bab 2. teman manusia

3
0
Deskripsi

Sesampainya di rumah Mbak Lastri, Malik mendengar sebuah nama yang sudah lama tak melintasi benaknya selama 20 tahun terakhir. Kabar yang beredar, Rangga ditangkap polisi. Dengan wujud dan kenangan yang samar, Malik tak dapat membayangkan kehidupan yang dijalani oleh teman masa kecilnya. Sementara itu, Banyu kecil punya hadiah ulang tahun untuk pamannya tersayang, yaitu sebuah jam meja berbentuk kepala Hello Kitty.

“Mal, kamu inget nggak sama Rangga?” tanya Mbak Lastri, sesaat setelah ia melangkah keluar mobil. 

Gerimis kembali turun saat kami baru saja sampai di rumah Mbak Lastri. Suara tetesan air di kanopi halaman parkir menjadi lagu latar belakang yang menenangkan hati, apalagi hari ini aku berhasil meninggalkan rumah 10 km jauhnya. Sepanjang perjalanan, badanku memang tampak duduk santai di jok penumpang, tapi jantungku bagaikan berpindah tubuh ke atlet lari maraton.

Banyu menjadi pahlawan kecil malam ini karena jasanya membantuku tetap fokus di kursi depan. Berkat ‘kekuatan supernya’, dunia yang mencekam berubah menjadi taman bermain yang tak pernah berakhir. 

Bersamanya, Banyu mengalihkanku pada setiap kendaraan bermotor yang lewat di sekitar mobil kami. Ia mengajakku mengeja setiap angka dan huruf pada plat kendaraan. Ketika sudah bosan, atraksi ‘ninja melompati atap-atap rumah dan kabel listrik’ menyibukkan kami sepanjang perjalanan. Ketika sudah memasuki komplek perumahan, aku mengajarinya menyanyi lagu ‘satu satu sayang ibu’ dengan mengubah setiap huruf vokalnya menjadi satu huruf yang sama. Banyu tertawa renyah ketika kami menyanyi ‘sete sete eke seyeng ebe’.

Begitu mobil masuk ke halaman parkir, taman bermain kami pun berakhir. Si jagoan cilik tak lagi peduli dengan perbincangan dua orang dewasa, karena ia punya misi penting. 

“Bun, mau pipis!” Banyu merengek. 

Aku tak sempat menjawab pertanyaan Mbak Lastri karena perhatiannya beralih pada si putra semata wayang. 

“Ya udah, ayo! Bunda nggak mau nyuci loh, ya, kalau kamu pipis di celana!” Meski sambil mengomel, Mbak Lastri tetap mengantar anaknya masuk ke dalam rumah.. 

Suara mereka sayup-sayup menghilang, sementara aku masih menanggung tugas untuk menutup pintu pagar. Pembatas rumah itu memekik nyaring setiap kali aku menyeretnya. Rodanya yang berkarat, ditambah lagi terguyur hujan, menjadi kombinasi sempurna untuk membuat anjing tetangga menggonggong. Semoga saja tidak ada tetangga yang jantungan. Dengan tenaga seadanya, kutarik pagar itu cepat-cepat, meski harus mengernyit saat roda-roda itu melaju pada relnya.

Sembari mengaitkan slot pada lubang, pikiranku mengawang pada pertanyaan Mbak Lastri yang menggantung di udara. 

Dua puluh tahun lalu, aku pernah mendengar nama itu. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Dalam hidup ini, jumlah manusia yang kuanggap sebagai teman dapat dengan mudah kuhitung dalam satu tangan. 

Satu. Selama hidupku, aku hanya punya satu orang teman manusia.

“Udah digembok belum pagarnya?” Mbak Lastri yang kembali muncul di teras rumah membuatku jantungan.  Hanya dalam waktu singkat, ia tampak lebih kacau dibandingkan dengan saat kami baru tiba. Celana panjang yang ia kenakan telah tergulung hingga lutut, air meresap pada lipatannya. Jaket yang tadi ia kenakan telah dilepaskan, yang tampak kini kaos T-shirt hitam butut dengan logo Led Zeppelin yang lengannya menyingkap sepasang bahu tak berdaging.

 “Udah, Mbak,” jawabku singkat.

“Cek lagi, deh. Kayaknya tadi aku belum denger suara ‘ceklek’.”

Aku menghela nafas, kembali mengecek slot kunci di sudut dinding seperti permintaan sang ratu. Seperti biasa, Mbak Lastri selalu benar. Kait gemboknya masih menggantung dan belum terkunci rapat. Dengan satu tangan, aku menguncinya hingga berbunyi ‘ceklek’.

*

“Mbak tadi kenapa tanya tentang Rangga?” tanyaku, di antara suapan nasi goreng ikan teri yang Mbak Lastri masak malam ini. Setelah membantunya memandikan dan mengganti baju Banyu, Mbak Lastri mengajakku duduk di meja makan untuk mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan. Tak ada lagu ‘Selamat Ulang Tahun’, lilin, bahkan kue utuh berdiameter 20 cm di tengah meja. 

Pemborosan banget beli kue segede itu, Mbak Lastri selalu beralasan. Merayakan ulang tahun memang bukan tradisi keluarga kami, tapi setidaknya kami masih ingin bergembira meski bertambah tua setiap tahun. 

Membeli tiga potong kue cukup untuk memanjakan lidah, sekaligus memeriahkan suasana. Seandainya tidak ada kue pun, aku cukup bahagia dengan sebakul nasi goreng ikan teri masakan Mbak Lastri. Bahkan, aku sudah dua kali mengisi piring. 

“Nggak papa. Nama lengkap dia siapa, ya? Dwirangga Hardi bukan sih?” tanya Mbak Lastri sambil mengambil sepotong tempe goreng lagi.

“Aku nggak inget,” balasku, dengan dahi yang berkerut semakin dalam. “Bentar deh, Mbak. Ada apaan sih? Kenapa tiba-tiba nanya soal Rangga? Ada kejadian apa?”

“Nggak papa, Malik.”

“Nggak papa tapi kok bolak-balik nanya gitu,” timpalku, sambil mengosongkan bakul nasi dari sisa nasi goreng. 

Apa mungkin Rangga sedang main ke kota ini dan ingin bertemu denganku? Di umur kami, menyebar undangan pernikahan adalah hal yang wajar. Bisa jadi Rangga telah menemukan seseorang dan ingin mengundangku untuk hadir ke resepsinya. Tapi, apa iya pertemanan kami yang singkat pantas untuk dirayakan dalam sebuah reuni? Dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Kenangan masa SD-ku pun samar-samar. 

Meski pada suatu waktu ia adalah temanku satu-satunya, aku mungkin tidak akan dapat mengenali wajah Rangga sekarang. “Cerita aja, Mbak. Ada kejadian apa?” tanyaku lagi.

Mbak Lastri menggigit bibir, posisi duduknya yang tadinya miring ke kanan, berganti miring ke kiri. Sendok makannya mengetuk piring yang nyaris kosong. “Tadi pagi, aku lihat berita di TV,” ucapnya pelan. “Kayaknya si Rangga ditangkap polisi, deh.”

Nasi yang menggunung di sendokku tertahan di udara. Mulutku menganga, dan perutku bingung antara harus mencerna kata-kata Mbak Lastri atau suapan nasi yang tak juga mengisi kerongkongan. 

“Ta, tapi bisa aja aku salah, ya!”  Mbak Lastri buru-buru menambahkan, mengisi udara yang sempat kosong di antara kami dengan tawa kering. “Berapa banyak sih orang bernama Dwirangga Hardi di dunia ini?”

Apakah sesuatu yang buruk benar-benar terjadi pada Rangga? Apakah dia menjadi buronan polisi? Pembunuh berantai? Merampok bank? Korupsi uang milyaran? Seperti kata Mbak Lastri, aku harap pria yang ia lihat di TV bukanlah Rangga yang kukenal.

Melihat perubahan air mukaku, Mbak Lastri bangkit dari duduknya. 

“Udah, Mal, nggak usah dipikirin. Eh, udah selesai makannya, kan? Yuk, potong kue! Banyu, kamu mau kue, nggak?” seru kakakku ke arah kamar tidur di seberang kami. 

Tapi, tak ada balasan dari dalam. Aku bangkit untuk mengintip kondisi Banyu. Ternyata ia sudah terlelap di tempat tidur dalam keadaan telentang. Sebuah buku bergambar yang belum selesai dibaca menutupi perutnya, dengan mobil-mobilan tergeletak terbalik di dekat kepala Banyu. 

Aku kembali ke meja makan dan berbisik pada Mbak Lastri yang sedang membereskan piring-piring kosong di meja makan. “Banyu ketiduran. Nggak usah dibangunin, ya?”

“Iya, biarin aja. Kalo dibangunin dia malah tantrum,” balas kakakku.

Dalam sekejap, meja makan telah kosong. Setiap piring dan sendok telah menumpuk jadi satu, lenyap bersama Mbak Lastri yang pergi ke dapur. Tak lama, ia kembali sambil membawa dua piring baru berisi dua potong cheesecake favoritku.

“Wah, asyik!” seruku sambil bertepuk tangan, berusaha kembali mencairkan suasana. Mbak Lastri tersenyum melihat tingkahku yang bersenandung seperti bocah.

Keramaian di meja makan berlanjut, menjadi penghangat bagi keluarga kecil kami di hari ulang tahunku. Meski aku dan Mbak Lastri kini hidup terpisah, ia selalu mengingatkanku tentang makna sebuah keluarga. Yah, meskipun keluarga kami tidak lengkap, tanpa sosok ayah dan ibu. Bagiku, ada dan tidaknya mereka tidak mengubah fakta bahwa memiliki Mbak Lastri sudah cukup bagiku. Apalagi ada si bocah 4 tahun yang membuat pikiranku sibuk.

“Selamat ulang tahun, Malik Wujana!” Mbak Lastri memulai sambutannya. Lengannya yang kurus merangkul bahuku erat. “Semoga di usiamu yang ke-30 ini kamu semakin kuat. Sukses untuk buku novelnya yang akan segera terbit. Sehat selalu, dan segera penuhin janjimu untuk ajak aku dan Banyu main ke Bali, ya!”

Aku tertawa dan melontarkan kata ‘amin’ yang panjang. Kupotong kue cheesecake di hadapanku yang segera kulahap dengan suka cita. Mbak Lastri menepuk bahuku sebelum duduk dan mulai menyantap kue bagiannya.

Perbincangan kami tentang rumah dan pekerjaan terputus oleh kehadiran Banyu yang tiba-tiba keluar dari kamar tidur. Jalannya sempoyongan, sambil menggosok matanya yang telah sayu. 

“Bun, mau kue,”ucapnya lirih, masih setengah sadar.

“Loh, kok bangun, Banyu?” tanyaku sambil melambaikan tangan, mengajak si jagoan kecil untuk mendekat. Kakinya yang mungil berlari kecil saat menghampiriku. Rambutnya yang ikal masih menyisakan aroma shampo bayi. Aku membelai kepala Banyu dan menawarkannya untuk duduk di pangkungan, tapi ia menggeleng. Aku menambahkan, “Kalau ngantuk, bobo aja, Mas. Kue bagian Banyu kan bisa dimakan besok.”

“Tapi Om kan ulang tahun,” jawab Banyu, mencoba memanjat kursi kosong di sampingku. 

“Iya sih, tapi kita masih bisa kok makan kue bareng besok,” balasku tanpa melepaskan pandangan dari si kecil. Aku merentangkan tangan di dekat tubuh Banyu, siap menangkapnya jikalau ia sampai terjungkal saat berusaha naik ke kursi seorang diri. 

“Tapi aku punya kado buat Om.” Kata-kata itu menghangatkan hatiku.

“Iya tuh,” timpal ibunya, yang tersenyum dari sisi seberang meja sambil mengamati tingkah anaknya yang kini sudah bisa duduk mandiri. “Sebulan kemarin, Banyu sampai nggak jajan permen sama sekali demi bisa nabung dan beliin kamu kado, Mal. Hebat banget nggak tuh anak Bunda?”

Senyum Banyu merekah, memperlihatkan gigi susunya yang telah tanggal di bagian tengah, membuat wajahnya terlihat lucu.

“Keren!” aku mengacungkan jempol ke arah Banyu. “Makasih ya, Banyu, sampai belain nggak makan permen buat Om.”

“Iya. Biar aku bisa beliin Om kado sekaligus mainan buat aku sendiri!” seru Banyu. Aku dan Mbak Lastri tergelak. Oh, ternyata ada udang di balik batu. Dasar bocah. “Bun, mana kadonya Banyu?”

Mbak Lastri dengan sigap beranjak dari kursi. 

“Dia minta tolong bungkusin kadonya, soalnya Banyu belum bisa,” ucap Mbak Lastri dengan suara yang makin teredam ketika ia pergi ke kamarnya. Saat muncul kembali, di tangannya terdapat sebuah kotak berlapis kertas kado bergambar Hello Kitty. Mbak Lastri menyerahkan kotak itu kepada putra semata wayangnya. “Nih, kamu kasih sendiri ke Om Malik.”

Banyu menerima kotak itu dengan sumringah, lalu mengoper hadiah hasil tabungannya kepadaku.

“Ini buat Om,” ucap Banyu. Pipinya yang tembem membulat, seperti buah apel yang ranum saat ia tersenyum. “Selamat ulang tahun, ya, Om.”

Aku membuka lapisan kado itu satu per satu hingga akhirnya si hadiah utama terlihat. Sebuah jam meja berbentuk kepala Hello Kitty berwarna merah jambu memandangku. Di dasar kotak pembungkusnya terdapat sepasang baterai AA. Jam itu seukuran bolak sepak plastik, dengan bodi bulat dan kuping yang menonjol khas Hello Kitty. Ada bentuk pita berwarna pink di salah satu telinganya. Angka-angka jamnya perpaduan antara warna pink dan hitam, dengan tulisan ‘Life Is Sweet’ di bagian tengah. 

Jujur, aku tidak tahu eskpresi apa yang harus kupasang di wajah.

“Wah, lucu banget, Banyu,” timpalku cepat. “Ini kamu yang pilih buat Om?” Aku melirik ke arah Mbak Lastri, yang hanya tersenyum geli ketika aku menggenggam kado itu.

“Iya! Soalnya kata Bunda, Om suka kucing. Aku belum bisa kasih Om kucing, jadi jam dulu aja, ya?” ucap Banyu polos. “Abisnya, kalau Bunda telepon Om pagi-pagi, Bunda suka ngomel-ngomel. Nah, ini jamnya dipakai biar Om bisa bangun pagi.”

“Jadi, kamu beliin Om jam ini biar Bunda nggak ngomel-ngomel lagi?” tanyaku, merangkum maksud dari kata-katanya.

Si bocah diam sejenak, memutar matanya ke atas seakan sedang memikirkan sesuatu. Ia pun mengulang kata-katanya, “Nggak, Om. Aku beli biar Om bisa bangun pagi!”

Mbak Lastri menggeleng-gelengkan kepala, menahan tawanya yang tersembunyi di balik telapak tangan. Bagaimana bisa bocah berusia 4 tahun sudah secerdik ini?

“Terima kasih, ya, Banyu. Om suka banget hadiahnya. Besok Om nggak bakal bangun kesiangan lagi, deh” ucapku pasrah. Kucubit pipinya, yang Banyu balas dengan senyum gigi ompong.

Kue di dalam piring telah habis, dan kami menghabiskan sisa malam dengan mencoba memasang baterai pada jam Hello Kitty. Ketika mencoba menyalakan mode alarmnya, suaranya yang meraung membuat kami terperanjat. Aku buru-buru mematikannya karena takut membangunkan tetangga. Melewati jam 10 malam, mataku tak sanggup lagi menahan diriku tetap terjaga.

Mbak Lastri menyarankanku untuk segera mandi dan mengganti baju dengan pakaian bersih milik mendiang suaminya. Setelah itu, aku dapat tidur dengan Banyu. Kuikuti setiap komando dari Mbak Lastri tanpa perlawanan. Saat aku membersihkan diri, kakakku mengantar anaknya untuk tidur lebih dulu.

*

Dalam tidurku malam itu, ditemani napas lembut si bocah kecil yang lelap, aku bermimpi tentang Rangga. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya bab 3: teman berbulu.
3
0
Belakangan ini Malik selalu mengalami mimpi yang sama: seorang anak kecil duduk di tepi lapangan, dengan bekal sederhana di atas lutut. Ada sosok yang menghampiri si bocah, tapi Malik tak dapat mengenali wajahnya. Saat ia bangun, jam weker Hello Kitty yang menjadi hadiah ulang tahunnya kini hanya bisa bergetar. Dua tahun berlalu, dan Malik masih belum membuang hadiah yang telah rusak itu.Sementara itu, ada makhluk berbulu di balik jendela yang menjadi temannya setiap pagi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan