
78 - pulang
Waktu terasa semakin lambat. Di kepalanya muncul ratusan hal yang sangat ingin dia lakukan setelah pulang sekolah nanti. Dia ingin bertemu dengan nenek. Juga membicarakan baik-baik kepada Hera dan Gayatri mengenai apa yang terjadi selama ini. Namun, tak sekali pun pesannya digubris dua sahabatnya itu. Hera dan Gayatri seolah bersekongkol untuk mendiamkannya beberapa hari ini. Belum lagi memikirkan bagaimana cara untuk jujur kepada ayah dan bunda mengenai dirinya yang sebenarnya.
Lusi membuka lokernya dan sebuah surat lagi-lagi muncul. Bukan surat berwarna merah. Lusi menatap sekeliling, lalu mengambilnya dengan heran. Zena pergi terlalu cepat saat mereka tiba di sekolah. Harusnya Zena bisa melihat surat baru yang muncul di loker milik Lusi. Dia lupa menceritakan mengenai surat-surat yang ditemuinya di loker.
Surat yang dipegangnya saat ini ada kemiripan dengan surat bernada kebencian yang dibacanya tempo hari.
Lusi membacanya ragu-ragu dan saat itu yang dia rasakan seluruh tubuhnya tak mampu bergerak.
Ternyata selama ini lo suka ya nginep bareng cowok?
Satu kata buat lo: pelacur.
Lusi menepi. Dia berusaha menghubungi Zena dengan perasaan berkecamuk. Dia tidak menerima isi surat itu. Dia tidak melakukan apa-apa, tetapi satu kata itu membuat hatinya hancur. Dia terus menghubungi Zena. Tak ada satu pun panggilannya yang diangkat.
***
Zena memandang Sere yang baru saja datang. Sejak tadi Zena sudah ada di sini, tempat dia dan Sere berbincang. Sere duduk di sampingnya dan menghela napas. Keduanya memang selalu membahas sesuatu hal.
“Lama, ya? Sori telat.” Sere cemberut. “Harusnya gue di kelas belajar. Gue cuma izin bentar. Lo izin ke guru, kan? Jangan bilang tanpa keterangan lagi? Cih, kebiasaan.”
Sere terus mengomel. Berbeda dengan Zena yang sedang berpikir keras. “Rasanya makin kacau.”
Sere menatapnya bingung. “Hem?”
“Perasaan gue.” Zena tertawa kecil dengan pandangan kosong. “Gue sayang banget sama Luna.” Zena terpaksa menyebut nama itu karena satu hal yang masih dia rahasiakan dari Sere selama ini adalah tentang apa yang terjadi kepada Lusi sebenarnya. “Cuma ..., kadang gue ngerasa apa yang gue rasain ke elo saat ini? Gue masih sayang sama lo? Gue belum move on dari lo? Tapi, beneran, deh. Gue sayang banget sama Luna. Gue nggak bakalan putus dari dia. Apa pun yang terjadi. Nggak bakalan.”
Sere memegang punggung tangan Zena. Bibirnya bergetar. “Jadi, itu beneran, ya? Kalian masih pacaran? Sakit tahu nggak, sih?”
“Re, gue udah bilang dari awal kan buat jangan berharap lebih sama cowok kayak gue? Lo tahu kan gue gimana?”
Sere tersenyum sedih. “Tapi, lo bilang makin kacau, kan? Lo bilang lo sayang sama Luna, tapi lo sendiri bahkan masih ragu. Lo sayang sama gue lebih dari teman, kan. Kalau lo seratus persen nggak mau lepas dari Luna, lo nggak mungkin selalu temuin gue secara diam-diam.”
Zena tak bisa berkata-kata. Disaat dia sudah perlahan melupakan Lusi dan mencoba menerima Sere kembali, Lusi justru datang lagi. Namun, seperti yang dia khawatirkan sejak awal.
Sampai detik ini, sebenarnya, perasaannya masih abu-abu.
Di satu sisi dia tak ingin lepas dari Lusi.
Di sisi lain, Sere sudah berhasil mengambil sebagian dari hatinya.
***
Lusi terpaksa memecahkan masalah ini sendirian. Istirahat berlangsung dan dia mendatangi Bu Clarissa untuk meminta bantuan. Lusi berada di ruang CCTV ditemani oleh Bu Clarissa. Lusi sangat gugup sambil melihat hasil rekaman di hari surat itu ada.
Lusi tak menjelaskan isi surat. Dia hanya mengatakan ingin melihat siapa yang datang membuka lokernya. Lusi terkejut ketika petugas menunjuk seorang siswi membuka loker miliknya. Lusi tak tahu siapa itu. Posisi CCTV tidak memungkinkan untuk merekam surat mana yang dibawa siswi itu. Namun, dari waktunya Lusi yakin bahwa yang dia bawa adalah surat berwarna merah yang berinisial SA.
“Bu, kenal dia nggak?” tanya Lusi dengan suara pelan.
Bu Clarissa menggeleng. “Nggak, Lun.”
“Siapa, ya....” Lusi terus memikirkannya sambil melihat rekaman di hari lain. Rekaman hari ini.
Lusi terkejut ketika orang lain yang membuka lokernya selain siswi tadi adalah ... Sere.
***
Mungkin, begini rasanya dibuat kecewa. Apa ini karma? Lusi tak bisa tenang sepanjang waktu. Sere, seseorang yang dia percayai adalah orang yang baik-baik ternyata dia lah yang mengirim surat berisi kebencian itu. Sementara siswi yang satunya Lusi tak tahu.
Perasaan Lusi sangat sensitif belakangan ini. Berbagai pikiran yang berlebihan memenuhi kepalanya. Belum lagi mengenai Zena yang tak muncul di hadapannya saat dia butuhkan. Bahkan info Zena yang membolos dari sekolah dia dapatkan dari Shaq.
Rama mengantarnya di depan lorong. Lusi berkalan kaki menuju rumah yang sejak kecil dia tinggali. Dia tersenyum kecil melihat nenek di kursi rodanya sedang merawat bunga-bunga yang masih dapat dia jangkau.
Lusi berjalan menuju teras dan tak bisa menyembunyikan kesenangannya karena hari ini dia datang sebagai Lusi. Saat nenek menatapnya dengan mata menyipit, Lusi hanya bisa tersenyum. Pasti nenek sedang memastikan siapa yang datang saat ini. Penglihatannya sudah tak sebaik dulu.
“Luna?” ujar nenek.
Kirana langsung muncul dari dalam rumah. “Oh? Kamu datang sama siapa?”
Lusi tersenyum. Dia berlutut di depan neneknya. “Aku Lusi, Nek.”
“Lusi?” Mata nenek berkaca-kaca.
Lusi menaruh kepalanya di pangkuan dengan dalam posisi miring. Matanya tak lagi berkaca-kaca, tetapi dia menangis tersedu-sedu. “Maaf, Nek. Aku baru bisa pulang.”
***
Lusi mengintip Kirana dari kamar. Kirana sedang menghadapi Gayatri dan Hera. Kirana tak tahu apa-apa di sini. Lusi hanya meminta tolong kepada Kirana untuk menghubungi dua sahabatnya itu agar datang. Gayatri dan Hera khawatir karena satu-satunya kepentingan mereka adalah ikut membantu Kirana merawat nenek jika sedang kesulitan.
Namun, Kirana sedang mati kutu saat Gayatri bertanya apa tujuan Kirana memanggilnya ke rumah itu.
“Itu... sebenarnya ada yang mau ngobrol.” Kirana memegang pelipisnya. “Aduh. Nggak tahu, deh. Kalian lagi berantem apa gimana. Yang jelas, kalau ada masalah bicarain baik-baik. Saya mau ke dalam. Lusiii! Tuh Gayatri dan Hera udah datang.”
Gayatri dan Hera saling pandang. Lusi keluar dari tempat persembunyiannya dan hanya bisa menyengir kepada dua sahabatnya itu.
“Hai.” Lusi menyelipkan anak rambutnya yang mengganggu. “Habis kalian berdua nggak ada yang bales pesan gue satu pun. Kan gimana gitu.”
Hera berdecak. Dia bahkan tak mau menatap Lusi. “Gimana rasanya dicuekin? Sakit, kan?” Dia lalu menatap Lusi dengan linangan air mata. “Itu cuma beberapa hari. Apa kabar lo yang bohongin kita semua selama berbulan-bulan? Sakit tahu nggak! Gue setiap malam nangisin lo dan ternyata lo masih ada di tanah yang sama dengan kita semua!”
“Hera! Lo jangan nangis, dong. Gue juga jadi ikutan nangis. HUA....” Gayatri menangis kencang dan memeluk Hera.
Lusi tak kuasa menahan air matanya.
“Gue nggak bakalan maafin lo, kecuali kalau lo nangis,” sahut Hera.
“Pada bego, ya?” tanya Lusi sambil menangis kencang dan menghambur ke pelukan Hera dan Gayatri.
***
79 – takut kehilangan
Zena mengulurkan tangannya sambil tersenyum yang segera ditepis oleh Lusi.
“Mau ngapain?” tanya Lusi sembari melirik sekitar. Ada guru yang baru saja lewat.
“Ya gandeng tangan lo?” Zena kembali berusaha memegang tangan Lusi. Namun, cewek itu segera berjalan lebih dulu dan membuat Zena hanya bisa menyembunyikan rasa kecewanya dengan kekehan kecil.
Tanpa peduli dengan respons yang diterimanya dari Lusi nanti, Zena dengan santainya merangkul leher Lusi. Lusi menatapnya tajam yang dibalas Zena dengan cuek.
“Kalau misal ada cewek yang berusaha ngerebut gue dari lo gimana?” goda Zena.
“Ya nggak gimana-gimana.”
“Yakin?” Zena terkekeh geli melihat ekspresi kesal Lusi. Zena menggenggam tangan Lusi erat setiap kali ada cowok lain yang melirik Lusi terang-terangan. Dia tersenyum kecut. Dia bingung. Dia tidak ingin melepaskan Lusi, tak suka Lusi dekat dengan cowok-cowok lain, tetapi dirinya sendiri tak bisa menjauhi Sere.
Dia tak bisa membuat Sere kecewa karena Sere sudah tahu perasaannya yang sebenarnya. Niatnya untuk menjauhi Sere harus dia urungkan setiap kali melihat Sere bersedih. Zena benci dengan dirinya yang tak bisa mengambil langkah tegas.
“Kalau saran gue sih lo mending di SMA Phoenix aja.” Zena berada di dua tangga di atas Lusi. Tangan mereka belum terlepas. Sementara Lusi sibuk menunduk malu menjadi tontonan siswa-siswi lain.
“Biar kita bisa ketemu tiap hari gitu?” tebak Lusi, seperti apa yang Zena katakan lewat telepon semalam. Ya, akhirnya Zena menghubunginya setelah Lusi mulai berpikir bahwa Zena sedang sibuk dengan Sere.
“Baru aja mau gue jawab.” Zena berjalan mundur, masih tak mau melepas genggamannya sementara Lusi sibuk menarik-narik diri. “Ya ya ya?”
Lusi hanya menghela napas. Benar-benar bimbang.
“Kalau di Phoenix, gue traktir tiap hari, deh,” kata Zena lagi.
Wajah Lusi langsung berubah. “Tawaran yang menarik. Tapi....”
“Tapi?”
“Kejuahan. Terus, gue jadi nggak bisa pulang cepet, dong.”
“Gue yang tiap hari jemput dan antar pulang. Kalau mau cepet pulang, yuk bolos bareng aja.”
Lusi menahan tawa. “Memang itu tugas lo sebagai pacar gue, kan? Antar jemput ke mana pun gue mau.”
“Jadi, tugas gue cuma sebatas tukang ojek lo, nih?” Zena pura-pura kecewa. Lusi tertawa melihat ekspresi Zena yang jika orang lain lihat akan malas melihatnya. Lusi tak akan bosan melihat raut wajah itu. “Gimana kalau sekali antar dibayar dengan satu ciuman di pi—AW! SIAL!”
Zena refleks melepaskan genggamannya dari Lusi saat mendapat tendangan keras di tulang keringnya. Siswa-siswi yang melihat itu sontak terkejut. Kaget melihat seseorang yang pernah di-bully oleh Zena tiba-tiba membuat Zena melompat-lompat kesakitan.
“Mulut lo, tuh. Dijaga.” Lusi berjalan mendahului Zena.
Zena hanya terkekeh. Dia mengejar Lusi sambil berjalan pincang. “Lo pakai tenaga kuda, ya? Nyut-nyutan. Tanggung jawab lo,” kata Zena saat berhasil menangkap tangan Lusi. “Barengan, dong. Gue kan takut kalau tiba-tiba ada yang ngerebut lo dari gue.”
“Menggelikan.”
***
Satu per satu masalah selesai. Zena, Hera dan Gayatri, nenek, Kirana. Bunda dan ayah belum. Lusi sedang memikirkan cara untuk membicarakannya baik-baik dengan bunda. Lusi masih takut dan membayangkan bagaimana kecewanya bunda dan ayah jika tahu kenyataan ini.
Surat! Lusi lagi-lagi lupa membahas surat itu kepada Zena. Apa dia harus mengatakan isi surat yang Sere berikan kepadanya? Lusi benar-benar tak menyangka Sere melakukan hal itu.Apa tujuan Sere memberikan isi surat yang membuatnya sakit hati?
Lusi berdiri di depan mading. Sesekali membaca tulisan yang tertangkap oleh matanya. Sebenarnya dia sibuk melamun. Dia menunggu pesan dari Zena, menunggu ajakan makan bersama di waktu istirahat saat ini. Namun, Zena tidak menghubunginya sama sekali. Lusi kesal. Apa Zena sengaja membuatnya menunggu?
“Sendirian aja, nih.”
Lusi terkejut mendengar suara seorang cowok di sampingnya. Lusi tak ingin menggubris dan berharap bukan dia yang sedang diajak bicara. Namun, pantulan di cermin manding hanya ada dia dengan cowok asing itu.
“Cowok lo lagi selingkuh tuh di atap sekolah. Sama siapa tuh yang cantik itu? Sere? Ah, iya, Serena.”
DEG.
“Pergokin sana,” kata cowok asing itu lagi.
Lusi menoleh. “Lo siapa?”
“Oh, kenalin. Kavin. Ya, seneng bertemu dengan lo.” Kavin mengulurkan tangannya yang sama sekali tak digubris oleh Lusi. Kavin tersenyum miring. “Oh, bingung, ya? Gue tiba-tiba gini. Gue cowok yang udah pernah nyicip Sere.”
Lusi membelalak. Dia refleks mundur. “Maksud lo apaan? Gila.” Lusi tak sadar suaranya bergetar.
Kavin tertawa. “Padahal niat gue baik, loh. Malah ngatain gue gila? Kalau lo nggak percaya, lihat aja ke lantai atas atau ... kalau lo udah bareng Zena di kantin, mungkin? Lihat, siapa yang lebih Zena lindungin? Lo atau Sere?”
Lusi menggeleng heran. Dia berbalik pergi dan tidak ingin mempercayai apa pun perkataan orang yang menurutnya sangat tidak sopan.
***
Meski Lusi tidak ingin mengambil hati kata-kata cowok bernama Kavin tadi, perkataan Kavin semakin mengganggu pikirannya. Lusi memandang Zena lagi dan berpikir mana mungkin hubungan Zena dengan Sere lebih dari teman?
Lusi ingin percaya kepada Zena, tetapi perkataan Kavin mengingatkannya dengan beberapa kejadian. Zena yang pernah mengatakan sedang ada urusan dan Zena yang selalu menghilang tanpa memberinya kabar.
“Nggak bosen apa ngelihat muka ganteng gue?” tanya Zena, membuat Lusi berdecih.
“Belakangan ini lo agak beda.”
“Beda gimana?”
“Nggak kayak Zena yang gue kenal. Gue ngerasa ... kita jauh. Apa ini masa-masa jenuh dalam pacaran? Soalnya Gayatri dan Gabrian pernah kayak gini.”
“Gini, yang penting ngelihat lo setiap hari itu udah cukup bagi gue.” Zena tersenyum kecil. “Emang lo mau gimana? Gue permaluin kayak waktu di Adi Bakti, gue godain, ah! Atau gue ci—”
Lusi menutup mulut Zena sambil membelalak. “Lo teriak. Ck. Nggak usah yang aneh-aneh.”
Zena tersenyum lebar. Lusi jadi berpikir sejauh mana perasaan Zena terhadapnya saat ini. Ketenangan mereka terganggu saat seseorang dengan sengaja duduk tepat di samping Lusi. Lusi terkejut dengan kedatangan seseorang yang bernama Kavin.
Lusi menegang di tempatnya.
“Pergi nggak lo!” seru Zena dengan suara tegas. Mata Zena menyiratkan kekesalan. Lusi masih bingung apa maksud Kavin melakukan hal ini.
“Woi, woi. Santai, Bro.” Kavin mengangkat kedua tangannya di depan dada dan mengarahkan telapak tangannya menghadap Zena. “Gue nggak mau ngapa-ngapain, kok. Nih, gue pergi.” Kavin lalu pergi begitu saja.
“Dia pernah gangguin lo juga?” tanya Zena tanpa melepaskan pandangan dari Kavin.
“Kemarin muncul di dekat mading. Terus ngomong nggak jelas.” Lusi memandang Zena. Zena sedang tidak fokus pada apa yang dia katakan. Lusi memandang arah tatapan Zena. Ternyata Zena sedang melihat Kavin yang mendatangi Sere.
Di sana, Sere terlihat tegang. Lusi terus memperhatikan apa yang Kavin lakukan. Mungkin, cowok itu sedang mengatakan sesuatu. Sementara dari ekor mata Lusi, Lusi melihat Zena beranjak dari kursi. Dia menatap Zena yangberjalan ke arah Kavin. Tak butuh waktu lama dia memberikan pukulan pada Kavin setelah tiba di hadapan cowok itu.
Lusi tak bisa mencerna apa yang terjadi. Zena memukuli Kavin dan Sere sedang diam bak patung. Sere terlihat bergetar dan menangis.
Lusi kesal. Tak ada yang merelai. Dia berlari menghampiri Zena dan berusaha menarik Zena yang sudah kalap. “Zena! Ini sekolah!”
Zena mendorongnya keras. “Diem lo, Lus!”
Lusi bisa menyeimbangkan tubuh saat hampir terjatuh akibat dorongan Zena. Lusi menatap Zena tak percaya. Dia pergi dari kerumunan dengan perasaan yang sangat sakit di hatinya.
***
Lusi duduk di taman dan mencoba mengerti bahwa perlakuan kasar Zena kepadanya dikarenakan cowok itu sedang marah. Entah apa yang membuat Zena semarah itu kepada Kavin.
Lucu. Sampai membuatnya sedikit tertawa. Disaat seperti ini, dirinya justru cemburu pada Sere karena apa yang Zena lakukan tadi. Padahal dia bisa berpikir bahwa Zena melakukan itu karena temannya diganggu.
Gilirannya yang tidak menggubris segala panggilan Zena yang masuk. Dia tidak membalas pesan Zena yang bertanya dia di mana. Lusi ingin menenangkan diri sebentar saja.
Dia mengangkat wajah ketika melihat seseorang berjalan ke arahnya. Kavin. Cowok itu datang dengan wajah bonyok. Lusi berdecak. Disaat Zena tak bisa menemukannya, Kavin justru menemukannya secepat itu.
“Kalau lo heran kenapa gue bisa ada di sini? Ya, ada yang ngasih tahu lah,” kata Kavin tanpa Lusi minta.
“Apa, sih, lo? Lo itu sebenarnya siapa, sih?” tanya Lusi heran.
“Gue? Cuma cowok yang muak sama Sere.”
Lusi diam sebentar. Dia mengingat bagaimana wajah takut Sere saat Kavin mendatanginya dan mengatakan sesuatu. “Apa pun itu, lo udah ngebuat dia ketakutan. Gila apa? Lo jahat banget jadi orang.”
“Wah? Haha. Di luar dugaan.” Kavin tertawa. “Aduh, harus terkesima nih gue sama lo? Lo baru aja ngebela selingkuhan cowok lo?”
Lusi diam. Perasaannya semakin dibuat kacau karena perkataan itu. “Kalau lo nggak ada bukti apa-apa nggak usah banyak bacot.”
“Topeng kayak gimana yang Sere munculin di depan lo? Nggak tahu aja lo dia cewek kayak gimana.” Kavin tersenyum kecut. “Ya, intinya. Gue nggak suka aja lihat Sere masih aja keukeuh deketin Zena. Zena juga anjing banget masih suka ketemuan berdua di tempat sepi. Sakit hati nggak lo denger ini? Sebenarnya gue males juga sih mau bantu lo, tapi gue muak aja sama Sere.”
Lusi memejamkan mata. Kepalanya terasa panas. Dia mencoba tenang meski ucapan Kavin sudah membuat hatinya kacau.
“Ck, ada pengawal Zena,” kata Kavin. Lusi membuka matanya dan melihat Shaq berdiri di dekat mereka. “Pergi dulu ya. Keburu gue makin bonyok.” Kavin lalu berlari menjauh dari taman itu.
“Emang dia ngomong apa?” tanya Shaq sembari duduk di samping Lusi.
Lusi diem. Dia tak bisa lagi berpikir jernih.
“Dia musuh Zena. Jadi, apa pun yang menurutnya kebahagiaan Zena bakalan dia hancurin. Tapi....” Shaq menggantung kalimatnya dan membuat Lusi semakin gemetar.
“Dia ada benernya juga.” Shaq menghela napas panjang. “Soal Zena yang belakangan ini sering ketemu Sere dan cuma berdua.”
Lusi paham maksud Shaq. Bahwa pertemuan antara Zena dan Sere yang hanya berdua itu bukan lagi pertemuan sebatas teman biasa. Mungkin, lebih dari itu.
***
80 - jauh
“AAARGH, curang lo!” teriak Parvis kepada Zena.
“Curang gimana, dah.” Zena memainkan stik pay station dengan santai. “Sumpah. Gue beneran jadi bego banget.” Zena memuji dirinya sendiri.
“Udahin aja mainnya. Gue mau ngobrol,” kata Shaq sambil berdiri menatap Zena. “Gue tunggu di luar.”
Zena memandang Shaq heran. Dia melempar stik kepada Farzan, lalu beranjak dari kamar itu. Dia menemui Shaq di beranda rumah setelah susah payah mencari Shaq di ruang demi ruang rumah Valdo.
Sore itu, mereka mengobrol santai. Meski pernah berkonflik, saling mengatai, tetapi mereka tetap mengobrol jika sedang nongkrong seolah kejadian waktu itu tak pernah terjadi.
“Waktu itu gue sengaja bilang suka sama Luna. Sengaja.” Shaq membuka pembahasan.
“Udah tahu, sih. Dari Lusi langsung,” balas Zena pelan. “Dia udah bilang semuanya. Sori, ya. Waktu itu gue terlalu kesel. Kenapa temen gue suka sama cewek yang gue sukai juga? Gue udah pernah ngalamin nggak enaknya.”
“Oh? Soal hubungan lo, Sere, dan Rama?” tebak Shaq. Zena hanya bungkam. “Sori juga kalau lo ngerasa posisi lo selalu gue rebut. Gue nggak ada niat untuk itu. Yang dipikiran gue waktu itu gimana caranya supaya kita bisa sering main bareng.”
Zena tersenyum singkat.
“Jadi, bener ya tebakan gue kalau lo udah tahu Lusi sejak awal. Lo sedeket itu sama Lusi waktu di Adi Bakti jadi gue yakin lo bakalan sadar kalau yang ada di hadapan lo itu bukan Luna, tapi Lusi. Pantesan aja beberapa bulan ini lo kayak nggak minat hidup. Ternyata gitu ceritanya.” Shaq menghela napas panjang. “Berarti saat lo ngerjain Luna waktu itu karena punya alasan lain, ya. Lo beneran udah tobat nge-bully anak orang?”
“Kalau soal itu, gue pernah merenung. Nggak ada angin. Nggak ada hujan. Gue baring, tiba-tiba semua yang gue lakuin kayak lagi nayangin diri, dan gue refleks bilang, ‘Gila. Gue selama ini ngapain?’”
Mereka bernostalgia. Pembahasan mereka bermacam-macam sampai Shaq kembali mengarahkan pembicaraan tentang Lusi.
“Lo tadi mukulin Kavin, ya. Dia ngapain Sere, sih?” tanya Shaq bingung.
“Lo tahu sendiri anak itu gimana. Lo nggak lihat Sere gemetaran? Kavin lagi ngancem Sere, tuh.”
“Ya, tapi lo nggak perlu ngedorong Lusi kayak gitu juga, kali. Sampai detik ini lo nggak sadar apa yang lo lakuin ke Lusi, kan? Lo bahkan nggak ngehubungin dia sama sekali dan sibuk nenangin Sere.” Shaq menatap Zena yang mematung. “Gue tahu Sere temen lo, ya, kalau lo anggapnya temen, sih, tapi satu hal,lo harus ingat Lusi juga.
“Dia tadi nangis karena gue bilang belakangan ini lo selalu bareng Sere. Gue nggak salah bicara, kan? Soalnya lo nggak terbuka soal Sere. Kalau lo mau ketemu Sere, bilang aja ke Lusi kalau lo pengin ketemu Sere. Kalau diem-diem kayak gitu kesannya bener kata Kavin yang ngomporin Lusi, kalau lo dan Sere selingkuh.”
Zena tak bisa membalas.
“Tolong, tentuin secepatnya sebenarnya hati lo buat siapa? Lusi atau justru ... Sere?”
***
Hari ini tak banyak yang terjadi dan tidak banyak bepergian ke mana-mana, tetapi Zena merasa sangat lelah.
“Oh, lo beneran sayang Sere, ya?” Begitu pertanyaan Shaq setelah Zena mengungkapkan secara langsung bahwa dia menyayangi Sere. “Sebagai teman? Atau lebih dari itu?” lanjut Shaq.
Mereka terlalu sering bertemu Belakangan Sere selalu membutuhkan keberadaannya. Sementara dia tidak mungkin meninggalkan Sere begitu saja disaat Sere butuh. Sere yang selalu menemaninya disaat dia sangat kehilangan Lusi.
Zena membuka pintu rumahnya dengan perasaan kacau. Langkahnya terhenti melihat Lusi sedang duduk di ruang tamu. “Lo?”
Lusi mengengir salah tingkah. “Itu ... bunda pengin gue makan malam lagi. Terus harus nginep karena ... besok harus sarapan bareng eung... keluarga.” Lusi sangat terbata terutama saat dia menyebut keluarga. “Tadi, gue udah nge-chat lo, kok. Belum lo baca?”
Zena terkejut. “Ah, gue nggak pernah ngecek HP.”
“Oh....”
Zena kesal kepada dirinya sendiri saat melihat kekecewaan di mata Lusi. Zena masuk ke rumahnya dan hanya melewati Lusi begitu saja setelah pamit ke kamar. Kesan itu sangat dingin, tetapi Zena tidak ingin bertemu dengan Lusi saat pikirannya sedang kacau seperti ini.
***
Lusi mengetuk-ngetuk jemarinya di tangan sofa sembari menatap Zena yang sedang berenang malam ini.
Belakangan semua terasa tak seperti biasanya. Lusi mencari cara untuk bicara secara langsung agar tak ada lagi kesalahpahaman. Akhirnya, setelah kebimbangan yang sangat panjang dia memutuskan untuk menghampiri Zena lebih dulu. Dia duduk di tepi kolam dan membiarkan kedua kakinya tenggelam di air. Tatapannya tak lepas dari Zena yang terus berenang. Lusi bingung apa yang sebenarnya terjadi? Zena bahkan tak mengajaknya bicra setelah pertemuan mereka di ruang tamu. Apa karena tak ingin ketahuan bunda dan ayah soal hubungan mereka?
“Zena,” panggil Lusi pelan.
Zena naik ke permukaan air setelah beberapa detik menenggelamkan wajahnya. Dia tersenyum kecil. “Dari tadi gue merhatiin lo di dalam. Lo lagi maju mundur buat ketemu sama gue, ya?”
Lusi berdecak. “Lo tahu aja, ya?”
Zena naik dan duduk di sampingnya, tetapi dia sedikit menjaga jarak karena air. “Ya, gue tahu lo banget.”
Lusi tersenyum. Sayangnya, bagi Lusi, Zena sulit dia tebak. Lusi sangat berharap bahwa segala hal yang terjadi belakangan ini juga termasuk akal-akalan Zena untuk membuatnya cemburu. Dekatnya dia dengan Sere, perkataan Kavin, pembenaran Shaq, juga Zena yang akhir-akhir ini berbeda. Lusi sangat beharap itu bagian rencana Zena.
“Ingat nggak waktu di ruangan perusahaan itu?” tanya Zena.
Lusi menggeleng-geleng. “Jangan mulai pembahasan dengan kejadian itu, please.”
“Lusi.”
“Hem.”
“Besok malam lo udah balik ke apart?”
“Harusnya.”
“Gue jemput, ya. Kita ke suatu tempat. Gue pengin cerita banyak bareng lo. Waktu jujur-jujuran, kayaknya masih ada hal yang nggak kita bahas.”
Lusi menoleh. Dia tersenyum dan berharap semoga setelah ini hubungan mereka akan baik-baik saja. Dia juga punya banyak pertanyaan di benaknya yang sangat ingin dia tanyakan langsung kepada Zena.
Malam ini bukan waktu yang tepat untuk membahas semua itu.
***
Ini sudah lewat jam 12 malam. Sementara Lusi masih duduk di ruang tengah sambil berkirim pesan dengan Jihan.
Jihan
Coba lihat, nih. :( itu temenan?
Lusi mengangkat kepalanya dari meja dan membuka sebuah video yang Jihan ambil dari media sosial Sere. Video itu terlalu berisik. Ada wajah Sere yang muncul dan Lusi hanya menebak bahwa tempat itu adalah kelab malam. Salah seorang bicara menyebut-nyebut nama Zena.
“Katanya bentar lagi datang,” kata Sere pada video itu.
Lusi membalas pesan Jihan dan mencoba untuk tidak berpikir yang aneh-aneh.
“Belum tidur?” tanya Zena. Lusi menoleh dan terdiam melihat Zena yang mengenakan pakaian rapi. Sepertinya dia ingin keluar. “Lo kebiasaan kayak gini, ya?”
“Mau ... ke mana?” tanya Lusi tak lepas memandang Zena yang saat ini terdiam. Lusi mencoba tersenyum. “Kebiasaan keluar malam, ya?” tanyanya basa-basi.
“Oh, itu. Gue ... mau ke rumah Valdo.”
Lusi mencoba tetap tersenyum meski. Dia mencoba mempercayainya, meski Lusi mendengar Zena menjawab pertanyaannya dengan ragu.
“Gue pergi dulu, ya.” Zena mendekati Lusi dan mengusap rambutnya singkat. Setelah itu, dia pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.
Tak lama setelah Zena pergi dari ruangan itu, Rama datang menghampiri Lusi dan duduk menghadap Lusi. “Kenapa? Lo kelihatan sedih.”
“Zena udah....” Lusi menunduk dan menjeda kalimatnya. “Agak jauh.”
***
81 - trauma
Lusi mematung di ujung lorong saat dilihatnya Sere berdiri di depan lokernya dan sedang memegang sebuah surat persis seperti dua surat yang dia temui berisi kata-kata tidak mengenakkan. Dia tak menyangka bisa melihat secara langsung siapa yang sengaja membuatnya sakit hati lewat kata-kata di surat itu.
Sere memandangnya dari sana. Tidak ada keterkejutan sama sekali tergambar di wajahnya itu. Hanya ada senyum kecil yang membuat Lusi tak habis pikir. Lusi menghampiri Sere dengan perasaan kesal, sedih, marah yang semuanya bercampur aduk.
“Ooops...,” kata Sere saat Lusi berhenti tepat di hadapannya. “Yah, ketahuan.”
Lusi mengepalkan tangan.
“Tapi, sebenarnya gue sengaja sih. Kalau gue khawatir lo tahu siapa yang ngirim surat ini, gue nggak mungkin terjun langsung buat naruh ini. Lo juga udah tahu, kan, kalau gue yang nyimpen? Sofia bilang lo minta tolong ke Bu Clarissa buat lihat rekaman CCTV.”
Lusi melihat dua orang datang ke arahnya dan berdiri di sampingnya. “Mau lo apa lagi?”
“Wah..., lo?” Sere tampak terkejut. Namun, setelah itu dia tersenyum.
“Makin songong, ya?” ujar salah satu dari tiga teman Sere itu.
Lusi terkejut ketika dua teman Sere menariknya paksa. Dia berontak kuat, tetapi bagaimana pun dia tetap tidak berhasil lepas dari cekalan dua siswi yang memaksanya dengan sekuat tenaga.
Satu dari mereka menjaga di depan toilet. Toilet yang seharusnya ramai, tiba-tiba dikosongkan. Sere menyuruh siswi-siswi itu segera keluar dan mereka menurut. Lusi menggeleng tak percaya. Dia diseret masuk ke dalam sana sembari berusaha untuk melarikan diri.
“Lepasin dia,” perintah Sere. Lusi langsung didorong hingga hampir menabrak Sere di depannya. “Gimana dengan surat gue? Ya, pasti udah lo baca, kan?”
“Gampang banget ya ngatain orang lain pelacur?” Lusi berusaha untuk tetap tenang. “Emang definisi pelacur menurut lo kayak gimana, sih?”
“Lo yang ngasih tahu Kavin buat nyudutin gue, ya?” teriak Sere. “JAWAB!”
Lusi menggeleng. “Kavin? Gue bahkan nggak tahu dia siapa dan tiba-tiba muncul di depan gue.”
“Lo juga nggak usah cari muka di depan Zena! Lo pikir lo itu siapa, hah? Kalian berdua saudaraan sama aja, ya! Lo pikir lo hebat bisa nyuri perhatian Zena?”
Kesabaran Lusi sudah habis. Dia memandang Sere kesal.“Bodo amat sama yang lo omongin. Minta maaf sama gue.”
Sere dan teman-temannya tertawa.
“Lo bilang apa tadi?” tanya Sere.
“Minta maaf karena lo udah ngatain gue yang enggak-enggak.”
Sere menahan tawa.
“Harusnya lo yang minta maaf sama gue! Lo, kan? Lo kan yang kerjasama bareng Kavin buat nyudutin gue di depan Zena! LO, KAN?!”
Lusi bungkam. Tak mampu berkata-kata dan hanya meringis ketika Sere menjambak rambutnya. Dia melihat betapa takutnya Sere saat Kavin muncul di hadapannya dan mengatakan sesuatu hal.
“Nggak denger ya apa yang gue bilang? Jawab, dong! Lo punya telinga buat denger, lo punya mulut buat ngomong, apa susahnya? Bilang iya kalau lo emang kerjasama bareng Kavin!”
“Dan gue punya hak untuk nggak nurutin apa mau lo!” Lusi berhasil melepaskan tangan Sere dari rambutnya.
Sere tersenyum. Terlihat jelas dari matanya bahwa dia sedang menahan geraman. Kepalannya terbentuk. Namun, Lusi tak peduli semua itu. Dia melangkah ke pintu berusaha untuk kabur, tetapi Eliza dan Zoya menariknya hingga terjatuh ke belakang.
Lusi hanya bisa meringis dan berusaha bangkit berdiri.
Sere menggeram kesal. “Pegang dia!” serunya kepada dua orang yang langsung sigap menahan lengan Lusi agar tak ke mana-mana.
Sere menampar pipi kiri Lusi dengan keras, lalu kembali menahan rahang Lusi. Lusi hanya bisa terdiam. “Gue punya banyak cara untuk ngebuat lo menderita. Ngaku dulu sana!”
“Lepas!” Lusi berontak. Namun, selalu gagal karena orang-orang di sampingnya. “Ngapain gue harus ngakuin hal yang nggak gue lakuin?”
“Gue udah muak. Lo belum pernah dipermalukan, ya?” Sere mendengkus. Dia menarik kemeja Lusi, lalu dia mendorong Lusi hingga terjatuh ke lantai lagi. “Buka bajunya.”
Lusi terkejut. Dia mundur karena terlalu takut. Tak sempat berdiri, Eliza dan Sofia sudah menahan kedua tangannya ke belakang untuk tak ke mana-mana. Sementara Zoya berusaha membuka kancing kemeja Lusi satu per satu. Lusi berontak kuat.
“Buka semuanya!” seru Eliza. “Pasti bakal lebih heboh banget.”
Dia mulai merasa takut. Ketakutan-ketakutan yang datang seolah menciptakan sebuah pemikiran untuk melawan dengan kuat.
Dia tak boleh kalah.
Dia tak boleh menyerah.
Dengan penuh tenaga, Lusi mendorong Zoya sambil menangis. Dilihatnya Sere yang tersenyum penuh kemenangan ke arahnya. Lusi berlari kencang dan mendorong Sere hingga terjatuh. Sere meringis kesakitan dan terlihat marah. Sere bangkit dan mendorong Lusi, memukul, menjambak rambut, menampar, hingga mencakar Lusi dengan membabi buta.
“Lo pikir lo siapa? Berani sama gue lo? Lo itu nggak pantes bareng Zena! Dan ternyata lo cuma anak yang nggak punya orangtua, ya? Bokap lo ke mana? Nyokap lo ke mana? Ngelac*r?”
“BISA DIEM NGGAK, SIH?!” Lusi berhasil mendorong Sere dan balik menyerangnya. Dia menangis. Dia tak memikirkan apa pun selain bagaimana cara membalas dendam. Dia sudah dipenuhi amarah. Kedua tangannya mencekik leher Sere sementara Sere memukul-mukul tangan Lusi yang mencekiknya.
Mereka berkelahi dan tiga teman Sere tak melerai. Satu dari mereka pergi.
Lusi tak peduli sekitarnya.
Dia tak peduli apa pun selain meluapkan kemarahan yang sejak tadi berusaha dia pendam. Dia menangis. Sampai tak sadar orang-orang sudah datang mengerumini luar toilet. Seseorang datang berusaha menarik Lusi menjauh dari atas Sere.
Mata Lusi sudah mengabur karena air mata. Dia tak tahu apa yang terjadi. Sere tersenyum beberapa saat padahal Lusi sedang kalap menyakiti Sere. Sampai seseorang berteriak, “Asma Sere kambuh!”
Saat itulah, Lusi menyadari bahwa orang-orang telah melihatnya seperti seorang pembunuh.
Dan saat matanya mengarah ke luar, dia melihat Zena berdiri menatapnya dengan pandangan tak percaya.
***
82 – saling jujur
Lusi memalingkan wajah dari pandangan Zena. Zena terlihat diam. Tak merespons dengan sebuah ekspresi hingga Lusi tak bisa menebak apa yang sekiranya sedang dipikirkan cowok itu mengenai kejadian ini.
Lusi hanya bisa tertunduk di antara orang-orang yang melihatnya dengan ekspresi berbeda-beda. Jihan pun termasuk orang yang memandanginya dengan tatapan tak percaya. Luna yang mereka kenal pendiam, yang memilih menjauhi masalah dibanding mencari masalah, tiba-tiba mengejutkan orang-orang yang mengenalinya. Dia tak seperti yang orang lain pikirkan selama ini dan orang-orang itu mungkin akan berpikir bahwa inilah sifatnya yang sebenarnya.
Dia hampir saja membuat orang lain mati.
“Lun? Lo berantakan banget.” Jihan mendekatinya dan berusaha untuk membantunya untuk berdiri. Namun, Lusi menepis tangan Jihan dengan kasar tanpa bisa dia kontrol. Dia terlalu marah kepada dirinya sendiri.
Dan tanpa sadar telah membuat citra Luna memburuk.
“Gue bisa sendiri,” kata Lusi sembari berjalan terseok dan berusaha menerobos kerumunan yang memandangnya ngeri. Sere sudah dibawa pergi ke UKS dan Lusi tak tahu harus mengurung diri di mana setelah dua tempat yang biasa dia pakai untuk menangis tak memungkinkan lagi untuk dia gunakan.
Lusi diam saja ketika Jihan mendekatinya dan memegang lengannya, menuntunnya keluar dari toilet itu. Lusi tak ingin menatap ke mana-mana. Seseorang yang sangat dia hindari saat ini—yang kehadirannya juga ada di sana—sedang mengawasinya di antara siswa-siswi yang masih berdiri.
“Biar gue yang urus dia.” Suara itu membuat Lusi menghela napas dengan kasar.
“Tapi, Luna nggak—” Ucapan Jihan terhenti ketika Zena sudah menarik Lusi ke dekatnya.
“Ikut gue!” seru Zena pada Lusi yang mulai berontak.
“Lepas!”
Zena seolah tak peduli. Usahanya untuk kabur dari Zena membuat cowok itu menyeretnya dengan paksa.
“Lo harus ke UKS.”
“Nggak akan!”
Zena berhenti di koridor sepi dan menatap Lusi dengan tajam.
“Lo nggak ngerasa sakit apa, hah?”
Sakit. Perih. Beberapa titik di wajahnya terdapat bekas cakaran tangan Sere. Bibirnya berdarah di dua sisi. Zena juga sudah pasti melihatnya berjalan terseok-seok semenjak berdiri di toilet tadi.
“Lo mau jawab apa sekarang?” tanya Zena dengan alisnya yang bertaut. Dia terlihat marah.
Lusi menggeleng pelan. “Gue kalap. Gue terlalu marah. Gue kesel. Sere yang mulai duluan....” Air matanya membendung. “Lo marah?” gumam Lusi. Pandangannya mengabur. Saat menyadari dia sudah menangis hanya karena pertanyaannya sendiri, dia langsung berpaling.
Lusi terkejut saat cowok itu menariknya ke dalam pelukan. “Lo pikir gue bakalan marah sama lo?”
Lusi mengangguk perlahan. Dia merasa nyaman di pelukan cowok itu. Please, jangan nangis. Jangan selalu kayak gini.
“Enggak,” lanjut Zena.
“Bohong.” Lusi mendorong Zena menjauh dan Zena malah tersenyum. “Lo bohong!”
“Enggak.” Zena menggeleng-geleng. “Enggak, Lus.” Cowok itu merengkuhnya kembali.
“Kita ke UKS, oke?” Zena belum juga melepas pelukannya.
“Nggak akan. Sere pasti di sana.” Lusi berusaha mendorong Zena. “Habis ini, gue pasti diskorsing atau mungkin dikeluarin dari sekolah karena udah ngebuat Sere kayak gitu.” Lusi merenung. Dia bisa menebak apa yang akan Sere lakukan selanjutnya. Cewek itu pasti punya banyak alasan untuk membuatnya terlihat paling bersalah.
“Nggak akan gue biarin. Gue pastiin lo tetep sekolah kayak hari-hari biasa,” balas Zena.
“Emang lo yang punya sekolah?” Lusi menghela napas dan kembali berusaha melepaskan pelukan Zena.
Namun, Zena lagi-lagi menahannya. Cowok itu menyangga dagunya di kepala Lusi. “Bentar, Lus. Gini dulu. Gue kangen.”
Lusi tidak berontak lagi.
Iya, Zena. Gini bentar lagi. Gue juga kangen.
***
Zena menghela napas ketika menginjakkan kaki di UKS. Dia tidak tahu kenapa selalu menutupi dari Lusi bahwa dia sedang menemui Sere. Dia tidak ingin Lusi berpikir lain, tetapi kenyataannya apa yang dia lakukan memang sudah pasti akan membuat Lusi sedih.
Dia sengaja menemui Sere saat pelajaran berlangsung agar terhindar dari kecurigaan Lusi.
“Udah baikan?” tanya Zena saat berdiri di dekat tempat Sere berbaring. Sere langsung duduk setelah melihat kehadirannya. Sere sama terlihat tak baik-baik saja. Perkelahian antara Sere dan Lusi sepertinya sangat parah.
“Maaf,” gumam Sere. “Gue udah buat kekacauan, tapi Lusi yang mulai duluan. Dia terlalu cemburu sama gue dan nyerang gue gitu aja.”
Zena menaikkan alis. Sekarang, siapa yang dia percayai? Sere tak mungkin berbohong karena dia sudah mengenal Sere jauh sebelum Lusi, tetapi Lusi?
***
Lusi terus menunggu Zena sejak beberapa jam yang lalu seperti waktu janjian mereka. Akan tetapi, sepertinya Zena tak akan datang. Zena tak mengatakan apa-apa. Setiap pesan yang dia kirim kepada Zena selalu tidak dibalas oleh cowok itu. Lusi pasrah apa yang terjadi selanjutnya. Padahal dia sudah menantikan momen ini setelah dia apa yang terjadi belakangan.
Sebuah panggilan masuk menyadarkan Lusi kembali dari lamunan. Dia melirik ponselnya di meja dan melihat nama Zena di layar ponsel.
Lusi menerima panggilan itu tanpa antusias sama sekali. Seolah menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Zena bisa masuk kapan saja ke tempat tinggalnya, maka apa tujuan Zena meneleponnya jika bukan untuk mengatakan bahwa dia tidak bisa datang?
“Lusi.”
Lusi tidak mengatakan apa-apa. Dia benci situasi ini.
“Lo nunggu lama, ya? Gue tadi keburu ada urusan dan—”
“Urusan apa?” tanya Lusi cepat. Zena diam dan membuat Lusi tak tahan lagi. “Bilang aja. Itu lebih baik, Zen.”
“Sori, Lus. Sere dirawat malam ini jadi—”
“Oke....” Lusi dengan cepat memotong kalimat Zena. “Gue paham, kok, teman yang sakit lebih penting untuk dijenguk daripada nepatin janji ke pacar.”
“Lusi. Gue—”
Lusi menahan tangis. Dia masih tak bisa memaafkan apa yang Sere perlakukan kepadanya. Selama ini dia menahannya karena masih menghargai Sere, tetapi sekarang dia tidak ingin membiarkan Sere menang darinya.
“Maaf gue terlalu egois. Sere temen lo dan maaf gue terlalu cemburu. Gue ... khawatir. Gue khawatir lo punya perasaan ke Sere. Dari dulu memang lo punya perasaan ke dia dibanding gue, kan? Sekarang masih, kan?” Lusi terisak. “Kemarin, lo bilang lo lagi ke rumah Valdo. Nyatanya ... lo ke kelab bareng Sere dan seneng-seneng di sana.”
“Dari mana lo tahu?” tanya Zena, terdengar panik.
“Cuma nanya. Nggak ada penyangkalan.” Lusi tersenyum dan terus menangis. Rasanya benar-benar sakit. “Nggak penting soal itu. Gue nggak masalah lo pergi sama siapa. Cuma, lo bohong, Zen....”
“Lusi, gue emang ke rumah Valdo.”
“Iya, lo emang ke rumah Valdo. Tapi setelah itu lo pergi, kan? Tujuan utama lo bukan ke rumah Valdo, tapi ketemu Sere.”
Zena tak mengatakan apa-apa. Hanya diam dan menghela napas.
“Zena, kalau lo suka sama Sere bilang. Biar kita nggak perlu ngelanjutin hubungan yang nyakitin kita berdua.” Lusi menghela napas panjang. “Lo nggak ngomong apa-apa berarti bener, ya?”
“Bilang kalau ini cuma candaan lo yang baru. Bilang. Bentar lagi gue ulang tahun, lo sengaja kan ngelakuin ini semua? Bilang.... Kalau bener, berhenti dari sekarang karena ... karena gue udah nggak sanggup lagi.”
Tak ada balasan. Lusi berharap Zena mengatakan sesuatu untuk memperjelas hubungan mereka lebih jauh.
“Lus...,” panggil Zena pelan. “Serius, gue bener-bener bingung belakangan ini. Waktu lo nggak ada, yang selalu ada di samping gue cuma Sere. Gue pernah suka sama dia sebelum ketemu sama lo jadi, gue pikir perasaan gue ke dia belum hilang sepenuhnya.”
Lusi merapatkan bibir. Berharap tidak menangis tersedu.
“Gue pernah coba lupain lo karena nggak pengin terlalu larut dalam kesedihan gue. Berhasil? Iya. Sampai cewek bernama Luna datang, yang selalu gue lihat sebagai Lusi. Keyakinan gue tentang Luna yang sebenarnya punya alasan. Perasaan gue ke elo terlalu besar, Lus. Lo nggak bisa bohongin gue apa pun itu. Tapi, disaat gue berusaha supaya lo jujur duluan, gue masih selalu ketemu Sere.”
“Ini beneran, ya? Jangan bercanda….”
“Gue nggak yakin suka sama Sere, tapi gue yakin banget suka sama lo.”
“Jadi, intinya apa?” Lusi menangis lagi. Dia benci Zena yang tidak jelas seperti ini. “Zen, intinya di sini adalah lo anggap Sere sebagai temen? Atau lebih dari itu?”
Zena lagi-lagi diam dan Lusi mengakhiri panggilan itu sepihak, lalu menangis tersedu-sedu.
***
83 - tanpa kata putus
Hubungan mereka sudah tidak baik. Lusi menjauh. Zena tidak mendekat. Lusi pikir tadi malam adalah akhir dari hubungan mereka yang semakin tidak jelas.
Lusi membuka lokernya dan hampir membuang surat yang tergeletak di sana jika tidak ingat ada dua jenis surat yang selama ini muncul di loker miliknya. Surat merah itu jelas dari siswi yang tak dikenalinya, tetapi dia siapa?
Ada buket bunga mawar dan sebatang cokelat. Lusi menggeleng tak paham. Dia mengambil surat itu dan membacanya saat itu juga.
Maaf.
Karena lo harus ketemu pecundang seperti gue.
- Zena, yang pura-pura jadi Secret Admirer lo padahal pengagum terang-terangan. Surat-surat itu untuk mancing lo ingat apa yang pernah Luna lakuin, tapi kayaknya lo nggak pernah bahas tentang surat ini setelah saling jujur.
Lusi tertawa sedih. “Emang tulisan lo kayak gini?” Pandangannya mengabur. Sekarang dia paham siapa siswi itu; siswi suruhan Zena.
***
Surat itu sudah sampai ke tangan Lusi dan Lusi membacanya baru saja. Selama ini dia selalu bersembunyi di dekat lorong loker hanya untuk memastikan Lusi membaca surat-suratnya itu.
Setelah percakapannya dengan Lusi semalam, Zena merasa sangat kehilangan. Sekarang apa masih pantas? Zena menjauh dari tempat persembunyiannya untuk menghampiri Lusi, tetapi seseorang merangkul tangannya tiba-tiba.
“Ke mana aja?” tanya Sere sambil tersenyum.
Zena melirik Lusi. Lusi sedang memandangnya dalam diam saat ini. Lusi berjalan melewatinya begitu saja sambil membawa bunga, cokelat, dan surat pemberian darinya, lalu berhenti di dekat tempat sampah. Semua pemberiannya termasuk surat itu Lusi buang ke sana.
Zena tidak menjawab pertanyaan Sere. Hanya ada helaan napas. Sekarang, Lusi pasti tidak ingin bertemu dengannya. Zena menyesal, kenapa selama ini dirinya justru lebih terbuka kepada Sere dibanding Lusi yang adalah pacarnya sendiri?
“Zen….” Sere memegang tangannya pelan. “Mama ngajakin makan siang bareng di restoran. Kamu mau ikut, kan? Zena?”
“Ah, iya?” Zena menatap Sere. “Iya. Pergi, kok.”
“Ya, udah, yuk?” Sere merangkulnya. Mereka berjalan bersama menuju parkiran. Dia melihat Rama yang menjemput Lusi. Dia merutuki dirinya sendiri. Disaat seperti ini, dia tidak suka Rama dekat dengan Lusi sementara dia tak berkaca diri.
Tak pantas dirinya terlalu over. Meskipun belum ada kata putus, tetapi percakapan semalam sudah menjelaskan semuanya bahwa Lusi secara tidak langsung mengakhiri hubungan mereka.
***
Lusi memelankan langkah ketika melihat mobil merah yang dia kenali berjalan dari arah parkiran menuju gerbang. Mobil itu berhenti di luar gerbang, Lusi mencoba untuk tidak peduli. Rama sudah menunggunya di luar, pikirnya.
Perhatian Lusi tanpa sengaja tertuju ke arah Sere. Dia melihat Sere memasuki mobil Zena. Lusi menunduk sembari berjalan menuju Rama yang sudah menunggu di sisi mobilnya.
Saat Lusi tiba di dekat Rama, Lusi kembali melihat mobil Zena yang belum melaju.
“Lo diem aja kayak gitu?” tanya Rama, ikut memandang Sere dan Zena.
“Udah lah, Kak. Dia juga udah punya pacar baru,” kata Lusi sembari berjalan menuju pintu penumpang depan. Tangan kirinya terangkat diam-diam menghapus titik air mata di kedua sudut matanya.
“Lusi, sebenarnya ada yang pengin ketemu sama lo,” kata Rama saat di perjalanan pergi.
Lusi menoleh bingung. “Siapa?”
“Nanti. Lo yakin bakalan baik-baik aja, kan?”
“Hem?” Lusi semakin dibuat bingung. Dia menebak-nebak siapa yang Rama maksud, tetapi tak ada satu pun orang yang muncul di benaknya. “Maksudnya, Kak? Emang siapa?”
“Gue lagi nunggu dia siap,” balas Rama pelan. “Buat ketemu sama lo lagi.”
***
Zena baru pulang di malam hari. Saat membuka kamar, dia terkejut melihat Rama di dalam sana. “Ngapain lo di kamar gue?” tanyanya heran.
Rama duduk dengan santai di kursi Zena dan bersedekap menatap adik satu-satunya itu. “Kalian berdua kenapa, sih?”
Zena membuang jaketnya sembarang, lalu menatap Rama sambil menghela napas. “Susah diceritain,” kata Zena tanpa sadar. Dia tak punya tempat untuk bercerita saat ini. “Yang jelas, gue dan Lusi lagi nggak baik-baik aja.”
“Lusi udah cerita apa yang terjadi. Ya, itu setelah gue paksa buat jelasin apa yang terjadi, sih.” Rama beranjak dari kursi Zena. Dia menuju pintu dan menatap Zena sebelum pergi. “Gue pengin ngasih saran, tapi gue pikir lo yang lebih tahu apa yang harus lo lakuin, kan? Kalau lo tetep jalan di tempat, emang Lusi mau nerima lo lagi?”
Zena diam memandang Rama yang sedang menutup pintu kamarnya. Saat melihat ke meja, dia mengernyit. Sebuah surat berwarna merah miliknya ada di atas sana. Zena mengambil surat itu dan terkejut ketika menyadari itu adalah bekas surat tadi yang dia berikan kepada Lusi. Harusnya surat itu ada di tempat sampah. Itu berarti Lusi mengambilnya kembali?
Zena mendengkus. Dia melihat tulisannya dicoret-coret, lalu di bagian kertas yang kosong terdapat tulisan Lusi dalam huruf besar.
GUE BENCI BANGET SAMA LO!
***
84 - labrak
Setelah Lusi sendirian di kelas itu, Lusi baru merapikan mejanya kemudian berdiri dari sana. Tak lama saat dia berdiri, pintu kelasnya terbuka. Seorang siswi berambut sebahu masuk sambil melipat tangan di depan dada.
Siswi itu tersenyum, tetapi menyimpan makna yang membuat Lusi curiga. Siswi itu, salah satu teman Sere, mendekatinya dan tanpa panjang lebar langsung menarik pergelangan tangannya sambil berseru, “ikut gue!”
Lusi berdecak dan terpaksa mengikuti perintahnya. Lusi sudah bisa menebak ke mana dia akan dibawa. Pasti akan membawanya kepada Sere.
Siswa-siswi yang melihat mereka tidak akan berpikir macam-macam. Namun, cara siswi yang menarik pergelangan tangannya itu terlalu kasar sehingga terkadang Lusi meringis kesakitan. Sementara siswi bernama Zoya—Lusi sempat melihat namanya pada nametag—itu tersenyum biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi padanya.
Zoya membawanya berhenti di sebuah kelas bertuliskan XII IPS 1. Saat dia masuk, Zoya langsung menutup pintu. Lusi terkejut dan hanya bisa memandang Zoya dengan tatapan heran.
“Nih, orangnya. Patuh banget gue tarik nggak nolak.” Siswi yang tadi menariknya segera pergi, beranjak menuju sebuah meja bagian depan dan duduk di atas sana.
Lusi menatap seisi kelas. Selain Zoya, masih ada tiga orang lagi. Orang yang sama saat di toilet. Ada yang duduk di bagian belakang sambil bersandar di dinding dan memainkan ponsel. Lalu ada siswi berambut model bob dan berponi menatapnya dengan tatapan meremehkan. Sementara satu siswi lagi juga duduk di meja, rambutnya panjang, seragam SMA Phoenix itu pas di tubuhnya. Siswi itu ... siapa lagi jika bukan Sere.
Serena tampak diam dan hanya memandangnya dengan pandangan yang Lusi tak bisa mengerti. Sere mengayunkan kedua kakinya dengan tenang dan bersikap biasa saja.
Lusi berdiam diri di depan mereka sementara jantungnya sudah berdegup kencang. Tak bisa mengelak bahwa dia sedang ketakutan. Apa yang terjadi kepadanya setelah ini? Dirinya hanya selalu sok berani menghadapi setiap masalah..
Siswi berambut model bob yang namanya Eliza segera berdiri. Eliza menarik sebuah kursi dengan enteng dan mengarahkannya kepada Lusi. Dia memegang kedua bahu Lusi, dan mendorongnya turun, memaksa Lusi duduk di kursi itu.
“Kaku banget, sih. Duduk, gih. Gue udah baik ngambilin lo kursi.”
Lusi mengerjap. Dia duduk secara paksa. Eliza menarik meja dan mengarahkannya tepat di depan Lusi. Lusi terlihat seperti seseorang yang akan diintrogasi.
Memang benar. Begitu kenyataan selanjutnya karena Eliza berputar, sesekali menarik ujung rambut Lusi hingga Lusi meringis kesakitan.
Lusi mencoba mengontrol diri. Dia tidak ingin gegabah dan apa yang terjadi di toilet tempo hari terulang kembali.
“Mau kita apain cewek belagu yang satu ini?” Eliza menggebrak meja, membuat bahu Lusi refleks terangkat. “Oh, iya. Denger-denger, lo pacaran sama Zena? Eh, udah putus?”
Lusi diam.
“Heh? Bisu, ya?” Eliza tertawa, dari suaranya menyimpan kekesalan. “Kalau ditanya jawab, dong. Lo kenapa, sih? Ketololan lo lagi kambuh?”
Eliza menampar pipi Lusi pelan.
Perlakuan itu memang tidak melukai pipinya, tetapi melukai harga dirinya.
“Ini bagian gue. Dia nggak butuh kekerasan fisik, tapi ini.” Sere menunjuk kepalanya dengan jari. “Benar begitu, Lusiana?”
Lusi menoleh kepada Sere tanpa mengatakan apa-apa. Sere tahu tentangnya. Pasti Zena memberitahukan soal itu. Lusi hanya bisa merenung. Sejauh mana hubungan pertemanan mereka. Zena tak seterbuka itu kepadanya.
Eliza menyingkir, memberi ruang kepada Sere. Sere berhenti di depannya dengan tatapan yang mengintimidasi.
“Oh, gue lupa. Lusiana itu nama saudara kembar lo, ya?” tanya Sere. Sementara Lusi tidak berniat untuk sekadar mendongak. “Siapa nama lo? Eum....” Sere membaca name tag Lusi. “Luna Almeera....”
“Oh, begitu? Terus Lusiana ke mana? Kakak lo itu atau adik lo atau whatever. Kenapa dia nggak ada di Adi Bakti?” tanya Sere lagi. “Coba, jelasin ke gue Lusi ada di mana? Kenapa dia nggak ada di Phoenix sekarang?” tanya Sere lagi. Lusi diam, membuat Sere kembali bersuara.
“Bisa jawab nggak, nih? Habisnya semuanya terasa nggak masuk akal. Asal lo tahu ya, yang namanya Lusi Lusi itu pernah ketemu sama gue tahun lalu. Dan yang di depan gue sekarang ini namanya Luna. Gue bener-bener nggak bisa menghubungkan puzzle-nya.” Sere menghela napas. “Ah, atau beneran lo Lusi? Gimana, nih? Gue nggak bisa dibuat bingung.”
Sere memaksanya untuk mendongak. Sere menarik dagunya, membuatya terpaksa menatap Sere tepat ke matanya.
“Apa yang terjadi? Apa yang lo sembunyiin? Karena diputusin sama Zena lo masuk ke Phoenix pakai nama lain? Atau justru Lusi itu yang nama palsu? Waw. Drama!”
Lusi masih bungkam dan Sere terus menuntutnya. Setelah mencerna kata-kata Sere, tak mungkin Zena membocorkan apa yang terjadi. Sepertinya Sere mencari tahu sendiri tentang di mana Lusi saat ini.
“Gue benci banget disaat gue berhasil ngambil hati Zena lagi, dia tiba-tiba bilang nggak bisa lupain Lusi. Denger, dia bilang nggak bisa lupain Lusi!” Sere tampak frustrasi. “Waktu itu dia bilang Luna! Dan tiba-tiba kemarin dia bilang Lusi! Ngebuat gue penasaran tahu nggak? Ada yang nggak beres saat dia bilang lo adalah orang yang sama. Gue nggak ngerti. Jelasin ke gue karena Zena nggak mau jelasin ke gue!”
Lusi mengatupkan bibir. Sere menggeram kesal.
“Kenapa gue harus jelasin ke elo?” gumam Lusi. “Gue nggak perlu ngelakuin itu ke orang yang udah nggak bisa dipercaya, kan?”
“BERISIK LO!” teriak Sere.
PLAK
Sere menampar Lusi. Keras. Sampai membuat Lusi menolehkan wajahnya ke kanan saking kerasnya.
“Tinggal jawab aja apa susahnya, sih?” Sere mendengkus.
“Mau gue jawab? Jawab dulu pertanyaan gue.” Lusi mendengkus. “Apa sih tujuan lo nyimpen surat di loker gue? Atas dasar apa lo ngatain gue pelacur lewat surat itu?”
Sere berdecak. Dia melipat tangannya.
“Tinggal jawab aja apa susahnya, sih?” tanya Lusi balik. Sere dan yang lainnya menatap Lusi tak percaya. “Gue inget banget lo juga senyum ke gue waktu di toilet. Lo sengaja ya seolah-olah lagi asma?”
“Kalau iya emang kenapa?” tanya Sere.
Lusi diam. Dia tidak menduga Sere melakukannya sampai sejauh ini.
“Tapi gue seneng banget karena Zena lebih percaya gue dibanding lo.” Sere menepuk-nepuk pundak Lusi. Lusi tak tahan mendengar kalimat itu. “Iya, lah. Emang lo siapa? Sejak dulu Zena emang lebih sayang sama gue. Lo itu cuma pendatang di hidup kami. Lo itu penghancur hubungan orang tahu nggak?”
Lusi mengepalkan tangannya. Gue juga nggak berharap masuk ke hidup kalian tahu nggak? batinnya.
“Gue pura-pura sakit pun Zena lebih percaya gue dan milih buat nemenin gue dibanding nepatin janjinya buat ketemu sama lo,” kata Sere lagi.
Pengakuan itu sangat membuat Lusi sakit hati.
“Sere.... Sere!” panggil Zoya pelan. Perhatian Lusi teralihkan kepada Zoya, begitu pun yang lainnya termasuk Sere.
“A—ada Zena tadi!” bisik Zoya tertahan.
Sere menegang di tempatnya.
Lusi melirik empat siswi itu yang masih terkejut. Lusi mengambil kesempatan untuk kabur. Saat Eliza menghampirinya, Lusi berdiri sebelum tangan Eliza itu menyentuhnya. Pintu baru saja dibuka oleh Zoya dan Lusi langsung menerobos, meninggalkan kelas itu dan tak peduli dengan teriakan Zoya yang mengatainya kurang ajar.
Saat dia berlari kecil melewati belokan koridor, dia sempat melihat Zena yang berdiri menatapnya. Namun, Lusi langsung mengalihkan pandangan karena tak ingin menatap cowok itu lagi. Juga tak ingin Zena melihatnya menangis.
***
Zena merenung di parkiran. Dia menunggu Sere datang. Belakangan ini mereka memang berangkat dan pulang bersama. Dia tak menyangka apa yang dilihatnya tadi. Saat tahu Sere dan teman-teman Sere membawa Lusi ke kelas yang sedang kosong dan memperlakukan Lusi dengan tidak baik, Zena menjadi marah pada Sere. Namun, dia menahan diri untuk tidak menghampiri Sere saat itu juga.
Dia tidak menyangka dengan apa yang dia dengar. Dia tidak menyangka Sere melakukan ini semua.
Sere masuk ke mobil sambil tersenyum. Zena tidak langsung menjalankan mesin mobil dan hanya diam membisu.
“Kok belum jalan?” Suara Sere sedikit bergetar.
“Gue nggak nyangka lo kayak gini,” kata Zena tanpa basa-basi. “Gue udah denger.”
“Zena, itu....” Bibir Sere terkatup rapat seolah tak tahu lagi harus mengatakan apa karena telah tertangkap basah.
“Gue jadi tahu apa isi surat yang lo simpen di loker Lusi. Gue juga jadi tahu alasan kenapa lo ngikutin gue beberapa kali saat gue ke lorong loker.” Zena mengingat saat-saat di mana dia tak sengaja mendapati Sere berdiri di loker Lusi. Dan beberapa hari sebelumnya Sere diam-diam mengikutinya. “Kenapa? Apa maksud lo ngelakuin semua itu? Gue nggak nyangka lo sampai ngatain Lusi yang enggak-enggak.”
Bibir Sere bergetar. Zena menaruh keningnya ke setir. “Gue juga nggak nyangka lo bohong soal sakit. Dan ... gue nggak suka soal lo yang bilang di depan Lusi kalau gue lebih percaya lo dibanding Lusi. Karena itu sama sekali nggak bener.”
Sere menunduk dalam.
“Keluar!” seru Zena pelan.
Sere tidak bergerak. Dia menunduk dan terisak. “Gue ngerasa hina banget ngelakuin apa aja buat dapetin perhatian lo. Bisa nggak sih sekali aja gue dapat apa yang gue mau? Nggak pernah. Nyokap. Bokap. Lo.” Sere menutup wajahnya. “Gue nggak tahu lagi gimana cara supaya lo ngelirik gue sepenuhnya. Nggak ada cara lagi, kan. Gue udah buruk banget di mata lo. Lo pasti nggak akan maafin gue lagi setelah ini, iya, kan? Lo lebih sayang Lusi dibanding siapa pun. Seperti kata lo waktu itu.”
Zena hanya memandang Sere dalam diamnya.
“Maaf.” Sere langsung keluar setelah mengatakan itu.
Sekarang, Zena semakin merasa bersalah dalam posisi ini.
***
85 – dia muncul
“Lo siap, kan?” tanya Rama.
“Jangan bikin gue makin bingung. Sebenarnya siapa yang mau ketemu?” Lusi menatap Rama sambil menggeleng. “Jangan bilang Zena?”
Rama tertawa. “Ngapain gue ngurusin hubungan kalian?”
Lusi berdecak pelan. Dia melirik ke arah taman. “Jadi, dia nunggu di mana?”
“Duduk di mana aja. Nanti dia datang sendiri.”
Lusi menatap Rama ragu. Rama meyakinkannya lewat anggukan kecil dan menyuruhnya untuk segera pergi. Lusi keluar dari mobil dan menatap sekeliling sambil menghela napas panjang. Siapa yang akan menemuinya? Sejak Rama memberitahukan hal itu dia tidak punya bayangan siapa pun di kepalanya selain Zena.
Dia duduk di bangku yang terdekat dan taman ini ternyata lumayan ramai. Lusi menunggu dengan bosan dan rasa penasaran. Kemudian, sepasang sepatu berhenti di hadapannya dan tak menyingkir sama sekali. Dia mendongak perlahan.
Rasanya dia tak mampu lagi menopang tubuh. Kehadiran sosok yang selama ini membuatnya selalu menangis kini membuatnya menangis lagi. Lusi menggeleng.
Ini cuma halusinasi, pikirnya menenangkan diri.
Luna Almeera. Berdiri di depannya sambil tersenyum dan bersimbah air mata.
“Nggak percaya, kan? Aku juga nggak percaya bisa berdiri di sini dan ketemu lagi sama kamu,” kata Luna.
Rambutnya sebahu, berbeda dari terakhir mereka bertemu. Lusi menghubungi Zena dengan perasaan campur aduk. Dia ingin memastikan bahwa yang di depannya saat ini adalah nyata. Dia tidak ingin semua ini hanyalah mimpi belaka.
“Kak, ini beneran? Jangan bercanda. Gue nggak lagi mimpi, kan?” gumam Lusi dengan suara yang semakin melemah karena tangisan. “Kak....”
“Nggak. Nggak. Gue nggak lagi bercanda.”
Lusi menatap Luna yang duduk tepat di sampingnya. “Gimana ceritanya? Mustahil banget.”
“Luna bakalan cerita. Sekarang waktunya kalian buat kangen-kangenan, kan?”
Lusi menjauhkan ponselnya dan menatap Luna tak percaya. Luna juga sedang menangis. Lusi tak tahan dan akhirnya memeluk Luna dengan erat.
“Mustahil.... Mustahil,” gumam Lusi dengan tangsi yang tersedu-sedu. “Gimana ceritanya?”
“Awalnya, aku berhasil diselamatin sama orang-orang papa.” Pelukan mereka terlepas. “Di rumah sakit aku kabur dan ketemu sama dokter yang baik banget.” Luna tersenyum sedih. “Aku jelasin apa yang aku alami dan akhirnya Mama, aku manggil dia Mama, bantuin aku.”
“Gimana dengan ... papa?” gumam Lusi. Dia sangat membenci papanya, tetapi dia pun merasa kehilangan saat mendengar kabar kecelakaan waktu itu.
“Aku nggak tahu apa masih ... ada.” Luna menautkan jemarinya. “Lusi, saat papa nebak yang berdiri di depannya itu aku dan bukan kamu, papa ngancem untuk ngasih tahu keberadaan kamu di mana. Aku nggak mau jawab dan papa ngancem bakalan ngejual aku ke pasar perempuan kalau aku nggak jawab.”
Lusi menggeleng tak habis pikir. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Aku nyesel sedih waktu itu.”
“Aku juga nggak nyangka papa ngomong gitu ke ... anaknya juga.” Luna menggeleng-geleng. “Aku pikir, papa cuma butuh kamu, Lus.”
“.... Hah?”
Luna tersenyum kecil. “Aku tahu kamu benci banget sama papa. Selama ini aku nggak lihat langsung gimana kehilangan mama. Aku cuma denger cerita. Semuanya cuma cerita. Tujuan aku ketemu papa ... karena aku pengin buktiin dengan mata kepalaku sendiri kalau aku nggak punya papa seorang pembunuh.”
Lusi menunduk dalam.
“Tapi, kayaknya.” Luna menjeda kalimatnya dan menatap Lusi dengan air mata yang sudah mengering di wajahnya “Mungkin benar. Mungkin juga enggak. Mulut papa setajam pisau. Sanggup nyayat-nyayat perasaan aku di depannya langsung. Anak mana yang nggak sedih diancam kayak gitu?”
“Luna.” Lusi memeluk Luna kembali dan ikut menangis.
***
Rama menelepon bunda karena sedang memastikan di mana bunda sekarang. Luna menoleh ke belakang, menatap Lusi khawatir. Lusi tak kalah khawatirnya. Dia yang akan berhadapan dengan ayah dan bunda malam ini dan menjelaskan semua yang telah terjadi.
Kekhawatiran Lusi yang lain adalah Zena. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan Zena sekarang.
“Bisa, kan?” tanya Rama saat menoleh. “Bunda ternyata udah sampai dari tadi. Mobilnya ternyata udah di garasi.”
“Bisa.” Lusi mengangguk agak yakin. Sejujurnya dia sangat takut. Luna memegang tangannya untuk menenangkannya sebelum dia keluar dari mobil itu.
Dia masuk dan berhenti di ruang keluarga. Ayah dan bunda menunggunya di sofa. Lusi meneguk ludah. Kenapa dia bisa di sini?
“Hai, ada apa sayang?”
Lusi terkejut mendengar suara bunda. Dia tersenyum dan berusaha untuk terlihat tetap tenang, lalu duduk di samping bunda. Ditatapnya ayah dengan pandangan serba salah. Selama ini mereka berdua selalu baik kepadanya meskipun jarang bertemu.
“A-aku mau ngomong, Bunda,” kata Lusi, sedikit terbata. “Bunda, Ayah, apa aku nggak bisa dibedain sama Luna? Ma-maksud aku... Lusi?”
“Maksud kamu?” tanya ayah. Sementara bunda menatapnya bingung.
Lusi tak tahu lagi perkataan apa yang tepat harus dia keluarkan. “Bunda nyadar nggak aku aneh semenjak kecelakaan itu? Aku sengaja memperkecil pertemuan kita dan pada dasarnya Bunda juga sibuk, kan, dengan kerjaan Bunda. Jadi, mungkin nggak ngerasa ada keanehan.” Lusi lalu menatap ayah. “Ayah. Selama ini yang selalu jenguk Luna kan Bunda. Jadi, mungkin karena itu Ayah yang paling nggak nyadar kalau ... kalau sebenarnya selama beberapa bulan ini bukan Luna yang Ayah dan Bunda hadapin, tapi ... Lusi.”
Mata bunda berkaca-kaca. Lusi menunduk tak bisa melihat kekecewaan itu. Lusi lebih tak bisa menatap tatapan tajam dari ayah.
“Maksud kamu apa? Jangan bercanda, Luna,” kata ayah dengan suara tegasnya.
“Aku nggak lagi bercanda, Ayah, Bunda. Aku sempet tukeran sama Luna dan ... gini keadaannya sekarang.”
“Kamu, kok, tega?” Bunda sangat kecewa. “Harusnya kamu bilang dari awal. Bunda udah sadar ada yang nggak beres, tapi Bunda selalu mencoba berpikir kalau ada yang salah dari tatapan Bunda.”
Lusi tak bisa menahan tangis. “Maaf,” gumamnya. Dia sudah tak tahan melihat tatapan kekecewaan dari dua paruh baya itu. Pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa bunda tidak merasa aneh? Karena bunda tidak ingin kehilangan Luna dan berpikir macam-macam pada apa yang terjadi sebemarnya kepada Luna.
“Ayah, Bunda,” panggil Luna. Lusi dan yang lain melihat ke arah Luna. Lusi menghapus air matanya saat Luna menghampiri bunda dan ayah, lalu meminta maaf. “Ini ide aku. Lusi nggak salah apa-apa,” lanjut Luna.
Lusi tersenyum dalam kesedihan. Dia hanya bisa menatap Luna memeluk bunda dan bunda membalasnya dengan kasih sayang. Selama ini, bunda memeluk Lusi sebagai Luna. Lusi bisa merasakan bagaimana pelukan hangat bunda yang selama ini selalu menenangkannya disaat dia bersedih.
Lusi senang Luna datang di waktu yang tepat. Malam ini penuh haru dan Lusi lebih banyak diam karena rasanya tak mampu berkata-kata lagi.
“Jadi, gimana dengan sekolah aku? Apa aku jadi di Phoenix?” tanya Luna. “Lusi juga bakalan di Phoenix, kan, Ayah? Bunda?”
Lusi langsung menggeleng. “Enggak, Lun.”
“Loh? Kenapa?” tanya ayah. “Kami yang akan membiayai kamu sepenuhnya.”
“Aku bakalan di Adi Bakti.” Lusi tersenyum mengingat neneknya. “Ada nenek yang harus aku jaga. Adi Bakti dan sekolah deket. Nggak masalah, kok, aku tetep di sana.” Dan aku nggak sanggup masih ketemu sama Zena di Phoenix, batinnya.
Lusi tersenyum kepada Bunda. Dia melihat seseorang lewat ekor matanya dan saat menoleh ternyata Zena yang memperhatikannya sejak tadi. Senyumnya menghilang. Dia kembali fokus kepada Luna, ayah, dan bunda tanpa merespons Zena dengan apa pun.
Luna bermalam di rumah bunda. Lusi tidak. Dia ingin pergi dan bunda tidak memaksanya untuk tetap tinggal seperti waktu itu. Dia pamit kepada semuanya. Mencium punggung tangan ayah dan bunda, memeluk Luna, lalu menghampiri Rama yang bersedia mengantarnya pergi.
“Yuk?” ajak Rama sambil memegang kunci.
“Biar gue aja.” Seseorang bicara, merampas kunci mobil yang Rama pegang dan menyimpannya di meja. Sementara kunci lain dia keluarkan dari dalam saku jaketnya.
Lusi terdiam memandang Zena yang seenaknya. Dia menatap Rama untuk meminta bantuan, tetapi Rama menggeleng. Rama justru kembali duduk.
Lusi menghela napas panjang. Dia semakin benci situasi ini. Mau tak mau dia berjalan keluar dari rumah dan melewati mobil Zena begitu saja. Dia jalan kaki keluar dari area perumahan tanpa peduli dengan Zena yang terus memberinya klakson.
Mobil itu berjalan pelan di sampingnya. “Masuk atau gue lapor ke bunda kalau lo nggak mau dianterin dan milih jalan kaki?”
“Ck.” Lusi menatap Zena kesal. Dia masuk ke mobil tanpa kata-kata. “Ke rumah nenek, ya.”
“Oke.”
Mereka saling diam saat dalam perjalanan. Lusi sama sekali tak ingin menatap Zena dan berharap Zena tak mengajaknya bicara sampai dia turun ke tujuan.
Doanya terkabul. Zena tak mengatakan apa-apa di sepanjang perjalanan. Lusi langsung keluar dari sana tanpa mengatakan apa pun.
“Lusi!” panggil Zena saat Lusi sudah beberapa langkah. Lusi tidak ingin menoleh. “Jadi, sampai di sini doang?”
“Iya,” balas Lusi, lalu melangkah lagi.
“Maksud gue hubungan kita,” lanjut Zena.
Lusi tersenyum sedih. “Dari beberapa hari yang lalu, kan?” Dia berbalik menatap Zena. “Makasih, ya, udah anterin.” Dia terus melangkah tanpa menoleh lagi.
Setelah semua yang terjadi, ternyata kisah di antara mereka berakhir seperti ini?
Tiba di rumah dia langsung menghambur ke pelukan neneknya di kamar.
“Karena aku nggak punya mama dan papa, jadi aku cuma bisa tanya ke Nenek.” Lusi menggigit bibir, menahan kesedihan. “Apa yang harus dilakuin kalau lagi patah hati, Nek?”
Nenek mengelus rambutnya dengan lembut. “Kalau lagi patah hati, jangan dengarkan cerita tentang patah hati, jangan baca tentang patah hati, jangan lihat hal yang berkaitan patah hati.”
“Aku lagi patah hati karena cowok, tapi aku nggak bisa cerita. Aku pengin cerita soal Luna.”
“Luna?”
“Luna udah balik. Aku seneng banget. Salah nggak aku aku iri sama saudara sendiri? Aku iri… waktu ngelihat dia pelukan dengan bunda dan ayah yang ngerawat dia dari kecil.” Lusi berusaha tersenyum disaat air matanya mulai luruh. “Iri banget. Dia bisa ngerasain kasih sayang dari bunda dan ayah. Tapi aku bersyukur punya Nenek, kok. Sekarang aku bisa tinggal di sini lagi dan nggak perlu ada beban apa-apa lagi. Kangen ngelakuin aktivitas di rumah bareng Nenek.”
Lusi mencium punggung tangan neneknya. “Kangen masa-masa di Adi Bakti. Kangen main bareng Gayatri dan Hera....”
Kangen masa-masa awal ketemu Zena.
***
86 – mawar merah
Zena memasuki toko bunga dan mengambil bunga yang pertama dia lihat. Dia memandang bunga pilihannya. Lagi-lagi bunga mawar yang pertama kali dia lihat. Dia jadi ingat apakah bunga mawar pemberiannya waktu itu benar-benar berakhir di tempat sampah, tidak seperti suratnya yang kembali ke tangannya?
Kalau lo tetep jalan di tempat, emang Lusi mau nerima lo lagi?
Itu adalah kalimat Rama yang tiba-tiba dia ingat. Benar kata Rama. Selama ini dia hanya jalan di tempat tanpa usaha. Rasa tidak pantas setelah apa yang dia perbuat selama ini membuatnya tidak memutuskan untuk segera berusaha mengambil hati Lusi kembali.
“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang wanita paruh baya, seumuran Bunda, menghampiri Zena yang masih memegang sebuket bunga.
“Ah.” Zena mengangkat bunga di tangannya. “Mungkin, ini....”
“Kamu yakin?” Wanita berambut keriting itu melirik bunga di tangan Zena sekila, lalu bersuara. “Untuk siapa?”
Zena terdiam sesaat. Hubungan mereka sudah runyam. Bukankah Lusi mengatakan bahwa hubungan mereka sudah berakhir?
“Pacar...,” gumam Zena setelah diam cukup lama.
Wanita itu tersenyum sekilas. “Buat pacar, ya?” tanya wanita itu. Wanita itu melirik bunga di tangan Zena lagi, kemudian dia menghela napas panjang. “Mawar merah. Simbol kematian. Orang-orang malah selalu memaknainya dengan keromantisan.”
Ah, simbol kematian? Zena tersenyum miris. Mungkin dalam hal ini untuk hubungan mereka yang sudah mati.
“Memangnya, pacar kamu suka bunga?”
Zena tertegun. Untuk satu pertanyaan itu, dia tak tahu jawabannya. Ternyata selama ini dia tak pernah mencari tahu apa lagi yang Lusi suka dan tidak suka.
“Mawarnya jadi? Atau mau lihat yang lain?”
“Kayaknya nggak dulu. Makasih, Bu....”
***
Zena mengetuk pintu rumah Lusi. Dia sudah mengatakan kepada Kirana bahwa dia akan datang dan menyuruh Kirana untuk tidak membuka pintu, kecuali Lusi sendiri. Zena sedang harap-harap cemas sekarang. Suara Lusi terdengar dari tempatnya berdiri. Lusi sedang berbincang dengan Kirana di dalam sana.
Zena berdiri tepat di depan pintu ketika gagang pintu baru saja bergerak turun. Pintu dibuka setengah dan Lusi terkejut melihatnya. Zena menahan tangan Lusi agar tidak pergi.
“Menurut lo, apa yang kemarin-kemarin itu nggak perlu diperjelas lagi?” tanya Zena. Dia melihat Lusi hanya diam bahkan tidak berniat menatapnya. “Atau lo mau duduk bareng gue. Ngobrol dari hati ke hati?”
“Emang perlu?” tanya Lusi pelan.
“Perlu,” balas Zena tanpa ragu. “Gue nggak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya.”
Lusi menunduk.
“Kita berdua bisa kan ngobrolin apa yang terjadi saat kita jauh?” Zena beralih menggenggam Lusi agar tak pergi ke mana-mana. “Kalau lo ngizinin gue untuk kembali masuk ke hidup lo, gue janji, gue nggak akan pernah mengulang kesalahan yang sama.”
Lusi tersenyum sedih. Dia menatap Zena sembari menggeleng. “Siapa pun bisa ngomong kayak yang lo bilang barusan.”
Perlahan, Lusi melepaskan genggaman Zena. Zena kali ini tak ingin semakin memaksa untuk tetap memegang tangan itu.
“Kalau gitu.” Lusi diam sesaat. “Buktiin....”
***
tambahan cerita yang hanya bisa dibaca di karyakarsa:
Extended Part 86 Fragmen [DELUSI]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
