
5-9
5
Setelah turun dari mobil, Kalila langsung berlari kencang memasuki rumah. Tak lupa menutup pintu utama agar Trey terlambat mengejarnya. Dia buru-buru memasuki kamarnya dan mengunci pintu agar Trey tak menorobos masuk. Sesaat setelah Kalila menjatuhkan diri di tempat tidur, Trey berteriak heboh di luar sana sembari mengetuk-ngetuk pintu.
“BUKA, DOOONG!”
“BERISIK!” balas Kalila, berteriak sambil melempar bantalnya ke pintu. Dia menutup telinganya dari suara berisik Trey di luar sana. Buru-buru cewek itu mengambil penutup telinga yang dia simpan di laci meja samping tempat tidur. Dia segera memakai benda itu untuk menyumbat kedua lubang telinga. Suasana sekitar menjadi terasa lebih tenang.
Kalila melirik lemari, lalu bangkit. Dia membuka lemari itu, mengambil brankas kecil yang terlihat seperti buku tebal, lalu dia keluarkan dari dalam lemari. Dia membuka brankasnya setelah memasukkan kata sandi. Sebuah liontin dia keluarkan dari sana.
Liontin yang menjadi alat komunikasinya dengan keluarganya di masa depan.
Ya…, masa depan.
Alasan mengapa Kalila tidak membawa liontin itu kemana-mana adalah karena Kalila takut satu-satunya alat komunikasinya dengan orang tuanya hilang.
Dua tahun lalu, ketika dia membuka liontin itu, muncul sebuah hologram berisi pesan dari mamanya yang datang dari masa depan. Kata Mama, ketika Kalila membuka liontin itu, maka mamanya di masa depan akan mengetahuinya lebih cepat sehingga Kalila akan mendapatkan sebuah pesan tepat saat Kalila membuka liontin itu. Kemudian mereka akan saling berkirim pesan seolah-olah mereka berada di waktu yang sama pada tempat yang berbeda.
Awalnya, Kalila sulit percaya dan menganggap bahwa benda itu hanyalah benda elektronik biasa. Namun, Mama mengirimkan sebuah foto situasi di masa depan. Foto-foto itu menggambarkan bahwa dunia masa depan adalah dunia yang penuh dengan teknologi yang jauh dengan masa kini. Tidak hanya itu, mereka melakukan panggilan video dan Kalila bisa melihat wajah kedua orang tuanya seperti apa.
Mama menceritakan semuanya dan Kalila akhirnya tahu segalanya. Semua kebenaran tentang dirinya dan bagaimana dia berakhir di masa ini telah diceritakan oleh Mama. Sayangnya, Mama tak ingin siapa pun tahu bahwa mereka saling berkomunikasi, termasuk Ibu. Kalila juga tak boleh mengatakan bahwa liontin itu adalah semacam alat elektronik yang menghubungkannya dengan masa depan.
Kalila menebak bahwa alasan Mama ingin merahasiakan semua itu adalah karena Kalila suatu saat nanti akan kembali ke masa depan. Kalila tak tahu kapan tepatnya karena Papa juga sedang berusaha membuat Kalila untuk pulang.
Kalila sudah mendengar semua kemungkinan-kemungkinan terburuk dan pulang adalah pilihan terbaik bagi hidup Kalila. Masa ini memanglah masa dia lahir, tetapi dia adalah bagian dari Mama yang tak bisa dipisahkan.
Kalila menyayangi Ibu dan tak ingin pergi dari Ibu, tetap di sisi lain Kalila juga menyayangi Mama meskipun mereka baru berkomunikasi dua tahun lalu.
Dia membuka liontin. Hologram muncul dan pesan dari Mama langsung datang.
Hai, Nak
Bagaimana kabar kamu di sana?
Mama nggak bisa bicara sama kamu dulu karena ada orang-orang di sini, tapi mama bisa ngasih kamu foto Khafi
Ini dia. Khafi lama-lama jadi makin mirip papa kamu, kan?
Kalila tersenyum menatap foto adik laki-lakinya yang berumur 3 tahun saat ini. Dua tahun lalu, mama memperlihatkan foto Khafi untuk pertama kalinya. Saat itu Khafi masih berumur 1 tahun.
Kalila menyentuh layar hologram dan memunculkan keyboard. Dia mengetik balasan untuk mamanya.
Hai, Ma!
Kalila baik-baik aja
Hari ini Kalila dibuat kesel terus sama Trey, tapi makasih karena mama nyaranin aku buat pakai penyumbat telinga! Sekarang aku udah nggak dengerin dia berisik lagi di luar sana
Aku baru pulang sekolah dan belum ganti baju, hehe
ini foto aku
Kalila mengangkat jari telunjuk dan tengahnya dan dia arahkan ke dekat pipi, lalu mengambil sebuah foto untuk dia kirimkan kepada mamanya.
Kalila berbaring di tempat tidur sambil memandang foto Mama dan Papa yang baru saja dikirim oleh Mama. Papa terlihat kaku. Sejak dulu, Papa memang sulit diajak berfoto. Hanya demi Kalila lah Papa mencoba untuk berfoto.
Mereka harus mengakhiri komunikasi itu karena Mama bilang ada orang lain tak jauh dari mereka. Kalila menutup liontonya sambil tersenyum, lalu dia tiba-tiba murung karena membayangkan harus pergi dari masa ini.
Awalnya, Kalila juga tak bisa mempercayai hal yang tak masuk di akalnya itu. Namun, semua yang Mama ceritakan mirip dengan cerita yang Kalila dengar tentang posisinya di rumah ini yang merupakan anak angkat.
Selama dua tahun ini, Kalila menghibur dirinya sendiri. Kehadiran Mama dan Papa membuat Kalila merasa lega. Dia masih memiliki keluarga kandung dan tak seharusnya dia sedih berlarut-larut karena kenyataan bahwa dia bukanlah anak kandung Ibu dan Bapak.
Daripada mengecewakan dua keluarga, dia lebih baik untuk memilih salah satunya.
Dia telah hidup selama belasan tahun bersama Ibu dan Bapak. Tak ada salahnya jika suatu saat dia meninggalkan Ibu dan Bapak, lalu kembali pada Mama dan Papa.
***
6
Kalila terbangun karena perut yang keroncongan. Dia bahkan masih mengenakan seragam lengkap dan kaos kaki yang masih melekat di kakinya saat ketiduran. Dia ketiduran sambil memeluk liontin. Untung saja dia mengunci pintu terlebih dahulu sehingga menghindari kemungkinan terburuk di mana orang lain membuka liontin itu.
Kalila segera menyimpan liontinnya di tempat semula, lalu segera mengganti pakaian. Dia keluar dari kamar dan suasana cukup sepi. Jam di dinding menunjukkan waktu sore. Biasanya Trey kembali ke sekolah untuk latihan basket bersama timnya. Sementara Adam baru-baru ini mulai les untuk mempersiapkan diri sedini mungkin untuk memasuki universitas impiannya dua tahun lagi.
Kalila memasuki dapur dan menemukan makanan yang baru saja dihangatkan di meja makan. Ibu datang membawa piring dan menuntun Kalila untuk segera duduk di kursi. Pasti Ibu segera menyiapkan semuanya setelah mendengar Kalila bangun tidur.
“Makasih, Ibuuu,” bisik Kalila sambil menangkap ibunya dan memeluk pinggang ibunya dengan erat. Kalila menguap pelan. Dia masih mengantuk, tetapi sudah tidak ingin tidur.
“Kamu jangan makan telat-telat lagi. Tadi Ibu ketuk-ketuk pintu, kamu nggak denger sama sekali,” kata Ibu saat duduk di kursi yang berhadapan dengan Kalila.
“Aku pakai penyumbat telinga, Bu. Soalnya tadi Trey beriiisik banget.” Kalila minum sedikit, lalu mengambil sendok dan garpunya untuk menikmati makan siangnya yang terlambat.
Merasa dipandangi, Kalila menatap Ibu yang sedang bertopang dagu sambil tersenyum menatapnya. “Ibu kenapa?”
“Apa Ibu kelihatan aneh banget?” tanya Ibu masih dengan senyum merekah.
Kalila terdiam memikirkan mengapa Ibu terlihat senang. Dia langsung berpikir tentang pembicaraannya dengan Trey sepulang sekolah tadi. “Apa … ada hubungannya sama Kak Jiro?”
“Loh?” Ibu sedikit membelalak. “Kamu kok bisa langsung nebak?”
“Habisnya, Trey bilang nggak sengaja dengerin Ibu ngobrol sama Bibi lewat telepon. Bahas Jiro yang bakalan balik ke rumah,” balas Kalila. “Tapi Trey nggak tahu kapan.”
“Hari ini!”
“APA?” Kalila tak sengaja berteriak sampai beberapa butir nasinya muncrat di atas meja. Kalila dengan panik memungut butiran-butiran nasi itu di atas meja dan segera mengambil tisu, membersihkan kekacauan yang telah dia buat. “Maaf, Ibu! Kalila nggak sengaja!”
Ibu hanya tertawa. “Kamu pasti senang banget karena Jiro pulang. Waktu kecil kamu yang paliiing sering cari Jiro. Dikit dikit nanya, Ibu, kaka Jilo mana?”
“Apa aku … gitu?” tanya Kalila, mencoba mengingat-ingat, tetapi tak ada ingatan tentang dia yang terus-terusan bertanya pada Ibu.
“Iya. Kamu mungkin nggak ingat karena masih kecil banget.”
Kalila menunduk dan tersenyum. Betapa polosnya dia yang terus-terus mencari Jiro yang sudah tinggal dengan Bibi dan Paman saat itu.
“Kenapa, Mbak?” Ibu mengangkat sedikit tubuhnya saat melihat seorang pekerja rumah tangga yang muncul di ruang makan.
“Bu, maaf ganggu. Di depan ada Jiro dan sopir.”
“Ah, udah sampai.” Ibu berdiri dan menaruh tangannya beberapa saat di puncak kepala Kalila. “Kalila, kamu lanjut makan, ya. Ibu mau bantu Kakak kamu dulu.”
Kalila mengangguk, lalu mengikuti Ibu dengan pandangan mata. Jantungnya terasa berdegup kencang. Dia gugup karena kedatangan Kakak yang paling tidak akrab dengannya itu setelah sekian lama tak bertemu.
“Ugh!” Kalila memegang ulu hatinya dengan tangan kiri sementara tangannya sibuk menyendokkan makanan ke dalam mulut.
Meskipun kenyatannya Kalila dan tiga cowok itu tidak sedarah, tetapi Kalila bisa dekat dengan Trey dan Adam karena mereka tumbuh bersama sejak kecil. Namun, ada sedikit perbedaan jika itu tentang Jiro. Kalila tidak pernah lupa malam di mana Jiro mengatakan bahwa Kalila terlihat makin cantik jika memakai bando putih pemberiannya, lalu Jiro langsung menjatuhkannya yang sedang berada di awan karena memperingatinya dengan penuh intimidasi bahwa mereka bukanlah saudara.
Namun, Kalila akan memanfaatkan kedekatan mereka yang tinggal serumah kali ini. Tidak ada kata terlambat untuk menjadi saudara sesungguhnya. Da harus cepat selesai makan supaya ikut membantu Jiro yang baru saja kembali.
Kalila mengepalkan tangan kirinya dengan kuat. “Semangat!” bisiknya dengan pipi mengembung karena makanan.
“Haha.” Suara tawa kecil yang terdengar mengejek mengalihkan fokus Kalila dari makanan yang berusaha dia habiskan. Kini, Kalila melihat seorang cowok yang sedang menyandarkan lengannya di dinding sambil bersedekap dengan senyum tertahan. “Apa lo buru-buru makan karena nggak sabar mau ketemu gue?”
Kalila berhenti mengunyah karena terkejut.
“Kunyah dulu. Terus minum. Habis itu ketemu gue sepuas lo.” Jiro melemparkan senyum yang membuat kedua lesung pipitnya terlihat semakin dalam. Kedua tangan cowok itu terulur seolah-olah siap menerima pelukan darinya. “Atau mau meluk gue sekarang, Kalila?”
***
7
Jiro merentangkan tangan dan menatap Kalila dengan senyum menggoda. Gadis kecilnya itu sudah tumbuh menjadi remaja. Meski perbedaan umur mereka hanya satu tahun, tetapi bagi Jiro, Kalila tetaplah gadis kecilnya. Jiro sampai lupa pernah membenci cewek itu selama bertahun-tahun karena iri posisinya telah direbut.
Namun, sekarang, siapa yang peduli siapa yang paling disayangi Ibu? Dia bukanlah anak-anak lagi dan Kalila di mata Jiro juga bukanlah rivalnya.
“Apa lo mau biarin tangan gue pegel, Kalila?” tanya Jiro pada Kalila yang masih menatapnya terkejut. Ada rona merah di wajah cewek itu yang membuat Jiro semakin ingin menggodanya. Kalila tak pernah berubah, rupanya. Dia masih sering malu-malu saat berhadapan dengannya.
Kalila mengunyah makanannya, lalu meneguk setengah gelas air. Cewek itu turun dari kursi dan mendekatinya. Jiro berubah kaku ketika Kalila tiba-tiba memeluknya. Pelukan Kalila terasa sama canggungnya dengan apa yang Jiro rasakan saat ini.
Ah, Jiro tak menyangka situasi ini…
Situasi di mana Kalila memeluknya tanpa ada jarak sedikit pun di antara mereka. Namun, situasi ini menguntungkan Jiro dan membuat cowok itu tersenyum miring. Dia memegang rambut bagian belakang Kalila dan mengusapnya beberapa kali. Dia ingin mencium puncak kepala Kalila, tetapi berusaha dia tahan karena ini adalah kedekatan pertama mereka yang sangat intens.
“Ucapan gue nggak berubah seperti dua tahun lalu, ya,” kata Jiro, menunduk ketika Kalila mendongak padanya. “Kita. Bukan. Saudara.”
“Aku jadi lega, Kak!” seru Kalila. “Waktu itu, aku pikir Kak Jiro bilangnya sambil sinis, tapi ternyata akunya aja yang overthinking.”
Jiro menaikkan alis. “Overthinking?”
“Iya!” seru Kalila. “Aku pikir Kak Jiro benci aku.”
“Kenapa juga gue benci lo….” Jiro lalu terdiam. Dulu dia memang membenci Kalila, tetapi tidak sejak dia melihat Kalila dengan pandangan berbeda. Jiro memegang kedua pipi Kalila sambil tersenyum. “Gue nggak pernah benci sama lo, Kalila.”
“Tuh, kan!” seru Kalila sambil menjauh, membuat Jiro rasanya ingin menarik Kalila kembali ke dalam pelukannya. “Aku yakin Kak Jiro bukan Kakak yang jahat. Tahu nggak? Tadi tuh aku berusaha berani buat meluk Kakak. Untung aja aku berani. Kalau enggak, aku mungkin masih takut buat deketin Kak Jiro.”
Kalila mengatakan semua itu dengan antusias, membuat Kalila semakin terlihat menggemaskan di mata Jiro.
“Kak Jiro mau lihat kamar aku nggak?” tanya Kalila.
Jiro sedikit terkejut. “Boleh…?”
Kalila mengangguk dan dengan semangat menarik pergelangan tangan Jiro dengan tangan kecilnya. Kalila berlari dan tidak sulit bagi Jiro menyamakan langkahnya dengan Kalila.
Mereka menaiki tangga. Kalila tipe orang yang tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Binar bahagia di sepasang mata cewek itu terlihat jelas, membuat Jiro ikut bahagia. Mereka tiba di kamar Kalila yang tak tertutup, lalu Kalila tiba-tiba histeris melihat kamarnya sendiri.
“Aku lupa beresin kamar, Kak!” seru Kalila sambil mendorong Jiro untuk keluar. “Bentar, ya!”
Kalila lalu menutup pintu dan Jiro langsung tersenyum. Tak lama kemudian Kalila muncul dengan senyum cerah sambil membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
“Sekarang, Kak Jiro boleh masuk. Silakan masuk!” Kalila mengangkat kedua tangannya, memberi gestur mempersilakan.
Jiro mengangguk dan melangkahkan satu kakinya, melewati batas kamar itu. Dia melihat sekeliling dan sudah menyadari sejak dulu bahwa kamar Kalila adalah kamar yang paling luas di antara yang lain. Jika saudara kandung Jiro ada yang perempuan, maka saudara perempuan kandung Jiro pasti akan cemburu berat pada Kalila.
Itu hanya jika. Untuk apa juga dia memikirkan sesuatu yang tak pernah terjadi?
Jiro menoleh dan menatap Kalila yang terlihat gugup. Jiro mendekati cewek itu dan mengusap-usap puncak kepalanya. “Kamar lo adem. Sayangnya, gue nggak boleh main ke sini.”
“Kenapa?” tanya Kalila dengan pandangan polosnya itu.
Benar juga. Kalila menganggapnya saudara. Posisi Jiro di hati Kalila sama seperti posisi Trey dan posisi Adam di hati Kalila.
“Lupa?” Jiro tersenyum kecil. Padahal dia sudah berusaha untuk terlihat sinis. “Kita bukan saudara.”
“Ck, Kak Jiro!” Respons Kalila justru mengira Jiro sedang bercanda.
Bisa saja Jiro selalu masuk ke kamar ini, tetapi tidak sekarang.
Dia harus menahan diri karena masih terlalu dini untuk menjadikan Kalila sebagai miliknya.
***
8
Malam hari, terutama di malam akhir pekan, adalah waktu di mana Ibu, Bapak, dan adik-adiknya berkumpul di ruang tengah. Televisi akan menyala dan sebuah siaran televisi berlangsung. Terkadang, Trey dan Kalila akan berebut remote jika tontonan yang mereka inginkan berbeda, lalu Bapak akan menegur mereka yang tak bisa diam. Adam akan berbaring di atas karpet berbulu dan seperti biasanya membawa buku PR yang bisa dia kerjakan sambil menikmati suasana rumah yang tidak ramai, tetapi tidak juga sepi itu.
Momen-momen itu sepertinya akan sedikit berbeda mulai malam ini karena salah satu adik Adam yang selama ini tinggal di rumah Paman dan Bibi akhirnya kembali pulang dan akan tinggal untuk seterusnya. Suasana juga terlihat berbeda dari biasanya. Kalila sejak tadi terus berada di dekat Jiro sementara Trey seolah-olah tidak ada dalam hidup Kalila.
Adik laki-laki Adam yang paling bungsu itu terus-terusan menatap Kalila dan Jiro sambil bersedekap. Dia terlihat kesal sepertinya karena teman bertengkarnya direbut oleh orang baru. Adam tersenyum kecil di balik buku tugasnya. Mereka terlihat lucu jika bertengkar untuk sesuatu yang sepele.
“Woi, dengerin gue nggak, sih? Main ular tangga!” seru Trey pada Kalila yang pura-pura tuli.
“Kok gue gue. Aku,” tegur Bapak sambil menatap Trey. Trey langsung berbaring di sofa panjang yang dia kuasai, lalu menutupi wajahnya dengan bantal. Dia menjauhkan sedikit bantal dari wajahnya dan satu matanya menatap ke arah Kalila dan Jiro secara diam-diam.
“Kak, coba lihat! Ini gambar yang aku buat kemarin, terus dapat nilai 90 dari guru seni!” Kalila naik ke atas sofa tepat di samping Jiro sambil memperlihatkan buku gambarnya. Beberapa saat lalu dia menghilang. Ternyata tadi dia pergi ke kamarnya untuk mengambil buku gambarnya. Kalila juga sudah memperlihatkan kepada Adam hasil gambar adiknya itu. Antusias Kalila sama saat memperlihatkan gambar kepadanya dan kepada Jiro.
Jiro memiringkan tubuh untuk menghadap Kalila di sampingnya. “Lo mau jadi pelukis?”
“Jiro,” tegur Bapak sambil menatap Jiro. “Kamu dan Trey sama aja, ya.”
“BEDA!” seru Trey sambil duduk. “Enak aja aku disamain sama Kak Jiro.”
“Iya, beda!” seru Kalila sambil menatap Trey. “Kamu dan Kak Jiro tuh jauuuh beda.”
“Sini lo. Main ular tangga!”
“Dih, maksa. Nggak mau.”
Ah, mereka bertengkar lagi. Adam menatap Trey dan Kalila yang berisik, tetapi mereka lah yang semakin meramaikan rumah.
Jiro memandang dua anak itu. “Mau main berempat?”
“AYO!”
“NGGAK!”
Kalila menjawab bersamaan. Trey langsung menatap Kalila kesal. “Lo takut ya main berdua sama gue? Takut kalah sendiri, kan?”
“Udah. Udah berantemnya.” Adam mengangkat tangannya. “Setuju. Main ular tangga berempat kayaknya seru. Kapan lagi?”
Kalila berlari mengambil permainan ular tangga. Adam segera duduk di atas ubin lantai yang dingin dan terlihat bersih. Trey, meski dia hanya ingin bermain dengan Kalila, tetapi dia yang lebih duluan mengambil tempat dibanding Jiro. Jiro baru ikut duduk di lantai saat melihat Kalila datang membawa kertas ular tangga beserta dadu dan ember dadu.
Mereka berempat akhirnya berkumpul dan mulai bermain. Bapak dan Ibu sedang duduk di sofa. Bapak fokus dengan tontonannya sementara Ibu melihat keseruan anak-anaknya yang sedang bermain.
Trey terlihat berusaha memisahkan Kalila dan Jiro dengan mengambil tempat yang berhadapan dengan Adam. Namun, Trey tidak berhasil memisahkan mereka karena Kalila meminta bertukar tempat dengan Adam. Adam tidak bisa menolak keinginan adiknya itu dan alhasil membuat Trey kesal di sepanjang permainan dan berusaha menjatuhkan Jiro.
Namun, dewi keburuntungan ada di pihak Jiro. Sementara Trey selalu berakhir jatuh karena ular.
“Ck. Males banget.” Trey meremas rambutnya, lalu menunjuk Jiro. “Lo pasti udah sabotase dadunya, ya?”
“Emang ada kayak gitu? Lo-nya aja yang sial terus!” balas Kalila.
“Emang gue ngomong sama lo?”
Ah, lagi-lagi…. Adam menghela napas melihat kelakuan duan anak itu. “Kalian berhenti, dong. Lo juga Trey, lebih sopan sama Jiro. Dia itu kakak lo,” kata Adam, sedikit berbisik.
Trey langsung terdiam, lalu dia berdiri dan berjalan menuju kamarnya dan menutup pintunya.
Adam menghela napas panjang. Trey sudah kelas di tahun terakhirnya di SMP, tetapi sifat kekanakannya seperti anak SD.
“Kalila. Simpan mainannya terus tidur.” Adam berdiri. Dia menatap Jiro yang masih duduk. “Lo ikut gue.”
Jiro langsung menurut tanpa bertanya apa pun. Adam menuju halaman samping. Dia berdiri di atas rumput yang basah. Beberapa saat lalu memang hujan, tetapi hanya sebentar. Dipandanginya Jiro yang berdiri di sampingnya tanpa mengatakan apa pun.
“Apa lo tersinggung karena sikap Trey yang kayak gitu?” tanya Adam, menatap Jiro yang sedang tertawa kecil karena pertanyaannya barusan.
“Ngapain gue harus tersinggung sama bocah?” tanyanya, heran. “Memang sikap dasarnya yang kekanakan. Jadi, ya, gue tahu Trey kayak gimana walaupun waktu yang gue habiskan bareng Trey nggak sebanyak lo maupun Kalila.”
Adam menunduk. Dia merasa ada jarak yang tercipta di antara dirinya dengan Jiro. Kecanggungan yang dia rasakan sekarang akan menghilang dengan sendirinya. Baik dirinya, Kalila, maupun Trey. Semuanya butuh adaptasi. Setiap dari mereka memiliki waktu adaptasi yang berbeda-beda. Kalila sudah beradaptasi dengan cepat. Beda lagi dengan Trey. Adam pun demikian, masih dalam proses adaptasi. Paling tidak, beberapa hari lagi dia akan terbiasa dengan hadirnya Jiro di rumah ini kembali.
Semua hanya butuh terbiasa bersama untuk memutuskan rasa canggung yang tercipta karena jarak.
Jiro terlihat banyak berubah. Dia tidak secuek dulu di mana adik laki-lakinya itu selalu menghindari pertemuan keluarga dan pergi dengan alasan bertemu dengan teman-temannya. Jiro selalu merespons Kalila yang tak bisa menyembunyikan rasa senang atas kehadiran Kalila di rumah ini. Mungkin, faktor usia juga membuat Jiro tak lagi melihat Kalila dengan enggan seperti saat mereka masih kecil.
Adam tak mungkin lupa bagaimana Jiro dan Kalila tidak begitu dekat sejak kecil. Bagaimana pun usaha Kalila untuk mendekati kakaknya itu, Jiro akan tetap menjauhi Kalila dengan ekspresi yang kesal. Dulu Adam tak tahu apa-apa, tetapi ketika Adam mengerti sedikit hal tentang kehidupan, dia menduga bahwa marahnya Jiro pada Kalila ada kaitannya dengan status darah Kalila dalam keluarga ini.
Namun, Jiro lebih bisa bersikap dewasa sekalipun usia Jiro bahkan masih terbilang remaja. Jiro pasti lebih bijak dalam meluangkan waktunya dengan keluarga ini yang telah dia sia-siakan sebelumnya.
“Menurut lo, Kalila itu gimana?” tanya Jiro tiba-tiba.
Adam menoleh dan menaikkan alis pada Jiro yang menatap langit gelap. “Kalila?”
“H’em.”
“Apanya yang gimana?” Adam tak mengerti. Jiro bertanya ke arah mana? Namun, Adam langsung menjawab sesuai dengan pikirannya tentang Kalila. “Dia adik yang manis. Gue nggak bisa bayangin gimana jadinya kalau dia nggak ada di rumah ini. Gue bersyukur dengan kehadiran Kalila. Tanpa Kalila, rumah ini pasti hampa banget. Dan Trey pasti kesepian karena punya kakak yang kaku kayak gue sementara lo tinggalnya bareng Paman dan Bibi.”
“Adik yang manis, ya….”
“Lo berpikir hal yang sama, kan?”
“Yap.” Jiro tersenyum kecil. “Dia adik yang manis.”
Adam tak tahu apa yang terjadi beberapa tahun ke depan.
Andaikan dia tahu tujuan Jiro berubah karena menginginkan Kalila, maka sejak malam itu dia tak akan membiarkan Jiro menjadi dekat dengan Kalila.
Adam tidak tahu bahwa Jiro yang terlihat biasa saja itu ternyata adalah seseorang yang berbahaya untuk Kalila, adik tersayangnya.
***
9
“Tuh, kan! Apa gue bilang. Lo sih nggak percaya kalau gue dapat info dari orang dalam!”
“Sial banget gue sekelas sama lo lagi. Padahal gue ngarep sekelas sama Anggini. Malah nggak terjadi.” Kedua bahu Kalila lemas saat mengetahui dia dan Emily benar-benar satu kelas. Sesuai taruhan, dia harus duduk di samping Emily karena Kalila telah kalah telak setelah memilih pilihan bahwa dia dan Emily tak mungkin berada di kelas yang sama untuk yang kedua kalinya.
Dia dan Emily sudah sekelas saat berada di kelas X. Mereka berada di kelas yang sama dan Emily mengambil tempat kosong di samping Kalila satu tahun yang lalu dan membuat mereka jadi teman sebangku. Meskipun saat kecil mereka saling membenci, tetapi semakin berjalannya waktu Kalila sudah terbiasa dengan sifat Emily yang terkenal tak peduli dengan perasaan orang lain. Keadaan membuat mereka jadi dekat, tetapi sebenarnya Kalila bisa memilih untuk menjauh dari Emily jika saja Emily tidak berusaha mendekati Kalila terus-terusan.
Keadaan membawa mereka menjadi dekat dan berakhir semakin dekat sejak satu tahun lalu. Orang-orang bilang, mereka adalah sahabat yang tak bisa dipisahkan. Ketika mereka mendengar hal itu, mereka akan sama-sama ingin muntah.
“Ayo!” Emily menggenggam tangan Kalila, menariknya, lalu berlari menuju kelas baru. “Gue pengin ambil bagian belakang.”
“KALILA!”
Teriakan dari suara yang Kalila kenali, membuat Kalila mengerem langkahnya secara mendadak dan membuat Emily hampir saja terjungkal. Ditatapnya Trey yang muncul tak jauh darinya. “Apa?”
“Lo di kelas mana?” tanya Trey yang berdiri di atas anak tangga.
“Yang jelas kita beda kelas!” balas Kalila sambil berteriak.
“Ah, ck. Pasti ada yang salah sama pembagian kelasnya!” teriak Trey, lalu berbalik pergi.
“Tuh anak nggak jelas,” kata Emily. “Ayo cepetan! Keburu anak-anak cowok ngambil bangku belakang.”
Di SMA ini, Kalila bisa bertemu dengan semua saudaranya. Adam, Trey, dan tentu saja Jiro. Harapan Kalila untuk lolos di sekolah ini terwujud bahkan lebih cepat dari yang dia duga. Kalila juga tak perlu menyembunyikan statusnya sebagai saudari satu-satunya dari tiga cowok yang terkenal tampan itu karena Kalila punya cara yang tegas untuk mengusir cewek-cewek yang ingin berteman dengannya hanya karena ingin dekat dengan mereka bertiga.
Pada akhirnya, para siswi yang ingin dekat dengan Adam, Jiro, atau Trey lebih memilih untuk mendekati salah satu dari ketiga cowok itu yang paling mereka sukai dibandng lewat Kalila. Namun, sayang, satu saja dari mereka tak ada yang tertarik untuk dekat dengan cewek-cewek itu.
“Duh! Pelan-pelan, dong!” seru Kalila. “Tali sepatu gue lepas.”
Emily melepaskan genggamannya di tangan Kalila. “Ya udah. Gue duluan aja klaim! Dasar anak pungut lelet!”
“Ah, kucing!” teriak Kalila. Rasanya dia ingin mengejar Emily—yang langsung lari terbirit-birit setelah mengatainya sebagai anak pungut itu—dan menjambak rambutnya, tetapi sayangnya tali sepatu Kalila tak bisa diajak kerjasama.
Kalila berjongkok. Baru akan mengikat tali sepatunya yang sudah ke mana-mana, tiba-tiba saja sebuah sepatu milik orang lain menginjak tali sepatu Kalila yang ingin Kalila tarik.
“Ah! Kurang ajar!” seru Kalila sambil mendongak. Ditatapnya seorang cowok yang berhenti dan tak langsung pergi. Cowok yang memakai earphone di telinganya sambil memegang ponsel itu langsung menunduk. “Oi! Minggir!” teriak Kalila lagi.
Kalila berdecak, lalu menarik tali sepatunya dengan kencang hingga berhasil dia dapatkan. Tali sepatunya yang berwarna hitam itu kini ternoda oleh warna coklat dari debu di bawah sepatu cowok itu. Tali sepatunya juga jadi sedikit lebih panjang dari sebelumnya karena sedikit melar.
“Ngeselin banget.” Kalila berdiri dan membelalak karena perbedaan tinggi mereka. Kalila lalu sedikit mendongak. “Bisa lihat jalan nggak, sih?”
Tiba-tiba saja cowok itu duduk beralaskan lantai koridor. Dia membuka kedua tali sepatunya yang juga berwarna hitam. Tanpa aba-aba, cowok itu juga membuka kedua tali sepatu Kalila yang masih melekat di sepatu yang Kalila pakai. Kalila jadi membisu berada di situasi yang tak biasa. Siswa-siswi yang lewat jadi melirik mereka berdua apalagi saat cowok itu memakaikan tali sepatu miliknya di sepatu Kalila.
“Aish, lo ngapain, sih?” tanya Kalila heran saat cowok itu selesai memasang tali sepatu milik Kalila di sepatunya. “Emang gue minta? Enggak, kan?”
“Besok aja tukeran lagi. Atau lusa. Pokoknya habis gue cuci punya lo dan beliin yang baru,” kata cowok itu, lalu mulai melangkah.
Kalila berdecak sebal dan mulai berjalan ke kelasnya. “Cara lo balikin di mana? Emang tahu kelas gue?”
“Tahu.” Cowok itu memelankan langkah hingga berjalan bersisian dengan Kalila. Earphone cowok itu juga sudah terlepas. “Kita sekelas.”
“Haaah?”
“Lo Kalila, kan? Siapa yang nggak kenal adiknya Trey.”
“Gue kakaknya!” seru Kalila tak terima.
“Ya, pokoknya saudari Trey lah,” balas cowok itu.
“Lo temennya Trey?” tanya Kalila, heran. “Nggak pernah gue lihat. Kayaknya lo bukan anak basket juga.”
“Teman sekelasnya waktu kelas X,” balas cowok itu, lalu mengangkat kedua tangannya. “Kami nggak akrab. Kalian aja yang terlalu populer.”
“OOOH!” seru Kalila bertepatan saat dia memasuki kelas barunya.
“Kemana aja lo?” Emily menyambutnya di dekat meja guru sambil berkacak pinggang, lalu Emily melirik cowok di belakang Kalila.
“Kepooo,” balas Kalila.
Emily memeluknya dari belakang. “Itu siapa? Lirik lo dari tadi.”
“Katanya temen sekelas Trey waktu kelas X,” balas Kalila.
“Ganteng…,” bisik Emily.
“Hei, cowok ganteng. Nama lo siapa?” tanya Kalila sambil menatap cowok itu dan Emily langsung mencubit pinggangnya.
“Arvin,” balas cowok itu sambil tersenyum hanya pada Kalila.
***
Ketika melihat satpam sekolah menarik gerbang, Ashana langsung mempercepat larinya. “TUNGGU, PAK! PAK! BAPAK!”
“SAYA BUKAN BAPAK KAMU!” balas satpam bertubuh berisi dan berkumis tebal. “LIMA! EMPAT! TIGA! DUA!”
Sebelum satpam mengatakan satu, Ashana langsung melewati celah gerbang yang hampir tertutup dengan tubuh langsingnya. Dia langsung menumpu kedua tangannya di lutut sembari menoleh ke belakang dan melihat beberapa murid terlambat. Mereka memohon-mohon pada satpam agar dibiarkan masuk. Mau mereka memohon sampai bersujud pun, satpam sekolah ini tak akan mau memberikan sedikit toleransi. Mereka akan berakhir dihukum di hari pertama tahun pelajaran baru.
Ashana kembali berlari setelah istirahat sebentar. Dia telah mengetahui kelasnya dari Tasha. Ashana datang terlambat karena terlambat bangun. Tidak ada siapa pun orang di rumahnya. Kedua orang tuanya sedang dinas keluar kota dan dia tinggal sendiri selama dua hari ini. Masa liburnya dia habiskan dengan begadang membaca komik dan karena itu uga pola tidurnya jadi berantakan.
Ashana tiba di kelas dan dia beruntung guru yang mengajar di pelajaran pertama belum datang. Namun, tentu saja dia tidak bisa memilih akan duduk di mana. Semua bangku telah terisi kecuali satu bangku di sudut paling belakang.
Tepat di samping seorang cowok yang tak disangka-sangka oleh Ashana.
Jiro….
Dari sekian banyak murid di kelas ini, mengapa harus cowok yang dia sukai?
“Yaaah!” seru seorang siswi yang duduk di barisan kedua. “Jiro dari tadi ngusir anak-anak yang mau duduk bareng dia loh. Sekarang lo kayaknya harus cari bangku dan meja buat diri lo sendiri. Cari digudang ada, tuh.”
Semua murid di kelas mengatakan hal yang sama.
Bagaimana ini? Dia tidak mungkin mencari bangku dan meja disaat masih ada satu bangku dan meja kosong di kelas ini. Masalahnya, dia dan Jiro tak pernah saling bicara meskipun mereka satu kelas selama kelas X.
Ah, ini bukan tentang dia dan Jiro yang akrab atau tidak, tetapi tentang dia yang menyukai Jiro secara diam-diam sejak SMP. Rasa sukanya pada Jiro bukannya menghilang, tetapi malah semakin besar setiap hari. Jika dia bicara dengan Jiro sekarang, maka Jiro pasti akan langsung tahu bahwa Ashana menyukai cowok itu.
“Nggak apa-apa, kok. Mau gimana lagi?” Jiro tiba-tiba bicara sambil mengangkat tangan. “Lo. Siapa namanya? Sini duduk di samping gue sebelum guru datang.”
Semua cewek mengeluh kecewa tak bisa berada di samping Jiro dan para cowok tak terima karena lokasi idaman mereka untuk tidur di jam pelajaran direbut oleh siswi yang terlambat.
Ashana melangkah ragu. Tidak ada pilihan lain selain segera duduk sebelum guru datang. Dia tiba di samping Jiro dan duduk dengan perlahan di bangku itu.
“Gue nggak tahu ternyata masih ada satu orang.” Jiro tiba-tiba bicara dan membuat Ashana sedikit tersentak kaget.
“Yah… haha. Satu lagi. Telat gue…,” balas Ashana. Dia tidak bisa menyembunyikan reaksi tubuhnya yang gugup berat.
“Gue kira kelas ini muridnya ganjil. Semua orang gue usir. Ternyata masih ada satu lagi….” Jiro bertopang dagu, menatap Ashana dari samping. “Tapi, nggak apa, sih. Sepertinya menyenangkan sesekali bisa sebangku sama cewek.”
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
