Covenant of Mariel, Ch.2

8
1
Deskripsi

Ch. 2 — Lebih Gelap Dari Hitam

PENGETAHUAN tentang pembuatan artefak sihir secara total dirahasiakan dari publik. Baik itu artefak sihir biasa sampai artefak legenda, semuanya sama. Bahkan sejarahnya pun telah dimanipulasi sedemikian rupa.

Pelakunya tak lain adalah Federasi Ainzow, tepatnya tujuh klan utama yang jadi cikal bakal berdirinya federasi. Mereka memonopoli semua pengetahuan tentang artefak sihir. Bahkan, sudah lama Federasi menjadi satu-satunya produsen artefak sihir di dunia.

Ketujuh klan itu menghabisi siapa pun yang punya pengetahuan tentang pembuatan dan sejarah asli artefak sihir. Tak peduli jika itu perorangan, satu keluarga besar, satu kota, bahkan satu negara. Ketujuh klan itu melenyapkan semuanya.

Klan Jirniva—klan terbesar dari ketujuh klan tersebut—bahkan dirumorkan ikut andil dalam berdirinya Teokrasi Demoskva. Itu sebabnya Teokrasi tak pernah mengambil tindakan drastis terhadap kejahatan genosida Federasi.

Contoh yang paling nyata dan terbaru adalah apa yang terjadi pada Klan Mernogal dari bangsa elf.

Satu setengah abad lalu, Klan Mernogal menemukan prasasti peninggalan Peradaban Melantis. Prasasti itu diduga berisi tentang artefak sihir. Namun, sebelum berhasil mengurai keseluruhan isi prasasti, desa mereka dibantai dan prasasti itu dirampas.

Dikatakan, tak ada yang selamat dari penduduk desa itu. Jika ada, mereka pasti telah melarikan diri dari Federasi. Mereka bersembunyi entah di mana. Dan yang paling mengagetkan, pelaku pembantaian dan pencurian itu tak pernah diketahui.

Namun anehnya, sebulan setelah itu Klan Jirniva mengumumkan mereka menemukan prasasti baru. Sangat jelas bagi siapa pun perihal dari mana prasasti itu didapatkan. Namun, tak ada yang berbuat apa pun. Dunia diam. Mereka bungkam.

Bahkan Klan Lancedragon, klan besar yang jadi penguasa Kerajaan Besar Camenia sejak awal berdirinya hingga detik ini, tak berkomentar apa pun—padahal mereka rival utama Klan Jirniva sebagai klan terkuat. Keterdiaman itu seakan jadi pengakuan akan keinferioritasan mereka.

Dunia berada dalam kontrol Federasi Ainzow, tepatnya tujuh klan utama pendiri federasi—dan terkhususnya Klan Jirniva. Artefak sihir mereka sudah jadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Mulai dari listrik, kereta api, bahkan sampai penanak nasi.

Menjadi musuh Federasi Ainzow artinya mengakhiri kenyamanan hidup. Wajar jika para penguasa tak berkutik; tak heran jika dunia bungkam. Terlebih lagi, Klan Mernogal tak lebih dari sebuah klan kecil. Ada tidaknya mereka takkan memengaruhi apa pun.

Namun, saat dunia bungkam, para Mernogal yang berhasil melarikan diri dari pembantaian Federasi terus berjuang melawan kezaliman mereka.

Berbekalkan bagian prasasti yang sempat mereka selamatkan sebelum desa diserang, para Mernogal yang selamat berusaha menerjemahkan bagian prasasti itu.

Pemimpin mereka yang telah tewas belasan dekade lalu meyakini bagian prasasti itu berisikan artefak sihir yang kuat. Menerjemahkannya bisa membantu mereka menggulingkan Klan Jirniva.

Namun, jaringan informasi Klan Jirniva melingkupi seluruh dunia. Informasi akan keberadaan para Mernogal yang selamat sampai ke telinga Klan Jirniva. Mereka pun kembali diburu. Tak ada tempat untuk berlindung. Satu per satu anggota mereka terbunuh.

Yang tersisa hanya Rubia Mernogal yang masih belia dan ayahnya. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Untuk beberapa minggu mereka dapat hidup dengan tenang.

Namun, sang ayah menyadari cepat atau lambat mereka juga akan mati.

Jadi, dia membuat putrinya menghapal isi artefak itu, berharap suatu hari nanti dia dapat menerjemahkannya. Kemudian sang ayah menitipkan putrinya ke penginapan dengan bayaran sejumlah uang. Lantas ia berlari ke arah laut sembari membawa bagian prasasti tersebut.

Setelah dua hari, sekelompok orang bertopeng berhasil memburu sang ayah. Namun, dia tak lagi takut. Ia telah memercayakan sisanya pada sang putri. Di hadapan orang-orang bertopeng itu, ia membuang bagian prasasti tersebut ke laut. Ia mati dengan senyum kepuasan di bibir.

Meski begitu, nasib tak berpihak pada putri sang Mernogal. Setelah lima hari, pemilik penginapan menjualnya ke perbudakan. Seorang wanita dari keluarga kaya membelinya. Bukan untuk dipekerjakan apalagi dibebaskan, tapi untuk disiksa.

Dari usia enam tahun sampai sepuluh tahun dia disiksa terus-terusan. Sabetan cambuk jadi makanan sehari-harinya. Meski begitu, sang elf kecil terus bertahan. Ia perlu melaksakan kehendak ayahnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bertahan.

Namun, nasib kembali tak berpihak padanya. Di saat ia dalam perjalanan dengan wanita sadis yang membelinya, sekelompok orang berjubah hitam membunuh sang wanita dan menculiknya. Ia dirantai, dikandangkan, lalu dibawa ke dalam hutan.

Hal terakhir yang ia ingat sebelum jatuh pingsan adalah sungai besar yang menghalangi jalan. Barangkali ia akan dibenamkan ke dasar sungai, pemikiran itu memenuhi kepala sang elf sebelum kesadarannya terlelap.

                                °•°•°• ⁋⸸¶ •°•°•°

Saat Rubia Mernogal membuka mata, bukan dasar sungai yang menyambutnya.

Tubuhnya tak tenggelam dalam air.

Rubia bisa bernapas dengan baik. Pun seluruh rasa sakit di tubuhnya telah hilang – luka-lukanya telah lenyap tak berbekas. Ia terbaring di atas matras di dalam sebuah tenda. Kaki dan kedua tangannya tak lagi terantai.

Namun, yang paling menyita perhatian adalah bau sedap yang membuat air liurnya aktif. Ada yang sedang membakar ikan di luar. Bumbu yang digunakan membuat aroma sedapnya menguar.

Rubia spontan mendudukkan diri, merangkak ke penutup tenda, mengintip ke luar mencaritahu siapa orang yang sedang membakar ikan.

Mengejutkan Rubia, yang sedang membakar ikan adalah manusia yang seusianya. Ia coba memandang ke sekeliling, lalu berbalik memandang ke sisi belakang tenda. Namun, Rubia tak menemukan siapa pun lagi.

Apa anak itu yang menyelamatkannya dari orang-orang berjubah dan lalu menyembuhkannya?

Bagaimana bisa? Dia hanya anak manusia seusia dirinya? Bagaimana mungkin?

Sangat tak masuk akal.

Atau barangkali, orang yang menyelamatkannya sedang pergi?

Rubia tidak tahu. Namun, tetap diam di dalam tenda takkan menjawab pertanyaannya. Terlebih lagi, kenyataan kalau ia telah disembuhkan menunjukkan kalau mereka tidak jahat. Jadi, ada baiknya ia keluar.

Mengangguk pada dirinya sendiri, Rubia menyibak penutup tenda dan melangkah keluar. Ia berjalan pelan, berusaha tak menimbulkan suara dalam langkahnya. Rubia tidak tahu bagaimana dia akan bereaksi, jadi ia harus hati-hati.

"Bagaimana keadaan tubuhmu?"

Pertanyaan itu mengejutkan Rubia. Pasalnya, ia datang dari belakang anak itu tanpa suara. Namun, tetap saja ia ketahuan. Anak itu bahkan bertanya tanpa melihat ke belakang. Dia seakan merasakan keberadaannya walau tak melihat.

"Masih ada rasa sakit?"

Memenuhi dirinya dengan keberanian, Rubia menggeleng pelan dan berhenti di samping anak laki-laki itu. Ia menjaga jarak sekitar satu meter darinya, hanya untuk berjaga-jaga.

"Tak ada lagi yang sakit," kata Rubia. "Tubuhku sudah jauh lebih baik, bahkan tak pernah lebih baik. Ngomong-ngomong, siapa kau? Di mana orang yang telah menyelamatkan dan menyembuhkanku?"

"Bukannya kau harus memperkenalkan dirimu terlebih dahulu, baru bertanya nama orang lain?"

"Itu benar." Rubia mendudukkan diri, ia tak berpikir anak laki-laki itu akan menjahatinya. "Namaku Rubia," ujarnya.

Ia memutuskan mengabaikan nama Mernogal sebagaimana yang ayahnya inginkan. Nama itu akan membawanya dalam bahaya. Ia baru boleh menyandang nama itu lagi jika ia merasa bisa selamat dari orang-orang yang mengejar mereka.

"Hanya Rubia?"

"...Ya."

Rubia melirik wajah anak laki-laki itu. Ia sempat ragu untuk menjawab, jadi ia pikir anak itu menyadarinya. Berbohong itu hal yang buruk, mungkin anak itu akan membencinya.

Namun, anak itu hanya mengangguk pelan. Dia mengambil salah satu ikan dan menyerahkannya pada Rubia. "Makanlah," katanya – walau kecil dia sama sekali tak terlihat seperti anak kecil.

Rubia agak ragu-ragu, tapi perutnya yang lapar memaksanya mengangguk. Ia menerima ikan itu dan berterima kasih.

Tusuk kayunya tak terbakar sedikit pun. Mungkin diolesi minyak, pikir Rubia sembari meniup ikan guna mengusir panas lalu menggigit dagingnya.

Anak itu juga mulai memakan ikannya. Dia tak mengatakan apa pun, hanya memakan ikan dalam diam. Dia tak mengatakan namanya sama sekali. Apa dia sudah lupa pertanyaannya?

"Siapa kau?" tanya Rubia sekali lagi. "Di mana orang yang menyelamatkan dan menyembuhkanku?"

"Jangan bicara saat makan," tukas anak itu.

Rubia tidak senang dengan responsnya, tapi ia mengangguk. Dia sudah cukup baik memberinya ikan, jadi sudah sepantasnya ia mengikuti aturan makannya. Rubia melanjutkan makannya dalam diam.

Namun, sesaat kemudian ikan itu habis, dan ia belum kenyang. Hal itu membuatnya melirik pada ikan yang lain—dan pada anak laki-laki itu juga. Saat dia meliriknya balik, Rubia dengan cepat memalingkan wajah.

"Ini, ambil."

Anak laki-laki itu menyodorkan dua ikan untuk ia ambil.

"A-Aku sudah kenyang," kata Rubia, tapi kedua tangannya dengan cepat mengambil kedua ikan itu. "Ku-Kuambil bukan karena aku lapar, ta-tapi agar tak mubazir."

"Hm."

Itu bukan respons yang bisa diterjemahkan. Namun, Rubia seakan bisa memahaminya. Terlebih lagi ia melihat pandangan anak itu sedikit mendatar padanya. Dia seakan ingin mengatakan kalau ia benar-benar tak lapar secara satire.

Rubia sedikit menggembungkan pipinya karena tak dipercaya, tapi ia tak bisa komplain. Tidak saat ia memakan ikan dengan agak cepat. Namun, ia juga tak bisa disalahkan. Ini kali pertama sejak jadi budak ia makan seenak ini.

"Ini," anak laki-laki itu menyodorkan potongan bambu berisi air untuknya. "Minumlah. Tubuhmu perlu air."

Rubia mengangguk, berterima kasih pada anak laki-laki tersebut. Ia meneguk minuman itu, lanjut memakan ikannya. Siapa pun yang membuat bumbu untuk ikan bakar, dia hebat. Ia memuji orang itu.

Rubia akhirnya kenyang setelah makan ikan ketiga. Ia bahkan bersendawa setelah menghabiskan air minum. Itu membuatnya sedikit malu, tapi ia menutupinya dengan berpura-pura tidak tahu kalau ia bersendawa.

"Ja-Jadi, siapa kau?" tanya Rubia untuk mengusir kecanggungan yang tercipta. "Di mana orang yang telah menyelamatkan dan menyembuhkanku?"

"Mariel Allvar," gumam anak laki-laki itu. Dia mengambil ikan bakar terakhir dan memakannya.

Melihat itu membuat Rubia bertanya. "Bukannya ikan itu untuk orang yang bersama Mariel? Kenapa Mariel makan?"

"Tak ada orang lain di sini," ucap Mariel. "Di sini hanya ada kau dan aku. Kau bisa mencarinya kalau tak percaya, tapi bukan salahku jika kau diterkam canavar."

Rubia memandang Mariel bingung. "Mariel serius?" tanyanya tak percaya. "Jadi, siapa yang menyelamatkan dan menyembuhkanku? Bagaimana pula kita bisa aman berada di----tunggu dulu, Mariel ingin bilang kalau Mariel yang menyelamatkanku?"

"Kau cukup pintar juga, huh."

Itu bukan pujian. Itu satire. Dari intonasinya saja cukup jelas. Namun, Rubia tak punya waktu untuk cemberut. Ia terlalu terkejut mendengar hal itu untuk cemberut.

"Bagaimana bisa? Mariel terlihat seumuran denganku. Aku tak percaya."

Mariel tak merespons ucapan Rubia dengan kata-kata. Dia menjawab dengan perbuatan.

Energi sihir berkumpul di tangan kiri Mariel. Lalu, setelah energi itu membentuk bulatan kecil, Mariel menyentilnya hingga mengenai pohon besar. Dan peluru itu menembus pohon besar itu hingga ke sisi yang lain!

Rubia memandang kejadian itu dengan mata membulat, terkesima. Ia juga ingin melakukannya. Itu bisa membuatnya kuat. Jika ia kuat, ia bisa memakai nama Mernogal tanpa perlu takut akan apa pun.

"Mariel, ajari aku sihir!" seru Rubia sembari berlutut dan menundukkan kepala di samping Mariel. Ia ingin berlutut di depannya, tapi ada api. "Aku akan lakukan apa pun yang Mariel minta sebagai gantinya. A-Aku juga bisa jadi istrimu kalau sudah besar!"

Mariel melirik Rubia sekilas. Ia lantas membuang tusuk ikan ke dalam api, menenggak minumnya sampai habis.

Selama itu Rubia tak mengangkat kepalanya. Ia sudah belajar. Orang yang perlu pertolongan harus merendahkan diri di hadapan orang yang dimintai tolong.

"Kenapa kau mau belajar sihir?"

"Aku perlu jadi kuat," ucap Rubia seserius yang ia bisa – ia melakukannya tanpa mengangkat kepala. "Seluruh klanku dibunuh. Ayahku juga sudah dibunuh. Aku yang tersisa. Jika aku kuat, aku tak perlu takut lagi."

"Klanmu?"

"Klan...Mernogal."

Rubia agak ragu untuk mengatakannya. Ia khawatir jika Mariel akan memberitahukannya kepada orang-orang federasi. Namun, ia tahu ia harus mengatakannya. Orang yang meminta tolong tak pantas menyembunyikan kebenaran.

"Namamu Rubia Mernogal?"

Rubia mengangguk – mengatakan kebenaran adalah hal paling penting saat meminta tolong.

"Aku tak pernah dengar nama klan itu. Tapi ya, aku bisa mengerti kenapa kau mau jadi kuat. Di mana pun, kekuatan adalah hal terpenting. Bukan uang, bukan jabatan, bukan pula informasi. Tanpa kekuatan, ketiga hal itu takkan bisa dimanfaatkan dengan baik. Tapi dengan kekuatan, ketiga hal itu bisa didapatkan dengan mudah. Yang jadi tameng utama antara seseorang dengan kematian adalah kekuatan."

Sebagai budak, Rubia tak punya kesempatan untuk bermain dengan anak seumurannya. Meski begitu, ia yakin tak ada anak seumurannya yang seperti Mariel.

"Baiklah. Tapi latihan dariku tidak mudah. Kau siap?"

Rubia mengangguk. "Aku siap kapan pun!" serunya sembari berdiri. "Tak peduli seberapa keras latihan itu, akan kulakukan!" tegasnya dengan kedua tangan mengepal.

"Kau yakin? Saat aku mulai mengajarimu, takkan ada lagi kesempatan untuk berhenti. Yang menantimu hanya dua: mati atau jadi lebih kuat. Kau tak punya pilihan untuk berhenti. Bahkan jika kau melarikan diri, aku akan memburu lalu melemparmu ke dalam kawanan canavar."

Mariel mengucapkan kalimat terakhir dengan pandangan tajam. Itu membuat Rubia menelan ludah, tapi ia meyakinkan dirinya dan mengangguk. Kepalan kedua tangannya semakin kuat.

"Aku yakin!" seru Rubia.

Jawaban Rubia membuat Mariel tersenyum tipis. "Bagus," ucapnya lalu berdiri. "Ikuti aku," perintahnya sembari berbalik badan dan melangkah pergi. "Kita mulai latihanmu hari ini juga."

Rubia tak menunggu perintah kedua. Ia langsung bergegas menyusul anak laki-laki itu. Ia tidak tahu sehebat apa dia. Namun, seumur hidupnya, Rubia belum pernah melihat ada yang dapat mengendalikan energi sihir semudah Mariel.

"Latihan apa yang harus kulakukan hari ini?" tanya Rubia penuh semangat.

"Kau akan lari dari kejaran sekelompok canavar. Kau akan terus berlari sampai kakimu tak sanggup lagi. Setiap kali aku harus membunuh canavar untuk melindungimu, kau harus berendam dalam air es selama satu menit di malam hari."

Kata-kata Mariel spontan membuat kaki Rubia terhenti. Seluruh semangatnya seakan lenyap tak berjejak. Itu bukan latihan. Itu percobaan pembunuhan. Rubia tidak mau mati. Namun—

"Ingat, Rubia, tak ada kata berhenti, atau aku akan melemparmu ke dalam kawanan canavar dan membiarkan mereka memakanmu."

—ancaman itu sukses membuat kaki Rubia kembali melangkah. Ia berjalan cepat mengikuti anak laki-laki itu.

Tepat saat kaki Rubia sejajar dengannya, Mariel melompat ke udara. Dia terus meninggi sampai belasan meter. Yang membuat Rubia kagum adalah fakta kalau dia tidak kunjung jatuh. Dia melayang. Itu sangat mengagumkan.

Namun, Rubia tak punya waktu untuk kagum. Mariel telah menembakkan laser energi sihir ke arah timur. Dan tepat setelahnya, raungan para canavar terdengar. Mereka berlari ke arah Rubia.

"Lari, Rubia!"

Bahkan tanpa perlu disuruh, kaki Rubia sudah otomatis berlari. Tak mungkin dia akan diam di tempat melihat kedatangan para binatang buas.

"Mariel, kau jahat!" teriak Rubia sembari berlari sekuat tenaga ke arah utara.

                               °•°•°• ⁋⸸¶ •°•°•°

Mariel sekarang mengerti akan apa yang Lukhiel rasakan saat melatihnya. Lebih tepatnya, ia mengerti karena ia pernah berada di posisi Rubia. Jika tidak, mungkin ia takkan mengerti.

Tak ada kesenangan saat melihat anak kecil seperti itu berlari dari kejaran binatang buas. Namun, karena Mariel pernah berlari dari kejaran binatang buas, kesenangan itu ada. Lebih tepatnya, rasa terhibur.

Meski begitu, Mariel tak membiarkan elf kecil itu terluka karena canavar. Terjatuh adalah hal yang berbeda. Itu jadi pelajaran untuk Rubia. Tapi terluka karena terkena serangan canavar? Itu jadi kelalaian bagi Mariel. Itu tak bisa ia biarkan.

Mariel mengandalkan elemen angin untuk mengikuti Rubia dari bawah, memastikan keselamatannya dari para canavar.

Sesekali ia membunuh canavar yang mencoba menerkam gadis itu. Energi kehidupan memang terbatas jumlahnya, tapi Mariel bisa memperbaharui energi yang hilang dengan memanfaatkan magiton dari alam.

Berbeda dengan Mariel dulu, Rubia tak bertahan begitu lama. Dia jatuh tersungkur setelah hampir tiga puluh menit. Mariel terpaksa turun tangan dan menghabisi semua canavar dengan pedang angin yang memanjang.

"Berapa kali aku turun tangan?" tanya Mariel, mendarat tepat di samping sang gadis. "Kau menghitungnya?"

Rubia memaksakan diri berbalik badan guna memandang Mariel. "Enam...belas?" tanyanya.

"Dua puluh enam. Kau tahu apa artinya itu?"

"Mariel akan membunuhku?"

Meminta anak kecil berendam di dalam air es di malam hari selama dua puluh menit memang bisa dianggap sebagai upaya pembunuhan. Rubia tak salah menyimpulkannya begitu.

Namun, Mariel tak punya niat menyuruhnya berendam dalam air es. Itu tak lebih dari ancaman kosong. Lukhiel memang tak bercanda dengan ancamannya, tapi Mariel tak bisa sekeras itu pada gadis kecil di hadapannya.

"Mungkin," Mariel mengedikkan bahu. "Tapi yang lebih penting, Rubia, kau perlu mandi. Baumu sudah begitu menyengat."

Mata Rubia spontan melebar mendengar hal itu. Dia refleks bangun dan menciumi tubuhnya sendiri. Dan seketika matanya kian melebar. Aroma tubuhnya sama sekali tak bisa dibilang sedap.

"A-Aku tidak bau!"

"Coba katakan itu tanpa memalingkan wajahmu."

"A-Aku tidak bau...mungkin."

Mariel menggeleng pelan. "Ayo kembali," katanya lalu melangkah pergi. "Aku akan membuat kamar mandi yang bisa kau pakai. Kau juga tak bisa memakai baju usang itu lagi. Untuk sementara, pakai bajuku yang lain."

Rubia bangkit dan dengan cepat menyusul Mariel. "Mariel takkan membunuhku?" tanyanya sembari berusaha menyejajarkan langkah dengan Mariel.

"Itu pertanyaan yang bagus."

Mariel sama sekali tak menjawab pertanyaan Rubia. Gadis itu menggembungkan pipinya sedikit kesal. Mariel tersenyum tipis. Rubia gadis yang kuat, luar biasa. Setelah melalui banyak hal, dia sama sekali tak putus asa.

Dia bisa jadi kuat, Mariel yakin itu. Terlebih lagi, sang elf punya crest. Mariel bisa merasakan kekuatan yang tertidur itu. Rubia akan bisa mewujudkan keinginannya.

Namun, kemungkinan besar Mariel takkan ada di sampingnya untuk melihat keberhasilan sang elf. Setelah Rubia cukup kuat, Mariel akan pergi. Ia punya kehidupannya sendiri untuk ia urus.

Sesampainya di tempat tendanya berada, Mariel langsung mengerahkan energi kehidupan untuk membentuk bangunan kosong dari tanah. Lantas ia merangkai sistem toilet.

Kemudian Mariel membuat bak mandi dan penampungan air dari kayu. Gayung kayu juga ia buat. Kemudian keduanya ia isi air, lalu air itu ia hangatkan dengan api. Tak lupa pula Mariel membuat ventilasi. Dan begitulah, kamar mandi yang layak selesai ia buat.

Rubia langsung bertepuk tangan, terkagum dengan apa yang ia lakukan.

"Mariel, Mariel, apa aku akan bisa melakukannya juga?" tanya Rubia, matanya sedikit berbinar.

"Tergantung," kata Mariel sembari mengedikkan bahu, membuat Rubia sedikit cemberut. Tetapi Mariel abai. Ia mengambil tasnya dan mengeluarkan sepasang baju dan celana. "Mandi dan pakai itu sebagai pakaian sementaramu," tukasnya – melempar baju dan celana ke arah Rubia.

Rubia menangkap baju dan celana itu lalu menjulurkan lidahnya mengejek Mariel, lantas melarikan diri ke dalam kamar mandi.

Mariel menggelengkan kepalanya pelan. Namun, ia tak mengatakan apa pun. Tak pula ia mempermasalahkan. Barangkali ini hari terbaik pertama dalam hidup Rubia setelah sekian lama. Tak ada salahnya membiarkan dia menikmatinya.

Saat matahari hendak terbenam, awan gelap mulai memayungi hutan. Kegelapan pekat lantas menyelubungi dunia saat matahari lenyap. Langit jadi lebih gelap dari hitam. Namun, kehangatan di mata Rubia tidak ikut luntur.

Mariel memandangi mata gadis itu selama makan malam mereka. Mungkin keputusannya menolong Rubia adalah keputusan yang benar. Gadis itu pantas mendapatkan kenyamanan dalam hidupnya.

Hujan lebat mulai mengguyur sebagian wilayah hutan sesaat kemudian. Mariel pun memutuskan untuk istirahat lebih cepat. Ia mematikan api dan menyuruh Rubia masuk ke tenda.

Pada saat yang bersamaan, Mariel menciptakan enam belas pilar petir dan menancapkannya di sekeliling tenda.

Jika ada canavar atau siapa pun yang mendekat, pilar petir itu akan melepas sambaran petir. Itu juga akan membangunkan Mariel. Lebih dari itu, pilar petir juga jadi penerang dalam kelamnya malam.

Saat Mariel kembali ke dalam tenda, Rubia telah memberi batasan. "Aku bukan lagi anak kecil, jadi harus ada batasan," katanya seraya menepuk-nepuk bagian kosong untuk Mariel.

Mariel mengedikkan bahu. Ia melepas jaketnya lalu berbaring tanpa mengatakan apa pun. Matanya langsung memejam. Ia bahkan tak memikirkan hal aneh apa pun.

"Kau bisa tidur," kata Mariel setelah hampir dua menit, meyakinkan Rubia untuk tidur. "Takkan ada canavar yang ke sini. Jika ada, aku akan langsung terbangun."

"Mariel, Mariel, bagaimana Mariel bisa begitu kuat? Kenapa Mariel sendirian di dalam hutan ini? Di mana keluarga Mariel?"

Respons yang datang tak ada hubungannya dengan ucapan Mariel. Namun, pertanyaan Rubia juga wajar. Dia punya waktu untuk berpikir, tak heran jika pertanyaan itu muncul. Keingintahuan dan kepenasaranan sulit dibendung.

"Tak jauh berbeda denganmu. Aku dibawa ke hutan ini dan diselamatkan orang lain. Karena itu aku menyelamatkanmu juga. Sekarang tidurlah, jangan banyak tanya. Besok kau harus berlatih keras."

Untuk mempertegas perkataannya, Mariel berbalik membelakangi Rubia. Aksinya dengan kuat mengatakan tak ada lagi pembicaraan. Bahkan jika Rubia bersitegas mengajak bicara, takkan ia beri respons.

"Mariel?"

"..."

"Mariel, boleh aku tidur lebih merapat?"

Pertanyaan itu membuat Mariel menghela napas. "Bukannya kau bilang kau bukan lagi anak kecil?" tanyanya tanpa berbalik.

"Mariel, boleh aku tidur lebih merapat?"

"Kau mengabaikan pertanyaanku?"

"Mariel, boleh aku ti—"

"Terserahmu."

Walaupun dalam keadaan mata terpejam dan membelakangi gadis elf tersebut, Mariel dapat merasakan dia tersenyum. Ah, merasakan kurang tepat. Lebih seperti ia tahu dia tersenyum.

"Mariel, boleh aku memelukmu?"

"Bukannya kau bilang kau bukan lagi a—"

"Aku takut kalau ternyata ini semua mimpi," ucap Rubia memotong perkataan Mariel. "Aku tak mau kembali lagi. Aku tak mau semua ini sebagai ilusi. Aku takut kalau terbangun nanti akan kembali berada di tempat itu."

...Mariel hanya bisa menghela napas panjang. Sulit menolak jika itu alasannya. Ia berbalik badan, memandang Rubia yang juga memandangnya.

"Mariel, boleh a—"

"Sekarang tidur," potong Mariel sembari melingkarkan tangan memeluk tubuh kecil Rubia. "Jangan bicara apa-apa lagi," tambahnya lalu memejamkan mata. "Pejamkan matamu dan tidur."

Rubia mengangguk. Ia memejamkan mata dan menyamankan kepalanya di bantal dedaunan kering – bibirnya melengkung lembut bersamaan dengan tangannya yang melingkar memeluk Mariel.

Jika Mariel punya adik perempuan, apa ia akan terpaksa memeluknya seperti ini agar dia bisa tidur dan tak bermimpi buruk?

Mariel tidak tahu. Bisa jadi iya. Namun, ia rasa itu bukan hal yang buruk.

Ya. Barangkali itu memang bukan hal yang buruk.

              —End of Chapter 2 | 3.401 kata—

Thank you for reading ^^

###>Next, Chapter 3: Dunia Bukan Surga [Sabtu, 2 Desember 2023 | 20.00 WIB]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Covenant of Mariel, Ch.3
8
3
Ch. 3 — Dunia Bukan Surga
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan