
Arjuna Wiwaha, remaja usia 17 tahun, secara tak sengaja menjadi obyek bullying di sekolahnya gara-gara masa lalu sang papi terekspos. Saat masih muda, Papinya Arjuna pernah menjadi seorang waria. Meskipun sudah bertobat, ternyata masih banyak yang mengenang masa lalu itu.
Sebuah kesialan terjadi gara-gara kedatangan si anak baru di kelasnya, Dion. Anak pindahan dari Jakarta itu menjadi teman sekelompok Arjuna. Arjuna ke rumahnya dan mengerjakan tugas. Karena itulah, Arjuna bertemu dengan orang tua...
“Jun! Arjuna! Ayo turun! Waktunya makan bareng!” teriak Rita memanggil anak bungsunya.
Biasanya, cowok 17 tahun bernama Arjuna Wiwaha itu langsung melesat keluar dari kamarnya lalu menuruni tangga untuk makan bersama dengan orang tuanya. Nyatanya, dia masih mengunci diri di kamar.
“Aduh, Arjuna kenapa ya?” gumam Rita resah. Entah mengapa, perasaannya jadi tak nyaman.
Gia melangkah mendekati istrinya dan menyentuh pundaknya. “Biar aku ke sana coba,” tutur Gia.
“Jangan, Mas,” tolak Rita. Dia menyuruh suaminya kembali duduk. “Aku aja yang ke sana.”
Rita tak mau suaminya yang sudah 70 tahun itu harus naik turun tangga. Mengingat tulang suaminya sudah semakin sering terasa ngilu karena usia yang sudah menua.
Sebelum Rita melangkah ke kamar Arjuna, dia bisa melihat anaknya sudah keluar kamar dan turun dari tangga. “Sini, Jun!” panggil Rita dengan lambaian tangan. Dia menepuk lengan Arjuna saat anak bungsunya itu sudah ada di sisinya. “Ayo, makan. Bunda udah siapin ayam bawang putih goreng kesukaanmu.”
Wajah Arjuna seperti cucian yang baru saja selesai dikeringkan. Dia tahu masakan bundanya enak. Namun, hatinya dongkol dan mood-nya kacau balau.
“Sekolahmu lancar, kan?” tanya Gia pada anak bungsunya. “Yang pinter ya? Papi udah setua ini. Jangan bergaul sama anak-anak nakal. Itu cuma sesaat dan bisa bikin kamu sesat.”
“Emangnya Papi dulu nggak sesat?” timpal Arjuna dingin.
“Apa maksudmu nanya kayak gitu ke Papimu, Jun?” sergah Rita memotong percakapan antara suami dan anaknya. Dia mulai merasakan ada hal janggal dalam percakapan ini.
Arjuna berhenti makan. Pandangannya menatap dingin pada sang papi. “Gara-gara Papi pernah jadi waria, aku jadi bahan ejekan di sekolah!” dengkus Arjuna. Dia geram dan sakit hati karena baru tahu fakta itu hari ini. Itupun, dia tahunya dari teman-teman sekelasnya yang mendapatkan gosip dari orang tua.
Gia dan Rita berhenti makan. Mereka ikut tercengang syok mendengarkan keluhan penuh amarah dari anak bungsu mereka itu.
Selama ini Gia dan Rita memang masih menyembunyikan fakta itu dari Arjuna. Mereka pikir Arjuna masih belum siap untuk mencerna hal itu. Karena itulah, mereka menunda dan berencana akan menjelaskan pada Arjuna saat Arjuna sudah masuk dunia perkuliahan dan memiliki pola pikir yang lebih luas.
“Ka-kamu denger itu dari mana?” tanya Rita gugup. Wajahnya jelas menyiratkan kepanikan luar biasa. Rahasia yang dia sembunyikan dengan mudah terkuak.
“Kan udah kubilang, dari temen-temenku!” tegas Arjuna dengan teriakan kencang. Dia berdiri. “Aku nggak mau sekolah! Malu aku!”
Arjuna berbalik membelakangi orang tuanya. Dia berlari keluar ruang makan dan menaiki tangga. Suara pintu terbanding terdengar. Dia mengunci pintu kamarnya dan menyembunyikan diri dalam kegelapan.
Rita mencoba mengejar Arjuna. Namun, suaminya mencekal tangan kirinya. Tanda bahwa dia tak boleh mengejar Arjuna.
“Udah. Biarin aja dulu, Say,” ucap Gia. Dia menatap Rita dengan pandangan mafhum.
Meskipun terkejut dengan sikap anaknya yang meledak-ledak, sesungguhnya Gia sudah memprediksi bahwa hal seperti ini bisa saja terjadi. Dia sudah sadar ada banyak konsekuensi atas masa lalunya yang memilih menjadi seorang waria. Walaupun sudah bertobat, membangun rumah tangga, dan memiliki dua orang anak, bukan berarti masalah akan selesai di sana. Gia sangat tahu akan peliknya kenyataan hidup yang akan terus membayangi dirinya hingga maut menjemputnya kelak.
“Tapi, Mas—“ lidah Rita terasa kelu. Pandangannya memanas menatap diiringi dengan sesak di dadanya. Dia kasihan pada suaminya yang mendapatkan amarah besar dari Arjuna.
“Nggak apa-apa,” Gia mengusap-usap punggung jemari istrinya dengan lembut.
“Nanti aku coba bicara sama Juna, Mas,” ujar Rita. Dia mencoba tegar meskipun pandangannya sudah berlinang air mata.
“Jangan dipaksa. Biar dulu aja,” ucap Gia. “Besok urusin izin nggak masuk sekolahnya tapi hanya sehari aja. Sisanya, biar dia yang tentuin.”
Rita mengangguk. Dia menuruti ucapan suaminya untuk sementara waktu.
Di sisi lain, Arjuna membenamkan wajahnya dalam bantal dan berteriak di dalam bantal itu. Sungguh hari ini dia sangat malu. Teman-teman satu kelasnya memperbincangkan masa lalu papinya dan mengait-ngaitkannya dengan dirinya.
Semua ini berawal dari kedatangan Dion, siswa baru pindahan dari Jakarta di sekolahnya yang ada di Bandung. Dia tak menyangka jika orang tuanya Dion kenal dengan papinya. Semua ini terungkap ketika dua hari lalu, Arjuna mengerjakan tugas kelompok di rumah Dion.
Orang tua Dion mengajak Arjuna bicara. Awalnya hanya percakapan umum seputar nama orang tua, rumah, dan pekerjaannya.
Arjuna menjawab dengan singkat saja pertanyaan dari orang tua Dion. Dia tak mengira jika semua jawaban itu akan memunculkan kenangan nostalgia orang tua Dion dan akhirnya mengungkapkan masa lalu papinya.
Foto-foto orang tua Dion bersama dengan papinya Arjuna sudah tersebar di grup chat kelas. Arjuna baru tahu saat dia sudah berada di kelas pagi tadi. Dia memang jarang mengecek pesan grup kelas jika tidak ada hal penting.
Alvin, pimpinan geng motor di kelasnya, sontak langsung mendapatkan bahan empuk untuk membully-nya. Selama ini Alvin memang tak memiliki celah untuk membully Arjuna karena papinya Arjuna salah satu donatur utama di yayasan sekolah. Meskipun papanya Alvin adalah kepala sekolah, Alvin tak memiliki kuasa untuk mengganggu Arjuna.
Sebenarnya sudah lama Alvin membenci Arjuna. Alasannya sederhana, Arjuna adalah ketua kelas dan selalu membela teman-teman sekelasnya jika diganggu oleh Alvin. Arjuna juga melarang keras adanya contek-mencontek di kelas karena tak menjunjung nilai kejujuran. Akibatnya, nilai Alvin selalu buruk.
Alvin pun menarik Dion dalam gengnya. Dia memanfaatkan informasi masa lalu papinya Arjuna untuk mengejek Arjuna. Sialnya, teman-teman sekelas Arjuna ikut mengejek Arjuna. Mereka benar-benar tak tahu rasa berterima kasih sama sekali.
Arjuna mengganti nomor hapenya dengan nomor lain. Dia tak mau menggunakan nomor lamanya karena pastinya akan ada banyak serangan chat berupa ejekan dari Alvin dan gerombolannya di kelas.
Dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan belajar. Namun, semuanya sia-sia. Dia benar-benar marah besar pada orang tuanya.
“Juna! Masih bangun kamu?” Rita mengetuk-ngetuk pintu kamar anak laki-lakinya. Dia tahu tak seharusnya dia merecoki Arjuna sekarang. Namun, Arjuna belum menyentuh makan malamnya. Dia tak mau Arjuna sakit. “Bunda bawain makan malam nih. Keluar dong? Kamu bisa sakit lho.”
Arjuna masih bangun. Namun, dia memilih mengabaikan panggilan dari bundanya. Kekesalannya pada orang tuanya menutupi segala rasa baktinya selama ini.
Rita menunduk sedih. Baru kali ini anak bungsunya tak mau menjawab panggilannya. Semarah itukah dia pada kami? Batin Rita penuh rasa penyesalan.
“Juna, Bunda taruh makanannya di depan kamarmu. Buruan makan ya? Bunda sayang kamu, Juna,” tutur Rita. “Bunda sama Papi punya alasan buat nggak kasih tahu kamu. Tapi, bukan berarti kami pengen sembunyiin semua fakta ini dari kamu selamanya. Kami hanya menundanya karena kamu masih remaja.”
Arjuna termenung mendengarkan teriakan bundanya. Perempuan yang sudah melahirkannya itu tampak berusaha keras untuk memberikannya penjelasan.
Dia pun akhirnya memilih menyingkap selimutnya. Langkahnya turun dari kasur karena dorongan rasa penasaran. Dia hanya ingin tahu alasan orang tuanya tak mau memberitahunya semua ini secepatnya. Apakah hanya karena dia masih remaja? Lalu, apakah kakaknya tahu semua ini? Dia ingin mendengarkan semua jawaban itu sekarang juga.
“Bunda!” panggil Arjuna saat membuka pintu kamar. Dia celingukan karena sosok bundanya sudah tak ada di depan pintu kamarnya.
Rita menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan tersenyum lega melihat anak bungsunya itu akhirnya mau menjawab panggilannya. Rasa sedihnya berkurang dan langkahnya bergegas menghampiri anak laki-lakinya itu.
“Juna! Ayo makan!” Rita melangkah mendekati Juna. Dia menunduk dan mengambil nampan berisi susu dan makan malam kesukaan Arjuna. “Bunda udah angetin ayamnya. Ada tumis brokoli dan wortel. Makan ya?”
Arjuna memandangi bundanya yang tampak begitu perhatian padanya. Tentu perhatian itu tulus dan membuatnya tak sanggup untuk menolaknya.
“Bentar aku nyalain lampu kamar dulu,” ujar Arjuna. Dia masuk ke dalam kamar tanpa menutup pintu seperti saat amarahnya membuncah tadi.
Tangannya bergerak mencetekkan saklar sehingga lampu kamarnya menyala. Dia melihat bundanya langsung melangkah cepat dan menaruh makanan di meja belajarnya.
“Ayo makan dulu ya? Bunda nggak mau kamu sakit,” tutur Rita. Dia menatap Arjuna dengan pandangan memohon. Sungguh dia ingin anak laki-lakinya itu tetap sehat.
Arjuna duduk di kursinya. Dia mulai makan karena memang dirinya lapar dan darimana dia bisa dapat makanan jika bukan dari sang bunda.
Rita lega menatap Arjuna makan dengan lahap. Tangannya mengelus-elus punggung anaknya.
“Bunda nanti jawab pertanyaanmu. Yang penting makan dulu ya?” janji Rita. Semuanya sudah terlanjur diketahui oleh anak laki-lakinya itu. Tak perlu menutupi terlalu lama. Dia juga sudah mengobrol soal ini dengan suaminya.
Mendengar janji dari sang bunda, Arjuna semakin semangat menghabiskan makanannya. Dalam waktu 15 menit, semuanya sudah habis tak tersisa. Kini dia menunggu sesi deep talk bersama dengan sang bunda.
“Juna, sebelum Bunda jelasin, Bunda pengen denger ceritamu dulu. Apa kamu mau ceritain semua yang terjadi di sekolah hari ini?” tanya Rita. Dia ingin memahami perasaan anak bungsunya lebih mendalam. “Bunda sama Papi bakal usahain gimana caranya bikin kamu nyaman lagi di sekolah.”
Arjuna masih terdiam menatap sang bunda. Tentu dia tahu bahwa bundanya memang seperhatian ini padanya. Sedari kecil, jika dia ada masalahnya, bundanya pasti akan selalu langsung turun tangan.
Papinya tak banyak bicara. Namun, papinya biasanya langsung membantunya menyelesaikan masalah yang ada.
“Juna, Bunda juga pengen denger cerita kamu, Sayang,” Rita meraih jemari tangan anaknya dan menggenggamnya dengan hangat.
“Kak Jasmine udah tau soal ini?” Juna akhirnya membuka suara. Dia memandangi bundanya dengan tatapan ingin tahu.
Rita mengangguk. “Waktu awal masuk kuliah,” ucap Rita. “Bunda sama Papi yang cerita. Biar nggak ada rahasia apapun dan Kak Jasmine bisa nerima hal itu.”
“Berarti nanti Bunda dan Papi bakal cerita ke aku juga?” simpul Arjuna.
Rita mengulas senyuman lembutnya. “Iya. Semuanya bakal tahu. Ini kan bukan rahasia yang layak disimpan. Masa lalu juga nggak bisa diubah tapi kamu bisa menjadikannya sebagai sebuah pembelajaran agar tidak meniru hal buruk yang pernah Papi dan Bunda lakukan,” terang Rita lembut. Dia menguatkan genggamannya pada jemari tangan anak bungsunya itu.
Arjuna berusaha mempercayai orang tuanya. Lagipula, orang tuanya memang tak berniat menyembunyikannya. Mereka hanya memilih waktu yang dirasa tepat tapi siapa sangka orang tua Dion akan membongkar hal ini lebih cepat dari rencana yang sudah ditetapkan.
Dia menyadari pepatah manusia boleh berencana tapi Tuhan yang menentukan eksekusinya. Mungkin inilah bukti nyatanya.
Helaan napasnya terdengar. Terasa berat dan panjang. Perlahan dia menceritakan duduk perkara masalah yang sebenarnya menimpa dirinya. Dia tak menutupi apapun karena orang tuanya memang sudah membangun kepercayaan besar padanya sedari kecil.
Meskipun tadi dia sangat kecewa, penjelasan bundanya juga terasa masuk akal. Karena itulah, dia merasa tak masalah bila seterbuka ini pada orang tuanya.
“Mereka nggak siksa fisik ke kamu, kan?” tanya Rita memastikan.
Arjuna menggelengkan kepala. “Tapi, ejekan mereka ngeselin, Bunda,” cicit Arjuna manja. Meskipun dia cowok, dia masih remaja dan anak bungsu. Dia selalu membutuhkan rengkuhan pelukan dan kasih sayang orang tuanya.
Rita merengkuh Arjuna dalam pelukannya. Dia mengecup kening anak bungsunya itu dengan penuh sayang. “Besok Bunda urusin sama Papi. Kalau kamu mau libur dulu ya nggak masalah. Tapi, kalau mau masuk sekolah, itu jauh lebih bagus,” terang Rita. Dia menatap hangat kedua mata manis anak bungsunya itu. “Yang penting kan Juna nggak pengen jadi waria kayak Papi dulu. Bener, kan?”
Arjuna langsung menganggukkan kepala kuat-kuat. Meski dia memiliki badan tinggi kurus dan wajah yang manis seperti anak perempuan, dia tetap menyukai perempuan dan tak ada keinginan untuk menjadi waria atau gay.
“Aku naksir cewek kok di kelas,” ungkap Arjuna jujur.
“Benarkah?” Rita mengulas senyuman manisnya. “Baguslah. Kapan-kapan ajak main ke sini. Nggak apa-apa pacaran. Yang penting nggak kebablasan.”
Deep talk bersama sang bunda membuat hati Arjuna merasa damai. Karena itulah, dia memutuskan untuk berangkat ke sekolah. Dia tak mau libur.
Arjuna berusaha cuek saat sudah berada di sekolah. Dia masih bisa mendengar ejekan ‘banci’ atau ‘anak banci’ dari beberapa orang. Namun, dia menulikan telinganya dan memilih memakai earphone. Dia mencoba percaya pada orang tuanya bahwa semuanya akan selesai setelah orang tuanya menemui pihak sekolah.
Sayangnya, kepercayaan itu tak berjalan mulus. Meskipun ada beberapa temannya yang mendapatkan teguran dari guru, justru ejekan pada Arjuna semakin banyak.
“Beraninya ngandelin orang tua aja,” ejek Alvin semakin merendahkan harga diri Arjuna di depan teman-teman sekolah. “Cupu! Banci! Tapi, gimana lagi. Anak banci, kan?”
Semua tawa terdengar. Arjuna benar-benar sangat kesal tapi dia tak bisa menghindar. Apalagi, sekarang adalah jeda pelajaran dari pelajaran matematika ke olahraga.
Dia pun memilih langsung ke lapangan basket dan mengabaikan Alvin. Sayangnya, rasa abainya itu tak bisa bertahan saat jam olahraga selesai dan dia tak menemukan celana OSIS-nya di laci mejanya.
“Hilang ke mana sih?” decak Arjuna kebingungan.
“Apanya yang hilang, Jun?” tanya Dipta, teman sebangku Arjuna.
“Celana OSIS gue. Nggak ada di sini,” terang Arjuna.
Sebuah lemparan mengenai belakang kepala Arjuna. Dia menoleh dan melihat ada rok OSIS panjang tepat di bawah kakinya.
“Pake itu aja lo! Kan anak banci, pasti bakalan jadi banci, kan?” tawa Alvin mengejek.
Arjuna menggenggam erat jemari tangannya. Dia menggeram marah melihat kelakuan Alvin yang semakin menjadi-jadi pada dirinya. “Bangsat lo!” balas Arjuna seraya berlari cepat ke arah Alvin tanpa pikir panjang lagi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
