Gadis yang Kau Nodai (FREE Bab 1-5) Karya Herlina Teddy

3
2
Deskripsi

Ini karya temanku. Teman2 bisa mampir ke akunnya untuk baca lanjutan ceritanya ya. Menarik lho.

Enjoy reading.

GADIS YANG KAU NODAI (1-5)

"Kamu kira aku buta, nggak bisa melihat apa yang baru terjadi?"

Kepalan tangan dan rahang yang mengerat cukup mewakili jika Gavin sedang menahan emosi. Kobaran amarah yang sebentar lagi akan dimuntahkan ke tubuh wanita yang sudah mengkhianatinya.

"Aku bisa jelaskan semua ini, Honey. Please, dengerin aku dulu."

Setelah memakai kaus putih untuk membalut tubuh, Sarah keluar dari kamar hotel dan menelusuri koridor demi mengejar Gavin yang sudah menemukan fakta sebenarnya.

Malam itu, Pamela, sekretaris Gavin mengirim foto kebersamaan Sarah dengan pria berhidung belang di salah satu hotel. Akan tetapi, Gavin masih belum mau percaya. Jadilah, dia mendatangi nomor kamar hotel bintang empat dan menemukan apa yang sudah ditutupi Sarah selama ini.

"Kamu tak perlu buang waktuku untuk mendengarkan kejelasan. Apa yang aku lihat sudah terjawab semuanya. Aku tidak bo-doh, B!tch."

"Honey, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku bukan seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan."

Langkah Gavin terhenti, tetapi bukan untuk mendengarkan. Dia telah muak dan jijik dengan wanita yang dulu dianggap polos dan lembut. Ternyata kebenarannya sangat menyakitkan dan telah menodai kepercayaannya. Ingin menyangkal kenyataan, tetapi dia sudah menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri.

"Sebutan apa yang pantas kalau bukan jalang? Oh, atau kamu mau nama lain yang cocok untuk wanita seperti kamu? P£l@cur? Atau p£r£k? Bercerminlah. Tanpa busana berada di satu ranjang dengan pria lain. Kamu pikir aku dungu dan tidak tahu apa yang kalian lakukan di sana? Hah?"

Mata Gavin melotot dengan suara meninggi, tak peduli dengan banyak pasang mata yang melirik sekilas dengan perdebatan mereka.

"Honey —"

"Aku tak mau bekas cicipan orang. Aku juga tidak sudi menjadi pengemis cinta. Jadi, kita the end."

Gavin melanjutkan langkah dan harus segera menjauhi wanita yang masih dicintai. Baginya, inilah keputusan yang paling tepat. Dia yakin dengan beriringan waktu, luka yang digoreskan akan mengering. Dia pasti akan sanggup melupakan kenangan dan wajah Sarah untuk selamanya, mulai hari itu.

"Jangan, Honey! Aku tak mau putus denganmu."

"Jauhkan tangan pendosa dari tanganku. Aku jijik denganmu."

Gavin menghempas tangannya, lalu masuk ke dalam lift, berbaur dengan beberapa pengunjung hotel yang ada di dalam. Pria 175 centimeter itu memejamkan mata merelaksasi napas demi meredamkan getaran kemurkaannya.

***

"Bro, kenapa ke sini lagi? Sedang mengenang sesuatu?"

Orang yang ditanya hanya diam, meneguk cairan bening kecokelatan untuk kesekian gelas demi menghabiskan waktu. Waktu yang akan mengingatkan dirinya pada sang masa lalu.

Bagas tertawa sumbang sambil menepuk punggung Gavin, tahu kalau pernyataannya benar.

"Orangnya sudah nggak ada, Bro. Udah setahun berlalu dan kamu belum melupakannya?"

Tertawa yang menyiratkan lelucon itu tak berarti apa-apa. Kuping Gavin sudah terbiasa dan tak terlalu pusing menanggapinya. Meski beribu atau berjuta kali pria itu mengoceh mengenai sang mantan, Gavin tetap acuh.

Cinta? Iya, diakui memang. Sarah adalah cinta pertamanya. Namun, dia tak menyangka akan ditikung dengan cara itu. Bisa-bisanya si wanita menutup aib profesinya sebagai kupu-kupu malam. Sialnya, selama dua tahun menjadi pasangan kekasih, Gavin kecolongan dan tidak tahu apa yang dilakukan Sarah di belakangnya.

"Sudahlah, move on. Jangan minum terus untuk menutupi kesedihan. Hei, banyak wanita di dunia yang masih jomblo. Come on, Bro. Kamu bukan pria yang cacat. Aku yakin banyak di luar sana yang antri jika kamu membuka lowongan mencari istri. Tampan, mapan, punya pekerjaan bagus dan kepribadian baik. Apa lagi yang kurang? Kamu ini pria idaman semua wanita, Bro."

Orang yang diceramahi masih diam. Minuman cokelat sudah mulai mempengaruhi sistem kerja sarafnya. Pandangan dan pikiran kosong dengan kesadaran mulai mengambang. Zat dalam alkohol yang sudah masuk ke pembuluh darah telah meracuni tubuh.
Kepalanya berat, tidak dapat lagi merespons semua yang terjadi di sekitar.

"Ayo, pulang! Aku antar. Kamu mabuk, tak memungkinkan untuk menyetir."

Menit berikutnya, tiba-tiba Gavin merasa rindu pada rumah. Namun, kepala yang kliyengan membuatnya tak sanggup berdiri atau berjalan dengan baik. Dia duduk kembali untuk mengurangi sensasi berputar di kepala. Musik di bar yang meraung keras tak mengusik telinga. Dia terbuai.

"Aku nggak mabuk. Aku bisa pulang sendiri."

Bagaimana mungkin dia mengaku tidak mabuk, aroma yang keluar dari mulut sungguh menyengat. Pandangan sudah kabur, muka pucat, mengantuk, pikirannya berhalusinasi dan tubuh lemas hingga tak sanggup berdiri tegak.

"Ayo, aku antar pulang."

Tanpa babibu, Bagas memapah tubuh sahabatnya dan membawa ke mobil. Dia tak tega melihat kondisinya yang setengah tak sadar. Kadang dia merasa, mengapa ada orang bo-doh seperti Gavin. Cintanya konyol dan terlalu berlebihan. Bukankah banyak wanita jomblo yang cantik-cantik, masih muda, dan perawan di muka bumi ini? Mengapa dia masih harus mengemis cinta kepada wanita yang sudah setahun meninggal?

Wanita malam. Wanita itu sukses merampas hatinya hingga membuat pria itu belum bisa bangkit sampai sekarang.

Dalam perjalanan, Bagas fokus dengan jalan yang di depan. Dia tidak berani minum meski hanya seteguk. Niatnya menemani dan berjaga-jaga jika pria itu mabuk. Ini bukan pertama kalinya mendapati Gavin mabuk setelah pulang dari kantor. Sudah tak terhitung berapa kali pria itu harus mendapat omelan dari papa Gavin, yang sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri.

"Kenapa kau membiarkan Gavin mabuk lagi, Bagas? Kau tahu itu sangat membahayakan kesehatannya. Satu lagi, sikap dia dapat merusak reputasi nama perusahaan kita."

Sudah baal telinga Bagas mendengar kicauan si pemilik perusahaan obat tersebut. Mau bagaimana lagi, Gavin keras kepala dan Bagas tak sanggup menampik keinginannya untuk mabuk.

***

"Bro, sudah sampai. Apa kau bisa turun sendiri?"

Merasa telah melakukan kewajibannya mengantar sampai di rumah dengan selamat, Bagas tak ingin mendengar petuah dari Diratama, papa Gavin. Besok pagi, dia akan menyiapkan telinga untuk hal itu.

"Iya, jangan khawatirkan aku. Pulanglah. Aku bisa urus diriku sendiri. Aku tidak mabuk, masih waras."

Waras? Tidak mabuk? Bagas mengeleng beberapa kali. Dalam perjalanan, mulut itu terus memanggil nama Sarah. Dia terus memaki wanita yang sudah tiada itu dengan berbagai umpatan sengit. Rasa sakit hati diperlakukan bo-doh masih belum hilang sepenuhnya. Lisan Gavin ngelantur ke mana-mana sehingga diri itu lelah dan akhirnya tertidur.

Gavin membuka pintu mobil sambil terus berceloteh tak tahu arah pembicaraannya. Langkahnya gontai seperti tak bertulang. Dari halaman parkir sampai di teras, dia dipapah petugas keamanan yang berjaga hingga ke depan pintu rumah.

Dengan kepala yang masih terasa berat, dia terus melangkah dan akhirnya terjatuh di dekat anak tangga. Tubuh lunglai dan napasnya sedikit berat. Alkohol itu masih menguasai aliran darahnya. Dia memaki diri sendiri yang tak sanggup berdiri.

"Shit!"

Detik berikut, pergerakannya terhenti ketika dia menangkap suara lembut dan tangan halus menangkap lengannya.

"Aku bantu."

Sarah? Kenapa dia ada di sini?Apakah wanita itu belum ma-ti?

Matanya yang penuh kabut seolah melihat si wanita masa lalu. Pria bertubuh tegap itu membiarkan orang yang dianggap Sarah itu menuntunnya naik ke tangga hingga sampai di depan kamar.  Samar-samar dia mendengar wanita berkaos abu-abu mengatakan sesuatu, yang tak bisa didengar dengan jelas.

Setelah berucap, wanita itu berbalik hendak meninggalkan tempat. Namun baru saja dua langkah, tangannya ditarik paksa oleh Gavin hingga masuk ke dalam ke kamar. Pikirannya masih menganggap diri itu adalah Sarah, mantan pacarnya.

"Kamu mau apa?" pekik wanita itu.

***
GADIS YANG KAU NODAI (2)

"Ke mana Gavin itu? Apa dia mabuk lagi?"

"Sabar, Pa."

"Mau sampai kapan dia begitu terus? Kelakuannya berubah sejak kenal wanita itu? Sampai wanita itu sudah tiada, dia masih belum bisa melupakannya, malah menambah kehancuran hidupnya"

"Sudah, sudah, Pa. Nanti tekanan darah tinggi lagi. Mending istirahat ke kamar. Mama yakin Gavin aman, ada Bagas yang menemaninya."

"Sudah berapa kali aku peringatkan, dia tidak boleh serius dengan wanita siapapun. Sudah ada calon wanita yang akan aku nikahkan untuknya."

Samar-samar, Karina mendengar pembicaraan kedua majikannya di ruang tamu, saat baru keluar dari kamar nenek asuhannya. Tak lama, suara itu hilang. Mungkin, si nyonya berhasil membujuk suaminya ke kamar untuk istirahat.

Sudah delapan bulan bekerja sebagai pengasuh orangtua majikannya yang terkena stroke sebelah kiri, Karina tidak begitu peduli dengan masalah yang dialami si majikan. Tugasnya hanya mengurus orang tua yang sudah dianggap neneknya sendiri.

"Nenek sudah tidur?"

Mbok Asih, kepala pelayan bertanya saat Karina baru saja sampai di dapur. Wanita 160 centimeter itu mengangguk sembari tersenyum. Dia baru akan mengambil nasi dan lauk untuk makan malam. Bekerja sebagai pengasuh orang lansia di sana, dia sudah terbiasa mengisi lambung di jarum jam menunjukkan angka sepuluh.

"Lauknya dihabisin saja. Sayang kalau nanti dibuang."

Wanita senja itu pun berlalu setelah memberitahu. Bahkan, Karin belum sempat untuk menanggapi.

Sepi. Rumah seluas itu terlihat lengang. Semua penghuni dan pelayan sudah pindah ke alam mimpi. Hanya Karin yang baru punya waktu luang untuk dirinya. Sambil menguyah, gadis yang memakai jepitan hati di sebelah kiri kepala, mengetik tulisan di layar ponsel. Menulis novel adalah usahanya untuk mengumpulkan pundi-pundi demi pengobatan ibu kandung yang sakit ingatan karena tekanan batin nan sangat berat.

Kabar burung yang dia dapatkan, kalau ibunya mengalami gangguan jiwa sebab ada campur tangan istri dari pamannya.

"Pergi kalian sana dari rumah ini! Jangan terus meminta bantuan suamiku. Bilang sama ibumu. Cari sana suaminya di kota, jangan nyusahi suamiku lagi."

Kalimat itu terakhir diucapkan bibinya dengan mata melotot. Karin tahu bagaimana sifat uwak yang masih cantik tersebut. Sejak dilahirkan, Karin memang hidup tanpa sosok ayah. Ke mana keberadaan pria itu, ibu tak pernah mau membahasnya.

Dengar gosip orang kampung, ibu sempat menikah dengan seorang pria yang ada di kota. Namun, ibu kabur dari rumah. Alasannya apa, Karin tidak pernah tahu. Jadi, selama itu pula, Hidayat, pamannya yang mengambil andil mengurus dan menafkahi mereka.

Sudah sepuluh tahun, kondisi ibu sangat memprihatikan. Matanya terlihat kosong, dia menjadi sangat pendiam dan tidak ada gai-rah untuk hidup. Tak banyak yang bisa dilakukan selain duduk melamun, tidur, makan disuapi dan mandi juga dibantu. Kata orang, ibu gila. Lantaran tak jarang mereka mendengar ibu berteriak pilu dan menyakiti diri sendiri seperti memukul dan menarik rambut putihnya.

Belum habis nasi di piring, Karin mendengar suara pintu utama terbuka. Lamunan tentang ibu meluap seketika. Dia melirik jam analog di ponsel, jam sebelas kurang. Siapa yang masuk ke rumah? Sebab penasaran, dia bangkit dari duduk dan berjalan mendekati ruang tengah. Suasana sudah gelap, hanya ditemani beberapa lampu di sudut ruang.

"Astaga, Tuan."

Mulutnya refleks bersuara ketika melihat anak majikannya pulang dengan keadaan kacau. Wajahnya pucat dan rambut terlihat acak-acak. Pria itu berusaha berdiri tetapi selalu gagal. Tanpa pikir panjang, gadis 23 tahun itu berlari mendekat dan berniat membantunya sampai ke atas.

"Aku bantu, Tuan."

Dengan cekatan, tangan Gavin diletakkan melingkar lehernya. Dia gadis kuat yang sudah terbiasa mengangkat barang berat. Di kampung, dia pernah bekerja di salah satu warung yang menjual galon minuman. Sesekali dia bantu menggendong galon sampai ke motor pelanggan.

Tidak ada penolakan dari Gavin, sampai akhirnya mereka berhasil sampai ke depan pintu kamar. Karin tahu tuannya sedang mabuk, aroma yang keluar dari mulut cukup menyengat. Ada perasaan kasihan menyelimuti ketika melihat keadaannya. Bukan kepada pria yang ada di depannya, tetapi kepada tuan besar. Beliau sangat merisaukan kondisi putranya yang hobi mabuk.

Selama bekerja di sana, sudah berapa kali dia mendengar kemarahan tuan besar dan nyonya. Apa alasannya pulang dalam keadaan mabuk, Karin tidak tahu. Dia hanya marasa kenapa orang kaya seperti Tuan Gavin mau menghabiskan waktu emas untuk melakukan hal itu.

"Tuan istirahat, ya. Jangan mabuk terus. Kasihan Bapak dan Ibu dari tadi cemas menanyakan kabar Tuan."

Mereka saling memberi tatap dalam sekian detik dan Karin yang memutuskan kontak terlebih dahulu. Sorot mata tuannya sedikit berbeda dan aneh, membuat bulu kuduknya merinding. Mereka hampir tak pernah berkomunikasi ataupun saling berpapasan. Malam itu, untuk pertama kalinya mereka dekat fisik tanpa sengaja.

Setelah berucap, gadis bernama lengkap Karina Minna berbalik. Dia tak mungkin masuk ke kamar tuannya. Namun baru saja dua langkah, tangannya ditarik paksa oleh Gavin hingga masuk ke dalam ke kamar.

"Maaf, Tuan mau apa?"

Ada nada takut tersirat dari mulutnya ketika melihat Gavin membanting pintu dengan keras.

"Sarah, kau kira aku tak bisa melakukannya denganmu hingga kau mencari pria lain?"

Dengan tak sadar, Gavin berucap sambil berjalan mendekati ke arah Karina yang sudah mulai dilanda ketakutan.

"Maaf, Tuan. Mungkin Anda salah orang."

"Kau pikir dengan menjual dirimu, kau bisa mendapatkan uang yang banyak? Bo-doh sekali. Kau bisa minta kepadaku tanpa harus merendahkan dirimu."

Awalnya suara itu lirih, tetapi perlahan menjadi menggelegar hingga Karin merasa kian terkejut dan kakinya refleks mundur. Dia harus menghindari pria yang sikapnya sudah semakin tak terkendali. Tangan pria itu terulur dan menarik kepala Karin. Dia mencuri paksa ciuman hingga wanita itu meronta untuk mempertahankan diri.

"Lepaskan aku, Tuan! Jangan kayak gini. Tuan salah orang. Aku bukan Sarah."

Tak menghiraukan nada gemetar itu, Gavin menyeret kasar tubuh hingga Karina tergolek ke kasur berseprai abu-abu nan empuk. Tangan Gavin mengambil kedua tangan dan memenjarakannya ke atas kepala.

"Lepaskan aku, Tuan. Jangan, Tuan. Tolong!"

Semakin dia berteriak, Gavin kian semangat. Tenaga wanita itu tak ada apa-apanya, meski katanya dia bisa mengangkat galon air 19 liter. Amarah pria itu bergelora kembali kala mengingat malam perselingkuhan Sarah yang telah merusak hati nuraninya. Dia pikir wanita yang dikira Sarah dalam genggamannya, harus ikut merasakan perih hati yang sudah dipendam selama setahun.

Tanpa perasaan dan dengan kasar, dia merampas kesucian gadis yang menyesal telah memapahnya sampai ke lantai dua. Karina pasrah dalam tangisan. Percuma berteriak sebab ruangan itu kedap suara. Isak tangis yang memilukan itu tak akan terdengar. Siapa yang bisa menolongnya dari jeratan buas Gavin?

***
GADIS YANG KAU NODAI (3)

"Maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menjaga diri."

Seorang gadis yang merasa dirinya tidak suci lagi, duduk sambil memeluk lutut. Dia merasa tubuhnya kotor setelah disentuh kasar oleh anak majikan satu jam yang lalu.

Seusia puas menjamahnya, tubuh Gavin tergeletak di kasur yang mahal dan memejamkan mata. Tertidur sangat pulas. Gadis yang menjadi korban pun akhirnya bisa bebas dari penyanderaan. Dia mengambil dan mengenakan pakaian kembali sebelum meninggalkan ruangan beraroma citrus. Turun ke lantai dasar, dia menahan perih di bagian inti.

Dia harus cepat sampai ke kamar belakang, tempat biasa dia menghabiskan malam untuk beristirahat. Beruntung, dia mendapatkan satu kamar pribadi, terpisah dengan pelayan lainnya. Di dalam sana, dia terisak pilu. Air matanya tak mau berhenti mengalir sejak tangannya mengunci pintu dan duduk menahan sakit sekujur tubuh. Dia diperlakukan kasar oleh pria yang terus menceracau nama seorang wanita. Sarah.

Siapa wanita itu? Baru pertama kali, dia mendengar nama itu selama bekerja di sana. Tak mau peduli dengan satu nama itu, dia sedang memikirkan nasibnya ke depan. Bagaimana dia menghadapi pagi nanti? Apakah dia bersikap biasa saja atau malah akan memaki pria itu di depan anggota keluarga?

Ah, kayaknya hal itu mustahil akan dilakukan. Dia belum punya keberanian untuk mengaku atau mengadu kepada majikannya. Kontrak kerja selama setahun dari pihak yayasan dan keluarga belum selesai. Tak mungkin pula, tiba-tiba dia mengundurkan diri. Lalu, dia harus bagaimana?

Dalam kondisi kacau seperti itu, otak wanita berambut gelombang tersebut tak bisa berpikir jernih. Akalnya buntu. Hanya ada kecemasan dan ketakutan yang membungkus hati. Beberapa kemungkinan mulai merusak jalan pikiran. Dia dilanda dilema dan hanya bisa menangis hingga merasa matanya membengkak.

Gadis itu tersentak kaget ketika mendengar gedoran pintu yang cukup keras.

"Karin, sudah bangun belum?"

Suara Mbok Asih memanggil dan gadis itu membalas menyapa, memberi tanda jika dia sudah bangun. Setelah itu, terdengar derap langkah menjauh.

Dia tak tahu jam berapa tepatnya matanya terpejam. Posisi masih terduduk dan kepala menopang lutut saat dia terbangun. Jam dinding yang berdetak sudah menunjukkan angka lima. Hal yang paling ditakutkan pun akan terjadi. Bertemu kembali dengan Tuan Gavin di meja makan saat seluruh  anggota keluarga tersebut akan menikmati sarapan.

Gadis berdarah Sunda itu berdiri dan menyadari sakit di bagian inti tubuhnya belum pulih. Ah, apa ini bisa dilaporkan ke pihak kepolisian dengan kasus penganiayaan? Lalu, bagaimana prosesnya? Apakah akan ribet dan berkepanjangan?

Satu per satu pertanyaan mulai mengganggu pikirannya. Karina pernah mendengar kasus yang serupa di berita sosial media. Namun, dia tak menyangka akan menimpa dirinya juga. Dia memilih keluar dari kamar dan langsung ke kamar mandi khusus pelayan. Dia membasuh waja terlebih dahulu, lalu mandi keramas.

Tadi malam, Karina lupa langsung membersihkan tubuhnya yang dianggap jijik. Dia larut dalam kesedihan, ketakutan, kemarahan dan dihantam penyesalan mendalam. Kalau saja, dia tidak menghampiri dan membantu anak dari majikan, tentu saja, tragedi itu tidak akan terjadi.

Nasi telah menjadi bubur.

***

"Lain kali, jangan tinggalkan apa pun di meja sebelum tidur."

Ayu, salah satu pelayan yang mengurus rumah, menyindir saat Karina masuk ke dapur. Dia baru selesai mandi, merapikan penampilan setelah berhasil mengendalikan hati. Wajah yang ditutupi masker dan pakaian khas pengasuh berwarna biru sudah membalut tubuh rampingnya. Tak lupa, dia menggunakan jepitan hati yang baru untuk menyelipkan rambut agar tidak jatuh mengenai wajahnya. Jepitan lama entah ada di mana. Perasaan, tadi malam, jepitan itu masih menempel di rambutnya.

Mendapati sindiran itu, Karin teringat terakhir kali meninggalkan dapur tadi malam. Makanan pun tak habis ketika dia menemui Gavin. Setelah peristiwa kelam itu, dia lupa membereskan, malah langsung ke kamar untuk menangis meratapi nasib selanjutnya.

"Maaf, Yu. Aku lupa. Ponselku di mana, ya?"

Terakhir, dia memang hendak mengeksekusi novel yang sudah terbit di salah satu platform online di ponsel, tetapi terhenti karena suara pintu utama terbuka.

Karin melihat arah dagu yang ditunjukkan Ayu. Meski wajah Ayu terlihat jutek, tetapi Karin tahu Ayu gadis yang baik. Nasibnya hampir sama. Bekerja sebagai asisten rumah tangga bukan keinginannya. Semua demi pengobatan bapaknya yang punya riwayat penyakit tekanan darah tinggi. Berkali-kali  pernah mengalami stroke ringan dan sembuh. Namun tak dipungkiri, suatu saat bisa kambuh lagi. Mereka dari yayasan yang beda, tetapi aturannya sama, yaitu tidak boleh pulang atau resign sebelum masa kontrak satu tahun berakhir.

Beda yayasan, beda aturannya. Yayasan mereka sering dipakai orang kaya yang tak mau ribet tentang pelayan yang tak betah bekerja di sana. Harus minimal satu tahun baru boleh mengundurkan diri. Jadi, pimpinan yayasan tersebut telah membuat perjanjian di atas kertas agar semua calon pekerja menyetujuinya. Jika tidak, ada sanksinya. Tidak bisa mendapatkan gaji yang sudah disepakati. Uang yang diimingkan lumayan besar.

"Nuhun, Teh."

Usai mengucapkan terima kasih versi Sunda, Karina meneruskan pekerjaannya. Pagi ini, dia akan membuat bubur ayam, pesanan nenek yang diasuhnya tadi malam. Untuk makan siang dan malam, ada pelayan khusus yang menyiapkannya.

***

Sejenak, gadis berkulit kuning langsat melupakan trauma tadi malam. Dia fokus membantu si nenek untuk mandi, lalu berpakaian.

"Kenapa kamu pakai masker, Karin?"

Dari tadi si nenek penasaran sejak gadis itu masuk tampak tak biasa. Dia bisa melihat mata sembab dan bengkak di sana. Detik itu, rasa ingin tahu pun tak terbendung lagi.

"Saya lagi flu, Nek. Khawatir nanti Nenek ketularan."

Gadis itu berbohong sambil menyisir rambut putih nenek. Meski tak sedarah, Karin selalu memperlakukan baik dan lembut selayaknya nenek sendiri. Dari lahir, dia belum pernah bertemu dengan sosok nenek atau kakek. Hidupnya hanya dikelilingi ibu, Uwak Hidayat dan istrinya serta bibi, adik kandung ibu, Hesti — yang kini membantunya merawat ibu yang konon kata orang 'sakit jiwa'.

"Tapi kemarin masih baik-baik saja, Nak."

Karin tersenyum, terlihat dari pergerakan matanya yang semakin sipit. Dia harus menjelaskan detail jika tak ingin terlihat sedang berdalih. Dia belum cukup mengumpulkan keberanian apa yang telah dilakukan cucunya tadi malam kepadanya.

Mustahil. Mana mungkin ada yang percaya kepadanya tanpa ada bukti? Siapa dirinya? Dia hanya seorang pengasuh yang kastanya rendah di mata mereka. Daripada nanti dia malah diusir karena dikira memfitnah, gaji delapan bulan akan musnah. Tidak, saat ini dia belum bisa berbuat apa-apa. Dia sadar diri akan statusnya.

Ibu, hanya wanita itu yang ada di pikirannya. Setelah satu tahun bekerja dan uang didapat, dia akan pulang ke Cikampek. Uang yang sudah dikumpulkan akan dipakai untuk pengobatan ibu.

***

Karina mendorong kursi roda yang ditumpangi nenek menuju ke meja makan. Waktunya untuk sarapan. Namun baru saja, mereka sampai ke dapur. Langkahnya terhenti tatkala melihat kehadiran tiba-tiba pria yang telah mengoyak kehormatannya tadi malam.

Mata pria 175 centimeter itu mendetail tubuhnya dari kepala sampai kaki. Lalu, sorot mata itu berhenti pada jepitan hati yang ada di rambutnya.

***
GADIS YANG KAU NODAI 4

Meski kepala masih terasa berat, semburat mentari yang menyelinap di sela gorden putih menyilaukan mata. Pandangan Gavin terusik, lalu berusaha mengumpulkan semua kesadarannya. Suhu ruang yang cukup dingin memanjakan kulit yang ditutupi selimut tebal nan lembut.

Setelah beradaptasi dengan suasana, dia beranjak dari tidur. Detik itu, baru disadari dirinya tanpa sehelai benang. Apa yang terjadi? Otaknya dipaksa untuk mengingat peristiwa tadi malam.

Dahi terlipat dan menarik napas kuat-kuat dan didorong melalui mulut. Kebersamaannya dengan Bagas seusai dari kantor. Dia tahu dia minum untuk melepas kejanggalan hati. Sarah, wanita itu yang telah membuatnya menjadi peminum. Dia pikir kalau dia mabuk, akan melupakan wajah dan bayangan itu. Salah, dia tahu salah. Dia juga sudah menyiapkan hati dan telinga untuk mendengar omelan papa di meja makan pagi itu.

Lalu, kenapa dia bisa melepas semua pakaiannya? Dia memejamkan mata, sekuat tenaga untuk me-meras otaknya untuk mengingat.

Ah, blank. Dia tak bisa mengingat setelah dia minum beberapa gelas cairan bening cokelat itu.

Baru saja dia akan beranjak dari kasur, ada satu pemandangan yang menghentikan pergerakannya. Jarinya menyentuh noda merah pekat yang menempel di sprei.

"Darah? Darah siapa?"

Dia menyeret langkah ke kamar mandi dan memeriksa secara detail tubuhnya. Apakah ada yang luka di kulit? Tidak ada. Lalu, siapa pemilik darah itu?

Tanpa ingin mengulur waktu, pria penyuka hitam mengguyurkan tubuh dari shower untuk membuatnya lebih segar. Meski efek alkohol dalam darahnya mulai menipis, masih tersisa sedikit pusing. Dia tak bisa berpikir dengan baik.

Apa yang terjadi tadi malam, masih mengisahkan misteri. Dia harus mencari tahu.

Selesai mandi, dia keluar dengan handuk kimono putih dan berjalan menuju ke lemari. Kemeja hitam dan celana katun abu-abu sebagai pilihan untuk menemani harinya ke kantor seperti biasa. Sembari menggulung lengan kemeja sampai ke siku, dia berjalan menuju ke nakas dekat kasur.

"Shit!"

Kaget bercampur nyeri di telapak kaki kala menginjak sesuatu yang aneh di lantai. Dia menunduk dan mengambil benda asing itu sambil mengerutkan alis.

"Jepitan siapa ini?"

"Siapa tadi malam yang masuk ke kamar ini?

"Apakah pemilik darah dan jepitan ini, gadis yang sama?"

"Siapa? Yang pasti orangnya masih menghuni di rumah ini."

Terus, dia bermonolog sendiri.

***

Setelah selesai dengan segala aktifitas membenahi diri, kaki Gavin keluar kamar. Lalu, dia menuruni anak tangga sambil menata hati. Segala sesuatu bisa terjadi tiba-tiba. Dia tahu kesalahan dan apa konsekuensinya mabuk tadi malam. Papa dan mama bahkan nenek tidak suka tindakan buruk itu. Dia siap mendengar petuah pagi, jika diberikan nanti.

Sebelum sampai di meja makan, Gavin menghentikan langkah saat harus berpapasan dengan nenek yang duduk di kursi roda. Nenek kandung yang amat disayangi, sedang dibantu seorang gadis yang tak lain adalah seorang pengasuh. Baru pertama kali, dia menatap gadis itu sedekat ini. Sebelumnya, mereka tak pernah saling berinteraksi meski sudah seatap selama depalan bulan.

Gavin tidak bisa melihat dan mengenali wajahnya karena Karin mengenakan masker. Sepersekian detik kemudian, dengan tak sengaja dia melihat jepitan rambut yang dikenakan si gadis 158 centimeter. Sepertinya dia mengenali jepitannya. Sejurus itu, kedua mata mereka bertemu dan saling mengunci. Hanya sebentar, Karin bergegas memutuskan kontak dengan menunduk. Ketakutan menjelajahi hatinya.

"Bukankah itu jepitannya? Kenapa bisa sama dengan yang ada di kamar?"

Gavin pun cepat-cepat menyudahi dugaan yang belum tentu benar, dengan menggeleng berkali-kali, lalu membuang pandang ke arah nenek dan menyapanya.

"Nenek gimana kabarnya pagi ini? Fine?"

Yang ditanya pun mengangguk sambil tersenyum dan mengelus punggung tangan Gavin yang diletakkan ke bahunya.

"Nenek sehat. Hanya saja, Nenek bosan di rumah terus. Nggak ada hiburan sama sekali. Kapan kamu akan mengajak Nenek liburan ke pantai atau ke puncak?"

Tawa Gavin pecah mendengar ajakan neneknya. Dia senang bisa melihat antusias wanita senja yang selalu punya cara agar bisa keluar dari rumah. Dia paham dengan penyakit yang diderita sekarang, sungguh menyulitkan pergerakannya. Stroke sebelah kanan.

"Nanti Gavin atur waktu, oke? Tapi janji, Nenek nggak boleh bolong terapinya. Biar bisa cepat sembuh dan kita go ke pantai atau ke puncak. Bagaimana?"

"Janji?"

Jari kelingking nan keriput itu terulur dan disambut Gavin dengan mengaitkannya. Lalu, dia mengambil alih mendorong kursi roda menuju ke dapur. Aroma vanila kombinasi musk dan mandarin membelai indra penciuman Karina meski ditutupi masker. Sesak dadanya kala potongan ingatan itu menari di benaknya.

Namun, dia bersyukur ketika pria itu tidak membahas apa pun soal tadi malam. Entah dia lupa atau pura-pura lupa, Karin tak ingin mengetahuinya. Dia rela tak meminta tanggung jawab sampai gaji satu tahun penuh sudah berada di tangannya.

Seperti perkiraannya, Gavin tak membantah sama sekali saat sang papa meluncurkan peluru repetan. Dia mengangguk saat mendapat petuah pagi. Sesekali terdengar bibir itu membela diri kala pria yang sudah dianggap papanya sendiri membahas tentang wanita masa lalu.

"Iya, Pa. Aku sudah move on. Bukan karena wanita itu, aku menghabiskan waktu di bar. Aku hanya cari suasana baru. Penat proyek dengan Rumah Sakit Sentosa belum clear."

Alasan itu berharap membuat papanya bungkam dan tak melanjutkan pembahasan masalah yang sama jika dia pulang dalam keadaan mabuk.

Hening sejenak. Hanya denting sendok garpu yang beradu dengan piring keempat penghuni yang tertangkap di ruang makan. Sampai sang nyonya menyadari sesuatu, yang sanggup membuat Gavin terbatuk.

"Karin, leher kamu, kok, merah-merah? Lalu, pergelangan tanganmu kenapa bisa luka?"

Bab 5


Karin menahan napas setelah keempat majikan melempar mata tepat di leher, letak bercak merah itu tercetaj. Lalu, pandangan mereka turun ke pergelangan tangan yang dikaitkan Karin ke kanan dan kiri depan perut. Si pengasuh lansia memang selalu berdiri dekat ke manapun nenek berada.

Karin memberanikan diri untuk membalas tatap si nenek, tuan, nyonya dan terakhir ke arah tuan muda, pria yang menodainya tadi malam.

Sama dengan Karin, Gavin kaget dengan pertanyaan mama sekaligus ingin tahu. Bercak keunguan yang lebih menyerupai cu-pang itu menarik perhatiannya. Gavin sedang mencari jawaban dari misteri jepitan dan noda merah di kasurnya. Jika si gadis mengaku itu adalah hasil isapannya tadi malam, berarti fix sudah. Misteri itu terungkap. Karinalah yang menemaninya tidur saat dia tak sadarkan diri.

"Anu, ini bekas gigitan serangga yang ada di kamar. Lalu, aku garuk hingga membekas seperti ini."

Terpaksa, Karin mencari alibi yang bisa membuat sang majikan percaya. Dia pun tadinya tak tahu ada noda di leher sebab tak sempat memperhatikan saat bercermin.

"Lalu, pergelangan tanganmu?" tanya si nyonya dengan tatapan penuh menyelidiki.

"Ini kemarin aku salah makan, Nyonya. Aku alergi udang dan efeknya gatal-gatal memerah seperti ini."

Refleks saja, kedua tangannya disembunyikan ke belakang. Apa pun jawabannya, dia berharap mereka tak bertanya lebih detail. Dia khawatir tak sanggup bagaimana menanggapi pertanyaan lainnya.

Untuk kesekian kali, Gavin kepergok tengah memandangnya saat Karin tak sengaja menggeser pandangan ke arahnya. Lalu, dengan kompak mereka mengalihkan perhatian. Gavin kembali fokus dengan makanan yang tersisa tinggal sedikit, sedangkan Karin menunduk, menatap keramik marmer yang harganya tak bisa diperkirakan.

"Oh, nanti belikan salep kalau gitu, Pa. Pasti terasa tak nyaman efek gatal sebagai reaksi alergi."

Sang suami mengangguk menanggapi sambil menatap iba kepada gadis yang masih setia menunduk.

"Matamu bengkak, ya? Kurang tidur atau bagaimana? Habis nonton drama Korea?"

Merasa pertanyaan tertuju padanya, Karin menoleh ke arah tuan besar. Lalu, dia menggeleng dengan cepat sambil melambaikan tangan.

"Bukan, Tuan. Aku tidak suka nonton drama serial seperti itu. Ini karena lagi flu. Mataku jadi keseringan keluar air mata. Ini juga untuk jaga-jaga, aku pakai masker agar nenek tidak ketularan."

Di balik masker, bibirnya melengkung. Pergerakan di wajah itu dapat dibaca sebagai senyuman. Selama bekerja delapan bulan, mereka dapat menilai bagaimana kinerja Karin. Dia wanita yang penurut, pekerja keras dan tidak memilih tugas. Saat nenek sedang tidur, terkadang dia bantu Ayu untuk mengepel atau menyapu halaman depan dan belakang tanpa disuruh.

Usai menjawab, Karin dapat bernapas lega karena majikannya tidak bertanya apa-apa lagi. Rahasia tentang tadi malam pun masih tertutup rapat, dia enggan mengutarakannya. Lantaran dia terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan menjadi boomerang, berbalik buruk terhadapnya.

"Inilah nasib rakyat bawah." Dia membatin.

***

"Mut, ke mana orangtuamu? Kenapa dia tak datang menolongmu?"

Usai mengurus sarapan si nenek, Karin pamit ke halaman belakang untuk menyapu. Wanita senja itu sedang menonton serial drama di ruang keluarga. Di pinggir kolam itu, jari telunjuk membantu menaikkan semut yang terlihat kesusahan untuk berenang. Lalu, dia meletakannya ke batu sebelah agar si semut dapat berjalan.

"Sana, pergi cari ibu dan bapak! Lain kali, jangan teledor lagi hingga membuat dirimu jatuh. Tapi kalau jatuh pun, kamu harus harus bisa bangkit lagi. Ingat, jangan masuk ke kolam yang sama. Untung kelihatan aku. Kalau nggak, mungkin kamu akan mati tenggelam. Lain kali, belajar dari kesalahan dan jangan mengulanginya lagi, ya."

Entah apa yang dilanturkan. Sekilas seperti membicarakan tentang kehidupannya. Ada rasa ngilu tatkala benak mengintip di sela ingatan kejadian tadi malam. Apa dia sanggup melalui empat bulan berikut di rumah itu? Tanpa sadar, air yang tergenang di pelupuk merembes demi meluapkan amuk badai di batin. Gelisah dan ketakutan masih terus mengganggunya.

"Mbok, ada yang aneh di kamar tuan pagi ini. Tadi pas aku membereskan tempat tidurnya, aku lihat ada bercak merah di sprei yang baru aku ganti kemarin."

Samar-samar, terdengar suara Ayu yang melangkah ke halaman belakang dengan setumpuk kain dalam pelukannya. Mbok Asih yang jalan beriringan, tak menanggapi. Wajahnya tanpa ekspresi tercetak di sana.

"Padahal kemarin, tuh, aku ganti sprei yang baru, Mbok. Bersih nggak ada noda apa-apa. Berarti tadi malam noda itu baru ada. Noda apa, ya? Kayak darah, sih. Apa tangan atau kaki Tuan Gavin berdarah? Tadi Mbok perhatiin nggak?"

"Udah, nggak usah ikut campur urusan orang. Nggak perlu cari tahu juga masalah-masalah majikan. Fokus aja pada kerjaanmu."

Ucapan Mbok Asih terkesan menggurui tetapi nyaman terdengar di kuping Karin. Tangannya pura-pura mengambil daun yang berjatuhan di kolam, pun sebenarnya penasaran apa kelanjutan dari cerita Ayu. Apa benar bercak di sprei itu adalah noda darahnya tadi malam? Jika iya, berarti benar dirinya sudah ternoda.

Ah, ibu, maafkan Karin yang tak bisa mempertahankan kehormatan sendiri. Tubuhnya memutar menghadap kolam, membelakangi kedua wanita tersebut. Dia tak ingin kepergok air yang sudah tergenang meluncur mu-lus di pipi. Dia mencoba meredakan amuk badai di hati dengan cucuran air mata yang terus mendesak keluar tanpa diperintah.

Mengingat ibu, hatinya terasa tercubit. Mungkin, dia akan menyimpan rahasia ini di seumur hidupnya. Akan tetapi, apakah kebohongan terbesar itu sanggup memikul pundak selamanya? Dalam benak, kepikiran untuk tidak menikah dengan pria manapun sebab tak ingin siapapun calonnya akan menyesal atau rugi setelah mendapati dirinya yang sudah tak vir-gin.

***

Sehari, tiga hari, seminggu bahkan hari ke-20, Karin mengerjakan tugasnya dengan baik. Dia sudah membujuk dirinya untuk melupakan kejadian tragis tersebut. Dia belajar merelakan dan ikhlas  Kurang dari empat bulan, dia akan pergi jauh dan meninggalkan keluarga itu. Dia sudah menolak perpanjangan kontrak yang telah diajukan si nyonya.

"Maaf, Nyonya. Aku harus menjaga ibu."

Itu bukan alasan sebenarnya. Dia hanya tak ingin berada di dekat pria yang telah menodainya. Pun ingin melupakan peristiwa malam menyayat hati. Dengan dia masih berada di rumahnya, ingatan itu bak hantu terus menakut-nakutinya. Gelisah kian bergelayut dan sulit dihilangkan.

"Makan dulu, Ma. Bentar lagi Gavin juga turun, kok. Nanti buburnya keburu dingin."

Si nyonya, Shopia memberi saran kala melihat nenek masih diam dan belum mau memulai sarapannya. Sementara Karin tak bisa berbuat banyak. Dia sudah lelah membujuk tetapi yang didapat hanya gelengan kepala di mana rambutnya sudah memutih semua.

Sama, mendengar saran si wanita bergincu merah yang tak begitu mencolok, dia menggeleng.

"Kalau cuma sebentar, nggak apa-apa aku tunggu lagi."

Namun, menit berikutnya terdengar derap langkah kaki bersepatu memasuki ruang makan. Pria yang sudah rapi dengan kemeja navy dan dasi putih bermotif garis miring-miring pun muncul.

"Kenapa kamu telat? Apa begadang lagi tadi malam?"

Sambutan dari papa tidak manis, membuat Gavin membuang napas berat. Wajah Diratama terlihat tegas dengan bola mata bergeser ke arahnya.

"Iya, Pa. Tadi malam ngobrol dengan Satya, belum ada kesepakatan mengenai RS-nya."

"Satya? Teman kamu itu?"

Gavin mengangguk dan tak sengaja iris matanya terlempar ke arah Karin yang masih berdiri di samping nenek. Kali ini, wanita itu tak menggunakan masker sehingga detail wajahnya dapat terlihat dengan jelas. Pucat dan sedikit lesu.

"Kamu tahu, nenek tunggu kamu dan ingin makan bersamamu. Buburnya sampai sudah dingin gitu."

Shopia menimpali sambil melirik si nenek.

"Uh, Nenek!"

Gavin merasa terharu dan tersanjung dengan sikap nenek. Siapa tak tahu kalau si nenek sangat menyayangi cucu kandung satu-satunya. Manja dan kasih yang diberikan sejak masih kecil, membuat pria itu juga mencintainya.

Dia berjalan menghampiri dan mencium pipinya. Lalu, dia mensejajarkan tubuh dengan berjongkok di hadapan nenek sambil menampilkan senyuman hangat.

Detik itu pula, Karin merasa pusing dan mual kala aroma parfum mahal Gavin membelai hidungnya. Dia menutup mulut agar ubi goreng yang dia makan tadi pagi, tidak ikut keluar. Sekaligus dia menahan kuat agar suara hendak muntah tak terdengar oleh siapapun.

"Karin, kamu kenapa?"

Next part bisa ke link berikut ya.

https://karyakarsa.com/Herlinateddy/gadis-yang-kau-nodai

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Karya Teman
Selanjutnya Dikejar Cinta Berondong (FREE Bab 1-5)
3
0
Cerita ini spin of dari Terjebak Cinta CEO Duda.Postingan ini untuk keperluan promosi. Terima kasih atas dukungan pembaca. Yang belum baca yuk merapat. Dukung Fullpart lebih hemat. Cek link berikut, yuk.https://karyakarsa.com/DLista/dikejar-cinta-berondong-part-6-9 Yang belum baca Terjebak Cinta CEO Duda bisa ke link berikut.https://karyakarsa.com/DLista/terjebak-cinta-ceo-duda-free-bab-1-5-472519
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan