
Bab 1 – "Ketika Azan Tak Lagi Menggetarkan"
Azan berkumandang, tapi hatinya tetap beku.
Nayla, remaja perempuan yang tumbuh dalam keluarga religius, perlahan kehilangan arah. Sejak ibunya divonis penyakit keras, dunianya runtuh—dan suara azan yang dulu menyejukkan, kini tak lagi menggetarkan. Di sekolah, Nayla tampil biasa. Tapi dalam sunyi kamar, ia mempertanyakan segalanya: sholat, takdir, bahkan Tuhan.
Bab pertama ini membuka tirai kisah penuh luka, ketika iman dipertanyakan, dan cinta seorang anak...
Nayla terbangun dari mimpi indahnya oleh denting lonceng weker di samping meja rias. Angin pagi menyelinap lewat celah jendela, mengibas lembut tirai dengan aroma embun yang menyejukkan ruangan. Cahaya lembut pagi masuk lewat celah tirai, menerangi kamar mungilnya. Papan pengingat di meja tulis memantulkan bayangan dirinya, tertulis “Besok ujian Matematika, jangan lupa belajar.” Di sudut kamar, pulpen-pulpen berwarna cerah tersebar di atas tumpukan kertas bekas yang belum sempat ia bersihkan. Telepon pintarnya tergeletak di atas tempat tidur, layar yang berkedip merah menampilkan banyak notifikasi pesan dan unggahan teman-temannya. Bahkan sahabat-sahabat daringnya sudah bersorak menyambut postingan terakhirnya. Suara azan Subuh yang samar terdengar dari kejauhan, tetapi Nayla hanya menarik selimut menutupi wajahnya. “Nanti saja,” gumamnya pelan, mengabaikan panggilan Tuhan yang melewati pikirannya. Angin pagi membawa bisikan halus, tetapi Nayla belum menggubrisnya.
Badan Nayla masih terasa berat saat ia akhirnya beringsut bangun dari tempat tidur. Mungkin karena agenda acara keluarga semalam belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Ia menebarkan tangan dan meraih sandal di lantai, lalu meraba ke arah lemari untuk mengambil seragam sekolah biru tua kesayangannya. Meski mata masih setengah terpejam, semangatnya kembali muncul saat terlintas di benaknya unggahan terbaru teman-temannya. Nayla tersenyum percaya diri memandangi sosoknya di cermin, menyambut hari baru dengan penuh semangat. Satu garis lip balm merah muda di bibirnya menambah rasa percaya diri saat ia memandang dirinya di cermin. Ia mulai membayangkan hal-hal lucu yang akan ia ceritakan di sekolah nanti, senyum tipis pun terukir di wajahnya.
Setelah memastikan penampilannya cukup rapi, Nayla melangkah ke dapur kecil rumahnya. Aroma hangat telur dadar dan bawang goreng memenuhi udara, menjanjikan sarapan lezat. Piring nasi putih baru saja disiapkan di meja makan kecil itu. Ibu tersenyum melihat putrinya masuk, kedua tangannya cekatan mengaduk telur dalam wajan di atas kompor. “Assalamualaikum, Bu,” sapa Nayla ceria, melepaskan jilbab merahnya dan mengenakannya perlahan. Warna jilbab bermotif bunga lembut yang dipakai ibunya tampak serasi dengan senyum lembut yang menerangi wajahnya. Nayla berjalan ringan mendekati meja. Meja makan kecil itu sudah rapi tersaji: sepiring telur dadar panas, sepiring nasinya, dan seteguk teh manis masih mengepul. Rambutnya sempat menangkup suara panci di dapur yang mengeluarkan wangi keju kejutan sambil mengaduk gorengan. Ia menghirup dalam-dalam aroma sarapan pagi itu, menghapus kantuk sejenak. Burung tekukur di luar mulai saling bersahutan meramaikan pagi.
Nayla mengambil piring dan sendok dari laci dapur, lalu duduk di kursi kayu itu. Dengan cepat ia menyuapkan sarapannya agar tak terlambat ke sekolah, matanya beberapa kali melirik jam dinding yang tergantung di tembok. Ia menghabiskan nasi hangat itu sambil meneguk sedikit teh. Ibu menatapnya penuh perhatian, wajahnya memancarkan rasa khawatir yang terselip di balik kesabaran. “Nayla, sudah lewat azan Subuh,” kata ibunya lembut. “Ayo, sempatkan salat Subuh dulu, Nak. Allah selalu menjaga kita.” Nada bicara Ibu terdengar khawatir, seteguk teh membuat Nayla tersedak sejenak. Ia melirik sendok nasi di tangannya yang masih setengah penuh. Tekanan waktu menggeret wajahnya, tapi ia hanya tersenyum, menahan rasa bersalah.
Di sudut lain rumah, ayahnya baru saja menunaikan salat Subuh. Ia mengenakan peci putih dan sarung berwarna gelap, tatapannya tenang melihat putrinya berpakaian rapi. Ayah melangkah mendekat sambil tersenyum, lalu menepuk lembut bahu Nayla. “Sarapan dulu, Nak,” katanya sayang. “Nanti di sekolah kau butuh tenaga penuh, kan?” Suara Ayah lembut menyertai perhatian. Nayla menundukkan kepala sedikit. “Iya, Pak,” jawabnya pelan, meneguk air putih di gelasnya. Ibu yang melihat kebersamaan itu tersenyum, merasakan doa yang sempat terlupa mengusik hatinya, namun tetap cemas ketika memandang jarum jam yang semakin mendesak. “Nayla, waktunya berangkat sudah dekat. Jangan lupa berdoa di jalan, ya,” pinta ibunya sambil mengecup dahi Nayla dengan lembut. Nayla merapikan tas punggungnya dengan cepat. “Baik, Bu, Pa,” ucapnya ringan sambil melangkah ke pintu depan. Sebelum meninggalkan rumah, ia sempat menoleh, kembali mengukir senyum hangat untuk orang tuanya. “Sampai nanti, ya,” gumamnya tulus menutup pintu.
Di sekolah, Nayla masih seperti biasanya. Ia berjalan masuk ke gedung serba putih itu dengan semangat riang. Lorong sekolah dipenuhi poster-poster kegiatan siswa kreatif dan jadwal pelajaran. Papan-papan nama di sudut koridor menampilkan lomba dan turnamen olahraga. Langkah Nayla berderap ringan, sepatu ketsnya bersuara di atas ubin. Sambil berjalan, aroma mur belajar terdengar samar dari beberapa ruang kelas. Teman-temannya menyambutnya berbaris di koridor; sapaan riang dan sentuhan ringan di bahu menyertai langkahnya. Dua sahabat dekatnya, Meli dan Irina, melambaikan tangan dari meja depan kelas. Nayla menancapkan tasnya ke kursi dan segera merengkuh kedua sahabatnya erat. Mereka tertawa bersama, berpelukan singkat, lalu beranjak ke kantin untuk sarapan bersama. Sambil berjalan, mereka bertukar cerita tentang selebriti dan video lucu yang baru saja viral. Ia membayangkan komentar teman-teman di media sosial sambil tersenyum senang menikmati perasaan populer sesaat itu.
Saat bel istirahat berbunyi, Nayla berdiri dan ikut menjajaki kantin bersama kawan-kawannya. Meja-meja makan sederhana terletak berjajar di sana. Ia dan teman-temannya serentak membuka bekal, mengeluarkan nasi bungkus, gorengan, dan kotak jus. Ponsel pun tak kalah sibuk: satu per satu mereka berfoto bersama sambil menyelipkan lelucon di balik lensa. Layar ponselnya berkedip merah lalu hijau; beberapa saat kemudian ia tersenyum puas melihat notifikasi baru dari follower-nya yang gemar membanjiri unggahannya dengan likes. Namun tiba-tiba, lagu pengiring azan Dzuhur menyelinap ke lorong sekolah melalui pengeras suara masjid dekat kelas. Irina menoleh sejenak ke arah aula kecil tempat mushala berada, lalu kembali menatap Nayla dengan wajah bersahabat. “Nay, ayo salat Dzuhur dulu. Sudah waktunya, lho,” ajak Irina lirih sambil menunjuk ponselnya yang berganti waktu. Irina mengayun tangan lembut menggenggam lengan Nayla sebagai tanda penting.
Nayla terkekeh pelan, memiringkan bahu. “Santai saja, In. Nanti setelah makan siang, oke? Kita foto dulu,” jawabnya main-main sambil menepuk pundak Irina. Teman-temannya yang mendengar ikut tertawa, mengetuk bahunya dengan santai. Irina menghela napas ringan, lalu tersenyum sambil mengalah. “Baiklah, kalau kamu sudah selesai, jangan lupa ya,” katanya pelan. Meli dan yang lain kembali menyantap makanannya, sementara Nayla masih asyik menatap layar. Suara tawa dan obrolan kembali memenuhi kantin. Di dalam hatinya, sedikit perasaan bersalah mulai tumbuh, tapi ia segera mendorongnya pergi. Ibu selalu berkata bahwa hari seorang Muslim tak akan sempurna tanpa shalat, namun kini rasa takut ketinggalan hal seru lebih dominan.
Akhirnya bel tanda pulang pun tiba. Nayla dan sahabatnya turun ke halaman sekolah bersama arus siswa. Langit senja mulai memerah di kejauhan, menandakan matahari mulai tenggelam. Ia masih menggenggam ponsel di tangan sambil tertawa lepas, menikmati komentar jenaka dari teman-teman daringnya. “Besok foto kita di Instagram tembus sepuluh ribu like, Nays! Keren, ya!” seru Meli penuh semangat. Nayla tertawa renyah. “Mudah saja asal foto kita oke, hehe,” sahutnya bercanda. Namun di sudut hatinya, terlintas satu pertanyaan kecil yang mengejutkan: Andai hari esok belum datang, apakah aku sudah siap mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah? Ia segera menyibakkan perasaan itu, menggantinya dengan senyum. Irina memperhatikan kedua sahabatnya, wajahnya berhenti tersenyum sesaat, kemudian cepat-lebih merah lalu tersenyum dan mengalihkan pandangan saat bus sekolah sudah mendekat.
Dalam bus yang mulai sepi, Nayla duduk di dekat jendela. Cahaya senja menerpa wajahnya dari samping kaca. Ia membuka ponselnya untuk mengecek berita selebritas, melemparkan senyum lagi pada bayangannya sendiri di pantulan kaca. Beberapa jam lagi azan Maghrib akan berkumandang; ibunya pasti sudah mulai menyiapkan sajadah buatnya. Namun Nayla menggeleng ringan, berpikir bahwa masih banyak waktu. Lampu kota mulai menyala, mobil-mobil berkelok memberi lampu sorot, dan hawa malam membelai rambutnya. Ponsel di tangannya berdering dengan notifikasi baru, lalu mengeluarkan bunyi pesan chat grup. Dunia maya terus memanggilnya pulang, sementara Allah menunggu panggilan hatinya.
Bis berhenti di depan kafe favorit mereka di ujung jalan. Pada dinding luar kafe tergambar mural warna-warni yang mencolok, menambah kesan ceria di malam itu. Tawa mereka pun pecah saat mencari kursi paling nyaman di dalam kafe yang remang dan penuh musik lembut. Mereka memesan minuman manis yang dilumuri krim dan cokelat berlapis, ditemani cookies cokelat yang siap disantap. Sambil menunggu pesanannya tiba, obrolan mengalir ringan tentang outfit hari itu, rencana akhir pekan, dan ide konten media sosial berikutnya. Sungguh, keseharian remaja seperti Nayla dipenuhi warna kesenangan dunia: senyum yang berkumpul, canda yang bergulir, dan perhatian follower-nya membuat dunia kecil itu selalu cerah.
Namun bisikan halus tiba-tiba menyusup, dari sudut hatinya yang paling sunyi. Angin malam yang mulai menggigil membawa pesan tak terduga: di balik gemerlap kesenangan duniawi itu, ada sesuatu yang menunggu di ujung jalan yang jauh lebih penting. Sekilas, pandangan Nayla terpejam, menggenggam ponsel lebih erat seolah ingin menenangkan diri. Ia menghapus ingatan tentang sosial media sejenak. Semilir angin dan cahaya lampu jalan seolah menggelayut lembut di telinga dan hati Nayla, membisikkan pertanyaan sederhana: “Apa yang sebenarnya kau cari?”
Setelah kafe mulai sepi, Nayla berdiri dan melambaikan tangan ke Meli yang sudah pulang naik motor. Kini ia berjalan sendiri menyusuri jalanan kota. Langkah Meli yang menepi di ujung jalan membuat Nayla sedikit terhenyak, lalu senyumnya memudar. Angin malam mendinginkan wajahnya dan menyentuh lehernya dengan lembut. Lampu jalan pertama merekah, memamerkan titik-titik cahaya di aspal gelap. Ia melirik layar ponselnya sekali lagi—foto terakhir mereka dengan caption lucu itu telah diunggah—dan kembali tersenyum tipis. Namun, getar kecil tiba-tiba merebak di dalam dada; latar lagu adzan seolah menjerit pelan mendesaknya. Dengan satu niat, ia mengulur nafas dalam-dalam, lalu meletakkan ponsel ke saku. Doa kecil terbisik di mulutnya tanpa sadar.
Tanpa terasa, Nayla menyeberang jalan setapak untuk pulang, masih dengan mata menunduk ke layar ponselnya. Tiba-tiba sebuah klakson membahana sangat dekat. Ponselnya terlepas dari genggaman, jatuh meluncur ke aspal retak. Seorang pengendara mobil putih menjerit kaget dan segera mengerem mobilnya dengan sangat keras. Ban mobil mencakar aspal hingga hampir menabraknya. “Maaf, Nak!” teriak seorang pria setengah baya dari balik kemudi, nadanya panik. Jantung Nayla nyaris berhenti. Wajahnya pucat seperti kapur, kaki gemetar tak menahan ketakutan. Ia tersentak mundur ke trotoar, mendengar getaran kaki pasien yang nyaris saja dipertemukan dengan ajalnya. Ia membeku.
Segera kedua tangan Nayla terangkat ke dadanya. Dalam sekejap ia terdiam di atas trotoar, berlutut tak sadarkan diri. Nafasnya tersengal, teringat ayat-ayat doa yang hampir tak terlontar saat kecelakaan itu terjadi. “Astaghfirullah, Allahumma ampunilah aku,” gumamnya dalam hati. Air mata murni meluncur di pipinya. Sepanjang detik itu ia benar-benar tersadar; selama ini ia sibuk dengan kesenangan duniawi hingga lalai kepada-Nya. Penyesalan menusuk jiwanya; ia yakin nyawanya nyaris melayang tanpa pernah terpikir ia akhirnya mati dalam keadaan belum menunaikan kewajiban. Kengerian itu membuatnya tersungkur dalam keheningan.
Sejuk angin malam membelai wajah basah Nayla. Dalam keheningan itu, ia merasakan kedamaian yang aneh menjalar ke dalam dada. Perlahan, bibirnya bergerak lirih melantunkan zikir dan doa. Ia sujud syukur di tepi trotoar, memohon ampun dan pengampunan yang tak terkatakan. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, dunia seolah hampa karena Allah telah memanggilnya kembali, mengajari arti ikhlas. Isak Nayla pecah saat subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu Akbar memenuhi udara malam. Setetes demi setetes air matanya menjadi saksi penyesalan dan permohonan ampun. Ia mengharap semoga pemilik langit dan bumi masih menerima peluknya kembali.
Masih terisak dalam sujud itu, Nayla bangkit perlahan. Segera ia mengumpulkan keberanian dan merapikan pakaian seadanya. Tangan-tangannya meremas tas yang sekarang terasa ringan; duniawi tak lagi diutamakan. Ia berlari cepat menuju rumah, rambutnya ikal tersapu angin. Di sela langkahnya yang berat, ia tak henti-henti berdoa di dalam hati. Ketakutan berubah menjadi harapan ketika cahaya rumahnya terlihat di kejauhan. Azan Isya bergema sayup dari sebuah masjid mungil di pinggiran kota. Anak jalanan berlarian menyiapkan diri. Nayla tahu ibunya pasti akan bangun sebentar lagi untuk mengerjakan salat malam. Ia tersenyum getir.
Sesampainya di rumah, pintu depan telah terkunci. Lampu ruang tamu menyala lembut dari celah jendela. Di dalam, ia mendengar Ayahnya menatap Al-Qur’an di pangkuannya, sementara Ibu melipat sajadah di sampingnya. Keduanya menoleh serempak ketika Nayla membuka pintu. Ia menarik nafas panjang, lututnya terkulai oleh rasa lega. “Assalamualaikum,” bisik Nayla pelan, suaranya masih serak.
Ayah menyambutnya dengan mata lembut. “Waalaikumsalam, kenapa terlambat sekali, Nak?” tanyanya lembut. Nayla menelan ludah, menunduk sesaat. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… hampir… kecelakaan, Pak,” gumamnya tersendat. “Aku sadar selama ini kumelupakan banyak hal. Maafkan aku.” Suaranya bergetar saat ia berbicara. Ibunya bergerak cepat, memeluk Nayla dalam diam. Air mata bahagia bercampur haru mengalir di wajah sang ibu. “Alhamdulillah, Engkau selamat,” bisiknya, mengecup dahi Nayla yang basah. Ayah dan Ibu menatap putri mereka dengan penuh haru. Suasana kehangatan keimanan memenuhi ruang itu. Dalam kebersamaan itu, doa panjang terlantun syahdu. Sujud, tangis, sujud – doa mereka mengalir lirih dalam hening.
Di ujung lorong rumah, lampu taman mulai padam. Lembayung rembulan menyelinap ke jendela kamarnya. Nayla menutup malam itu dengan melipat tangannya, mengucap rencana-doa yang baru. Jarinya mengetuk dada sembari bermunajat: “Tuhan, Engkau memberiku kesempatan. InsyaAllah aku akan kembali ke-Mu.” Doa-doa yang ikhlas mengiringi ia tertidur. Di luar, bintang-bintang terus berseri menyambut harapan baru, menanti fajar yang segera datang.
---
‘Pelita kecil sudah menunggu di balik sunyi. Sesaat manis tanpa abadi; cintaku kini merona kembali.’ Maya Khan, Nyala di Relung Hati (tersenyum haru)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
