
Prolog
"Kamu pikir setelah menjadi nyonya Gavin, kamu akan bahagia? Jangan mimpi. Usai menjebak dan mengakui bayi yang kamu kandung adalah anakku, kamu kira aku akan memperlakukan kamu seperti tuan putri?"
"Siap-siap dengan siksaan batin yang akan kamu terima. Siapa suruh kamu tidak menolak rencana papa dan mamaku."
"Demi apa kamu membohongi kedua orangtuaku? Mengubah status dari babu jadi menantu? Agar sebagian harta jatuh ke tanganmu karena harta gono gini saat kita bercerai nanti? Kotor sekali otakmu."...
Bab 6
"Minum dulu."
Secangkir teh manis hangat terulur dari tangan Mbok Asih. Karin mengambil dan meneguk pelan.
"Belum sarapan? Masuk angin? Apa kecapean?"
Tiga pertanyaan itu mendapatkan gelengan dari Karin. Dia juga tak tahu kenapa dua hari ini tubuhnya terasa aneh. Dia termasuk orang yang jarang sakit. Jikapun sakit, obat warung bisa menyembuhkannya.
"Lalu, kenapa?"
"Tiba-tiba mual dan nggak suka dengan parfum Tuan Gavin. Nyengat banget, bau."
Gadis itu menelan ludah kala otaknya mengingat aroma itu lagi. Sekian kali berada di satu ruang makan, baru kali ini dia merasa eneg dengan bau itu, padahal Gavin sering menggunakan parfum itu untuk menemaninya setiap hari.
Mbok Asih merasa janggal dengan pernyataannya sambil memicingkan mata yang sudah mulai dipenuhi garis kerutan di pinggirnya. Tidak ada percakapan lagi setelah wanita itu menyuruhnya mengoleskan minyak kayu putih ke tubuh, terutama di perut dan dada.
***
"Sudah kubilang dari awal. Percuma juga kuliah tinggi-tinggi sampe S1, es cendol, es teller atau es apa pun. Ujung-ujungnya kodrat wanita itu kalau udah nikah ya, di dapur urus makanan, di ranjang urus suami dan di sekolahan urus anak. Jadi ngapain ikut ujian tes masuk perguruan tinggi? Lihat aja contoh yang sudah nyata. Siswa SMA prestasi di sekolah kita. Kuliah jurusan akutansi universitas negri, beasiswa. Nah, udah jadi sarjana, kerjaannya apa? Pengasuh lansia. Wkwkwk."
"Spill nama dong, eh, ada orangnya nggak di group ini? Tag coba, pengen tahu yang mana!" Diakhiri dengan emot tokoh yang menjulurkan lidah mengejek.
"Ah, nanti juga tahu siapa orangnya. Kalau dia left group, ya, itu tersangkanya."
"Ahay, kalau gitu kita tungguin aja kurun waktu 1x24 jam kek di kantor polisi gitu. Jika anak yang hilang itu balik ke rumah, lapor kami lagi."
"Ih, apa hubungannya?"
Sahutan demi sahutan di pesan group alumni SMA sekolah Karin. Ada Siska, Diana dan Andini. Gadis itu hanya menelan ludah pahit ketika membaca satu per satu baris pesan yang ada di layar ponsel yang sudah lemot itu. Namun, lumayan, meski tak bisa unduh banyak aplikasi, setidaknya masih bisa dipakai untuk menulis di word dan di copy-paste ke aplikasi novel online.
Bukan tak ada penghasilan dari profesi penulis di aplikasi online tersebut, hanya gaji yang didapat sudah ditransfer ke bibi untuk keperluan ibu di kampung. Jadi, dia memilih hemat dan tidak membeli ponsel yang baru. Selagi benda tak begitu canggih itu masih menyala, tak masalah dipakai dulu.
"Ya, perumpamaan, girls. Oh, ya, kalian masih ingat Mas Indra? Itu lho kakak kelas kita dulu. Sekarang dia udah jadi camat, lho. Kemarin pelantikan. Guantengggnyaaa."
Ada nama 'Indra' menarik perhatian Karin. Diam-diam, dia menyukainya, tetapi tak berani menyatakan perasaannya kepada si bapak camat tersebut. Levelnya tak sebanding dan kasta mereka berbeda. Mana mungkin orangtua Indra akan setuju dengan hubungan mereka.
"Denger-denger nih, Mas Indra belum menikah, ya? Ah, apa dia masih menunggu gue?"
"Ah, perasaan lo aja kali. Yang iya, dia tuh tunggu jandanya gue."
Janda? Oh, iya, si Siska sudah menikah, ternyata.
"Tapi ogah, ah. Suami gue lebih bagus karirnya. Manajer perusahaan," timpalnya lagi yang diakhiri senyuman bergigi.
Karin menyudahi membaca ketika ada pesan masuk dari Helen, sahabatnya.
"Kalau kamu nggak tahan baca group anak-anak. Left aja, daripada makan hati sama toksinnya mereka."
Bab 7
"Kalau kamu nggak tahan baca group anak-anak. Left aja, daripada makan hati sama toksinnya mereka."
Karin memejamkan mata dan membuang napas panjang sebelum membalas pesan. Tidak mungkin dia keluar group. Ini sama saja menunjukkan siapa sosok orang yang sedang dibicarakan mereka tadi. Satu group bukan hanya lima orang saja, ada sekitar 40-an. Bakal ketahuan siapa yang dimaksud. Selain itu, ada nama Indra yang dinanti-nantikan kabarnya. Dengan bergabung dengan grup itu, Karin bisa mengetahui kabar pria idamannya.
"Aku nggak apa-apa, Len."
Percakapan itu berakhir tatkala dia melihat nenek menggeliat dan membuka mata. Nenek sudah bangun dari tidur siang.
"Jam berapa sekarang, Karin?"
"Jam empat, Nek. Nenek mau duduk?"
Dia segera berdiri dan membantunya ketika mendapat anggukan nenek.
"Kita harus bersiap sebelum Gavin pulang."
"Bersiap?" Karin masih belum mengerti maksud si nenek.
"Iya, tadi sebelum ke kantor, dia janji akan membawa Nenek makan sushi untuk makan malam."
Ada raut senang di wajah yang dihiasi sedikit keriput di dahi, pipi dan sekitar mata. Wajah penuh perawatan mahal memang tak bisa berbohong. Wajah nenek masih terlihat cantik dan muda dibandingkan dengan teman seusianya.
***
"Apa Nenek sudah siap? Kalau sudah, let's go."
Sore itu, Gavin pulang lewat awal dari biasanya. Jam enam dia sudah selesai mandi dengan kaos kerah putih membungkus tubuh berotot karena sering nge-gym. Tanpa perlu meminta persetujuan sang pengasuh, dia mengambil alih kursi roda dan mendorongnya keluar dari kamar nenek.
Saat sampai di ruang tengah, mereka bertemu dengan pasangan suami istri, Diratama dan Shopia.
"Pa, Ma. Kami pamit dulu, mau bawa Nenek makan makanan enak."
"Wah, wah, wah. Kami nggak diajak?"
Shopia berdiri dan mendekat. Hanya basa basi sebenarnya, mereka tak ingin keluar malam. Dia memilih istirahat kala sepanjang hari sudah menghabiskan waktu di kantor.
"Ayo, kalau mau."
Wanita itu tersenyum lebar dan menepuk lengan putra angkatnya.
"Makasih, deh. Tapi kita nggak mau ganggu 'me time' kalian. Jangan terlalu malam pulangnya, ya."
Kalian di sini tentu maksudnya Gavin dan nenek. Mereka ada keluarga kandung. Ibu Gavin sudah pergi sejak dia dilahirkan, sedangkan ayahnya meninggal karena kanker kala dia masih berusia enam tahun.
Selepas acara pamit, Gavin mendorong kursi roda menuju ke halaman. Sementara Karin dari tadi sibuk menutup hidung ketika aroma parfum mengganggu penciumannya. Entah sejak kapan, dia merasa parfum anak majikannya itu sangat memualkan. Padahal, sebelumnya dia tak asing dengan aroma tersebut.
Setelah memapah nenek ke mobil, tak sengaja mata Gavin melihat aksi Karin yang sudah berada di dekat mobil. Wanita itu memang seharusnya ikut juga di mana nenek berada. Dia yang akan membantu banyak kegiatan nenek.
"Kenapa kamu menutup hidung terus dari tadi? Apa kamu merasa aku bau? Hah?"
Selesai bertanya, pupil matanya tak sengaja bergeser ke arah jepitan hati yang menempel di rambut sisi kanan kepalanya. Jepitan itu mengingatkannya pada ....
Bab 8
"Ayo dimakan, Karin. Ini sumpitnya."
Nenek yang duduk di samping sang pengasuh menyerahkan sumpit berwarna hitam ke arahnya. Sementara Gavin yang duduk di hadapan mereka, hanya sekilas menoleh, lalu lanjut menguyah sushi dan sashimi yang sudah dipesannya.
"Iya, Nek. Tapi aku β"
"Nggak suka makanan Jepang? Ini udon Nenek, kamu suka? Kalau iya, nih, buat kamu saja. Nanti Nenek makan yang ada saja."
"Bukan, Nek. Jangan! Nenek makan yang ini, biar aku nyari makanan di luar aja."
Selain segan, duduk satu meja dengan majikan, perutnya merasa semakin mual. Aroma makanan laut di sekeliling meja yang masih mentah meski segar, membuatnya eneg. Tadi berada satu mobil dengan Gavin, membuatnya tahan napas agar bau parfum itu tak menelusuri hidungnya. Kini, dia harus disuguhkan aroma yang tak disukainya.
"Ada apa denganku? Kenapa aku terus merasa mual kala mencium aroma aneh ini?"
Dia sering bermonolog saat rasa tak nyaman mendera.
"Kok, gitu? Ini mau lihat lagi menunya. Pilih makanan yang kamu sukai."
Buku tebal dengan kover tebal hitam diambil dari meja sebelah dan disodorkan kepadanya. Nenek tak ingin pisah dengan gadis yang sudah membuatnya jatuh cinta.
Lantaran terus dipaksa, Karin mencoba menekan rasa kacau balau yang menimpa tubuh, terutama perut dan kepala. Tangan itu mulai membuka satu per satu halaman dan mengamati gambar makanan yang asing baginya.
Sungguh dia tak berselera sama sekali. Nasi yang digulung rumput laut, diisi timun dan daging. Makanan apa itu? Menurutnya, nasi atau mie goreng, pecel lele atau ayam yang dijual abang-abang emperan jalan lebih memikat lambung gadis kampung seperti dia.
Lima sampai sepuluh menit, Karin masih berkutat dengan menu tanpa niat memilih salah satu jenis makanan tersebut. Malah, kepalanya semakin pusing. Di sekeliling, dia melihat ada banyak bayangan yang tak jelas.
"Karin, kamu kenapa? Udah milihnya? Kamu mau makan yang mana?"
Tepukan halus di lengan, membuat dia menoleh ke arah nenek. Ternyata, wanita senja itu juga belum menyentuh udon yang sudah mulai dingin. Dia ingin memastikan Karin memilih terlebih dahulu. Sementara Gavin meletakkan kembali sumpit yang sudah dipakai lantaran makanannya telah habis. Lalu, dia mengelap mulut.
Detik berikutnya, dia mengamati wajah Karin yang selama ini tak pernah menjadi prioritasnya. Siapa memangnya dia? Hanya seorang gadis yang merawat neneknya. Kening Gavin berkerut kala menemukan rona pucat di wajah dan bibir Karin. Lalu, jepitan berbentuk hati di atas kepala gadis itu menarik perhatiannya. Jepitan yang masih menjadi misteri.
"Karin! Karin!"
Suara jeritan nenek mengurai lamunan Gavin. Karin menjatuhkan kepala di atas meja sehingga sebagian piring dan mangkuk berjatuhan ke lantai. Denting itu menyedot perhatian para pengunjung yang ada di sana.
"Gavin, ayo bawa Karin!"
Gavin berdiri dan mendekatinya. Dia mengangkat dan menyadarkan kepala Karin ke lengannya.
"Hei, bangun!"
Setelah menepuk pipinya berkali-kali dan Karin tak memberi respons selain memejamkan mata, Gavin membopong tubuhnya ke arah parkiran mobil. Setelah membayar tagihan di restoran, Gavin meminta bantuan petugas untuk mendorong kursi roda nenek.
"Bawa ke rumah sakit, Vin. Nenek tidak mau terjadi apa-apa pada Karin. Nenek khawatir," perintah nenek dikabulkan Gavin.
Wanita uzur itu terlihat panik. Menurut Gavin, sebetulnya Karin tak perlu dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi tak ingin membantah nenek, dia terpaksa melajukan Audi A3 ke sana.
***
Sudah satu jam menunggu, dokter dan tim medis yang masuk ke ruang UGD belum keluar. Entah apa yang diperiksa di sana. Beberapa kali, terlihat suster mondar-mandir tetapi belum memberi kabar apa pun. Nenek yang masih duduk di kursi roda tidak mau pulang jika belum tahu apa yang terjadi.
"Nanti kalau ada kabar dari dokter, Gavin kabarin Nenek."
Wanita sepuh itu menggeleng sambil memandang lurus ke arah pintu UGD. Cara Karin merawatnya telah membuat nenek merasa mempunyai cucu perempuan. Gadis itu terlihat sangat tulus mengurusi semua kegiatannya dari pagi saat membuka mata hingga malam tiba kala dia tertidur.
"Nenek tak ingin sesuatu yang buruk menimpa Karin."
"Dia akan baik-baik saja kalau sudah ada di rumah sakit. Dokter pasti akan melakukan terbaik untuk pasiennya. Jadi, Nenek tak perlu khawatir. Mending aku minta Pak Dadang antar Nenek pulang biar bisa istirahat lebih awal."
Nenek menggeleng kesekian kali, menolak tawaran Gavin. Dia belum tenang jika tak mendengar kabarnya langsung dari dokter.
"Keluarga Ibu Karin?"
Suara wanita berseragam putih mengalihkan perhatian Gavin dan nenek. Pria itu lantas berdiri dan mendorong kursi roda ke arah dokter yang ada di depan pintu yang terbuka.
"Iya, Dok. Bagaimana keadaan Karin?"
Nenek bertanya dengan nada tak sabar setelah berada tepat di hadapan dokter yang sedang melepaskan kacamata tebalnya. Sang dokter tak langsung menanggapi. Pupil matanya berpindah dari si nenek ke arah Gavin dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Apa Anda suaminya?"
"Hah?"
Tentu saja satu pertanyaan itu mengagetkan dan membuat Gavin lantas melambaikan tangan dan menggeleng.
"Bu-bukan, Dok."
"Apa yang terjadi sebenarnya, Dok? Saya neneknya."
Nenek mengambil alih untuk menanggapi lantaran tak ingin mengulurkan waktu lagi.
"Kondisi pasien sekarang sudah sadar. Bu Karin pingsan dikarenakan terjadi perubahan hormon dan tekanan darah yang rendah. Tekanan darah menurun secara tiba-tiba membuat aliran darah dan suplai oksigen ke otak berkurang. Hal ini memang sering terjadi pada ibu hamil."
"Hamil?"
Suara nenek dan Gavin terdengar bersamaan, lalu mereka saling melempar pandang.
"Iya, apa kalian belum tahu kalau pasien sedang hamil muda?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
