
Ketegangan di antara Rizal dan Dinda semakin nyata. Janji demi janji tak lagi mampu menghapus luka yang perlahan menggerogoti kepercayaan. Saat Rizal mencoba memperbaiki keadaan, ia justru terjebak dalam pelarian emosional—berbagi cerita dengan Maya, rekan kerja lamanya yang diam-diam masih menyimpan perasaan.
Namun ketika Dinda secara tak sengaja membaca pesan Maya di ponsel Rizal, keyakinannya goyah. Bukan hanya karena kehadiran perempuan lain, tapi karena Rizal tak lagi memilihnya sebagai tempat...
Episode 4: “Yang Tak Pernah Usai”
Pagi tampak biasa—matahari bersinar malu-malu, dan aroma kopi kembali memenuhi dapur. Namun suasana di rumah Rizal dan Dinda tak lagi sama. Meski tak ada pertengkaran besar, keheningan kini menyimpan luka. Kata-kata Dinda semalam masih menggema di kepala Rizal, dan janji yang ia ucapkan terasa menggantung di udara.
INT. DAPUR – PAGI
Rizal duduk di meja makan, memandangi Dinda yang membuat sarapan. Tak ada sapaan, tak ada senyum. Dinda bicara hanya seperlunya, dan itu membuat Rizal makin gelisah.
RIZAL
(kaku)
Dinda, aku ambil cuti minggu depan. Kita bisa ke pantai, atau ke mana aja kamu mau.
DINDA
(datar)
Kita lihat nanti.
Jawaban itu menampar Rizal. Dinda tidak marah—tapi lebih buruk: ia mulai kehilangan harapan.
INT. KANTOR RIZAL – SIANG
Rizal duduk menatap layar komputer, tapi pikirannya mengembara. Seorang rekan kerja, Maya, mengetuk pintu ruangan dan masuk dengan membawa berkas.
MAYA
Kamu oke, Zal? Kelihatan nggak fokus hari ini.
RIZAL
(senyum paksa)
Iya… cuma kepikiran rumah.
Maya duduk tanpa diundang. Tatapannya lembut, penuh perhatian yang membuat Rizal semakin tidak nyaman.
MAYA
Kamu tahu, kamu bisa cerita. Kadang kita butuh didengar, bukan disalahin terus.
Rizal terdiam. Maya bukan orang asing—dulu mereka pernah dekat, sebelum Rizal menikah. Dan kini, tatapan itu terasa lebih berani daripada sebelumnya.
INT. RUMAH RIZAL & DINDA – MALAM
Dinda duduk di sofa, membuka ponsel Rizal yang tak terkunci. Ia tidak berniat mengintip, tapi notifikasi pesan dari Maya muncul di layar:
“Jangan dipaksain terus kalau kamu yang selalu terluka, Zal…”
Dinda terdiam lama. Nafasnya tercekat, jari-jarinya gemetar.
Saat Rizal pulang malam itu, ia mendapati Dinda duduk di ruang tamu, matanya sembab. Ponselnya tergeletak di meja. Rizal langsung tahu apa yang terjadi.
RIZAL
(gelisah)
Din... nggak ada apa-apa. Aku cuma cerita ke Maya tentang kita. Itu cuma teman kerja.
DINDA
(suara pecah)
Teman kerja? Yang bilang kamu terluka? Yang tahu kita bertengkar bahkan sebelum aku tahu kamu bercerita?
RIZAL
(salah tingkah)
Aku cuma... nggak tahu harus cerita ke siapa lagi. Aku nggak niat bikin kamu curiga.
DINDA
(tajam)
Tapi kamu memilih orang lain untuk mendengarkan rasa lelahmu. Bukan aku.
Kali ini air mata Dinda jatuh tanpa bisa ditahan. Bukan hanya karena pesan itu, tapi karena ia merasa kalah—bukan oleh Maya, tapi oleh jarak yang makin sulit dijembatani.
DINDA
Lalu aku ini siapa, Zal? Tempat pulangmu, atau cuma peran tambahan dalam hidupmu yang terlalu sibuk?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
