Live On Radiosiul - Bab 10: Bujukan Mommy #UnlockNow

0
0
Deskripsi

TENTANG BAB 10

Mommy ingin Jessie kembali ke rumah. Terima pekerjaaan sebagai pimpinan bisnis es krim dan jajanan. Jessie masih marah tentang Om Wisman. Ia ke Radiosiul lebih awal. 

Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa!


▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀

Jessie bangun pagi dengan kondisi bersimbah air mata. Ia lupa mimpi apa tapi yang pasti mimpinya tidak menyenangkan. Samar ia teringat ada Om Wisman dalam mimpinya. Om Wisman yang terkekeh-kekeh sembari menanggalkan satu demi satu pakaiannya. Om Wisman yang mengecup-ngecup kecil bahunya yang ramping.

Bayangan buruk itu belum juga pergi. Setahun sudah berlalu, setahun sudah Jessie mencoba menerima kehadiran Om Wisman, perasaannya masih saja ingin berontak. Marahnya ingin dikeluarkan. Tapi keadaan belum memungkinkan. 

Jessia segera mencuci muka. Pagi ini ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. 

Ponselnya berdering. Mommy menelepon. 

“Ya, Mommy?” tanya Jessie begitu menerima telepon. 

Seperti biasa Mommy menanyakan kabar. 

“Baik, Mom,” jawab Jessie. “Hari ini aku sudah nggak kerja jadi kasir lagi.”

Mommy mendesah. “Sampai kapan kamu hidup menderita begini, sih, Sayang?”

“Mommy yang membuat aku menderita, kan?” serang Jessie tanpa tedeng aling-aling. “Seandainya Mommy nggak – “

“Oke, okee. Oke, Jessie sayang. Mommy yang salah.” Mommy menghela napas. “Iya, Sayang, iya. Mommy salah. Mommy juga sudah minta maaf, kan?”

Sekarang ganti Jessie yang menghela napas. Mommy sudah minta maaf berkali-kali, memang. Hanya saja gadis itu belum sepenuhnya bisa memaafkan.

“Mommy minta kembalilah ke kehidupanmu yang asli, Sayang…,” lanjut Mommy. 

“Kehidupan Jessie yang sekarang juga sudah asli, Mom,” tegur Jessie kesal.

Pandangannya berkeliling. Kamar kos yang sempit. Panas bila tak dinyalakan kipas angin. Kamar mandi di luar. Rumah kos yang berisik bila sesama penghuni sedang bercanda. Suara televisi di ruang bersama yang kadang terlalu keras. Ibu kos kurang menyenangkan. Tarif sewa kamar yang selalu naik. Dapur minim fasilitas. 

“Yakin?” tanya Mommy beretorika.

Jessie memilih tidak menjawab pertanyaan barusan. 

“Mommy cuma ingin kamu kembali ke rumah. Urusan Om dan Tante Clarrisa bukan tanggung jawabmu, Sayang. Mommy juga tidak kurang-kurang dalam membantu biaya hidup Tante Clarrisa.”

Jessie menepuk kening. Kesal. Sangat kesal. Padahal Tante Clarrisa sudah menerima bantuan dari Om Wisman. Sampai mengorbankan anak perempuannya – eh, sampai mengorbankan keponakannya. Jessie dijadikan sugar-baby yang dirahasiakan keberadaannya. Harus menuruti semua keinginan si om mesum. Ternyata Tante Clarrisa juga mau juga menerima bantuan Mommy. 

“Dih…,” desis Jessie tidak suka. “Dapat bantuan dari mana-mana. Gitunya, Tante Clarrisa masih aja mengeluh nggak punya duit. Hidupnya menderita. Bingung harus bagaimana lagi untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Sok pusing bingung cari duit untuk bayar hutang.”

Mommy tak mau ikut-ikutan membahas Tante Clarrisa lebih jauh. Finansial adik iparnya perempuannya memang jatuh. Sangat jatuh. Apalagi saat suaminya tertangkap kasus korupsi. Mana terbelit hutang dalam jumlah besar lagi. Tapi, untuk hidup sehari-hari yang cukup, ya bisa dibilang Tante Clarrisa bisa-bisa aja. Perempuan itu memang hanya tahu foya-foya. Ketika kondisi keuangannya baru sedikit seret, sudah kebingungan kayak kebakaran jenggot aja. 

“Tante Clarrisa tak tahu bagaimana cara kerja. Mengambil alih perusahaan Om yang masih sehat saja dia kopong…,” tambah Mommy sedikit. Berusaha tak terlalu ikut campur. “Untungnya Om punya orang kepercayaan yang sigap kerjanya. Tantemu itu masih mendapatkan kiriman uang dalam jumlah besar hanya dengan ongkang-ongkang kaki di rumah. Untungnya juga rumahnya yang akan disita berhasil selamat atas bantuan Om Wisman.”

“Mommy, aku sudah dapat kerjaan baru.” Jessie berusaha mengalihkan obrolan. Ia tidak suka dengan tema Om Wisman. “Gajinya lebih besar. Mommy tenang aja. Beri Jessie kesempatan berkembang sendiri. Bukannya pimpinan yang bijak itu berawal dari kondisi penuh kekurangan? Jadi, ketika ia sukses, nggak akan semena-mena.”

“Berapa gajinya?” tanya Mommy tanpa tedeng aling-aling. “Lebih besar mana: gajimu sebulan atau uang saku dari Mommy? Jangan lupa juga bagi keuntungan dari perusahaan yang seharusnya kamu handle sedari lulus kuliah kemarin.”

“Aku nggak pernah ngecek isi rekening yang dibikinin Mommy untuk aku…,” kata Jessie berbohong. Padahal ia sering sekali mengamat-amati jumlah nominal isi rekeningnya. Untuk membantu menyahur hutang Tante Clarrisa tentu belum bisa. Tapi, jumlahnya banyak sekali. Untuk modal membangung usaha baru juga masih lebih-lebih.

“Ngapain sih susah-susah menderita jadi kasir, lah? Jadi… apa pekerjaan barumu?”

“Penyiar radio…,” jawab Jessie.

Terdengar suara Mommy berjengit. “Penyiar radio? Oh oke. Buat apa sih kamu capek-capek ngoceh di ruang kecil dengan gaji seuprit begitu? Ayolah, bulan depan kamu resign dari sana. Pimpin salah satu bisnis Mommy di ibukota. Kamu suka cokelat dan es krim, kan? Mommy sudah pilihkan bisnis sesuai kesukaan kamu? Atau, kamu mau meng-handle bisnis fashion?”

Ponsel Jessie berdebip samar. Jessie memerika notifikasi ponselnya. Ada pesan WhatsApp masuk. Dari Sisil Radio Siul. 

Mommy terus saja bicara. Sekarang ia bercerita sedang menunggu breakfast-nya diantarkan. Roti isi telur dan daging ham dengan segelas besar susu hangat. Perut Jessie berkeruyuk. Ia kelaparan. Makan malam bersama Alfin semalam sepertinya sudah tak bersisa lagi. 

Jessie mendengarkan cerita dan bujuk rayu Mommy sekenanya. Jarinya menggeser layar ponsel. Matanya kini membaca pesan pendek dari Sisil – si keponakan Om Burhan si pemilik Radio Siul. 

Isi pesannya sebagai berikut: Hai, Kak Jessie. Selamat pagi. Pukul 10 sudah tiba di Radio Siul, ya. Ada pengarahan sedikit dari Mbak Reni.

“Mom…,” panggil Jessie. 

Sekarang sudah menjelang pukul sembilan pagi. Ia harus bersiap. Belum lagi perutnya keroncongan. Pengin sarapan. Jangan sampai terlambat di Radio Siul pada hari pertama kerja. Kesannya bisa jelek. 

“Yes, Honey…?” Mommy menghentikan repetannya. “Oh, terima kasih, Sayang…,” ujar Mommy lagi. Perkataan barusan bukan untuk Jessie, tapi pelayan yang mengantarkan pesanan sarapan untuknya. “Jadi, kan, kamu segera resign kerja di radio?”

“Mommy….,” erang Jessie. “Ini baru hari pertama aku kerja. Ya, masa mau langsung resign? Itu artinya mengkhianati kepercayaan orang yang memberi kerja, Mom. Kecuali, Jessie sudah kerja belasan tahun, gaji nggak naik-naik, suasana kerja nggak enak, baru-lah aku ‘boleh’ mengajukan resign.”

“Oh oke,” timpal Mommy pendek. “Mommy mau sarapan. Kamu juga harus sarapan. Cari makanan sehat, jangan mi instan terus. Mau Mommy kirimin oat dan buah-buah segar lainnya? Ah, di kosmu nggak ada kulkas, ya? Ayolah, Jess, pulang ke rumah. Apartemenm kosong tuh. Jangan menyiksa diri kayak gini.”

“Aku bisa beli sendiri,” sahut Jessie cepat. “Dah, Momm. Aku harus bersiap berangkat kerja. Have a nice day!”

“Have a nice day, Sayangku. Sebaiknya kamu pikir ulang –“

Jessie mematikan sambungan telepon di ponsel. Ia memutuskan untuk mandi pagi sekalian. Sarapannya nanti bisa mampir ke warung nasi uduk yang sejalan dengan arah menuju radio. Tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, cukup dengan 10 ribu perut Jessie sudah kenyang. 

Gadis itu tiba di kantor radio menjelang pukul sepuluh. Keadaan kantor sepi seperti biasa. Suasananya seperti biasa. Bangunan teduh dengan tanaman rimbun yang dirawat dengan baik. Jessie mendorong pintu kaca. Lagu yang diputar terdengar menyenangkan. Keluar dari speaker di dalam ruangan.

“Hai, Sis – “ Jessie berhenti menyapa. Kiranya ia menemukan sosok Sisil di balik meja resepsionis. Ternyata bukan. Ada orang lain yang menunggu di sana. 

Perempuan yang berjaga di balik meja resepsionis mendongak. Tampangnya judes. Rambutnya lurus sebahu. Wajahnya terlihat bopeng bekas jerawat yang dipencet-pencet. Bedaknya terlalu tebal. Beberapa bagiannya tampak luntur kena bekas keringat – mungkin tak kuat kena panas matahari saat naik motor menuju kantor. 

Kedua mata perempuan itu menyipit. “Kamu Jessie?” tanyanya sengak. Kepalanya mendongak pongah. 

Jessie mengangguk.

“Jawab! Dengan suara! Ini radio – suaranya adalah segalanya!” katanya keras.

Jessie mengkeret. Mbak-mbak yang menyambutnya di meja resepsionis itu siapa? Galak banget….

“Ya, Mbak. Saya Jessie…,” jawab Jessie setengah gentar.

“Aku Reni…,” balas perempuan di balik meja resepsionis. “Sisil yang menghubungimu?”

Jessie mengangguk. Sedetik kemudian ia tersadar. Tidak boleh menjawab menggunakan anggukan atau bahasa tubuh lainnya. “Ya, Mbak. Sisil yang menghubungi saya di WA tadi pagi. Katanya ada pengarahan dari Mbak Reni.”

“Ya, benar.” Perempuan di balik meja resepsionis – yang namanya Reni – kembali menyipitkan mata. Ia mengibaskan rambutnya ke belakang. “Sekarang, ambil sapu dan siapkan peralatan pel. Sapu bersih ruangan kantor Radio Siul. Lalu, pel sampai bersih. Awas, kalau aku masih menemukan setitik debu mengotori lantai.”

Jessie bengong.

Reni mendelik. “Ayo, lakukan! Nunggu apa lagi?”

Jessie menggeleng. Masih sulit dipercaya ia mendengar perintah barusan. Kiranya Reni akan memberinya pengarahan tentang yang ada hubungannya dengan siaran. Tapi, ternyata….

“Ambil sapu. Siapkan pel. Semua peralatan ada di gudang belakang. Sapu dan pel ruangan kantor sampai bersih.” Perintah Reni pendek-pendek. “Kerjakan sekarang juga! Nggak usah banyak tanya! Nggak usah banyak protes!”

Jessie mulai menganggap perintah Reni sebagai perintah serius. Sepertinya penyiar kawakan di Radio Siul itu sedang mengospek dirinya.

“Sebelumnya, tolong bikinkan aku segelas kopi instan panas. Kopimiks. Ambil di ruang pantry. Gelas kecil. Nggak usah ditambahin gula.” Reni mendelik ke arah Jessie. “Sekarang!” [dps]


▶▶ Cerita  ‘Live On Radiosiul’  Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Live On Radiosiul - Bab 11: Ospek Reni #UnlockNow
1
0
TENTANG BAB 11↴Jessie diospek, disuruh ngerjain apa saja. Jessie dongkol, perut Jessie kembung melilit dikasih obat magh sama Sisil. Disuruh bersihin kebun belakang. Bambang datang. Reni mengaku itu hasil kerjanya. Dipuji Bambang. Disuruh bikin kopi. Sisil masuk ke pantry. Kamu dikerjain Reni ya?Karya-cerita Desi Puspitasari bagian ini bisa dibaca di laman bawah, yaa! ▶▶ ‘Live On Radiosiul' Bagian Sebelumnya Sila Baca Di Sini! ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan