AR 17 : Its Almost Romantic #UnlockNow

0
0
Deskripsi

“I’m your landlord.” Begitu Francis memperkenalkan diri kepada Thiya. 

Landlord? Tuan Tanah? Kalau laki-laki ini adalah tuan tanah, terus Thiya siapa dong, hamba sahayanya?

Fathiya Alwaliy atau Thiya yang keras kepala awalnya kesal sekali karena harus tinggal di flat mahasiswa dengan Francis sebagai landlord-nya. 

Landlord kan biasanya bapak-bapak atau nenek-nenek tua yang ramah, baik hati, dan jago masakin semua anak kosnya. Kenapa sih, Thiya sial banget dapetnya Francis, om-om tanggung 33 tahun yang...

Francis menerima telepon dari Simon sambil membawa sekantong belanjaan dari dalam mobilnya menuju apartemen. Suara ambulans samar meraung di latar belakang.

"Ini terakhir kalinya, Francis. Tidak ada lagi, 'Hei Simon, minta tolong teman-temanmu liput acara ini, Simon naikkan ini ke media, Simon bisa minta kontak konsultan sosmed yang biasa kau pakai.' Oke?" Simon memberi ultimatum. Cuma main-main.

"Kau selalu bilang begitu."

"Kali ini benar-benar yang terakhir," kata Simon. "Lain kali berikan alasan kenapa kau butuh divisi media kita ikut-ikutan mengurusi kampanye anak politisi Indonesia, baru kubantu.

"Baiklah. Oh, dan itu bukan kampanye. Cuma, you know, personal project."

"No worries, kabari aku kalau kau butuh bantuan lain ... wait! No! This is the last!"

Telepon itu berakhir dengan seruan frustasi Simon. Sebagai adik yang baik, tentu saja Francis mengabaikannya.

Francis merunduk merogoh saku depan celananya untuk mencari kunci sebelum tiba di pintu apartemennya. Apartemen pribadinya di tengah kota terletak di sudut, sengaja demikian, karena itu artinya ia hanya akan punya satu tetangga, alih-alih dua. Lebih mudah untuk dikendalikan dan disapa.

Pria itu akhirnya menemukan kuncinya. Ia mengembalikan pandangan ke depan dan melihat Thiya sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Kejutan, gadis itu tiba-tiba bisa menemukannya.

"Ada pesan dari Jedda." 

Thiya mengangkat tangannya, jari-jarinya menjepit sebuah post it warna kuning yang tadi tertempel di pintu apartemen Francis. Francis bisa melihat tulisan berlengkung besar-besar khas Jedda.

 

Francis, I miss you. Jedda.

 

"Dari mana kamu tahu tempat ini?" Francis bertanya kagum. 

Mata hijaunya menelusuri wajah Thiya yang menurut Francis makin tirus memanjang. Rasanya fitur imut kekanakan Thiya semakin luntur seiring pertambahan umurnya. Gadis itu bertambah dewasa, dan hari ke hari Francis makin terpikat padanya.

"Mau tau aja." Thiya menjawab sesukanya.

Gadis itu mengenakan semacam pashmina berenda-renda warna lavender yang dibebatkan dengan manis di kepalanya. Lalu sweater panjang berlapis. Celana jeans hitam dan sepatu boot semata kaki.

"Kenapa tidak pakai jaket? Kan, dingin," tegur Francis.

"Kamu selalu bawel soal jaket. I'm not that vulnerable." Thiya menarik salah satu lapisan sweaternya. "And look, aku pake sweater. Ini juga hangat."

"Kamu benar."

Tapi dibanding jaket, kain sweater itu cenderung lebih jatuh membentuk lekuk garis tubuh seseorang. Lekuk yang membuat matanya tak berhenti memandangi Thiya. Rasanya Francis ingin memukul dirinya sendiri karena berpikir begitu.

"Greg dan Vinh yang memberitahuku."

"Soal?"

"Tempat ini. Alamat apartemenmu di wilayah kota."

Francis berdeham. "Oke."

"Vinh bilang kamu akan menjewernya kalau sampai bilang kepadamu. Tapi Vinh juga sudah bosan menjawab pertanyaanku kapan kamu ada di apartemen, jadi dia memutuskan membongkar rahasiamu saja."

Francis mengangguk. Ia membalas dengan decakan sarkas. "Aku tahu Vinh memang selalu bisa diandalkan."

"Vinh juga minta aku menyampaikan padamu kalau Greg adalah landlord pengganti yang payah. Tolong segera pecat dia atau carikan yang lain." Thiya menambahkan.

"Sudah kuduga," kata Francis. Ia menatap Thiya dengan lembut. "Apalagi?"

"Vinh dan penghuni apartemen lain juga bilang... semoga Rhonda segera membaik supaya kamu atau Rhonda bisa segera kembali jadi landlord mereka."

Thiya balas memandang Francis dengan salah tingkah. "Kudengar kamu pindah dari apartemen untuk sementara karena Rhonda mendadak dirawat di Adelaide Royal Hospital?" Pertanyaan itu disambung dengan tuntutan. "Kok nggak bilang-bilang?"

"Kondisi Rhonda sudah membaik. Lusa mungkin dia sudah bisa pulang kembali dari rumah sakit ke wisma lansia. Aku akan segera kembali ke apartemen. Kamu sedang sibuk mengurus banyak acara dengan Hiza, nanti malah cemas." Francis membela diri.

"Omong kosong, males bilang aja kan?"

Francis terbahak.

"Maaf, aku menghalangi jalan." Thiya menyingkir dari depan pintu kamar Francis. "Silahkan kalau mau masuk."

"Lalu, kamu? Mau berdiri begitu di luar?"

Francis melihat Thiya makin gelagapan ditanya begitu. Pria itu tersenyum tipis.

"Biar kuletakkan dulu belanjaanku di dalam, beres-beres sebentar. Lalu kita keluar. Kamu sudah makan?" Francis bertanya.

"Sudah," jawab Thiya.

Francis mengangguk. "Padahal kuharap kamu bilang belum."

Thiya membuka mulutnya. "Oh...."

"Jangan memaksakan diri."

"Nggak, nggak apa-apa, aku nggak keberatan makan lagi." Gadis itu menggerak-gerakkan tangannya salah tingkah. "Maksudku... karena... soalnya aku... ada yang mau kubicarakan sebentar denganmu Francis."

Tentu saja. Buat apa lagi gadis ini datang jauh-jauh sampai ke sini? 

Dua bulan lebih tak bertemu Thiya dan Francis hanya saling mengirim pesan. Thiya tetap tinggal di rumah Hiza sambil mengurus rencana-rencananya membuat acara amal ini dan itu, tampil di muka umum. Hiza beberapa kali mengabari Francis tentang kesibukan baru Thiya yang sering membuat gadis itu jatuh tertidur di sofa lewat tengah malam.

Sementara Francis... well, dia pria dewasa yang bisa melakukan apa saja selama sebulan, dua bulan, atau bertahun-tahun sekalipun. Salah satunya mengurus Rhonda. Neneknya yang baru-baru ini kondisi kesehatannya memburuk, ia jatuh tak sadarkan diri seminggu yang lalu dan dibawa ke bagian gawat darurat Royal Adelaide Hospital. Diagnosa terakhir dari dokter adalah gabungan dari flu musiman dan serangan migraine yang buruk.

Setelah Francis meletakkan belanjaannya di dalam apartemen, ia keluar kembali dengan sebuah termos kecil berisi cokelat hangat untuk Thiya. Thiya menerimanya, mengucapkan terima kasih dengan suara kecil lalu berjalan menjejeri Francis.

Mereka keluar dari gerbang masuk mobil apartemen Francis dan berbelok menyusuri trotoar jalanan Adelaide. Suara raungan sirine ambulans terdengar silih berganti. 

Letak apartemen Francis memang hanya dua blok dari Royal Adelaide Hospital yang merupakan rumah sakit rujukan utama kota ini. Itu bukannya tanpa sengaja. Francis memang sengaja menyewanya sebagai jaga-jaga kalau-kalau ia harus menemani Rhonda bermalam di rumah sakit.

"Bagaimana kabarmu, Francis?" tanya Thiya. 

"Baik."

"Kalau Jedda?"

Francis menahan tawa. "Kamu baca sendiri pesannya. Terlihat baik-baik saja. Galau dan sedikit kesepian, seperti biasa."

Thiya menyerahkan kertas post it itu kepada Francis. "Maksudmu tiap kali kesepian dia datang ke apartemenmu minta ditemani?"

Ah.

Francis melirik Thiya. Raut wajah gadis itu terlihat masam dan tak suka.

"Kalian sebenernya masih jadian apa nggak sih, nggak jelas."

"Maybe for her its not that easy."

"Sure." Thiya menjawab dengan ketus.

"Aku dan Jedda berpisah dengan baik. Kami berharap bisa jadi teman." Francis basa-basi menjelaskan.

"Teman biasa ngga ninggalin post it di pintu apartemen yang tulisannya 'I Miss You', gitu."

Francis menarik sudut bibirnya. Ia tak sanggup lagi menahan senyum yang mendesak muncul.

"Stop doing that." 

Ia menarik salah satu sudut pashmina Thiya yang terjuntai hingga gadis itu terpekik. 

"Do what?" Thiya mendongak, membelalakkan matanya yang jernih. 

"Stop looking like you're obviously jealous of Jedda."

"I AM NOT!" Thiya spontan membantah. "Aku nggak cemburu!"

"Aku tahu." Francis menenangkan, masih menahan tawa. "Aku tahu."

Langkah Francis berhenti di sebuah kafe kecil di sebuah gang yang menyajikan pizza sayuran khusus vegetarian. Ia memberi isyarat pada Thiya agar mereka masuk.

"Francis, aku akan pulang ke Indonesia," kata Thiya setelah mereka duduk.

"Kapan?"

"Minggu depan."

"Bukan, kapan kamu kembali ke Adelaide?"

"Oh," jawab Thiya riang. "Aku tidak yakin. Awal semester depan?"

"Kamu dan temanmu jadi melakukan rencana kalian di Indonesia? Apa pun itu rencana kalian?" tanya Francis. "Pastikan aman, oke."

Thiya mengangguk. "Aman, kok. Kami cuma mau bicara dengan pengacara ayahku bersama Tante Maimun dan Olga dan oh... temanku, Priscillia dan Maudra. Kami harap dia mau mengakui perbuatannya dan meminta maaf pada ayahku karena sudah merekayasa semua ini."

"Sounds good. Semoga beruntung. Makanlah." Francis menunjuk potongan pizza yang diantarkan ke meja mereka. "Bagaimana acara amal dan festival yang kamu rencanakan? Sori aku nggak bisa datang."

Thiya menggeleng, menyelanya. "Francis. Terima kasih untuk semua yang sudah kamu lakukan."

"Contohnya?" Francis sengaja menggoda. Ia tidak yakin Thiya mengerti kalau ia sedang menggoda, tapi Francis merasa harus mencobanya.

Wajah Thiya memerah. "Well... semua wartawan... media... banyak orang yang meliput dan mengunjungi acaraku. Kukira... kukira itu darimu."

Benar, Francis yang melakukannya. Ia melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan untuk gadis-gadis lain dalam hidupnya. Meminjam kekuatan keluarga besarnya untuk memudahkan hidup Thiya. Sebelumnya Francis selalu membenci hal itu, perhatian dan kekuatan yang dihimpun keluarganya selama karir politik mereka yang panjang. Francis merasa hal itu cuma membuatnya menjadi sasaran empuk untuk dimanfaatkan.

Tapi untuk Thiya... untuk pertama kalinya Francis melihat bahwa apa yang dimiliki keluarganya bisa membantu Thiya. Untuk pertama kalinya Francis merasa bangga dan lega untuk memanfaatkannya.

"Francis..." panggil Thiya lagi.

Gadis itu menegakkan duduknya. Jari tangannya saling menjalin, menggesek dengan gelisah. Ia menelan ludah beberapa kali. Francis mendadak tidak suka melihat semua itu.

"Jangan memikirkannya." Francis mencegah.

"Memikirkan apa?"

"Memikirkan apa pun yang akan kamu sesali sebentar lagi." kata Francis sambil mengangkat tangan pada pelayan kafe yang sedang menguleni adonan. Mendadak tenggorokannya terasa kering. "Do you have beer?"

Francis membuka botol dan menyesapnya seteguk. Kembali menatap gadis di depannya, bersiap sambil setengah berharap bahwa ini bukan yang ia harapkan.

Anehnya sekarang Thiya memandangnya dengan ganjil. Seperti marah. 

Atau marah sekali?

"You already know, do you?" tanya Thiya. Suaranya berubah datar ... namun sedih, seperti seseorang baru saja lewat dan menyayatnya tanpa terlihat Francis.

"Tentu saja kamu sudah tahu. Because I'm not good at being subtle, kan. Aku botol kaca yang trasnparan, iya kan."

"Tahu apa?" Francis bertanya pelan.

"Tahu aku suka padamu."

Francis menggenggam botol birnya. Berusaha bersikap setenang yang ia bisa. Meski ia bisa merasakan jari-jarinya sedikit kebas.

"Thiya...." Francis menanggapi Thiya dengan nada selembut mungkin.

"Tidak sepertimu, aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Memikirkan apa... ini." Laki-laki itu menggumam penuh penyesalan. 

"Aku pernah bilang pada Jedda bahwa aku bukan pria yang suka terburu-buru memberi label pada hal baru atau... perasaan baru ...."

Francis dan Thiya saling menatap. Thiya kelihatan ketakutan. 

"Francis, apakah itu jawabanmu buatku?"

Laki-laki itu tahu, sudah tak mungkin menghibur Thiya. Sudah tak ada cara. Ia hanya bisa jujur, meskipun itu menyakitkan. 

Sangat menyakitkan. 

"Aku tahu ini akan mematahkan hatimu. Waktu kamu baru datang ke Adelaide kamu sedih, kebingungan, dan butuh teman. You cant help but falling for me. But those feelings aren't real. What you feel for me, Thiya ... is not what you think it is."

Kemarahan Thiya meletus dengan cepat. "Then what it is?!"

Francis mengerjap, tak menyangka balik ditanya. "Apa?"

"Menurutmu perasaan ini apa? Say it." Bibir Thiya mengencang. 

Francis memaksakan dirinya. "Cuma crush biasa. Nanti juga hilang." Pria itu bersiap-siap menghadapi banjir airmata dari kelopak mata Thiya yang sudah memerah. 

Benarlah, dalam sekejap gadis mungil itu runtuh. Thiya tidak sampai menangis, tapi ekspresi yang terbentuk di wajahnya saat ini jauh lebih menyakitkan untuk dilihat Francis. 

"You're so cruel. Why are you doing this? I love ... I love you, Francis."

Francis mengangguk lemah, tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Kalimat 'I love you' itu menghujamnya telak tak bisa bergerak. Thiya benar, ia kejam. Seharusnya ia memang kejam, demi mereka berdua. 

"Terlalu banyak perbedaan di antara kita, Thiya. Aku cuma berusaha realistis. Kita punya banyak persamaan, tapi juga banyak perbedaan. Terlalu banyak...." Francis menjelaskan.

"Bahasa, budaya, negara, agama... there are so many... complications."

"And you cant deal with complications?" Suara Thiya serak. Wajahnya suram oleh kekecewaan dan harapan yang hilang. 

Francis merasa dunia ini terbelah dua dan jatuh masih-masing membebani kedua bahunya. Ia ingin menukar apa saja agar terbebaskan dari keharusan menjawab pertanyaan itu. 

"I can...." Suara Francis makin melunak. "But you cant... Thiya... yet."

"Great, sampai akhir aku tetap cuma bocah di mata kamu!" Thiya berteriak frustasi. Ia menyambar scarf dan tasnya, angkat kaki dari kafe. Menghambur dengan muka memerah marah dan entah apa yang berkecamuk di kepala kecilnya. 

Francis membiarkannya. Ia tahu ia harus membiarkannya. Pelayan dan kasir di kafe itu menatapi Francis yang masih duduk sambil menyesap birnya. Ekspresi mereka semua menuntut penjelasan.

"One day I will fight for her." 

Francis memberi jawaban itu tanpa diminta. Ia melirik ke pelayan yang paling dekat dari mejanya, seakan mengajaknya bicara. Pelayan itu hanya mendengkus. 

"Tapi sekarang dia perlu waktu untuk lebih banyak memahami dirinya sendiri." Francis meletakkan botol birnya yang kosong di meja. 

"Bill, please."

 

===

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya AR 18 : Lingering #UnlockNow
0
0
“I’m your landlord.” Begitu Francis memperkenalkan diri kepada Thiya. Landlord? Tuan Tanah? Kalau laki-laki ini adalah tuan tanah, terus Thiya siapa dong, hamba sahayanya?Fathiya Alwaliy atau Thiya yang keras kepala awalnya kesal sekali karena harus tinggal di flat mahasiswa dengan Francis sebagai landlord-nya. Landlord kan biasanya bapak-bapak atau nenek-nenek tua yang ramah, baik hati, dan jago masakin semua anak kosnya. Kenapa sih, Thiya sial banget dapetnya Francis, om-om tanggung 33 tahun yang nyinyir dan si paling penuh misteri, sebagai landlord-nya. Okelah, teman-temannya yang sesama penghuni flat bilang kalau Francis itu ganteng. Ia tinggi, tampan, dewasa, bermata abu-abu, berambut cokelat berombak, dengan sepasang lengan kencang yang selalu sigap mengulurkan bantuan kepada para penyewa flatnya. Hanya kepada Thiya, Francis bersikap ketus dan menjaga jarak. Sombong banget sih, dia? Memangnya Francis tidak tahu siapa Thiya?Biasanya Thiya yang selalu dimanja, dicari, dipuji dan dipepet orang pansos, sekarang di Australia Thiya jadi orang biasa. Di Indonesia, keluarga besar Thiya semuanya politisi ternama. Semua orang ingin dekat dengan Thiya. Saat Abah Thiya memutuskan maju dalam ajang Pilpres, kekesalan Thiya pada politik makin menjadi. Gara-gara politik keluarganya, Thiya dijebak, difitnah, ditinggal sahabat, dirundung wartawan, sampai diasingkan ke Adelaide, sebuah kota kecil di Australia, demi kesuksesan kampanye keluarganya.Memang kenapa kalau mau kampanye. Kamu memang anak calon wakil presiden di negaramu. Justru tidak kampanye itu yang aneh. Francis nyengir.Thiya tersenyum simpul. Benar.Never forget what you are, because others will not. Wear your weakness like an armour and it can never be used to hurt you. Francis mengutip sesuatu.Kata-kata siapa itu?Elsa Frozen. Francis menjawab asal-asalan, sengaja menyembunyikan sumbernya.Thiya mengerjap. Masa sih? Kukira dari Game of Thrones.Francis terbahak. ==== Francis Connell atau Francis tak pernah mengira kalau mengambil alih pekerjaan neneknya sebagai landlord atau pengurus flat mahasiswa di Adelaide akan membuat hidupnya awut-awutan. Sejak mengenal Thiya, Francis seperti melihat kehidupannya sendiri sebagai anak dari keluarga politisi  terkenal Australia diputar ulang di depan matanya. Dari awalnya hanya perasaan senasib sebagai sesama anak yang benci dilahirkan di keluarga politisi, Francis makin terlibat dalam hidup Thiya. Francis sedikit demi sedikit membantu Thiya mengungkap fitnah yang mengotori nama baiknya di Indonesia. Perlahan, Francis menyadari bahwa ia tidak lagi menganggap Thiya hanya sebagai salah satu remaja ingusan penghuni flatnya. Ia menganggap Thiya sebagai kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan besar yang dulu dibuat Francis di masa lalunya. Kamu bisa cerita kalau mau. Malam ini aku bukan landlord-mu.Thiya memandang Francis dengan tatapan bertanya-tanya. Mengamati bagaimana pria itu membawa dirinya. Francis memang tinggi, tapi malam ini ia kelihatan lebih menjulang dan ramping. Siluetnya menawan sekaligus gagah mengenakan celana pantofel hitam berpotongan lurus dan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan.Kalau bukan landlord, lalu apa? Thiya bertanya lirih.Francis tersenyum serba salah. A friend, maybe? You seem to need a friend more than a Landlord.Ketika Francis dan Thiya semakin dekat, Francis berusaha membuat segalanya tetap profesional. Ia sadar betapa banyak perbedaaan antara dirinya dan Thiya. Usia, agama, bahasa. Satu persamaan mereka hanyalah sama-sama berasal dari keluarga yang tidak rela bila image politiknya ternoda. Sama sekali bukan keuntungan. Francis tahu ia harus segera mengambil keputusan… segera.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan