
Lembayung fajar ufuk menunjukkan diri laksana menyapa di antara desiran sungai yang pasang. Gerombolan burung gereja lalu lalang sedikit merendah ketepian membasahi diri. Tampak seorang perempuan muda dengan kepang yang mengikat di kedua sisi rambutnya, mendayung jukung dengan seragam putih abu-abu.
Lembayung fajar ufuk menunjukkan diri laksana menyapa di antara desiran sungai yang pasang. Gerombolan burung gereja lalu lalang sedikit merendah ketepian membasahi diri. Tampak seorang perempuan muda dengan kepang yang mengikat di kedua sisi rambutnya, mendayung jukung dengan seragam putih abu-abu.
Aluh Tamala, perempuan muda tanpa suara, tanpa riuh sedikitpun dalam imajinya. Anak perempuan dengan senyum tulus dan dikelilingi nadi sungai di sepanjang 16 tahun dalam hidupnya. Abahnya selalu berucap, “Kau bertumbuh dari sungai, kau bersinar untuk sungai”. Bagi Mala air dan sungai martapura adalah Ibu baginya. Perempuan yang baru bertumbuh dewasa itu telah belajar dewasa sejak kecil. Dia tak memiliki Mama sejak lahir, Mamanya meninggal ketika melahirkannya namun Abahnya selalu menjadi bagian terpenting baginya, sosok cinta pertama yang mengajarkannya hidup di dunia yang lebih ricuh daripada gemericik air sungai.
“Mal, kau mau berangkat?” Sapa seorang wanita tua melambai dan tangan lain dengan ember yang dimasukkannya di air sungai.
Mala hanya melambaikan tangan dan mengangkat dayungnya, perempuan muda itu hanya tersenyum tanda dia menyapa Uwa Jum yang sedang mengambil air untuk mencuci pakaian.
“Hati-hati, jaga pandangan dan keseimbangan jukungmu, semoga sampai sekolah dengan selamat,” wanita tua itu melanjutkan ketika melihat Mala melambai melewati rumah lantingnya.
Uwa Jum adalah wanita tua, yang mendiami rumah tepi sungai atau rumah lanting di tepian sungai martapura, rumah lanting yang berdekatan dengan rumah lanting milik Abah Mala. Uwa Jum tak memiliki pewaris maupun saudara yang dapat menemaninya ketika berada di rumah, kini usia sudah membuatnya renta, dan dia hanya sendirian di masa tuanya.
Mala dan Abahnya sering membantu Uwa Jum, sering perempuan muda itu memberikan beberapa makanan yang diberikan kakak-kakaknya yang tinggal di daratan. Kakak-kakak Mala tak sering berkunjung, bahkan tak pernah, namun mereka selalu mengantarkan beberapa makanan atau kebutuhan untuk mereka di rumah lanting itu. Berbeda dengan Uwa Jum, dia hanya bisa hidup dengan belas kasih para petinggi dan pertolongan warga di sekitar bantaran sungai.
Mala tak banyak berceloteh, dia lebih sering memandang perjalanannya menuju tujuan, memandang arus sungai dan aliran. Sekolahnya ada di daratan kota, oleh sebab itu dia harus bangun pagi untuk menyusuri sungai sampai ke tepian dan berlanjut sampai ke sekolah. Embun pagi dan udara dingin yang melintas membuatnya tak patah semangat mendayung jukungnya untuk tiba sampai tepian. Tak jarang juga perempuan muda melihat budaya tepian sungai yang masih ada di beberapa titik yang dia jumpai, namun sekarang jugalah telah tergerus oleh citra sebuah kota. Sampah yang lalu lalang di arus sungai, bahkan limbah yang terlihat tak jarang juga ditemuinya setiap hari.
Perempuan muda itu terus mendayung jukungnya sampai tujuan, semangatnya tak pernah luntur untuk terus menuntut ilmu dan bersekolah. Hingga tiba di tepian, di sebuah bantaran yang sering digunakannya untuk meletakkan jukung kecil yang dia dayung setiap hari. Perempuan muda itu menitipkan jukungnya pada salah satu pria yang sangat akrab dengannya, Mang Zek. Mang Zek memang sering menjaga jukung-jukung yang di titipkan di bantaran sungai, termasuk jukung Mala dan Abahnya ketika mengunjungi daratan.
Perempuan muda tak pikir panjang, dia mengikat jukungnya lalu berpamitan dengan Mang Zek, kaki-kaki kurus itu lalu melaju menuju daratan untuk berlari menuju tujuannya ke sekolah menengah atas yang berada di daratan kota.
Perempuan muda yang malang itu memang sering kali menyendiri, dia lebih suka sendiri daripada berteman dengan keramaian, baik di sekolah atau ketika keluarganya sesekali berkunjung. Mala sering melamun di sekolah, tanpa kawan, bukan hanya seorang yang kurang mampu, dia juga memiliki kekurangan secara fisik, yaitu sebagai penyandang tunarungu sejak bayi. Hal itu membuat anak-anak di sekolah menjauhinya, tidak ada yang mau berteman dengannya bahkan sampai sekolah menengah atas, tidak satupun.
Kakak-kakaknya memang merupakan orang terpandang, mereka dari kalangan pejabat, pengusaha, dokter hingga selebgram di Banua. Namun, mereka sudah lama meninggalkan Mala dan Abahnya di rumah lanting itu, rumah apung di tepi sungai martapura, dan memilih jalan hidup mereka masing-masing. Alasannya karena mereka malu tinggal disana, dan alasan lain yang lebih tinggi yaitu mereka kecewa pada Abah mereka karena menikahi Mama Mala sebagai istri keduanya setelah istri pertamanya meninggal, Mama kakak-kakak Mala. Ternyata takdir berkata lain Mama Mala juga tak berumur panjang, dan Abahnya ditinggal untuk kedua kalinya. Oleh sebab itu lah keempat kakaknya tak pernah menerima Mala sebagai adik mereka.
Mala tak seperti remaja seusianya, remaja-remaja yang sering menghamburkan uang orang tua, sering nongkrong di cafe sana-sini, restoran ternama di kota, ataupun berbelanja di Mall besar hanya untuk pamer di sosial media. Perempuan muda itu hanya sering berkawan dengan sungai dan aliran, bergandeng dengan angin, dan berujar lewat kata dan tulisan. Mala juga sering berjualan kerajinan tangan, aksesoris maupun pernak-pernik di pasar terapung kepada wisatawan.
Di kelas XI IPA 2 memang ricuh suasananya, anak-anak yang seringkali ribut seperti anak-anak sekolah pada umumnya. Mala sangat bersyukur atas hal itu, dia tak dapat mendengar riuh mereka dan hanya berfokus pada pelajarannya, berlatih mengerjakan soal-soal di buku pelajaran.
Di antara kekurangan yang dialami, anak yang sejatinya baik dan periang kepada orang yang lebih tua itu memiliki cita-cita yang mulia, dia sangat ingin membahagiakan Abahnya dan menjadi orang yang berguna. Dari kecil dia sangat menyukai sastra dan alam. Dia pengagum alam dan selalu dicurahkan pada setiap tulisan jemarinya. Tulisannya seringkali dimuat di surat kabar lokal dengan nama pena "ATM", bahkan dia juga sering berkesempatan mengikuti berbagai perlombaan di kota itu. Bukan hanya berbakat, namun Mala termasuk siswi yang cerdas di dunia akademik.
Hari itu tak begitu cerah, mendung terlihat tak berubah dari mentari mulai menyapa di dini hari. Anginnya membuat tubuh Mala seringkali merinding sejak dia mengayuh jukungnya pagi-pagi buta, sampai pagi itu tak kunjung cerah ternyata, redam oleh angin hitam yang menutupi sinarnya.
"Selamat pagi anak-anak," Suara Bu Risma yang membuat kelas yang tadinya ricuh seketika menjadi senyap.
"Pagi Bu," sahut mereka kocar-kacir setelah Bu Risma masuk ke kelas itu.
Seorang anak perempuan berwajah tegas mengikuti Bu Risma dari belakang. Perempuan muda yang sepertinya tak memiliki senyum di wajahnya, tampak kacau dan terlihat tak terurus. Namun dibalik itu dia memiliki aura yang sangat kuat dan pemberani dalam bayangan Mala.
"Hari ini kalian ada teman baru, silahkan perkenalkan namamu," ucap Bu Risma mempersilahkan perempuan muda itu.
"Hallo semuanya, perkenalkan nama saya Malaikha Zaleha, kalian boleh panggil saya Lea," ucapnya memperkenalkan diri dengan santai.
"Lea? Kenapa tidak Leha saja," salah satu ucapan anak di kelas yang sontak membuat seisi kelas tertawa, semua tertawa kecuali Mala yang hanya memandang ke arah depan.
"Sudah anak-anak, jangan menjahili teman baru kalian. Lea, kau boleh duduk di sana ya, di sebelah Mala," lanjut Bu Risma.
Anak dengan rambut ikal diikat setengah itu mendekati meja Mala dan duduk di kursi kosong di sebelah Mala. Mereka saling menatap lalu perempuan muda itu tak pikir panjang menaruh tasnya dan duduk dengan santai.
"Siapa namamu?" Tanya perempuan itu yang suaranya sudah pasti tak dapat didengar Mala.
Dia menunggu lama, lalu mulai bertanya kembali karena Mala tak menjawabnya, "Apa kau tak mendengarku?" Hingga Lea melambaikan tangannya ke depan wajah Mala yang hanya menunduk melihat buku-bukunya.
Mala yang baru sadar kalau Lea mengajaknya bicara melirik perempuan di sebelahnya, menunjuk ke arahnya dengan tanda tanya.
Mala menulis di buku tulisnya kalau dia tak dapat berbicara dan mendengar ucapan Lea, Mala memperkenalkan dirinya dengan menulis namanya di buku tulisnya. Lea yang tampak baru menyadari kondisi Mala hanya mengangguk sepanjang Mala menulis di buku tulisnya, dia akhirnya memahami masalah yang dialami perempuan disebelahnya itu.
Perempuan itu tak seperti dugaan Mala, sepanjang pelajaran dia hanya tertidur pulas, seringkali Bu Risma memperingatinya, bahkan di hari pertamanya dia sudah mendapatkan hukuman dari Bu Risma yang membuat Mala hanya dapat menggelengkan kepala berkali-kali dengan kelakuannya, bahkan sampai istirahat dia juga hanya merebahkan kepalanya di atas meja.
******************************************************************************************************************
Sekolah telah usai, Mala dan teman sebangkunya Lea si anak baru itu tak banyak bertegur sapa di hari pertama. Dia hanya sering tertidur dan bangun lagi kalau guru menegurnya, entah apa yang terjadi pada perempuan muda itu.
Pulang sekolah Mala melihat perempuan dengan gaya tomboy itu menaiki sebuah motor trail yang berbeda dari anak-anak sekolah lainnya, dari penampilan dan gayanya sudah jelas itu Lea. Dengan gayanya yang khas menaiki motor dan melewati Mala di gerbang sekolah. Namun, Mala tak pikir panjang, dia tetap berjalan tanpa menghiraukan Lea yang melewatinya.
Menyusuri jalan kota yang ramai sudah menjadi hal yang biasa bagi Mala, setiap hari dia melewati bangunan kokoh yang menjulang, atau jembatan penghubung arus sungai yang membentang. Kendaraan dengan klakson sering ramai melintas, namun semua itu tak pernah Mala dengar, mendengar keributan dunia kadang tak memberikan manfaat untuk manusianya, dan Mala bersyukur atas hal itu.
Seketika rintik jatuh tanpa aba-aba ketika Mala menyusuri jalan kota itu. Membuat sepatu anak itu terlihat ditetesi rintik air, berlari cepat menuju sebuah teras ruko yang sudah tutup dan sedikit berdebu, hanya itu yang dapat Mala lakukan tanpa pikir panjang sekarang, kini rintik menjadi hujan. Disana Mala berteduh dari hujan yang jatuh membasahi seluruh kota dan rambutnya yang dikepang dua. Banyak kendaraan berhenti meneduhkan dan menyelamatkan diri, termasuk seorang pemuda berjas kuning yang menepis jasnya yang terlanjur basah.
Pemuda itu memberhentikan motornya tepat di depan ruko, disana juga sudah ada Mala yang meneduhkan diri lebih dulu. Rintik yang dilanjutkan dengan hujan membuat wajahnya terlihat senang, senyumnya tersimpul sambil sesekali mengayunkan tangan ke arah hujan, dia tetap berdiri memandangi hujan di depannya.
Pemuda itu melihat Mala yang sudah dulu menyandarkan tubuhnya di pintu ruko, dia memegang sebuah buku kecil dan sebuah pena yang digunakan untuk menulis sebuah buku. Pemuda itu terus menatap Mala, melihat wajah kecil yang berkepang di dua sisi kepalanya, namun Mala hanya fokus dengan bukunya tanpa melihat di sekitarnya.
Tak lama hujan mulai reda, Mala yang sadar juga telah memalingkan pandangan dari buku kecil di tangannya itu. Dia segera meletakkan bukunya di saku tasnya, dan pena di saku bajunya. Namun, buku itu terjatuh sebelum memasuki saku di samping tasnya. Anak itu terus beranjak pergi, menutup kepala dengan kedua tangannya, dan menjauhi ruko tanpa menyadari bukunya yang terjatuh.
Pemuda yang awalnya menatap Mala ikut terkejut setelah buku itu jatuh dari saku tasnya, "Hai tunggu, tunggu bukumu terjatuh," teriak pemuda itu pada Mala.
Namun, tak ada jawaban dari Mala, dia terus berlari menyusuri jalan yang basah karena rintik hujan tanpa sedikitpun menoleh ke arah belakang.
Di bantaran sungai sudah menunggu jukung kecil yang diikatnya dengan erat. Bahkan Mang Zek pun ikut membantu melepaskan ikatan erat jukung kecil itu untuk selanjutnya dapat menyusuri arus sungai martapura sebelum hujan datang kembali dan menumbangkan jukungnya, dia harus sampai ke rumah lanting dengan cepat dan selamat.
Waktu sudah mulai sore ketika Mala menyusuri sungai martapura dengan jukungnya, cepat dia mengayuh, namun gelombang juga ikut membesar karena beberapa sampan besar bermesin yang lewat melewati Mala. Hal itu membuat Mala terus berjaga, tetap fokus menjaga keseimbangan agar jukungnya tak goyang.
Akhirnya perjalanan Mala sampai di tujuan, rumah sederhana yang mengapung di tepian sungai martapura, rumah lanting yang sangat sedikit keberadaannya. Ketika sampai di rumah, Mala di sambut Abah yang sedang memahat kayu untuk kerajinan yang akan Mala jual di pasar terapung. Abah Mala adalah seorang pembuat dan pemahat jukung di daratan, seringkali Abah pergi ke daratan untuk membuat jukung bersama teman-temannya. Hari itu pria itu tak pergi ke sana, tubuhnya sudah sakit sejak beberapa hari yang lalu.
Ketika melihat Abah dengan alat ukirnya, Mala seketika kaget, dia ingin mengambilnya dari tangan Abah, namun Abah menolaknya. Terlihat kekhawatiran dari raut wajah perempuan muda itu.
"Tidak apa-apa Nak, Abah hanya sedikit penat karena tidak bekerja terus," ucap pria itu.
Perempuan muda itu tak berkutik, Abahnya memang sedikit keras kepala, dan Mala tidak bisa melarangnya jika hal itu yang membuatnya bahagia.
"Kau lapar? Makanlah dulu, Abah menggoreng ikan dan sayur asam kesukaanmu, ganti baju dan makanlah," Lanjut pria itu.
Mala tampak kaget, dia memang tak bisa mendengar tapi dia bisa memahami gerak mulut orang lain apalagi Abahnya, tanpa ragu Mala lalu menjawab Abahnya menggunakan bahasa isyarat yang berarti, "Kenapa Abah yang memasaknya? Abah masih sakit," wajahnya yang terlihat sangat khawatir.
Abahnya hanya tertawa kecil lalu menjawab, "Hanya memasak saja, lagipula Abah senang melakukannya. Ayo tunggu apa lagi, ganti bajumu dan makanlah, Abah sudah makan duluan. Abah ingin menyelesaikan pahatan ini lalu kau bisa mewarnainya sesuka hati."
Perempuan itu hanya mengangguk, tanda dia menuruti perintah Abahnya. Mala kadang sangat kasihan melihat Abahnya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan harus bekerja keras, dia selalu melarang Abahnya, tapi Abahnya selalu menghiraukan. Dengan kepandaian Mala dan kreativitasnya dia selalu membantu Abahnya untuk membuat kerajinan tangan dan dijual di pasar terapung di hari minggu. Uang hasil penjualan itu dapat digunakan untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
Abah Mala memang pria yang sangat bekerja keras untuk anak-anaknya, termasuk Mala. Dia selalu ceria di hadapan Mala dan tidak pernah melihatkan rasa sakit atau kesusahan sedikitpun, baginya hanyalah kebahagiaan anak-anaknya. Namun, di usianya yang sudah tak muda lagi dia harus tetap bekerja keras, walau kakak-kakak Mala sering memberikan uang, tapi Abah selalu menolaknya. Abah tak membutuhkan banyak uang ungkapnya, dia hanya ingin hidup apa adanya dan berkumpul bersama anak-anaknya di usianya yang sudah renta, walau itu hanya sehari. Tapi kenyataannya kakak-kakaknya selalu saja berkata, "Aku Sibuk".
******************************************************************************************************************
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
