Mata Irene mengerjap. Entah pria ini sedang berbohong atau tidak, tapi Irene tidak menemukan apa pun di bola mata yang bening itu. Mungkin benar, Dokter Venty tidak mengatakan semuanya, hanya saja... Irene merasa pria ini begitu polos.
Dia ketemu artis yang pingsan gak wajar, dan cuma bilang begitu? Dia normal gak, sih?
Setelah mendapatkan persetujuan dari Maudy, Irene pun kembali ke brankarnya. Tidak lupa dia menutup rapat setiap sisi tirai. Beruntungnya dia sudah meminta Maudy mengosongkan satu hari dari jadwal apa pun. Dia sudah berpikir ingin menghabiskan waktunya dengan Keenan.
Ah, pria itu. Untuk sesaat, Irene sempat melupakannya karena serangan panik dan rasa kekhawatirannya akan janin itu. Bukan diselingkuhi, tapi menjadi selingkuhan. Bukan sekadar berpacaran, tapi mereka sudah menikah. Tidak ada pembelaan, Keenan malah menciut di depan istrinya.
Irene kehilangan harapan lagi.
Namun entah kenapa, ia tidak bisa menangis. Apakah ini berarti perasaan yang sempat hidup karena Keenan, sudah mati seketika kembali?
Irene menunduk dan meletakkan tangannya di perut. Tidak ada harapan lagi untuk janin ini. Dia harus—
Srak!
“Eh? Sudah siuman?”
Irene menoleh dengan cepat ke arah pria yang tiba-tiba menyibai tirai brankarnya. Pria itu memakai kemeja berwarna hitam yang digulung sampai siku yang sisi bawahnya agak keluar dari celana jeans itu. Rambutnya tampak berantakan, seolah memang sengaja dia acak-acak.
Untung saja Irene masih memakai maskernya, jadi wajah sinis bercampur kaget itu tidak terlalu terlihat jelas.
“Siapa...?”
“Ah!” Pria itu seolah baru teringat sesuatu. “Dokter Venty bilang Anda sudah sadar, jadinya saya cek ke sini. Dan... ternyata beneran.”
Kerutan di dahi Irene belum juga hilang. Jujur saja, itu tidak menjelaskan.
“Saya yang tolongin Anda,” sambung pria itu akhirnya.
“Oh...,” Irene bergumam pelan sambil mengangguk kecil. Jadi, yang menolongnya itu bukan malaikat maut, tapi seorang pria biasa... yang tampangnya agak mencurigakan.
Bagaimana Irene mengatakannya, ya? Pria ini terlihat seperti bocah SMP nakal, iseng, dan suka mengganggu temannya. Namun, bola mata bening itu juga menyiratkan ketulusan dan kepolosan. Kalau boleh dibilang...
“Kayak anjing husky.”
“Apa?”
“Hah?” Irene mengerjap. “Apa?”
“Anda bilang sesuatu?”
Irene tidak langsung menjawab. Apa dia bilang sesuatu? “....Gak....”
Pria itu menggaruk belakang kepalanya. “Kayaknya gue denger suara, deh....”
Irene yakin kalau pria itu berbicara pada dirinya sendiri, tapi telinganya cukup jelas mendengar itu.
“Oh, iya. Gimana keadaan... Mbak?” Pria itu cukup ragu memanggil Irene dengan panggilan itu. Dari sini, Irene tidak yakin apakah pria ini mengenal siapa dirinya atau tidak.
“Baik. Terima kasih sudah menolong saya,” jawab Irene datar, sebisa mungkin tidak terlihat mencolok.
Pria itu mengangguk—masih dalam posisi berdiri. “Mobil Mbak-nya sudah diderek dan sekarang ada di parkiran rumah sakit. Pintunya agak rusak karena saya paksa buka tadi, jadi....”
Pria itu merogoh sakunya, mengeluarkan dompet, lalu menarik satu kartu nama dari sana. “Mbak bisa hubungin saya buat biaya perbaikan.”
Irene tidak langsung mengambilnya. Bagaimanapun, dirinya dipenuhi rasa skeptis yang luar biasa tinggi. Hidupnya dipenuhi pengkhianatan dan kepalsuan, apalagi ia baru saja mengalami hal yang paling besar beberapa jam lalu. Dia hanya melirik kartu itu sekilas, sebelum kembali menatap pria itu.
“Gak perlu, Mas. Saya bisa klaim asuransi saja,” jawab Irene, masih menggunakan nada datar. “Lagipula, Mas melakukan itu juga buat tolongin saya. Saya justru harus berterima kasih buat itu.”
Walaupun sempat terlihat agak terkejut, pria itu memasukkan kembali kartu namanya tanpa protes. “Ya... saya cuma gregetan aja sama orang yang parkir sembarangan. Saya kira, Mbak-nya begitu. Tapi taunya, lagi kena musibah....”
Pria itu tersenyum tipis, membalas tatapan Irene. “Sudah dasarnya manusia saling tolong-menolong, Mbak.”
Dasarnya manusia?
Benarkah?
Irene hampir mendengus, tapi ia menahan diri dengan baik. Fakta bahwa seorang Irene Gabriella masuk rumah sakit saja sudah cukup membuat heboh, apalagi kalau sampai ada artikel yang mempertanyakan soal sikapnya. Irene tidak mau mendengar ceramah panjang dari Bu Kristin—CEO agensinya.
“Kalau begitu, saya pergi dulu—“
“Anda kenal saya, kan?” Irene menahan pria yang ingin berbalik badan itu dengan pertanyaannya.
Ini terlalu mudah... Irene tidak percaya kalau pria itu mengabaikannya, padahal sudah pasti wajahnya terlihat jelas tadi. Bahkan, seorang dokter yang sangat sibuk saja mengenali dirinya. Jangan bilang... pria ini tidak tahu?
Pria itu kembali menatap Irene. “Bohong kalau saya bilang gak kenal Anda.”
Punggung Irene menegang. Tiba-tiba, dia kehilangan semua sikap keras dan dingin yang tadi sempat dia tunjukkan.
“Jadi... Anda tahu keadaan saya?”
“Ya... Dokter Venty sempat jelasin tadi,” jawab pria itu santai, malah sambil menganggukkan kepala. “Saya juga baru tahu kalau Anda punya serangan panik begitu. Maaf, ya, tadi saya sempat teriakin Anda waktu di mobil.”
Mata Irene mengerjap. Entah pria ini sedang berbohong atau tidak, tapi Irene tidak menemukan apa pun di bola mata yang bening itu. Mungkin benar, Dokter Venty tidak mengatakan semuanya, hanya saja... Irene merasa pria ini begitu polos.
Dia ketemu artis yang pingsan gak wajar, dan cuma bilang begitu? Dia normal gak, sih?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰