selalu ikut campur urusan orang lain," seorang pemuda lainnya, teman Zul yang seorang kameramen, Gofar.
"Zul, kau mendengarkanku tidak? Haduh haduh bahaya ini, Zul!", mengagetkan pemuda yang melamun itu dengan teriakan suaranya yang khas.
"Eh kenapa?" Ucap Zul kaget ketika Gofar meneriakinya.
"Jangan terlalu lama melamun, kau bisa diterkam hantu sungai nanti," Gofar meledek Zul setelah mengagetkannya.
"Ada-ada saja, mana ada hantu di siang bolong. Adanya bidada…Eh maksudnya, kue pisang, ini berapa harganya dik?" Zul langsung mengalihkan pembicaraannya karena terlalu salah tingkah.
Mala tetap tersenyum, lalu menggunakan bahasa isyaratnya untuk menjawab Zul, yang berarti, "terima kasih sudah membantuku, kau boleh ambil kue pisang itu sebagai ucapan terima kasihku."
Zul dan Gofar tampak sangat terkejut ketika melihat Mala yang menggunakan bahasa isyarat, mereka saling memandang. Zul lalu melihat kertas di depan jualan Mala yang bertuliskan "Saya seorang tunarungu", barulah disitu Zul mengerti dan mengetahui perempuan itu ternyata memiliki kekurangan, namun dibalik kekurangan itu dia tetap tersenyum kepada orang lain.
"Maaf, kalau begitu ini," memberikan uang pada Mala.
Tapi Mala menggeleng dan menolaknya, dan kembali memberikan isyarat kalau kue itu untuk Zul. Awalnya Zul kesusahan memahami Mala, tapi Acil yang disamping Mala membantu Zul memahami isyarat Mala, dan barulah Zul paham kalau dia memberikan kue itu sebagai ucapan terima kasih.
Tapi Zul tetap memberikan uang itu untuk Mala, dan terlihat kebahagiaan di raut wajah perempuan muda itu. Mala kembali tersenyum dan membuat Zul kembali berdebar, karena kejadian itu Zul yang tadinya ingin meliput pasar terapung di pagi itu menjadi sedikit kacau. Dia bahkan tak sempat berkenalan dengan Mala, perempuan muda berkepang dua. Bisikan tepi sungai sudah membawanya bertemu perempuan muda yang membuat hatinya terpaut dan terpikat.
******************************************************************************************************************
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
