DELUSI [Part 21-30

0
0
Deskripsi

21 - kaku

“Kesel, kesel! Kok nggak dibales dari semalam, sih?!” teriak Gayatri di koridor menuju kelas X-A. Di tangannya terdapat ponsel dengan case pink terang dan banyak stiker hati juga terdapat gantungan berwarna pink yang terlihat makin berat untuk digenggam. Di case itu ada namanya dan nama Gabrian. 

“Yang pacaran mah beda,” sahut Hera yang berjalan di samping Gayatri.

Berbeda dengan kedua temannya yang sejak tadi mengobrol, Lusi hanya diam menatap dengan pandangan kosong. 

Ketiganya baru saja tiba di sekolah. Gayatri dan Hera datang bersama. Lusi datang sendirian, jalan kaki seperti biasanya. Mereka tiba di kelas dan segera duduk di bangku masing-masing. Lusi menaruh kepalanya di atas meja menghadap ke dinding, lalu menutup matanya rapat-rapat. Perasaannya campur aduk. Antara ingin ke sekolah atau tidak. Dia benar-benar malas melakukan apa pun di sekolah dan rasanya ingin menghabiskan waktu untuk tidur sehari saja.

“Kak Gabrian udah datang, ke kelasnya yuk. Kalian berdua temenin gue, dong,” ajak Gayatri saat sebentar lagi bel mata pelajaran pertama akan dimulai. 

 Lusi langsung membuka mata. Dia mengerjap. Antara ingin cepat-cepat mengiakan, tapi di sisi lain dia tidak ingin dituduh yang tidak-tidak lagi oleh Gayatri.

“Woi, mau temenin gue nggak?”

Lusi menggigit bibir. Dia ngomong sama gue bukan, sih?

“Lusiii! Denger gue nggak, sih? Lagi tidur, ya? Ya udah gue dan Hera duluan, ya?” 

Lusi melotot. “Ih, gimana, sih?” gumamnya pelan, lalu dia bangun. 

Gayatri dan Hera sudah tak terlihat di kelas. Lusi berjalan keluar dari sana dan menemukan dua sahabatnya itu belum terlalu jauh. Dia berlari kecil berusaha tidak menimbulkan suara. Saat dia berjalan di belakang keduanya, mereka langsung menoleh karena mendengar ada langkah orang lain.

“Aduh, sebenarnya gue lagi males.” Lusi menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan kaku. “Tapi, nggak apa-apa, deh. Bosen di kelas.”

Hera menatapnya bingung. “Tumben....” 

“Bosen apa kangen?” ejek Gayatri sembari menarik tangan Lusi hingga sahabatnya itu berada di tengah.

“Heh? Apaan kangen-kangen? Emang kangen sama siapa? Gue kan udah bilang bosen di kelas,” protes Lusi.

Hanya terdengar kekehan dari Gayatri. Tangan Gayatri melewati punggung Lusi dan kemudian mencubit lengan Hera dengan gemas. Hera sontak berjengkit kaget.

“Ngapain sih, Tri. Sakit tahu!” teriak Hera, membuat Lusi kebingungan dengan dua orang di sisi kanan dan kirinya itu.

Lusi memutar bola matanya melihat tatapan sinis dari beberapa siswi yang dia lewati. Ternyata foto antara dirinya dan Zena yang tersebar masih membuat siswi lain menatapnya dengan tatapan sesinis itu. 

Saat mereka bertiga tiba di depan kelas XI IPS B, siswi-siswi di sana memandang Lusi dengan tatapan yang lagi-lagi membuat Lusi tersudut.

“Kayaknya salah gue ke sini,” bisik Lusi. 

“Orang-orang iri diladenin. Mending cuekin aja,” kata Gayatri sambil menarik tangan Lusi masuk ke kelas.

Sadar dengan tujuannya ke sini, Lusi segera menatap penjuru kelas untuk mencari seseorang. Namun, seseorang yang dicarinya tak terlihat. Tempat di mana biasanya cowok itu duduk justru kosong.

Mungkin belum ke sekolah, batinnya.

“Kak, Kak Zena nggak datang, ya?” tanya Gayatri pada Gabrian. Lusi curi-curi dengar memperhatikan percakapan itu.

“Iya, dia bolos sekolah belakangan ini.” 

Mendengar jawaban Gabrian, Lusi hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Tak mungkin juga dia langsung bertanya ke Gabrian.  

Hanya ada Gabrian, Rudy, dan juga Daffa. Lusi merasa menyesal datang ke kelas ini. Gabrian sibuk dengan Gayatri. Daffa sibuk dengan laptop dan sebuah stick. Rudy sibuk menggoda Hera yang sekarang pipinya seperti kepiting rebus dan mengajak Lusi untuk segera kembali ke kelas, tapi tangan Hera justru di tahan oleh Gayatri. 

Lusi menatap semuanya dan menghela napas. “Gue duluan, ya?”

Tanpa peduli dengan panggilan Gayatri, Lusi tetap berjalan keluar. Dia menuju taman tak terurus. Duduk di bangku kusam sembari menatap daun-daun kering di sekitarnya. 

Ponselnya dia genggam dan pandangi. Sejak semalam dia sangat ingin menghubungi Zena, tapi di sisi lain dia tidak mau. Gengsinya sangat besar. Lagipula untuk apa? Jika dia menghubungi Zena duluan, pasti cowok itu akan besar kepala.

Kesal dengan perdebatan batin itu, akhirnya Lusi mengetikkan kata-kata di sana.

Dewangga

Eh, tumben lo nggak ke sekolah?

Lusi berdecak kemudian menghapus huruf-hurufnya sebelum terkirim. Dia mulai mengetikan sesuatu lagi.

Dewangga

Lo di mana? Cuma nanya sih hehehehe

“Ish, ngapain juga sih gue nyariin dia? Mana hehehehe-nya kayak orang kaku, lagi, ” gumamnya sambil menghapus hurufnya kembali hingga kosong. Tak ada satu pun yang terkirim ke Dewangga.

“Apa dia bakalan nge-chat duluan?” tanya Lusi pada dirinya sendiri. “Nggak mungkin, deh. Apa karena permintaan gue hari itu? Makanya dia nggak ganggu lagi?”

Lusi tak lagi fokus pada ponselnya dan memilih untuk menatap dedaunan kering di taman. “Nggak terurus banget sih ini sekolah,” gumamnya. 

Saat asyik dengan aktivitasnya menggeser-geser daun kering di sekitar sepatunya, Lusi mendengar suara langkah di belakang. Dia penasaran siapa hingga akhirnya Lusi berdiri.

Dia berbalik dan melihat seseorang yang tak cukup dia kenali berdiri tak jauh darinya.

“Kak Gabrian?” panggilnya.

Gabrian mendekat hingga jarak mereka terpisah oleh bangku di taman. “Ada waktu? Gue pengin ngobrol.”

Lusi menatap Gabrian dengan pandangan bingung. Sampai akhirnya dia mengangguk, kaku. “Ada, Kak....” 

***


 

22 – cinta lama

Dewangga: Woi

Gabrian Esmond : Hem?

Dewangga: tadi absen gak? 

Zena menunggu pesan balasan dari Gabrian. Dia berjongkok di atas kursi kantin tanpa peduli dengan tatapan berbeda dari siswa-siswi sekitarnya. Ada yang menatapnya bingung. Ada yang terlalu senang dengan kehadiran cowok itu yang tak terduga, terutama para siswi yang sudah lama tidak melihatnya.

 

Gabrian Esmond: absen

Dewangga: guru ada yang nyariin gue?

Gabrian Esmond: Pak Wahyu. Marah2 lo gak hadir lgi

Dewangga: buset. Bodo amat. Lo di mana? Kantin? 

Gabrian Esmond : yap

 

Zena membalasnya antusias.

 

Dewangga: Coba cari lusi. Ada gak di sana?

Gabrian Esmond: Knp gak lo aja yg chat dia langsung? 

 

Zena terdiam sebentar memandang balasan itu. Gabrian ada benarnya juga. Namun, Zena tak berniat untuk melakukan itu secara langsung. 

 

Dewangga: gengsi bro

Gabrian Esmond: Sejak kapan lo punya gengsi?

Gabrian Esmond: Dia lagi makan di kantin. biasa, bareng cewek gue dan hera

 

Zena terlalu sibuk dengan ponselnya sampai melupakan keberadaannya di kantin SMA Phoenix. Sudah beberapa hari ini Zena jarang ke SMA Adi Bakti. Alasannya satu: malas. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Valdo atau dia hanya datang untuk absen di sekolah, setelah itu keluar dari kelas pura-pura izin ke toilet dan tak pernah datang lagi hingga waktunya pulang.

Hari ini dia memutuskan untuk ‘bersilaturahmi’ ke sekolah lamanya secara diam-diam. Seragam Phoenix sengaja dia bawa dari rumah, tapi satu hal yang dia lupa. ID Card siswa SMA Phoenix miliknya sudah diambil kembali oleh sekolah saat dia resmi pindah dari sana. Untungnya ada bantuan dari Valdo yang memberitahukan kepada satpam Phoenix bahwa Zena ingin masuk ke area sekolah tanpa sepengetahuan para guru. 

Zena melihat kontak LINE Lusi, tapi dia hanya memandangi ruang percakapan itu tanpa niat untuk mengetikkan pesan. Dia hanya menggaruk-garuk kepalanya, bingung ingin mengetik apa. 

Satu pesan baru dari Gabrian segera dia baca.

 

Gabrian Esmond : Sejak kemarin dia suka ngeliat ke meja tempat kita sering nongkrong

 

Senyum Zena terbit. Dia bersorak riang dalam hati.

“Napa lo senyum-senyum gaje? Nyeremin aja lo pagi-pagi,” kata Valdo. 

Zena menyimpan ponselnya di saku. Wajahnya terangkat dan tak sengaja memandangi orang-orang di kantin SMA Phoenix. Siswi-siswi yang tadi memandanginya langsung mengalihkan perhatian, pura-pura sibuk dengan urusan masing-masing. 

Zena menurunkan sedikit topi SMA Phoenix yang dipakainya. 

Farzan—salah satu sahabat Zena di Phoenix—langsung menyelutuk setelah melihat gerak-gerik Zena. “Percuma lo nutupin muka. Kalau tuh cewek-cewek kurang kerjaan nemu sehelai rambut lo di lantai, mereka pada langsung tahu itu rambut lo. Nggak perlu tes DNA lagi.”

“Ah, lebay lo,” sela Parvis. “Gantengan juga gue ke mana-mana.” 

“Mau muntah gue.” Farzan pura-pura mual. 

Zena menggeleng-geleng. Dia ingin kembali mengambil ponselnya, tetapi urung karena melihat kehadiran seseorang yang sudah lama tidak dia jumpai muncul dari pintu kantin SMA Phoenix. 

“WOI, SHAQ!” teriak Zena saat berdiri. 

Hal itu mengundang perhatian murid lain di kantin itu. Beberapa murid yang belum mengetahui kehadiran Zena di sekolah akhirnya tahu. Bisik-bisik tentang kehadiran Zena makin banyak. Percakapan tentang kemunculan seorang Dewangga Bayuzena beredar di grup percakapan kelas, organisasi, ekstrakurikuler, bahkan grup sekolah dalam hitungan detik.

Shaquille Cakrawangsa, salah satu sahabat Zena juga di SMA Phoenix segera menghampiri meja. Zena beradu tos dengannya, membuat perhatian siswi-siswi tak lepas dari mereka berdua.

Dulunya, saat Zena masih menjadi salah satu bagian dari Phoenix, dia dan Shaquille adalah most wanted. Sekarang, yang tak luput dari perhatian adalah Shaquille karena Zena menghilang dari sekolah. Mereka menjadi buah bibir para siswi. Shaquille si kapten basket yang berprestasi dan Dewangga yang selalu berteman dengan masalah.  

“Lo tiba-tiba muncul aja? Nggak ngabarin dulu,” ujar Shaq saat duduk di kursi kosong. 

“Dia mah sibuk dengan teman barunya,” cibir Valdo. Akibat rumahnya dekat dengan SMA Adi Bakti, dia jadi tahu tentang Gabrian, Rudy, dan juga Daffa.

“Surprise, bego,” balas Zena kesal sambil menjitak kepala Valdo. 

Setelah tangannya mendarat ke kepala Valdo, dia menerima satu pesan baru karena getaran yang terasa di saku. Saat teman-temannya sibuk, berceloteh, Zena sibuk membaca satu pesan yang membuat sudut bibirnya tertarik ke atas.

 

Rangrang Pirang : Hai.... Gue ngerasa agak gimana sebenarnya. ini sudah seminggu lo gak kelihatan di Adi Bakti.

Rangrang Pirang : Gimana ya..., aneh aja. Biasanya lo sering ke sekolah. Setiap hari malah

Rangrang Pirang : Eh, bukannya gimana-gimana. Gue agak bingung aja sih. hehe. Soalnya, lo tahu kan permintaan gue di pertemuan terakhir kita?

 

Zena tersenyum semringah. Terperangkap juga kan lo? batinnya, riang. 

“Ah, gue tebak!” Farzan menjentikkan jarinya sambil menyengir. “Pasti lo kangen sama Sere, kan?”

Saat baru akan membalas pesan untuk Lusi, Zena dikejutkan oleh pertanyaan itu. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku dan menatap Farzan dengan alis terangkat tinggi. 

“Pengin ketemu sama Sere iya, kan? Iya, kan? Ngaku aja! Malah pake alesan kangen sama kita-kita. Cuih. Nggak percaya gue mah,” tambah Farzan lagi dengan tatapan tak percaya. 

“Bener juga tuh si Tarzan,” sahut Parvis, mengiakan. “Tahu kok gue, selama ini lo suka sama Sere, tapi lo nggak berani. Beraninya nembak cewek-cewek buat main-main. Giliran ke cewek yang bener-bener disukai malah nggak berani.” 

Zena membantah. “Nggak mungkin lah gue suka sama dia, dia mantan Kakak gue.” 

“Jadi, kalau dia bukan mantan Kakak lo, berarti lo bakalan ngaku suka sama dia?” Parvis terkekeh. “Eh, Si El aja pacaran sama mantannya Al. Mereka adik kakak. Santai aja, tuh.”

Zena memandang Parvis tak suka.  

“Suka banget lo ngegosip ahelah.” Farzan mendorong kepala Parvis.  

Seolah tak habis pembahasan mengenai Zena dan Sere, Parvis kembali bersuara. “Wooo, atau jangan-jangan gosip itu beneran? Yang dari sekolah pembuangan itu?”

“Maksud lo?” Zena mengernyit. Sejak tadi wajahnya sudah tak bersahabat mendengar nama Sere disebut-sebut, sekarang Adi Bakti malah dibawa-bawa.

“Sekolah pembuangan?” tanya Shaquille bingung.

“Ah, katanya temen, tentang Zena aja nggak tahu. Nih, gue lihatin foto yang udah kesebar sampe ke grup-grup.” Parvis mengeluarkan ponselnya dan membuka sebuah foto yang tersimpan di album LINE. Dia memperlihatkan foto Zena dan seorang perempuan berambut pirang yang saling bergandengan.  

Shaquille memperhatikan bagaimana raut wajah Zena di foto. Ada yang berbeda. Biasanya Zena tak pernah memasang raut sekhawatir itu di sisi seorang cewek yang pernah menjadi pacarnya. 

Lalu, siapa cewek yang bahkan wajahnya tak terlihat dengan jelas itu?

Sementara Zena hanya bisa diam memperhatikan foto antara dirinya dan Lusi yang sudah tersebar sampai ke sekolah ini. Yang moto siapa? batinnya.

 “Anak Adi Bakti. Sial amat lo Zen! Dikeluarin dari Phoenix dan nggak bisa perhatiin si cantik Sere tiap hari,” canda Farzan sambil terkekeh. “Turun derajat!” 

Parvis tertawa dan bertos ria dengan Farzan.

“Emang lo pada tahu muka cewek yang gue gandeng itu?” Zena yang mulai geram akhirnya buka suara. Sejak tadi dia menahan diri dan sekarang dia sudah tak tahan lagi. 

“Kagak! Dilihat dari sekolahnya aja sudah beda jauh, kan? Gue pengin ngakak dengan hastag anak-anak Phoenix di twitter yang lagi rame. #ZenadanCabe.”  Parvis heboh sendiri dengan suara tawanya. “Rambutnya dicat pirang. Gaya banget, dah! Di sekolah kita aja nggak boleh ada yang rambutnya di cat. Salah satu balasan retweet dari cewek Phoenix gini, ‘Itu rambut apa jagung? Kuning amat?’ Sumpah! Ngakak gue bangsat.”

“Diem nggak lo?” pinta Zena dengan suara pelan. Dia mengepalkan tangannya di bawah meja. Kepalanya terasa panas melihat Parvis tertawa mengejek tanpa merasa bersalah.

“Terus, pasti otaknya juga nggak sepinter Sere. Otaknya pas-pasan! Lihat aja tuh sekolahnya, di Adi Bakti! Pas-pasan, man. Dia dapatnya sekolah pembuangan. Mana bisa sekolah di Phoenix?” tambah Parvis lagi. “Beda level!” 

Zena berdiri membuang topinya ke meja. Dia menarik kerah kemeja Parvis hingga cowok itu ikut berdiri. 

“Berhenti, anjing! Gue bilang dari tadi berhenti!” Teriakan Zena membuat sekelilingnya terkejut, terutama Parvis yang melotot kaget.

“Woi, woi.” Farzan ikut berdiri, mencoba menarik bahu Zena yang marahnya sudah tak tertahan lagi. 

Shaquille menatap Zena terkejut sama halnya dengan Valdo yang melihat Zena berbeda dari biasanya. Zena yang justru sering mengejek cewek yang dekat dengannya. 

Zena menjauhkan tangan Farzan dari bahunya. “Kalau lo nggak tahu apa-apa mending lo diem aja!” teriak Zena pada Parvis lagi. 

Farzan berusaha menjauhkan tangan Zena dari Parvis. “Udah, woi. Nanti lo ketahuan guru-guru.”

“Lo juga!” Zena mengarahkan telunjuknya pada Farzan yang langsung menciut. 

“Santai, bro...” Parvis menatap Zena horor.

“Setan.” Dihempaskannya Parvis kembali ke kursi, membuat sahabatnya itu mengaduh kesakitan. Zena kembali duduk di bangkunya sambil menghela napas kasar.

“Lo kenapa tiba-tiba jadi makin nakutin gini sih semenjak sekolah di Adi Bakti? Lo kerasukan hantu Adi Bakti, ya?” tanya Parvis. Saat melihat tatapan tak suka Zena, cowok itu kembali bicara. “Oke, gue diem.” 

Valdo menatap Zena bingung. “Oh, atau jangan-jangan cewek itu yang lo maksud dulu? Cewek yang nggak sengaja terkunci di perpus Adi Bakti bareng lo sampai nginep semalaman?” 

Semua yang mendengar langsung menatap Zena dengan tatapan penasaran. Zena membuang pandangan tak ingin ditanya-tanya lagi. Dia masih marah karena ucapan Parvis yang terngiang di kepalanya. Lusi yang diejek, hal itu membuatnya tak terima.

“Kali ini, gue nggak bercanda. Serius.” Parvis mengangkat kedua tangannya saat Zena menatapnya tajam. “Tapi, gue perhatiin si Sere ngelihatin lo dari tadi.”

Zena menautkan kedua alis. Dia hanya diam tak ingin berkata-kata apalagi mencari keberadaan Sere. Dilihatnya jam tangannya dan ternyata sebentar lagi bel istirahat berakhir di Phoenix. Zena beranjak dari kursinya dan memasang topinya kembali.

Zena berjalan, tak peduli lagi dengan teman-temannya.  

“Lo mau ke mana?” teriak Valdo.

“Pulang,” balas Zena pendek.

“Ciee, ngambek!” teriak Parvis kembali. “Cewek Adi Bakti itu berarti banget ya buat lo? Sampai-sampai lo semarah ini?”

Zena terus melangkah tak menggubris tatapan siswa-siswi yang melihatnya takjub. Zena benar-benar berani ke sekolah tempat di mana dia pernah menjadi siswa di sana.  

Sebelum dia meninggalkan kantin itu, dia melihat Sere. Detik kemudian Sere juga menatapnya. Mereka berujung saling memandangi walau hanya beberapa detik. Sere melemparkannya sebuah senyum tipis, sementara Zena langsung berpaling tanpa ekspresi. 

Dia meneruskan langkahnya keluar dari Phoenix secara diam-diam. 

***

“Aw, aw! Sakit, Tri!” teriak Lusi kesal pada Gayatri yang mencubit pipinya dengan gemas. 

“Abis, itu pipi minta diuyel-uyel. Badan kurus, tapi pipi gemesin. Kayak Mikha Tambayong. Gue kan pengiiin!” Gayatri kembali mengarahkan jemarinya ke pipi Lusi, tapi langsung ditahan oleh Lusi.

“Apaan, sih, ah.” Lusi menangkis tangan Gayatri saat tangan nakalnya kembali berulah. 

“Hehehe” Gayatri menyengir. Dia segera memasang helmnya saat melihat Hera muncul membawa motor. Rumah mereka memang berdekatan. Sebelum berpacaran dengan Gabrian, mereka memang sering pulang bersama. Belakangan ini Gayatri rindu pulang bersama Hera dan bergosip di perjalanan. 

“Gue anterin lo dulu, ya, Lus,” kata Hera saat berhenti di samping Lusi. Lusi langsung menolak.

“Nggak apa-apa, kok. Kalian duluan aja. Serius, deh.”  

“Percuma lo nawarin tiap hari. Jawabannya tetap sama: tidak. Anak yang satu ini memang keras kepala,” kata Gayatri saat mencoba menarik pipi Lusi meski dia sudah duduk di jok motor. Lusi beruntung langsung menghindar cepat. 

“Kita duluan, ya!” Gayatri melambaikan tangannya saat motor mulai melaju. Hera menekan klakson motor. 

Lusi melambai kepada mereka berdua. Dia memperhatikan Gayatri. Tiba-tiba teringat pembicaraannya dengan Gabrian tadi pagi yang tak bisa dia lupakan sampai kapan pun itu. 

Lusi mengambil ponselnya saat teringat sesuatu, untuk melihat apakah ada pesan masuk. Namun, tidak ada sama sekali.

“Ya ampun!” Lusi menutup wajahnya. “Malu banget gue. Pasti tuh cowok udah ngejek-ngejek. Ngapain sih gue sok-sokan ngirimin dia chat? Ini namanya bunuh diri. Huaaa.....” 

Butuh perjuangan untuk menghubungi Zena lebih dulu. Saat di kantin tadi, dia diam-diam dari Gayatri maupun Hera. Beruntung keduanya tak curiga saat dia mulai mengetik pesan untuk Zena. Dia sudah deg-degan, ditambah lagi keringat dingin sebelum mengirimkan Zena pesan. Hasilnya malah tidak sesuai dengan harapannya. Yang ada, dia hanya menyesal karena terlanjur malu.

Lusi menggigit bibirnya. “Ternyata begini nggak enaknya kalau chat cuma di read doang. Pantesan Gayatri suka mikir gue lagi marah kalau cuma read pesan dia.”

Putus asa. Lusi menyimpan kembali ponselnya di dalam tas. 

Siswa-siswi Adi Bakti sudah pulang. Sebentar lagi pasti sepi. Lusi memutuskan untuk segera pulang. Dia mulai berjalan menuju rumahnya. Saat di tengah perjalanan, ada suara mobil yang terdengar di belakangnya. Lusi mulai merasa waswas. Dia menggigit bibirnya, gelisah.

Dia berusaha untuk tetap tenang meski langkahnya sudah terlihat tidak santai. Mobil itu masih terdengar di belakang. Lusi makin mempercepat langkahnya hingga tak terasa dia berlari. 

Suara mobil itu makin mendekat hingga mendahului Lusi dan berhenti di depannya, menghalau jalan. 

Lusi terkejut melihat beberapa pria berpakaian yang sama turun dari mobil itu. Mereka menatap Lusi dan melangkah cepat ke arahnya. 

Lusi tak tahu harus melakukan apa. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa. Lidahnya kelu. Suaranya tersendat. Dia mencoba berbalik dan berlari, tetapi masing-masing lengannya tiba-tiba dipegang. Membuatnya sontak berteriak meminta tolong.  

 Percuma. Orang-orang itu berhasil membungkam mulutnya dan menariknya masuk ke mobil dengan paksa. 

Lusi berontak. Semua itu tak bisa dia lakukan. Dia hanya bisa menangis saat kedua tangannya diikat dari belakang dan mulutnya ditutupi dengan lakban.

Lusi menangis tak bersuara. 

Tolong. Siapa pun itu, kumohon tolong.... 

***

 


 

23 - pendekatan

Setelah beberapa hari terlewati, Lusi kecil masih dirawat di rumah sakit. Ada perban melingkari dari jidat sampai ke belakang kepalanya. Dia duduk di taman rumah sakit bersama seorang perawat yang sejak kemarin membawanya jalan-jalan di sekitar sana.

Di atas kursi roda itu Lusi tanpa ekspresi mendengar fabel yang diceritakan oleh perawat. Meski ada beberapa pasien di taman itu, Lusi tetap merasa sendirian. 

Dokter mengatakan ada trauma psikis yang dialaminya. Perempuan yang waktu itu menolongnya entah di mana sekarang. Lusi hanya tidak tahu bahwa perempuan yang menolongnya itu sering datang ke rumah sakit. Hanya saja, saat malam di mana Lusi sudah terlelap di tidurnya.

“Si buaya berkata, ‘Tolong, lepaskan aku! Aku janji tidak akan memakanmu.’” Perawat itu berhenti. Dia hanya bisa menghela napas, kasihan, melihat tatapan kosong dari Lusi. 

“Lusi lapar?” tanyanya, lembut. 

Lusi tetap memandang kosong ke depannya. 

Perawat itu berdiri di belakang kursi roda kemudian mendorongnya menuju koridor rumah sakit. “Ayo! Waktunya makan siang!”

Lusi tetap tak bergerak. Semuanya terasa sunyi. Harinya di rumah sakit selalu sama. Waktu terus berjalan hingga malam tiba dan pandangannya tetap sama seperti hari-hari sebelumnya.

Laki-laki berpakaian perawat masuk ke dalam kamarnya membawa peralatan infus. Lusi masih duduk di brangkar memandang ke jendela. Laki-laki itu mengatakan sesuatu yang tak didengar sama sekali oleh Lusi. Sampai akhirnya, ada perkataan yang membuatnya teralihkan.

“Kamu mau ketemu sama Mama kamu?” tanya laki-laki itu.

Lusi langsung melihat ke arah lawan bicaranya. “Mama?”

“Iya, Mama kamu.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Ayo. Om antar kamu ke Mama. Mau, kan?”

Tanpa banyak berpikir, dengan senang hati Lusi turun dari brangkar. Infusnya dilepaskan oleh laki-laki itu. Sebuah topi dipakaikan dikepalanya. Lusi tak pernah berpikir bahwa orang itu akan membawanya ke orang yang paling dia takuti.

Laki-laki itu berhasil membawanya keluar dari rumah sakit tanpa ada orang lain yang mengetahuinya. Dia memasukkannya ke dalam mobil dan membawanya entah ke mana.

Saat di perjalanan, lelaki itu menelepon seseorang.

“Halo, Bos?” 

Bos? Lusi gemetar. Panggilan itu dia dengar beberapa hari yang lalu. Panggilan dari orang-orang berpakaian serba hitam kepada papanya.

“Iya, bener, Bos. Sebentar lagi tiba. Siap. Berapa? Oke, saya akan membawanya sampai ke tujuan dengan selamat.”

Air mata Lusi bercucuran. Seluruh tubuhnya bergetar. Tak lama mobil itu berhenti di depan sebuah ruko. 

“Kamu lapar? Tetap di sini, ya. Om beli susu dan roti dulu. Sebentar lagi kamu akan ketemu dengan Mama kamu.”

Setelah mengatakan kalimat itu, dia keluar melangkah menuju ruko. Tanpa berpikir bahwa Lusi bisa kabur kapan saja. Lusi sudah lemas. Dia mencoba membuka pintu dan tidak terkunci. Kesempatan itu dia tak akan dia sia-siakan. 

Dia keluar dari sana. Berlari kencang. Tak tentu arah.

***

Mobil hitam memasuki sebuah rumah bertingkat tiga dan berhenti di halamannya yang luas. Perasaan Lusi campur aduk ketika seseorang membuka lakban di mulutnya dan membuka ikatan tangan di belakangnya. 

Orang-orang asing itu keluar dari mobil. Satu orang menuntunnya turun dengan sedikit paksaan karena Lusi mencoba untuk lari. Hanya ada dua pria yang mengikutinya di sisi kanan dan kiri. Pasrah. Lusi makin tak bisa bersuara. Dia membiarkan dirinya ikut menuju pintu utama rumah itu karena tenaganya terkuras akibat terus meronta di sepanjang perjalanan. 

Dia tiba di ruang tamu yang luas. Kakinya terasa lemas. Berbagai spekulasi muncul di benaknya. Pemikiran-pemikiran tentang sesuatu hal yang buruk akan terjadi terus mengganggunya.

“Lepas!” ucap Lusi pelan dan penuh penekanan. “Lepasin!” 

Namun, orang yang sejak tadi menahannya tetap tidak melaksanakan perintah itu. 

“Saya bilang lepas!” teriak Lusi, frustrasi. 

“Lepasin dia.” 

Seruan dari seseorang membuat Lusi terdiam mematung. Lusi menoleh, menatap ke orang yang baru saja bersuara. Dia langsung mundur. Matanya memanas saat melihat orang itu dengan entengnya berdiri tanpa merasa bersalah. 

 “Udah. Sampai sini aja,” katanya lagi pada orang-orang suruhannya. “Kalian nggak nyakitin dia, kan?”

“Nggak kok, Bos.” Salah satu suruhannya berdeham. Lusi mengepalkan tangannya makin marah. “Cuma, ngiket tangan dan lakban mulutnya.”

“Itu namanya nyakitin.”

“Kata Bos nggak boleh bius. Kami takut orang-orang akan dengar, nanti kami digebukin karena mereka berpikir kami benar-benar menyulik.” 

 “Ya udah. Sana balik.” 

Lusi merasakan tak ada lagi yang menahannya di sini. Namun, yang terjadi selanjutnya dia semakin tak bisa bergerak. Tak bisa berkata-kata. Pandangannya hanya terfokus ke satu titik, di mana seseorang yang tadi memerintahkan orang-orang itu untuk melepaskannya. 

Lusi tak percaya. Seseorang yang dia tahu menolongnya malam itu justru melakukan hal yang membuatnya hampir mati jantungan. 

Dewangga. Cowok itu berdiri santai menatapnya dengan seringaian. Seolah puas dengan apa yang dilihatnya sekarang di depan mata.

“Maksud lo apa?!” teriak Lusi, marah. “Lo tahu gue takut diculik dan lo justru sengaja nyuruh orang-orang buat ngelakuin itu ke gue?”

Zena bersandar di dinding, melipat kedua tangannya di dada. “Gue memang sengaja,” balasnya. 

Kepalan tangan Lusi makin kuat. Kesal. Dia berbalik dan memejamkan mata sesaat setelah melangkah. Dia sudah tak tahan lagi melihat kelakuan Zena yang makin keterlaluan. 

Saat hendak keluar dari pintu, Zena menarik tangannya dan membuatnya masuk kembali ke rumah itu. 

“Gue mau pulang!” teriak Lusi. Dia benci saat orang-orang mengerjainya dengan ketakutan terbesarnya. “Nggak lucu! Lepasin gue!”

Zena tak menggubris. 

“Gue bilang lepas, lo denger nggak, sih?” teriak Lusi lagi sambil terisak. 

Dia menarik kencang tangannya hingga terlepas dari genggaman Zena dan langsung berbalik dengan cepat menuju pintu. Namun, pintu itu langsung terutup. Membuat Lusi hanya bisa menatap Zena dengan geram.

“Kenapa, sih?” Lusi menatap Zena lelah. 

Zena menarik Lusi masuk ke dalam ruangan lain. Lusi berusaha menjauh, tetapi selalu gagal. Saat tiba di ruangan tengah, Zena mendudukkannya di kursi sementara cowok itu duduk di kursi yang berseberangan. 

“Lo jangan pulang sekarang. Ada hal penting yang pengin gue bicarakan,” kata Zena.

Lusi hanya bisa terdiam. 

“Dan satu hal lagi, lo nggak boleh pulang sendiri. Gue yang anter lo pulang. Harus.”

***

 


 

24 – dewangga bayurama

“Dan satu hal lagi, lo nggak boleh pulang sendiri. Gue yang anter lo pulang. Harus.” 

Lusi mengembungkan pipinya. “Kenapa lo suka maksa?”

“Karena gue nggak suka ditolak.”

Lusi menghela napas. Dia dan Zena saling tatap dan seringaian yang dilakukan Zena sekarang membuatnya hanya bisa menatap Zena dengan pandangan tak suka.

Zena berdiri. Lusi mulai waswas karena Zena berjalan ke arahnya. Saat cowok itu duduk tepat di sampingnya, Lusi sedikit menjauh untuk menghindar dari apa pun yang akan Zena lakukan selanjutnya. Namun, usahanya itu tak begitu membuahkan hasil karena beberapa saat setelah Zena duduk di sampingnya, Lusi bisa merasakan rambut pirangnya diacak-acak dengan ganasnya oleh cowok menyebalkan itu.

“Ish.” Lusi sontak menepis tangan Zena dari rambutnya. “Apaan, sih?” 

Zena terkekeh. “Pengin mastiin, apa rambut pirang lo warnanya bakalan pindah ke tangan gue.” Zena menatap tangannya, pura-pura berpikir. “Ternyata nggak. Ya udah. Asli. Bukan cabe.” 

“Memangnya cewek yang rambutnya dicat itu cabe?” Lusi merasa tersinggung karena dia juga cewek.

Zena menggeleng. “Enggak semua, tapi cewek yang rambutnya dicat padahal sudah jelas-jelas di sekolah nggak dibolehin, itu namanya cabe.”

“Dapat pernyataan dari mana?” Lusi masih tak terima. Rautnya berubah saat mengingat sesuatu. “Hal penting apa yang mau lo bicarakan? Gue harus pulang cepet. Nenek gue nyariin.”

Zena mengangguk-angguk kemudian berdiri. Meski masih kesal, Lusi tetap menunggu karena bagaimana pun dia berontak atau ingin lari, semua itu juga akan berakhir sia-sia. 

Lusi menggerak-gerakkan kakinya. Sudah setengah jam ini dia berada di rumah Zena. Sambil menunggu cowok itu datang, dia menatap sekeliling rumah itu. Dia memberanikan diri untuk berdiri ketika melihat sebuah lemari tempat penyimpanan berbagai foto yang berbingkai. 

Ada lelaki dewasa yang menggendong anak laki-laki berumur 3 tahunan dan seorang bayi di gendongan seorang wanita. Awalnya Lusi pikir anak laki-laki itu adalah Zena, tetapi setelah melihat foto-foto lainnya Lusi menebak bahwa bayi itu adalah Zena.

Lusi berpindah pada foto lain dan terpaku pada satu foto cowok yang mengenakan pakaian wisuda SMA. Di sisi kanan dan kiri cowok itu ada sepasang suami istri di foto tadi. Di kiri dan kanan foto wisuda SMA itu, terdapat penghargaan dari SMA Phoenix yang diberikan kepada Dewangga Bayurama. 

“Kakaknya Zena?” gumam Lusi. “Dewangga juga. Pantesan kata Gayatri Zena nggak pengin dipanggil Dewangga.” Dia mulai bermonolog. “Soalnya namanya dan kakaknya sama-sama Dewangga. Kalau Zena dipanggil Zena, berarti kakaknya dipanggil Rama, dong? Oh, begitu....” 

Dia langsung tertawa melihat foto lain di mana Zena masih kecil. Di foto tersebut Zena—yang hanya mengenakan celana dalam—mengarahkan sebuah pistol air ke kakak laki-lakinya yang terlihat tak berekspresi. Zena terlihat habis menangis. 

Dia terus memperhatikan semua foto itu sampai tak sadar dia terlalu asyik. Kini dia ingin memperhatikan dengan jelas wajah orangtua Zena dari muda sampai sekarang. Ada sebuah foto  saat bundanya Zena meresmikan restoran. 

Lusi memperhatikan bundanya Zena. Dia hanya terus memperhatikan. Akan tetapi, dia bingung kenapa dia diam. Yang dilakukannya hanya terus memperhatikan foto bundanya Zena tanpa memikirkan apa pun di kepalanya. Pandangannya semakin tak fokus dan hanya ada kekosongan. 

Lusi menggeleng. Dia beralih memandangi foto kedua orangtua Zena. Ada kebahagiaan yang terpancar lewat senyuman mereka, membuat Lusi tanpa sadar ikut mengembangkan senyumnya. 

Dalam hidupnya, Lusi tak pernah sekalipun melihat kedua orangtuanya seperti itu.  Bahkan foto sekalipun. Yang ada hanya kejadian kelam masa lalu yang tak pernah dia harap terjadi.

“Ngelihatin foto gue, ya?”

Lusi berbalik. Dia langsung memasang wajah kecut pada cowok itu. “Kepedean.” 

Di tangan Zena terdapat kardus berisi buku. Dia menaruhnya di atas meja kemudian memandang Lusi lagi. “Ini dia,” katanya, membuat Lusi terlihat bingung. 

“Apa itu?”

“Buku-buku. Materi belajar untuk kelas XI.”

“Kelas XI?” tanya Lusi penasaran. 

Zena mengangguk. “Iya, ini berhubungan dengan tujuan gue. Hal penting itu.”

“Apa?” 

Zena mengambil sebuah buku dari kardus kemudian berjalan ke arah Lusi. Dia menaruh buku itu ke kepala Lusi, lalu memukulkannya ke kepala Lusi pelan-pelan. 

“Gue mau lo jadi guru les privat gue,” kata Zena. Mutlak.

“Gue nggak mau!” Lusi tak sadar berteriak. “Lagian permintaan lo aneh. Gue bahkan masih kelas X.  Lo udah kelas XI. Dan gue yang jadi guru les privat lo?”

“Lo kan pinter.” Seolah tak habis cara untuk membuat Lusi mengiakan. 

 “Emang wajar siswi kelas X ngajar siswa kelas XI? Gue belum pelajarin materi lo di sekolah.” 

 “Gampang kan bagi lo? Gue udah nyiapin semuanya. Lo tinggal pelajari, terus ajarin gue.”

Lusi menghela napas frustrasi. “Kenapa gue yang harus jadi guru les lo?”

“Biar gue bisa ada semangat buat belajar,” jawab Zena, tersenyum.

Kata-katanya mengandung ambigu. Semangat dari mana maksudnya? batin Lusi.

“Dan gue bisa cepat-cepat balik ke Phoenix kalau berhasil dapat nilai bagus,” katanya lagi. “Lo juga pengin ke Phoenix, kan? Nah, itu.”

Lusi tak tahu harus mengatakan apa jika urusannya adalah Phoenix.

Zena menatap ke dalam mata Lusi. “Biar kita bisa barengan pindah ke Phoenix.” 

Dan Lusi makin tak bisa berkata-kata.

“Gimana? Lo mau, kan?” 

Lusi menunduk saat Zena meminta jawaban. Batinnya tak tenang. Ada perdebatan di sana yang membuatnya tiba-tiba bimbang. 

SMA Phoenix. Pindah sekolah. Bersama Zena. 

Semua kata-kata itu mengganggu setelah Zena mengungkapkan keinginannya. Lusi langsung menggeleng.

Gue harus punya alasan yang nggak bisa dia sanggupi.

Akhirnya, setelah lama diam, Lusi segera buka suara. “Ada syaratnya.” 

Zena tersenyum semringah. “Apa?” 

“Di rumah gue harus ada fasilitas Wi-Fi.” 

“Cuma itu?” 

Cuma itu? Lusi tak percaya begitu alasan Zena. Lusi mencoba syarat lainnya.  

“Belajar harus di rumah gue.” 

Zena langsung terkekeh. “Berdua?” candanya. 

“Nenek gue nonton kita belajar,” balas Lusi jengkel. Dia mengangkat telunjuknya. “Satu lagi.” 

“Apa?” 

“Setiap belajar lo harus bawa cemilan, susu, buah-buahan. Setiap selesai belajar, lo harus gendong Nenek gue ke kamarnya. Dan—” 

“Bentar.” Zena mengangkat tangannya, menyela pembicaraan Lusi yang langsung mengerutkan kening.  “Bisa nggak Nenek lo ganti jadi lo aja?” 

“Gue serius. Nenek gue tuh sakit jangan bawa bercanda, ah,” balas Lusi makin kesal.

“Oke.” Zena mengangguk-angguk. “Btw, tadi lo bilang satu lagi. Itu mah udah banyak kali.”  

Lusi memutar bola matanya. 

“Satu juga dari gue, kalau gue lagi pengin belajar di rumah gue, berarti harus gue. Sebagai tambahannya, nanti gue kirim perawat buat rawat Nenek lo. 24 jam.” 

Perawat....

Lusi yang sudah siap untuk menolak, tiba-tiba mendapat tawaran yang menggiurkan. Lusi menatap Zena kesal. Bagaimana ini? Sejak dulu perawat adalah sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan dengan cuma-cuma. Butuh biaya besar dan itu tidak akan dia sanggupi sebelum dia mendapatkan pekerjaan tetap.

“Kenapa? Tertarik sama penawaran gue?” Zena menertawainya.

Meski kesal dipandang seperti itu, Lusi mencoba tak peduli. Dia membuang pikiran untuk menolak kerjasama ini. 

Lusi memilin ujung dasinya. Dia menunduk dan menggigit bibirnya. Malu untuk mengatakan sesuatu. “Ehm, susternya bisa nggak bantu Nenek gue supaya bisa jalan kembali.... Walaupun agak mustahil, sih.” 

“Dengan satu syarat.” 

Lusi mendongak. “Apa...?” 

“Setiap gue punya pertemuan dengan temen-temen gue, lo harus ikut. Sebagai pacar gue.” 

Lusi melotot. Ini hal yang paling Lusi benci. Permintaan Zena selalu di luar batas kemampuannya. Baru saja akan menolak, Zena langsung berbicara lagi. 

“Nggak, nggak, nggak. Gue nggak lagi nembak lo. Gue cuma pengin ada yang nemenin aja.” 

Lusi menyipitkan matanya menatap Zena. “Bukannya lo gampang banget nemu pacar?” 

“Gue lagi males. Kecuali kalau lo mau bener-bener jadi cewek gue nggak apa, sih.” Lusi langsung membuang muka melihat senyuman cowok itu. “Gimana?” tanya Zena kemudian. 

Lusi kesal. Harusnya kesepakatan ini tidak ada. Di sisi lain ini kesempatan untuk neneknya.  “Oke, selama lo nggak ingkarin janji lo! Terutama perawat buat Nenek gue.” 

Zena mengangkat tangannya. “Deal?” 

Lusi tak menggubris tangan Zena. Dia berjalan menuju dekat sofa dan duduk di lantai setelah tak sengaja menyenggol bahu Zena. Zena hanya mendengkus memandangi tangannya yang masih terangkat.

“Hitam di atas putih dulu,” kata Lusi lalu mengeluarkan kertas dari dalam tas dan sebuah pulpen. Dia mulai menuliskan perjanjian apa saja yang harus Zena sepakati juga dirinya sendiri. Zena ikut duduk di lantai yang dingin dan memandangi apa yang dilakukan Lusi sekarang.

“Pihak pertama lo. Dan gue adalah pihak keduanya,” kata Lusi sembari terus menuliskan perjanjian. Setelah dia menulis perjanjian yang dia buat, dia mendorong kertas dan pulpen itu agar Zena menuliskan hasil pemikirannya tadi.

Disaat Zena menulis perjanjiannya, Lusi mendapatkan pesan dari Gayatri. Dia tidak bisa melihat apa yang cowok itu tulis.

 

Gayatri Maheswari

UDAH LIHAT FOTO2 YANG GUE KIRIMIN BELUM?

Issssh lo yang digituin gue yang kesel tahu nggak?

YANG CABE TUH MEREKA

MENTANG-MENTANG SEKOLAH DI PHOENIX

SOK BANGET

 

Lusi mengernyit. Dia menggulir layar ponselnya ke atas dan membaca tangkapan layar laman twitter yang membahas tentang dirinya dan Zena. Hampir semua dari mereka sepertinya perempuan. Foto profil mereka semuanya cewek. Itu sudah pasti mengingat Zena pernah bersekolah di SMA Phoenix. 

Bagaimana jika suatu saat dia benar-benar pindah ke sana? Murid SMA Phoenix akan gampang mengenalinya. Lusi terlalu mencolok di keramaian. 

Atau apakah dia akan di-bully?

Ah. Lusi lupa dengan permohonan dari L bahwa dia jangan pindah dari Adi Bakti. 

Lusi menghela napas panjang. Berpikir, apakah dia akan tetap pindah atau mengabulkan permohonan dari L.

Lusi menunduk. Dipandanginya sebuah kalung yang terdapat liontin huruf L di lehernya. 

L. Entah inisial nama gue atau L itu adalah elo, batinnya.

***


 

25 – surat kontrak

Zena memberikannya kertas yang sekarang dia namai sebagai surat perjanjian. Diperhatikannya kertas itu dan Lusi langsung terfokus pada tanda tangan Zena di pihak pertama. 

“Tanda tangan?” tanya Lusi.

“Jika diperlukan.” Zena mengangkat bahu. “Lo suka yang resmi-resmi, kan?”

Lusi melirik Zena. Akhirnya, Lusi ikut melakukan apa yang cowok itu lakukan. “Gue yang simpan,” kata Lusi sambil melipat kertas itu. “Gue harus pulang sekarang.”

Zena mengangguk. Saat mereka baru saja berdiri, terdengar suara orang lain dari luar. 

“Bunda pulang. Assalamu’alaikum.” Itu suara seorang perempuan. Lusi jadi gugup karena berpikir bahwa dia adalah bundanya Zena.

“Nyokap gue kayak anak kecil aja,” kata Zena tiba-tiba. Dia mendengkus. “Bunda pulang.” Dia mengikuti intonasi bicara bundanya.

“Aduh.” Lusi tanpa sadar mengaduh pelan. Tiba-tiba merasa kikuk dengan kehadiran orangtua Zena. 

“Nggak usah takut. Nyokap gue nggak gigit, kok.” Zena berdiri menarik tangan Lusi dan menggenggamnya. Dia membawanya keluar dari sana dan berhenti tepat di depan Bunda yang baru akan naik ke kamar.

Lusi melotot pada Zena karena cowok itu bukannya segera melepaskan genggamannya, malah justru mempererat. Lusi berusaha menarik, tapi terus gagal. 

“Ada tamu?” tanya Bunda pada Zena.

Pandangan Bunda dan Lusi bertemu. Bunda terdiam menatap Lusi dengan begitu serius, membuat Lusi refleks menunduk karena salah tingkah.

Lusi memukul-mukul tangan Zena di tangannya, tapi percuma. Genggaman itu tak akan terlepas. Lusi mati kutu saat Bunda melirik ke bawah, di mana tangan Zena dan Lusi yang menyatu.

“Tante, ini ... nggak kayak yang Tante pikirkan. Aku sama Zena enggak—” 

“Nggak apa-apa, kok. Zena memang bandel suka megang-megang anak orang sembarangan,” kata Bunda sambil melotot ke arah Zena. “Zena! Lepasin tangan temen kamu.”

Zena tak menggubris. Dia mengangkat tangan Lusi. “Bun, dia namanya Lusi. Guru les privat baru Zena.”

Bunda menaikkan alisnya. “Guru les privat?” 

Zena mengangguk mantap. “Yap.”

Bunda beralih ke Lusi yang makin salah tingkah. “Beneran? Temannya Zena di Adi Bakti, ya? Berarti kamu pintar, dong.” Bunda mendekati Lusi dan tersenyum tulus kepadanya. Lusi makin dibuat hanya bisa tersenyum salah tingkah.

Bunda menepuk kepalanya dengan lembut. “Senang bisa ketemu sama kamu, Lusiana.”

Kemudian Bunda memeluknya erat. Lusi hanya bisa terpaku. 

Setelah pelukan yang tak bisa dibilang singkat itu berakhir, Lusi memutuskan untuk segera pulang. Awalnya Bunda mengajaknya makan, tetapi dengan bantuan Zena akhirnya Lusi tak bisa susah payah untuk menolak. Lusi bersyukur Zena mengerti dirinya yang ingin cepat pulang karena Nenek.

Dia dan Zena keluar dari rumah itu. Zena mengambil motornya di garasi. Sementara Lusi masih berdiri di depan rumah Zena, memandang ke dalam sana.

Ada satu hal yang dia sadari.

Zena tak pernah menyebut nama Lusiana, hanya Lusi. Tetapi, Bunda menyebut nama Lusiana. Tidak ada nametag Lusi di baju. Tak ada stau pun murid SMA Adi Bakti yang menggunakan nametag. 

Dari mana Bunda tahu nama Lusiana?

Apa mungkin ... Zena sudah mengenalkan dirinya kepada Bunda jauh sebelum pertemuan antara dirinya dengan Bunda terjadi?

***

Di atas motor itu, Lusi diam. Bukan hanya Lusi, Zena juga diam di sepanjang perjalanan. Lusi merasa suasana seperti ini justru aneh dan agak canggung meski Lusi juga tidak membenarkan ada percakapan di atas motor saat berkendara. Mengganggu konsentrasi pengendara.

Kenapa dia harus jadi guru les privat Zena? Lusi tak habis pikir. Dengan otaknya yang menurutnya tidak begitu pintar, dia harus belajar sendiri untuk mengerti materi kelas XI. Mati-matian!

Lusi mengingat kembali percakapan antara dirinya dan Gabrian di taman sekolah tadi pagi. Setelah Lusi mengiakan untuk mengobrol akhirnya mereka duduk di bangku. Bel masuk tak begitu Lusi hiraukan lagi karena Gabrian sepertinya sama saja dengan Zena, tak peduli bila sudah waktunya belajar atau tidak.

Keduanya sama-sama diam. Sampai akhirnya Gabrian memulai pembicaraan.

“Lo kesel, ya, dengan Zena yang suka gangguin lo di sekolah?” Gabrian menoleh ke Lusi yang langsung mengerjap mendapatkan pertanyaan itu. “Udah pasti kesel.” Gabrian terkekeh pelan.

Lusi menggaruk pelipisnya. “Ya, kesel, sih, Kak. Kesel banget.”

Apa gue perlu tanya Zena di mana? batin Lusi. Sangat ingin bertanya tapi egonya mengatakan jangan.

“Dia kayaknya beneran suka sama lo.”

Kalimat dari Gabrian langsung membuat Lusi terbahak tanpa henti. “Enggak, enggak.” Lusi menggeleng dengan tawa yang belum berhenti. Meski ada degupan kencang di dadanya dan gerak refleks salah tingkah. “Kak Gabrian lucu, deh. Ya kali Zena suka sama gue? Dia aja punya pacar banyak. Mana pernah serius suka sama cewek?”

Gabrian mengangguk-angguk seolah membenarkan. “Iya, sih. Tapi gimana, ya.” Dia mengangkat bahunya. “Dia nggak kayak biasanya. Tingkahnya ke lo dan tingkahnya ke cewek lain itu beda. Awas aja kalau suatu saat dia nyakitin lo. Gue yang pertama mukul dia.” 

Lusi menatap Gabrian dengan bingung. 

Gabrian langsung menjelaskan takut ada kesalahpahaman. “Lo temennya Gayatri. Gayatri sering bahas tentang lo dan Zena ke gue. Makanya, gue harus mastiin Gayatri dan sahabat-sahabatnya jangan sampai disakiti.”

“Kenapa Kak Gabrian harus mastiin?” tanya Lusi.

“Karena gue sayang Gayatri. Apalagi lo temen Gayatri dan Zena itu temen gue. Meskipun gue bilang Zena kayaknya suka sama lo, tapi Gayatri juga khawatir kalau lo salah satu cewek yang akan dia permainkan. Gue juga mikir gitu. Semoga aja enggak, sih.”

Lusi tak menyangka bisa melihat Gabrian bicara panjang lebar seperti ini. 

“Sesayang apa sama Gayatri, Kak?” tanya Lusi iseng. “Sayang aja apa sayang banget?”

“Sayang banget. Kalau gue udah stuck di satu cewek, gue nggak bisa berpaling. Kecuali cewek itu yang ninggalin gue lebih dulu.”

“Wah, keren!” Refleks, dia bertepuk pelan. “Jarang ada cowok yang punya prinsip kayak gini.” Lusi sangat senang mendengar itu. Gayatri pasti bahagia mendengar ini. Namun, Lusi tak ingin mengatakan hal itu ke Gayatri, mungkin suatu saat nanti. “Awas aja kalau Kak Gabrian nyakitin Gayatri, gue juga bakalan ikut marah.” 

Gabrian mengangguk. 

Lusi mengetuk-ngetuk jarinya di bangku taman. “Jadi, inti dari pembicaraan kita itu tentang Zena, Kak?”

“Iya, Zena. Tepatnya Zena dan lo. Dia pernah bilang kalau mantan-mantannya nggak pernah ada yang dia suka. Dia pacaran cuma buat main-main. Gue nggak tahu apa dia suka cewek lain di luar sana atau mungkin dia udah suka sama lo tanpa sadar.”

Lusi menggigit bibirnya. Jangan sampai tangannya refleks memegang debaran di dadanya. 

“Karena dari sepenglihatan gue, lo juga mulai ada rasa sama dia.”

Lusi menatap Gabrian cepat dan menggeleng. Kedua tangannya bergerak-gerak ke kiri dan kanan. “Nggak! Ya ampun enggak, Kak! Sumpah, enggak!”

Gabrian melirik Lusi. “Kenapa lo malah panik? Biasanya kalau panik itu berarti beneran.”

Lusi menurunkan tangannya, kikuk. Dia menghadap ke depan sambil menggoyangkan kakinya. 

Aaaa nggak mau nggak mau dikatain suka sama dia, teriak Lusi dalam hati.

“Oke. Lo bisa balik ke kelas. Sori ya udah buang-buang waktu lo?”

“Nggak apa-apa, kok, Kak. Santai aja.” Lusi menjawab dengan suara sedikit bergetar karena masih terbayang dengan ucapan Gabrian. “Jadi, cuma ini yang Kak Gabrian mau bahas?”

“Iya. Meskipun selama ini gue diem aja kalau Zena gonta-ganti cewek, tapi gue juga nggak bisa biarin dia sebagai temannya. Semoga aja ada waktunya dia serius di satu cewek.”

Lusi berdiri. Sembari berjalan pelan, dia melambaikan tangannya ke Gabrian. “Gue ke kelas dulu kalau gitu, Kak. Udah nggak ada, kan?” 

Setelah Gabrian mengangguk, Lusi pergi dari sana dengan langkah lebar dan cepat.

Karena sibuk berkhayal, Lusi tak sadar dia sudah berhenti di depan rumahnya.

“Masih mau jalan? Makanya nggak turun-turun?” tanya Zena. 

Lusi segera turun dari motor. “Ini udah turun, kok.”

Lusi berdiri di samping motor Zena. Zena tidak turun dari sana. Cowok itu hanya membuka kaca helmnya untuk bisa melihat Lusi dengan leluasa. 

“Sori, ya. Bunda tadi maksa-maksa lo buat tinggal makan dulu. Nyokap gue emang gitu. Suka banget sama anak perempuan orang karena udah dua kali coba, tapi dapatnya laki-laki mulu. Gue sampai pernah didandanin cewek waktu kecil. Huh.”

Lusi tertawa membayangkannya. “Curhat, Mas-nya?”

Zena hanya tersenyum.  

“Ya udah. Gue masuk dulu, ya?” Lusi melangkah ke pagar. Setelah melewatinya, dia hanya diam di sana karena menunggu Zena membelokkan motor. 

“Oh, ya. Nanti surat perjanjiannya jangan lupa dibaca ulang,” kata Zena lalu menutup kaca helmnya dan segera menarik gas motor hingga motor itu melaju. 

“Jangan lupa dibaca ulang?” gumam Lusi sambi menatap kepergian Zena yang perlahan menghilang dari penglihatan.

Lusi masih tak paham. Dia mengulang kalimat itu dalam hati kemudian merasa curiga. Saat itu juga dia mengambil kertasnya di dalam tas, membuka lipatannya, dan mulai membaca satu demi satu pasal yang tertera.

Tiba di tulisan tangan Zena, Lusi terkejut pada satu poin yang tak pernah Zena bicarakan bersamanya.

Setiap kali naik motor, pihak kedua harus memeluk pihak pertama dari belakang. Hal ini bertujuan demi keselamatan pihak kedua. 

Perjanjian pasal ini berlaku jika pihak pertama meminta. Jika pihak kedua menolak, maka pihak pertama berhak memaksa. 

“Apa-apaan?” Lusi mengerjap. “KOK DIA MAKIN NYEBELIN, SIH!”

***

 

 

 


 

26 – menjaga lusi

Di atas kursi itu, Lusi bersila. Tangannya bertopang pada dagu sambil memandangi kumpulan surat yang berserakan di atas mejanya. Sudah beberapa jam dia duduk di sana hanya untuk membaca ulang surat-surat itu, dari surat pertama hingga surat dari L yang terakhir dia terima. 

Namun, tak ada satu pun petunjuk yang bisa membawa Lusi kepada L.

Lusi memejamkan matanya. Ponselnya berdering dan segera dia angkat dengan tak bersemangat. 

“Hai! Ngapain lo?”

“Lagi duduk aja.” Lusi menarik satu kertas di ujung meja. Dia tersenyum kecut. Surat perjanjian antara dirinya dan Zena sore tadi. “Kenapa lo nelepon?”

“Gue minta tolong jangan lupa bawa LKS Bahasa Inggris besok, ya! Kalau nggak, gue yang kena batunya nanti sama Pak Rizal.”

“Siap-siap.”

“Lo kenapa kayak nggak bersemangat gitu?” 

Lusi mengerjap. Dia tidak mungkin membahas L. Dia pikir, jika harus menceritakan perihal ini ke Hera, maka dia harus cerita panjang lebar lagi. Selama ini, Hera dan Gayatri tak pernah bertanya macam-macam mengenai keluarga Lusi. Seolah-olah mereka paham bahwa Lusi hanya punya seorang Nenek dan yang mereka tahu, kedua orangtua Lusi sudah meninggal.

Lusi masih memandang dengan tak bersemangat kertas perjanjian itu.  

“Dia....” Ada jeda lama saat Lusi ingin mengatakan perasaannya tentang Zena. “Nyebelin! Kalau lo tanya siapa cowok ternyebelin yang pernah muncul di hidup gue, jawabannya Zena!”

Hera hanya terkekeh di seberang sana, membuat Lusi bersungut sebal. “Kenapa ketawa? Mau kayak Gayatri juga?” Dia berpindah ke kasur, menghempaskan tubuhnya dengan telungkup di sana. 

“Habis lucu aja. Kalau Zena nyebelin ya nggak usah diladenin juga.”

“Tapi dia suka maksa.” Lusi memutar tubuhnya, menatap langit kamar. 

“Emang dia ngapain lo lagi, sih?” tanya Hera. “Gue bersiap mendengarkan cerita dari lo—”

“Yang nggak berujung itu,” potong Lusi cepat. “Jangan heran kalau suatu saat lo ngelihat gue kadang bareng-bareng Zena.”

Lho?”

“Gue jadi guru les privat dia sementara gue aja belum belajar materi kelas XI. Gila, kan?” Lusi memukul kasurnya. “Gue sebel banget! Di sisi lain dia nawarin sesuatu yang gue nggak sanggup lakuin.”

“Apaan?”

“Perawat untuk Nenek gue. 24 jam ngerawat non stop. Gimana gue nggak tertarik?”

“Ya udah. Lo juga kan yang mau? Ngapain sebel?”

Lusi memutar bola matanya. Mereka berbicara hingga tak terasa hampir tengah malam. Sampai keduanya memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Lusi kembali ke kursi memandang surat-surat yang berserakan. Dia memasukan ke dalam kotak. Saat baru akan memasukkan kotak surat ke dalam lemari, terlihat ada surat yang terselip di dekat buku-buku yang bertumpuk.

Lusi kembali duduk di kursi dan memandang bolak-balik surat itu. Di sudut atas terdapat tanggal pengiriman. Surat itu satu-satunya yang belum dia baca ulang. 

Haii. 

Aku baru saja mengirimkan kamu surat sehari sebelumnya, kan? 

Ah, ini karena aku sudah terlalu rindu. 

Aku berpikir untuk mengirimkan surat ke kamu setiap hari Kamis. Supaya kamu juga bisa tahu kapan aku akan mengirimkanmu surat.

Aku suka hari Kamis karena hari itu adalah hari spesial bagiku.

- L 

Lusi menggigit bibir. “Hari yang spesial?” 

Setelah membaca surat itu berulang-ulang, Lusi memutuskan untuk langsung memasukkannya ke dalam kotak.

Lusi terkejut karena suara petir. Tak lama setelah menggelegar, hujan turun dengan deras. Lusi berjalan ke jendela dan menutupnya. Titik-titik air hujan sudah membasahi sedikit lantai.

Sekali lagi, petir terdengar. Dia berlari ke kamar Nenek dan ikut berbaring di samping Nenek yang terbangun karena gerakannya. 

Lusi memeluk neneknya. Lama dalam posisi itu, Lusi tak pernah memejamkan mata. Dia hanya sesekali memejamkan matanya. Sampai derasnya hujan telah berganti gerimis, dia hanya diam dengan posisi yang sama. Memeluk Nenek.

“Kamu belum tidur?”

Pertanyaan dari Nenek membuat Lusi langsung menaikkan kepalanya ke bantal. Dia menggeleng pelan dan kembali memeluk erat lengan Nenek yang sudah dimakan usia.

“Kamu selalu takut dengan suara petir.” Usapan lembut di kepala Lusi membuatnya sedikit relaks. “Saat malam itu Nenek menemukan kamu dalam keadaan basah kuyup, sebelumnya memang ada hujan dan petir.” 

Lusi ingat. Dia berlari tak tentu arah sambil menangis. Berjam-jam dia di jalanan hingga hujan datang, petir menyambar bumi. Lusi kedinginan, takut, hatinya bergetar. Bibirnya pun bergetar dan pucat. Tak ada siapa-siapa. Dia sendirian. 

 “Nek....” Lusi memejamkan matanya. Nenek hanya berdeham dengan suaranya yang lemah. “Bagaimana kita bisa ketemu? Aku sudah agak lupa. Hanya samar-samar.”

“Kamu siap?”

Lusi mengangguk.

Nenek bercerita. Sepuluh tahun yang lalu, di sebuah malam dia pulang larut dari tempat kerja, sehabis mencari penghidupan untuk diri sendiri yang sudah bertahun-tahun menjadi sebatang kara karena sang suami telah berpulang. 

Hujan deras. Petir terus menggelegar. Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Namun, tidak baginya. Bermodalkan sebuah payung, dia menorobos derasnya hujan untuk segera pulang mengistirahatkan tubuh.

Hingga pertemuannya dengan seorang anak perempuan berumur 5 tahun terjadi. Anak perempuan itu berteduh di tempat yang tak sepenuhnya melindungi dirinya sendiri dari hujan. Seluruh tubuh anak itu gemetaran. Tangisnya teredam oleh suara hujan. Di kepala anak itu terdapat sebuah perban yang basah. 

Tak ada yang sadar bahwa ada anak perempuan yang sedang butuh pertolongan. Hanya dia satu-satunya yang melihat. Dia menggendongnya, membawanya pulang ke rumah. Disaat dia bersikeras untuk membawa anak itu ke rumah sakit, anak perempuan itu tidak mau. Anak itu memohon untuk tidak dibawa ke mana-mana. Meracau. Tangisnya pecah. Pedih. 

Anak perempuan itu tetap ingin tinggal. Hingga tak terasa waktu terus berjalan sampai sepuluh tahun kemudian. 

***

Seorang guru mata pelajaran sosiologi membelakangi murid-murid XI IPS B. Kelas lumayan berisik oleh percakapan beberapa murid. Saat guru tersebut sibuk menulis di papan tulis, Zena mulai berdiri. Tatapan penuh arti diberikannya kepada ketiga temannya yang langsung memahami. 

Tanpa mengambil tas masing-masing, keempat siswa itu berjalan keluar kelas tanpa izin. Mereka berlari menuju belakang sekolah. Zena langsung memanjat ke dinding dan masuk ke jendela kelas yang tak terpakai diikuti Gabrian, Daffa, dan Rudy.  

Disaat Gabrian memilih tidur, Daffa dan Rudy yang mengisap tembakau, Zena justru berdiri di atas meja dan melihat ke jendela yang berdekatan dengan koridor. 

“Ngapain lo di situ? Ketahuan guru ntar,” kata Rudy, memicing ke arah Zena yang tingkahnya makin di luar logika.

Zena melihat ke arlojinya. Tanpa menjawab pertanyaan Rudy dia tetap di sana, mengeluarkan kepalanya dengan iseng lalu dipandanginya koridor dari kiri dan kanan. 

“Mau ke mana lo?” tanya Rudy cepat saat melihat Zena bersiap-siap keluar dari jendela sisi lain. “Kan, makin goblok si Zena. Pasti mau ke kelas Lusi. Padahal tadi tinggal nyeberang aja jalan kaki, malah lewatnya dari jendela ke jendela.” 

Zena masih mendengar ucapan Rudy. Tepat saat kedua kakinya menginjak koridor, hanya ada suara samar-samar dari temannya itu. 

Setengah perjalanan lagi dia tiba di kelas Lusi, tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring. Seorang guru yang tadi mengajar baru saja keluar dari kelas X-A. 

Zena melangkah cepat dan berhenti saat tiba di ambang pintu. Dilihatnya siswa-siswi yang sibuk membereskan meja dan ada juga yang langsung keluar. Perhatiannya kemudian dia fokuskan kepada siapa yang dia cari dan jemput di sini.

Cewek itu terlalu sibuk sampai tak sadar bahwa ada yang tengah menjadi pusat perhatian di kelas. Sementara yang menjadi pusat perhatian hanya fokus kepada satu-satu orang yang belum menyadari kehadirannya. 

***

Lusi bersungut. Nilai hasil tugas Bahasa Inggrisnya yang dibawakan Pak Rizal membuatnya kesal. Dia memasukkan alat tulisnya ke dalam tas dengan asal-asalan. Panggilan-panggilan dari Gayatri tidak dia gubris sama sekali. Orang-orang di kelas makin  berisik membuatnya semakin pusing.

Lusi berbalik menghentakkan sebuah LKS di atas meja. Baru saja akan mengomel, pandangannya tak sengaja mengarah ke pintu dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sana. 

Zena melemparkan senyumnya yang langsung membuat Lusi membuang muka. 

Dia gelagapan. Beberapa murid yang masih di kelas kini memandanginya dengan sorot bertanya-tanya. Zena tiba-tiba mendatanginya dan menariknya keluar dari kelas itu, membuat mulut Lusi membulat. Tak habis pikir dengan kelakuan Zena yang semena-mena. 

Tangannya tak langsung dilepaskan oleh Zena. Ada beberapa langkah sampai akhirnya cowok itu melepaskannya tanpa diminta.

“Ngapain ke kelas?” tanya Lusi, menyembunyikan tangannya. Takut, jika saja cowo itu kembali menariknya. 

Zena yang berjalan di sampingnya menjawab dengan enteng. “Jemput lo. Sebagai ganti dari tadi pagi. Gue tadi ke rumah lo, tapi lo katanya malah udah pergi duluan.”

Lusi menatap Zena dengan tatapan bingung. “Katanya? Kata siapa?” 

“Nenek lo.” 

“Hah?”

“Oh, iya. Tadi perawat yang bakalan ngerawat Nenek lo udah datang bareng gue. Namanya Kirana.”

“Lo nggak bilang apa-apa dulu? Hubungi gue dulu atau apa. Nenek gue nanti bingung.” 

“Terserah gue. Semuanya udah gue jelasin, kok.” 

“Semaunya.” Lusi menatap ke depannya. Jalannya kemudian melambat. Dia tidak tahu kenapa terus melangkah tanpa tahu tujuan. Sejak tadi dia hanya berjalan di samping Zena, mengikuti langkah cowok itu.

Sampai akhirnya, keduanya tiba di kantin dan menjadi perhatian para siswi. Lusi tak tahu harus mengatakan apa. Zena tak menjelaskan apa pun. Cowok itu melakukan sesuatu dengan tindakan secara langsung. Zena mendudukkannya di bangku, lalu meninggalkannya sebentar untuk mengambil makanan. Di bangku itu, Lusi tak sengaja melihat Clara. Clara menatapnya dengan sorot tajam. 

Lusi mengalihkan perhatian. Pura-pura tidak melihat senior itu. Zena pun kembali membawa sebungkus nasi kuning. 

“Lo belum makan, kan?”  

Pertanyaan dari Zena membuat Lusi hanya bisa mengernyit. Di sisi lain dia menjadi tidak nyaman dengan perhatian Zena yang tidak biasa.

“Tahu dari mana gue belum makan?” 

“Nenek lo. Lo katanya belum makan,” balas Zena. “Sekarang makan.”

Lusi mengerjap pelan. Dipandanginya Zena yang terlihat berbeda dari biasanya. Lusi membuka bungkusan nasinya dengan kikuk. “Oh. Oke.... Makasih.”

Karena kelaparan, Lusi terlalu bersemangat untuk makan. Tak terasa makanannya habis. Dia lupa mengajak Zena makan. Dia pun lupa bahwa Zena hanya memesan untuk Lusi, tidak untuk dirinya sendiri.

Diperhatikan sejak tadi oleh Zena membuat Lusi rasanya ingin keluar dari kantin sekarang juga. Akan tetapi, terlalu tidak sopan baginya karena Zena sudah membelikan untuknya makanan dan sebotol air mineral yang sekarang dia tenggak hingga tersisa setengah.

Setelah menutup kembali botol minumannya, Zena masih menatapnya. Cowok itu melipat kedua tangannya di atas meja dan pandangan yang hanya terfokus pada Lusi yang makin salah tingkah.

“Lo kenapa, sih?” tanya Lusi, segera membuang muka. Merasa tidak nyaman karena ada gemuruh di dadanya. 

“Gue kenapa?” Zena mengangkat kedua alisnya. “Gue nggak kenapa-napa.”

Mereka sama-sama diam. Lusi ingin segera keluar dari atmosfer canggung ini. Dia menatap Zena. Menunggu cowok itu yang sepertinya ingin berbicara.

“Gue udah janji ke diri gue sendiri, kok,” kata Zena. Lusi diam memandangnya. “Kalau gue nggak bakalan ganggu lo lagi, tapi soal deketin lo nggak bakalan pernah berhenti gue lakuin.”

Baru akan membalas, tiba-tiba dilihatnya Zena berdiri. Lusi kembali menutup rapat kedua bibirnya. 

“Ayo. Kita ke taman,” ajak Zena sembari menarik tangannya. Lagi.  

***

 

 


 

27 – kak zena

Sudah berjam-jam Lusi dan kedua sahabatnya mengelilingi mal. Dari toko sepatu, bioskop, food court, hingga sekarang mereka berada di toko pakaian. Semua atas pilihan Gayatri karena Hera dan Lusi hanya mengikut dan menemani. 

Gayatri yang mengajak ke sana meski awalnya Lusi menolak mati-matian. Lusi tak perlu khawatir lagi meninggalkan Nenek sendirian jika malam hari`. 

 “Yang ini gimana? Bagus nggak?” Gayatri memegang baju dan memosisikannya ke tubuhnya. Lusi hanya menggeleng. Sementara Hera mengangguk. Gayatri mendesah panjang. “Beda-beda? Alasan kalian apa?”

Lusi menunjuk motif pada baju yang dipegang Gayatri. “Gue nggak suka lihat baju yang ada bunga-bunganya.”

“Lo?” Gayatri berpindah ke Hera.

“Karena ada bunga-bunganya. Lo kan suka yang kayak gitu. Ya udah. Itu aja. Meskipun gue juga nggak terlalu suka yang terlalu rame, sih, tapi lo suka,” balas Hera kemudian Gayatri melangkah ke ruang ganti setelah setuju dengan pendapat sahabatnya yang satu itu.  

Lusi mulai bosan berdiri di sana. Dia menatap semua yang ada hanya sekilas. Kejadian pagi tadi di taman bersama Zena teringat kembali. Tidak ada hal yang terlalu berkesan, sebenarnya. Mereka hanya duduk di bangku taman setelah mengambil satu buku paket dari perpustakaan. Zena bilang hanya ingin melihat Lusi belajar materi IPS kelas XI. 

Sepanjang waktu di taman itu, keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Lusi tak bisa fokus. Fokusnya terbagi-bagi. Kehadiran Zena di sampingnya membuatnya salah tingkah. Cowok itu menjadikan dirinya seperti pemandangan yang tak bisa dilewatkan. Lusi harus melawan degupan jantungnya yang tak biasa. 

Lusi jadi bertanya-tanya, apa Zena mendekatinya karena cowok itu benar-benar punya perasaan yang sama? Atau ada niat lain yang Lusi tak tahu apa? 

Dia cukup tahu bahwa Zena tak pernah serius dengan seorang cewek, seperti perkataan Gabrian hari itu.

Lusi langsung menggeleng. Dia mengembuskan napas panjang dan segera berbalik saat mendengar suara Gayatri yang berbincang dengan Hera. Di tangan Gayatri terdapat tas belanjaan karena baru saja dari kasir.

“Udah pada mau pulang?” tanya Lusi.

Gayatri mengangguk. “Lo nggak mau lihat-lihat dulu?”

Saat Lusi menggeleng, dia tak sengaja melihat sekelompok siswi berseragam SMA yang berada di toko yang sama. Seragam yang sangat Lusi kenali. Seragam SMA Phoenix. 

Gayatri menariknya keluar dari sana. Hera menyusul di belakang. Saat mereka baru saja melewati sekolompok siswi Phoenix itu, Lusi bisa mendengar kata-kata yang menusuk ke hatinya.

“Lihat, deh. Rambutnya mirip cewek keganjengan yang bareng Zena di foto itu. Apa jangan-jangan dia? Norak banget penampilannya....”

Saat Gayatri ingin berbalik untuk mengatai salah satu siswi Phoenix itu, Lusi segera menahannya. “Jangan cari gara-gara. Nanti kita diusir satpam.” Lusi tahu akan berakhir seperti apa jika Gayatri yang mengamuk. Acara tarik-menarik rambut pasti akan berlangsung lama.

Gayatri masih kesal. “Pakai seragam Phoenix ke mal. Mau pamer seragam kali, ya, mereka? Sumpah, kesel banget!”

“Udah.” Lusi mendorong punggung Gayatri keluar dari toko. Sebelum dia benar-benar menghilang dari sana, Lusi penasaran untuk melihat siswi-siswi itu. Tatapannya langsung bertemu dengan seorang siswi berambut lurus dan hitam legam, yang juga sedang memandanginya.

Akan tetapi, Lusi tidak melihat tatapan mencemooh dari siswi Phoenix yang dipandanginya itu. Tidak ada tatapan mengejek sama sekali. Yang ada hanya tatapan penasaran juga bingung. Sepertinya bukan dia yang tadi mengatainya, tetapi salah satu dari keempat temannya. 

Wajah siswi Phoenix itu masih membekas saat Lusi meninggalkan mal. Wajahnya terlalu cantik untuk sulit diingat. Rambutnya lurus dan hitam. Tubuhnya tinggi bak model. Seperti ada perpaduan antara Indonesia dan Eropa jika Lusi mengingat-ingat wajahnya kembali. 

***

Zena keluar dari rumah Valdo setelah menghabiskan waktu berjam-jam di rumah sahabatnya itu hanya untuk bermain dart game. Parvis dan Farzan masih di sana, tak ada habisnya bermain play station. Sementara Shaq sudah pulang lebih dulu. 

Dia belum menjalankan motor. Cowok itu hanya duduk di atas motornya, berpikir keras untuk ke mana setelah ini.  Setelah didera dilema yang lumayan lama, cowok itu langsung memakai helm, mulai meninggalkan halaman rumah Valdo. 

Zena menatap sebuah jeep cokelat yang terparkir jauh dari rumah Valdo. Pun jauh dari Adi Bakti. Plat mobil yang terkena cahaya lampu dari motor Zena itu sangat Zena hafal. 

Dua orang yang sama, batin Zena saat motornya makin dekat dan melihat pria-pria itu dengan begitu jelas meski helmnya yang tertutup kaca.

Zena merasa ada yang tidak beres di kehidupan Lusi. Lusi tak mungkin menceritakan masalah pribadi kepada orang asing seperti dirinya meskipun dia meminta berulang-ulang.

Lagipula, dia bukan siapa-siapa Lusi untuk sekadar ikut campur dalam masalah cewek itu. 

***

Matanya terlalu berat untuk membaca satu saja pesan yang baru masuk. Dia terlalu lelah sehabis keliling mal. Seluruh tubuhnya terasa pegal, terutama bagian punggungnya yang tak kunjung sembuh.  

Dia mengubah posisi menjadi telentang. Tangannya meraba-raba kasur sampai menemukan ponsel. Dia membawa ponselnya ke hadapan wajah. Matanya terbuka perlahan dan terkadang memicing ketika cahaya dari layar ponsel menembus matanya. 

Satu pesan masuk. Dari Zena.

 

Dewangga

Gue udah di depan. Mbak kirana udah tidur, kan? Jangan sampai dia tahu gue ke sini. Gue datang bukan buat les. 

 

Lusi membaca ulang kalimat-kalimat itu sembari mengumpulkan kesadarannya. Dia melotot dan langsung bangun menuju kamar mandi. Lusi mencuci wajahnya asal-asalan kemudian berlari pelan keluar menuju ruang tamu.

Saat membuka pintu itu, Zena sudah berdiri tepat di hadapannya. “Lo kenapa tiba-tiba datang, sih?”

“Lo laper nggak?” Bukannya menjawab pertanyaan Lusi, Zena malah bertanya balik. Cowok itu mengangkat sebuah kantong kresek. “Kita makan.”

“Gue udah makan.”

“Makan lagi biar cepet gede.” Zena mengangkat alisnya. “Nggak ngajak gue masuk sekarang? Gue pegel dari tadi di atas motor nyari martabak.”

Lusi memberikan ruang kepada cowok itu. Zena masuk tanpa permisi dan dengan santainya duduk di kursi. 

“Siapa suruh nyari martabak?” Lusi membiarkan pintu rumahnya terbuka sedikit. “Dan satu lagi, ini udah malam banget!”

“Iya, tahu,” balas Zena. “Lo suka makan martabak, kan? Itu gue tahu dari Nenek. Katanya juga, malam ini setelah lo pulang dari jalan bareng Gayatri dan Hera, lo langsung tidur. Belum makan malam.”

Lusi menatap Zena dalam diam. Pandangannya berpindah ke martabak yang sudah terbuka. Tiba-tiba perutnya terasa keroncongan. Dia lalu beranjak ke dapur mengambil sepiring nasi dan sebotol air untuk dia bawa ke ruang tamu. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Lusi duduk di kursi dan mulai makan dengan lahap. Dia terlalu asyik dengan dunianya sampai tak memedulikan keberadaan Zena. 

Zena yang diam hanya bisa tersenyum melihat semua itu. 

“Lusi?”

Lusi mendongak. Dia meneguk air mineral. “Hem?”

“Coba panggil gue Kak Zena.”

Air dari mulut Lusi muncrat. Dia terbatuk-batuk. Bukannya menolong, Zena hanya terkekeh melihat kelakuan cewek itu.

“Hah? Lo bilang apa barusan?” Lusi menatap Zena. 

“Gue nggak pernah denger lo nyebut gue Kakak,” kata Zena sembari mendekat. Dia memosisikan duduknya berhadapan dengan Lusi. Wajahnya maju, menatap Lusi dengan begitu dekat. 

“Karena lo bukan Kakak gue,” balas Lusi setelah jeda lama. Dia menempeleng pipi Zena dengan sendok yang tak terpakai karena tak suka dipandangi seperti itu. “Jangan natap segitunya, ih. Gue mules.”

Zena hanya bisa mengembangkan senyumnya, membuat Lusi memalingkan pandangan salah tingkah. Cewek itu mengambil sepotong martabak lagi dan memakannya sedikit demi sedikit.

“Natap kayak gimana?” goda Zena. Senyumnya tak henti-hentinya  hilang. Dia terlalu senang membuat cewek di depannya itu bersemu.

“Ya gitu....” 

“Gitu gimana? Coba contohin.” 

“Ish.” 

Dug.

“Aduh.”

Sekali lagi, Lusi menampeleng pipi Zena dengan sendok dan berhasil membuat Zena mengaduh refleks meski tak sakit.

“Galak amat,” balas Zena sembari mengusap pipinya. “Dari pada lo mukul pake sendok, mending mukulnya pake bibir. Aduduh....”

Lusi melempar sendok kepada Zena dengan kesal. “Pulang sekarang!”

“Lo ngusir gue?” Zena terkekeh. Dia berdiri dan mengacak rambut Lusi dengan gemas. “Ya udah. Ini juga udah mau tengah malam, sih. Martabaknya habisin, ya, anak manis.”

Lusi mencoba menghindar dengan kikuk. Setiap kali cowok itu mengacak rambutnya, perasaan aneh muncul di hatinya. Dia diam sejenak di tenpat duduknya saat melihat Zena berdiri membuka lebar pintu rumah. 

Zena benar-benar sudah mau pulang, pikirnya.

Cewek itu berdiri, ikut di belakang Zena. Setibanya mereka di teras rumah, Zena berbalik ke arahnya dengan alis terangkat. 

“Kenapa?” tanya Zena bingung.

Lusi mengerjap. Telunjuknya mengarah ke dalam dengan refleks. “Gue mau masuk ke rumah.”

“Iya, memang harus, kan?” Zena mengernyit. “Emang mau ikut gue?” Tawanya muncul setelah melihat bagaimana Lusi terdiam membisu.

“Ya udah. Lo pulang sekarang. Gue masuk duluan.” Lusi berbalik dan masuk ke rumah. Sebelum dia benar-benar menutup pintu itu, dia menatap Zena lagi. “Hati-hati di jalan. Oh, iya, makasih martabaknya,” katanya lalu menutup pintu.

Zena tertawa, geli. Tingkah Lusi ternyata lucu juga. Entah apa yang terjadi pada cewek itu. Zena memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket kemudian berbalik menuju motornya yang terparkir di depan sana.  

***
 

 

 


 

28 – mata-mata

Sudah satu jam Lusi mencoba memejamkan matanya. Sejak tadi di kepalanya terus-terusan terbayang wajah Zena. Lusi telungkup di atas bantal dan menekan wajahnya di bantal itu. Kedua telinganya dia tutup dengan tangan, tak ingin mendengar suara apa pun.

Tak bisa bernapas, Lusi berbalik lagi dan menatap langit-langit kamarnya. Dia menghela napas. “Kenapa jadi suka deg-degan sih kalau ada dia?” 

Wajah Zena tak bisa lepas dari ingatannya. Perlakuan-perlakuan Zena belakangan ini membuat hatinya terasa hangat. 

Sekarang, bukan lagi tampang menyebalkan cowok itu yang muncul di pikirannya, melainkan senyuman yang membuat Lusi selalu salah tingkah. 

Sekarang, bukan lagi rasa kesal yang muncul setiap kali berhadapan dengan cowok itu, melainkan ... perasaan aneh. Perasaan yang sebelumnya tak pernah dia rasakan kepada siapa pun.

Perasaan yang membuatnya yakin ini yang namanya menyukai seseorang. 

Jatuh cinta? Ke cowok itu?” Lusi bertanya-tanya. Dia tak tahu pasti seperti apa jatuh cinta. Lusi menarik guling dan menutup wajahnya. “Aaa.... tapi gue pernah bilang nggak bakalan suka sama dia! Gimana ini?” 

Lusi teringat obrolannya dengan Gayatri saat Gayatri bercerita tentang Gabrian. 

“Terus, kalau gue jatuh cinta sama dia... berarti...,” Lusi meneguk ludah. “Berarti Zena cinta pertama gue?” 

Lusi menjauhkan guling dari wajahnya. Dipegangnya dadanya untuk bisa merasakan detak jantungnya. Dia langsung tersenyum sendiri saat mengingat momen-momen kebersamaannya dengan Zena. Meski pertemuan pertama antara dirinya dan Zena tidak begitu mengenakkan, tetapi sekarang Lusi merasa itu lucu mengingat bagaimana hubungan antara dirinya dan Zena saat ini yang sudah tidak berkonflik seperti dulu lagi. 

Sekarang, Lusi benar-benar jatuh ke pelukan cowok itu? 

Lusi termenung mengingat kembali percapakan antara dirinya dan Zena saat di kantin.

“Menurut lo, ada kemungkinan nggak sih kita bisa pacaran?” 

“Sesuatu hal yang nggak bakalan terjadi sampai kiamat datang.” 

“Kalau sekarang gue nembak lo dan kita pacaran hari ini juga?”

“Itu nggak bakalan terjadi.”

Lusi memeluk gulingnya erat-erat. “Siapa suruh dia nyebelin waktu itu,” gumam Lusi sembari mencubit gulingnya.

Semua yang pernah Zena lakukan di hadapannya kembali terbayang. Seperti sebuah film yang kembali diputar, tetapi memberi rasa yang berbeda. 

Bagaimana Zena mengejeknya saat di pertemuan pertama itu. Bagaimana Zena marah karena Lusi tak sengaja memukulnya menggunakan pulpen. Bagaimana Zena perlahan-lahan masuk ke hidupnya dan mulai memberikan kesan lain. 

Malam itu, Zena menolongnya. Zena semakin masuk ke dalam hatinya tanpa dia sadari. 

Semua itu, terulang kembali. Semua itu membuat sudut bibirnya tertarik ke atas.   

“HUA KENAPA GUE SUKA SENYUM-SENYUM SENDIRI, SIH?”

***

Lusi keluar dari rumah. Dia berbalik dan menuruni tangga. Saat mendongak, dia melihat seorang berdiri bersandar pada motor di luar pagar. Lusi sontak menghentikan langkah dan rasanya ingin segera mundur untuk masuk ke rumah lagi.

Zena menatapnya dari sana. “Ayo, berangkat.”

Lusi heran melihat Zena naik ke atas motornya dan memakai helm. Berangkat naik motor? batinnya.

“Sekolah deket,” balas Lusi. “Nggak perlu naik motor.”

Zena menoleh ke arahnya. Di balik helm yang kacanya belum tertutup, Zena menatapnya dengan alis terangkat sebelah. “Biar cepet sampenya.”

“Nggak, ah.” 

Lusi menggeleng. Dia berjalan keluar dari pagar dan melewati Zena tanpa mau melihat cowok itu. Dia bahkan  tak menggubris panggilan Zena berkali-kali. Setelah melewati Zena, Lusi memejamkan mata dan merasa sedikit menyesal telah menolak ajakan itu.

Gue kenapa, sih? Lusi berdecak kesal pada dirinya sendiri.

Langkah kaki di belakangnya terdengar. Lusi mengaduh pelan. Itu pasti Zena.

“Ya udah. Jalan kaki bareng-bareng aja,” kata Zena yang tiba-tiba berjalan tepat di samping Lusi.

Lusi mengembuskan napas. Dia menoleh menatap Zena yang tiba-tiba merangkul pundaknya. Hal itu membuatnya gugup seketika. “Lo ngapain?”

“Biar nggak lepas,” bisik Zena ke telinganya. Zena kembali menegakkan tubuh. “Mulai sekarang, gue bakalan jemput lo. Kita berangkat ke sekolah bareng.” 

Lusi tidak merespons persoalan itu. Dia hanya mendongak ke sampingnya sementara Zena terus menatap jalanan. Zena merangkulnya dengan begitu santai. Bertolak belakang dengan apa yang Lusi rasakan saat ini ketika tangan cowok itu seolah tak mau lepas dari pundaknya.  

 Dia mencoba menjauh dari Zena. “Risi tahu nggak, sih?”

“Lo sih, nggak mau jadi cewek gue,” kata Zena. Perkataan itu berhasil membuat jantung Lusi berdebar kencang. “Kalau kita pacaran bukannya risi, tai nyaman,” tambah Zena lagi yang membuat Lusi segera menatap cowok itu kembali.  

“Hah?” 

“Tapi nyaman. Sori typo.” 

“Ih, nggak jelas.” Lusi berdecak. “Gue nggak suka denger orang bicara kasar.”

Zena menoleh kepadanya “Termasuk tai?”

“Nggak usah sebut,” balas Lusi kesal. Kekesalan Lusi direspons Zena dengan tawa pelan. 

“Tai itu kasar, ya? Gue kira lembek.”

Lusi mencubit pinggang Zena dengan refleks. “Jorok banget.” Dia menatap ke depan kembali dan berusaha menjauhkan dirinya dari Zena, tapi kembali gagal.

Cowok itu mengacak rambutnya. Berulang kali. Membuat rambut Lusi yang sengaja dia uraikan karena habis keramas jadi terlihat sangat berantakan. 

 Mereka masih berjalan bersisian hingga tiba di Adi Bakti dan Zena masih merangkulnya. 

Mereka tidak tahu bahwa ada seseorang yang terus memperhatikan mereka dari jauh. 

***


 

29 – musuh baru

Zena dan ketiga temannya kembali menghabiskan waktu mereka di kelas tak berpenghuni sejak mata pelajaran pertama.  

Ada yang menjadi tanda tanya di benak beberapa murid. Siswa-siswi di Adi Bakti heran melihat kadatangan dua murid yang pernah tidak akur. Sekarang malah sebaliknya. Bukan hanya sekadar seperti teman, mereka justru terlihat seperti dua orang yang baru saja pacaran.

Awalnya, kedatangan Zena yang merangkul Lusi dilihat oleh beberapa siswi yang sedang bergosip di koridor. Berita datangnya Zena dan Lusi untuk yang kedua kalinya menyebar dan membuat Rudy penasaran akan sesuatu.

“Gue jadi penasaran. Apa Lusi termasuk satu cewek yang lo jadikan mainan? Atau justru enggak?” 

Rudy bertanya tiba-tiba. Perbincangan tentang senior di Adi Bakti yang memukul Daffa dan Gabrian kemarin sore akhirnya teralihkan. Daffa ikut melirik Zena setelah diberi pertanyaan seperti itu oleh Rudy. 

Pertemanan mereka memang baru. Namun, mereka sudah mengenal satu sama lain. Zena memang pernah mengatakan bahwa selama ini, siapa pun cewek yang dia dekati alurnya akan tetap sama: dia mendekatinya, dia mengajaknya pacaran, kemudian memutuskannya secara sepihak.

Karena bagi Zena, mematahkan hati setiap perempuan yang diinginkannya akan membuatnya puas. Ada sensasi kesenangan tersendiri. Rasanya seperti bisa menyelesaikan permainan sebuah game jika semua berakhir dengan kata putus. 

Mendengar pertanyaan itu, Zena mendengkus. Dia kembali mengingat awal pertemuannya dengan Lusi.

Lusi adalah mainan baru. Itu yang Zena tekankan di pikirannya sejak awal dia tahu siapa itu Lusi. Hanya seorang adik kelas menyebalkan yang entah kenapa, semakin hari semakin membuat Zena merasa terjebak oleh permainannya sendiri. 

“Menurut lo gimana emangnya? Apa gue kelihatan ngedekatin dia buat main-main?” tanya Zena setelah jeda yang begitu lama.

“Menurut gue?” Rudy yang duduk di atas meja mengangkat alis. “Iya, kelihatan banget lo anggap dia mainan. Cara lo ke dia sama aja ke cewek yang lalu-lalu lo deketin. Cuma bedanya, Lusi emang kelihatan agak susah dibuat luluh sama cowok. Apalagi cowok kayak lo.”

Zena tersenyum miring memandang plafon kelas yang terlihat bergaris karena bekas hujan. “Iya, dia emang agak susah dibuat luluh. Tinggal tunggu waktu aja dia jatuh ke pelukan gue.”

“Jadi, beneran lo anggap dia mainan?” tanya Rudy lagi.  Dia terlihat benar-benar penasaran. 

Zena bangun dari deretan kursi yang dia jadikan sebagai tempat tidur.  Tatapannya tertuju kepada Rudy. “Kapan gue bilang iya? Gue cuma bilang dia emang agak susah dibuat luluh.”

“Jadi, intinya lo anggap dia mainan apa enggak?”

Zena mengangkat bahu. Rautnya terlihat tak suka ditanya-tanya. Berbeda dengan dulu setiap ditanya pertanyaan yang sama mengenai cewek, pasti dia akan menjawab dengan senang hati.  

“Menurut gue enggak.” Gabrian yang sejak tadi memperhatikan akhirnya buka suara. Zena melirik Gabrian yang bersandar di dinding, menatapnya dengan mata cokelatnya. “Tapi, nggak tahu juga sih. Gue buta soal gituan.” 

“Oke. Gue mau pergi.” Zena lalu berdiri di atas meja untuk keluar lewat jendela kelas. 

“Mau ngelancarin aksi lagi?” teriak Rudy dari dalam kelas saat kedua sepatu Zena sudah mendarat di lantai koridor.

“Yo’i,” balas Zena sembari mengangkat tangannya ke jendela saat melewati kelas kosong itu. 

Dia berhenti dan berdiri di depan kelas Lusi. Dia bersandar di pilar, menunggu kelas Lusi selesai sembari memikirkan kembali perkataan Rudy dan ... terutama Gabrian.

“Maksud dia, gue kelihatan mulai suka sama Lusi gitu?” gumamnya. 

***

Materi matematika telah selesai. Guru baru saja keluar dan beberapa murid lain. Sementara Lusi masih duduk menyusun alat tulisnya ke dalam tas.

Gayatri datang ke meja Lusi dan duduk di sana. Lusi menggeleng-geleng melihat Gayatri yang tiap hari tak pernah lepas dari ponsel.

“Lihat, deh. Foto lo sama Zena masih aja jadi perbincangan di sosmed. Seterkenal apa sih SMA Phoenix itu? Sampe sekolahnya ang jadi selebgram?” Gayatri kesal. Dia paling tidak suka jika orang-orang yang dia sayangi dihina seperti itu. Dia terus-terusan menggulir layar ponselnya sambil mencibir.

Lusi menggeleng. “Udah lah. Males banget urusin mereka.”

“Lusi! Ya ampun ini siapa lagi sih yang moto? Bukan gue, Lus. Serius. Masa foto lo yang dirangkul Zena ada lagi!” Gayatri heboh. Lusi menghela napas panjang. “Ini apa-apaan masuk di berita online nggak jelas? Siapa lagi ini cewek.” 

“Berita online?” Lusi yang merasa mulai tak wajar jadi ikut memperhatikan ponsel Gayatri. 

“Serena Addison, model cantik setengah bule ini ternyata pernah menjalin hubungan dengan anak dari pemilik perusahaan WG.” Gayatri mengernyit setelah membaca isi berita itu. “Hah? Namanya Dewangga Bayurama? Oh iya, astaga! Ini kan namanya kakaknya Kak Zena. Kak Gabrian yang bilang kalau Kak Zena itu anak pengusaha.”

Lusi terdiam memandang wajah Serena Addison yang dimaksud oleh judul berita. Dia kenal wajahnya. Dia masih ingat dengan jelas wajah siswi SMA Phoenix di mal saat itu, mirip dengan foto yang dia pandangi sekarang. 

Gayatri asyik membaca komentar-komentar netizen. 

“Apa cuma gue yang nggak tahu dia siapa?”

“Serius dia masih 16 tahun? Buset udah kayak tante-tante.”

“Cantiik banget. Itu rambutnya hitam banget, tapi mukanya bule. Pasti rambutnya disemir, nih. Giliran yang nggak bule dicokelatcokelatin atau pirang, eh dia malah sengaja hitam.” 

“Apa cuma dia yang nggak tahu gue siapa?

“Ih, nggak jelas semua.” Gayatri mengomel tak henti. Dia mengarahkan ponselnya ke Lusi saat menemukan satu postingan di instagram. 

Lusi melihatnya. Foto dirinya yang dirangkul oleh Zena ada di sana. Wajah Lusi terlihat jelas. Dibuat ke dalam satu kolase berdampingan dengan foto Zena yang sedang memegang kepala cewek yang sama dengan foto tadi, Serena Addison.  Di foto kedua itu Zena masih mengenakan seragam SMA Phoenix.

Terunggah di akun fanbase SMA Phoenix. Di sana tertulis dengan jelas, Pilih A atau B? 

 Yang Lusi pahami, Zena adalah seseorang yang sangat terkenal di sekolah lamanya. Pun dengan cewek yang bernama Serena Addison itu.  

Sebagian orang yang membalas komentar berpihak di pilihan A, foto Lusi dan Zena. Sebagian besar berpihak di pilihan B. Ternyata ada yang terang-terangan tidak menyukai Sere. Apalagi Lusi yang komentarnya rata-rata mengarah ke sekolah Adi Bakti dan rambut Lusi.

“Jadi, maksudnya si Sere Sere itu ngembat kakak, terus adiknya juga?” tanya Gayatri. “Uhh, ada haters-nya. Ikutan komen, ah.” Gayatri mengetikkan kata-kata sambil tersenyum puas. “’Mending A. Kalau yang B ngembat kakak beradik. Sok cantik pula. Nggak suka, nggak suka.’ Send.” Gayatri mengucapkan apa yang dia ketikkan.

Lusi menghela napas. Dia keluar dari meja. “Nggak mau ke kantin? Yuk. Gue laper,” katanya. Dia seperti baru saja tidak mengalami hal yang kurang mengenakkan.

“Lusi, dicariin Zena di luar.” Hera muncul dari luar kelas dan menatapnya. 

Lusi mengerjap. “Oh?” Dia berjinjit memandang ke luar jendela dan bisa melihat kepala Zena dari belakang. Ditatapnya Gayatrin dan Hera bergantian. “Kalian nggak ke kantin?”

“Bentar-bentar, ini cepet banget ada yang balas. ‘Sok cantik? Ngaca dong! Foto loe alay! Cantikan Kak Sere ke mana-mana.’ Hah? Idih, gue nggak terima!” Gayatri menatap Lusid dan Hera. “Emang foto profil gue alay apa? Cuma melet doang. Banyak kali yang melet-melet kalau selfie.”

“GAYATRI!” teriak Lusi dan Hera bersamaan.

Gayatri menurunkan ponselnya, lalu memutar bola mata. “Iya, iya. Gue nggak ikut-ikutan nge-hate.” Dia turun dari meja dan melangkah menuju Hera dan Lusi.

Saat Gayatri melihat Zena di depan kelas, tiba-tiba saja dia menarik Hera segera berjalan cepat. “Kita duluan, ya! Selamat bersenang-senang. Muah. Muah.”

Lusi hanya bisa menghela napas melihat kepergian Hera yang ditarik paksa oleh Gayatri. Keduanya sudah menjauh. Lusi melangkah ke Zena yang entah sejak kapan berbalik menatapnya.

Dia berhenti di depan cowok itu. “Katanya lo nyariin gue?”

Zena mengangguk. “Ke kantin bareng?” ajaknya lalu melangkah tanpa menarik Lusi seperti biasa.

Lusi mengikut di belakang Zena. Beberapa siswi yang ada di koridor menatap mereka berdua. Lusi tampak risi. Dia memandang Zena dari belakang. 

Kenapa sekarang Zena seperti menjauh? 

Meskipun Zena mengajaknya ke kantin bersama, tetapi cowok itu tak lagi memperlakukannya seperti biasa. Lusi juga bingung kenapa dia mau saja mengikuti cowok itu. 

Tiba di kantin, langkah Lusi berhenti ketika melihat seseorang menghalau jalan Zena. Lusi memilih untuk tetap di belakang Zena saat melihat Clara berdiri di depan Zena, memandang cowok itu dengan raut yang tak bisa Lusi artikan. 

Clara menatap Lusi tajam. Lusi hanya mengalihkan tatapannya tanpa  ingin menatap seniornya yang menyebalkan itu. 

“Kenapa lagi?” tanya Zena. Dia sangat malas berhadapan dengan Clara karena cewek itu terlalu agresif. 

Clara masih menatap Lusi dengan kebencian. “Ada hubungan apa lo sama dia?”

Zena menoleh ke belakangnya dan melihat Lusi yang hanya diam. dia kembali menatap Clara dan mengangkat alisnya. “Memangnya urusannya sama lo apa?” 

Lusi melirik Zena di depannya. Jawaban cowok itu ke Clara terkesan dingin. 

“Gue cuma tanya!”

Zena tersenyum miring. Dia menarik tangan Lusi hingga membuat cewek itu tersentak. Tangan Zena berpindah ke pinggang Lusi dan memeluknya erat. 

Sekali lagi, momen itu diabadikan oleh beberapa orang di Adi Bakti.

Lusi masih syok. Pikirannya berkelana ke mana-mana karena menjadi pusat perhatian dalam keadaan seperti ini. Dia memegang tangan Zena dan berusaha melepasnya, tapi tangannya justru terperangkap di tangan cowok itu.

“Dia pacar gue.”

Lusi mengerjap. Dia menatap Zena untuk protes, tetapi setelah melihat sorot mata cowok itu yang juga memandangnya, pikiran Lusi justru mengarah ke perjanjian di antara mereka. 

“Sejak kapan?” tanya Clara yang marahnya sudah diubun-ubun. 

“Udah jalan seminggu.” Zena menatap Lusi dan tersenyum. Tangannya naik mengusap rambut Lusi dengan lembut. 

Lusi hanya bisa menatap Zena dengan lemas. 

“Oh?” Clara tertawa mengejek dan memutar bola matanya. “Gue nggak percaya. Coba cium dia. Seperti saat lo nyium mantan-mantan lo.” 

Kalimat itu terputar di benak Lusi.

“Kenapa?” Clara tertawa melihat Zena diam. “Bukannya kita dulu ciuman di dalam kelas?” Clara menatap Lusi sambil tersenyum puas. “Bukan hanya saat kelas kosong, tapi juga saat kelas ramai.”

Lusi membuang muka. Dia mencoba untuk tetap santai meski rasanya dia ingin segera menghilang dari bumi sekarang juga. 

“Kenapa lo pengin gue ngelakuin hal itu ke Lusi juga? Bukannya lo dan dia beda? Kenapa lo pengin gue memperlakukan Lusi sama seperti saat gue memperlakukan lo?” Zena menggeleng. “Salah, salah. Gue nggak memperlakukan lo kayak gitu. Coba lo pikirin sendiri di mana letak kata-kata gue yang salah.”

Clara langsung bungkam. 

Zena menjauh dari hadapan Clara dan meninggalkan kantin itu. “Kita nggak usah makan di sini. Banyak pengganggu,” kata Zena kepada Lusi.

Clara membuka mulutnya, ingin berkata-kata, tetapi dia sudah dipojokkan oleh Zena.

Karena selama ini, yang selalu mengawali ciuman itu adalah dirinya. Bukan Zena. 

Clara mengepalkan tangannya menatap Lusi. “Lihat aja nanti. Lo bakalan nyesel!”

***


 

30 – liontin l

Zena membawa Lusi ke rumah makan yang tak jauh dari SMA Adi Bakti. Setelah keluar dari kantin tadi, dia membawa Lusi ke parkiran dan membuat Lusi  ingin kembali ke sekolah karena waktu pulang belum tiba. 

Cewek itu terlalu keras kepala. Butuh waktu lama bagi Zena untuk menarik Lusi kembali ke dekatnya dan menaikkan cewek itu ke atas motornya hingga membuat Lusi hanya bisa memukul bahu cowok itu. Tidak marah. Zena hanya terkekeh meski dia merasa pukulan itu lumayan sakit. 

Zena berhasil melewati satpam Adi Bakti karena lelaki paruh baya yang biasa dipanggil dengan sebutan Pakde oleh siswa-siswi Adi Bakti itu tengah tertidur di post satpam. Di sepanjang perjalanan Lusi terus-terusan berkata penuh penyesalan karena merasa seharusnya mereka tetap di kantin saja. Akan tetapi, kata-kata Lusi yang disertai omelan kepada Zena itu hanya membuat Zena tersenyum di balik helmnya. 

Sekarang mereka makan. Sementara di sekitarnya hanya ada beberapa yang mengisi meja karena masih jam kantor. Mereka makan di meja sudut. Zena memperhatikan Lusi yang diam sejak tadi. Mungkin, Lusi adalah salah satu orang yang tak akan bicara disaat makan. 

“Enak?” tanya Zena tiba-tiba,.

Lusi yang baru akan menyendokkan kembali makanannya ke mulut jadi urung. Cewek itu mengangguk. “Enak,” katanya lalu melanjutkan makannya. 

Lusi kembali sibuk makan seolah cewek itu tidak sedang makan berdua dengan orang lain. Zena memperhatikan Lusi dengan saksama. Alisnya naik ketika melihat sebuah kalung yang dipakai oleh Lusi. Zena baru menyadari itu.

“Lo pakai kalung juga, ya? Perasaan dulu lo nggak pakai apa-apa di leher,” kata Zena. 

Lusi berhenti mengunyah makanannya dan menatap Zena curiga. “Lo merhatiin leher gue segitunya...?”

Zena tertawa. “Iya,” jawabnya jujur. “Nggak sengaja, kok. Bukan sengaja.”

Lusi menatapnya tajam.

“Gue serius nggak sengaja,” ucap Zena lagi sembari menerbitkan senyumnya. “Gue juga serius nanya tentang kalung itu, dari siapa?” tanya Zena penasaran. 

“Dari temen....,” balas Lusi pelan. Dia  kembali menyendokkan makanannya ke mulut. 

“Gayatri? Hera?”

“Kepo.”

Zena menaikkan alis. Sepertinya Lusi tidak ingin menjawab. Kata terakhir yang keluar dari mulut Lusi pun diucapkan Lusi tanpa menatap Zena.  Apa benar kalung itu dari salah satu teman Lusi? Atau Lusi malah mendapatkan kalung itu dari cowok lain? 

Lusi terlalu sulit dia mengerti.

Zena mencoba untuk bertanya lagi, meski belum tentu Lusi akan menjawab pertanyaannya. “Tentang orang-orang yang ngejar lo malam itu dan dua orang yang ada di mobil jeep.” Zena memandang Lusi yang tiba-tiba berhenti mengaduk kuah. Lusi hanya menatapnya sekilas kemudian menunduk kembali. “Apa lo ingat permintaan gue dulu?”

Lusi menatap Zena bingung. “Pertanyaan apa?” 

“Suatu saat apa gue boleh bertanya hal yang sama, tentang orang-orang yang ngejar lo malam itu.” Jawaban Zena membuat Lusi merapatkan bibir. “Sekarang gue mau tanya lagi, apa orang-orang yang ngejar lo malam itu ada hubungannya dengan dua orang yang hampir selalu ada di depan sekolah?”

Lusi mengerjap. Dia menurunkan sendoknya, membaliknya hingga bagian yang cembung di atas. “Gue udah kenyang. Bisa kita balik ke sekolah sekarang?”

Zena diam memandang Lusi. Dia merasa bersalah telah bertanya hal yang mungkin bagi Lusi itu tidak menyenangkan. Zena hanya penasaran. Lebih tepatnya, mungkin dirinya khawatir. Orang-orang itu terlalu banyak dan terlihat ingin melukai Lusi. 

Zena sangat ingat percakapan orang-orang itu saat dirinya dan Lusi bersembunyi. Zena ingat perkataan salah seorang di antara mereka yang membuat Zena jadi berpikir bahwa mereka ingin membawa Lusi pergi. 

Ke seseorang yang entah siapa.

“Serius udah selesai?” Zena menatap makanan Lusi yang belum habis. 

“Udah kenyang, kok.” Lusi mengambil ponselnya di meja dan mulai berdiri. 

Zena mendahului Lusi untuk membayar. Sementara Lusi terus berjalan hingga menunggunya di parkiran. Setelah semua urusannya di sana selesai, Zena keluar. Dia menatap Lusi yang terlihat murung. Zena hanya bisa menghela napas sambil memasang helmnya. 

“Lo baik-baik aja, kan?” tanya Zena meski dia pikir Lusi sedang tidak baik. Dia mengelus rambut Lusi, lalu menarik tangannya. “Ayo balik.”

Lusi naik ke motor setelah Zena ada di atas sana. Cewek itu tetap diam dan membuat Zena hanya bisa menghela napas panjang sekali lagi.

Zena belum menjalankan motornya. Dia hanya terkejut melihat Rama memasuki mobilnya yang terparkir di depan sebuah ruko. Mobil itu perlahan menjauh hingga tak terlihat lagi. 

“Kenapa belum jalan?” tanya Lusi di belakang.

Zena menatap cewek itu lewat spion. “Karena mesinnya belum dinyalain.”

Zena mengaduh setelah mendapatkan pukulan dari Lusi di punggungnyaa.

***

Dewangga : Ke rumah gue. Sekarang. 

Dewangga : Jangan lupa bawa buku. Materi materi. 

Lusi menjatuhkan punggungnya ke atas tempat tidur. “Hahh. Gue ke sana sendiri gitu? Malam ini? Gila!”

Lusi menggulingkan tubuhnya, membenamkan wajahnya di bantal. “Ini udah malam! Ini udah malam!” Dia kemudian mengambil ponselnya lagi dan  mengirimkan pesan untuk Zena. 

 

Lusi: Nggak jemput? 

 

Lusi menutup wajahnya. “Aaa cepet banget dia baca! Aduh malu, malu.”

 

Dewangga: pergi sendiri. Manja.

 

Lusi memandang ponselnya kesal. “Yang butuh siapa?” Dia turun dari tempat tidur dan hanya mengambil sweter putih kesayangannya beserta buku-buku yang dia perlukan. Dia menyimpan peralatannya di dalam tas ransel.

Setelah pamit kepada Nenek dan Kirana, Lusi keluar cepat. Dia berjalan keluar menuju jalan raya. Meski takut, dia mencoba untuk berani. Orang-orang itu sudah tak pernah terlihat belakangan ini. Saat tiba di tujuannya, langkahnya memelan ketika melihat seseorang keluar dari mobil hitam yang baru saja berhenti. 

Lusi mengerjap. Dia ingat wajah pria itu. Salah satu orang yang pernah membawanya ke Zena dan pura-pura menculiknya atas suruhan Zena.

Pria itu memutari mobil. Lusi hanya diam melihat pria itu membuka mobil penumpang bagian belakang. 

“Silakan masuk!”

Lusi mengerjap. “Hah?” Dia menoleh ragu ke kiri, kanan, dan ke belakangnya. Kemudian menatap pria itu lagi. “Hah?”

Pria itu menunduk. “Silakan masuk. Ini atas perintah Zena.”

Lusi tak bisa berkata-kata. Mau tak mau, dia masuk ke dalam mobil itu kemudian pria tadi kembali masuk ke dalam mobil di bagian depan. Mulai melajukan kendaraannya.

Di sepanjang perjalanan Lusi terus-terusan memikirkan tingkah Zena. Sedikit menyebalkan karena cowok itu berbohong, tetapi di sisi lain Lusi merasa perlakuan itu justru.... Lusi mengeleng-geleng cepat. 

Tak terasa perjalanan ke rumah Zena telah berakhir. Lusi keluar dari mobil itu dan meneguk ludah setelah melihat rumah keluarga Zena yang sangat terang di malam hari melebihi terangnya rumah-rumah di sekitar pemukiman.

Seperti bintang, batinnya.

“Silakan masuk.”

Lusi menoleh pada pria itu kemudian mengangguk. “Silakan masuk mulu dari tadi kayak nggak ada kata lain aja,” gumam Lusi saat melewati pintu. 

Dia memegang erat tali tasnya sembari menengok ke segala arah. Setiap langkahnya pelan hingga tiba di sebuah ruangan, dia melihat Zena berbaring di atas sofa sambil memakan pisang.

“Hai, udah sampai?” teriak Zena sambil membuang kulit pisangnya ke meja. Luzi hanya bisa mengatai cowok itu dalam hati. “Sini. Jangan di situ,” panggil Zena.

Lusi melangkah dan duduk di sofa yang berseberangan dengan Zena. Dia menyimpan tasnya di samping dan mengeluarkan beberapa buku di dalam sana.

“Kita belajar apa hari ini?” 

Lusi menatap Zena yang sedang menjilat tangan. Lusi membulatkan mulut melihat kulit snack yang sudah tidak berisi berhamburan di atas meja. Dia menatap Zena tajam. “Semua cemilan untuk gue lo makan?”

Zena mengangguk. “Enak,” katanya, pendek.

“Tapi gue nggak bisa ngajar kalau nggak ngemil!”

Zena terkekeh. Dia duduk dan menatap Lusi lurus. “Ngajar ya ngajar. Ngemil ya ngemil. Itu beda hal.”

“Tapi kenapa dihabisin semua? Buat gue mana?” tanya Lusi tak terima. “Peraturan tetap peraturan!”

Zena mengangkat bahunya. Dia berdiri dan melangkah ke Lusi, lalu duduk di samping cewek itu. Lusi bingung melihat Zena berpindah tempat. Saat cowok itu menarik pipinya kencang, Lusi langsung berteriak kesakitan.

“Empuk,” kata Zena lalu terkekeh. “Jadi, semuanya pindah ke pipi?”

“Ish.” Lusi mendorong tangan Zena dari pipinya. 

“Zena! Lusi mana?” teriak Bunda.

Lusi sontak menjauh dari Zena setelah mendengar suara dari Bunda. Dia berdiri dan menyatukan kedua tangannya di depan perut karena gugup. Kedatangan Bunda disaat dirinya berdekatan duduk dengan Zena membuatnya takut dicap macam-macam. 

“Hai, Lusi.” Bunda menghampirinya dan memeluknya. Lusi tersenyum canggung di balik pundak Bunda. “Apa kabar, sayang? Kamu baik-baik aja, kan? Nggak diusilin lagi sama anak bandel itu, kan?”

Lusi menyengir ketika Bunda mendorong bahunya hati-hati. “Nggak, kok. Tante.”

“Aduh, Bunda kan udah bilang, jangan panggil Tante. Tapi, Bunda. B, u, n, d, a. Bunda.”

Lusi terkekeh canggung. “Iya....” Lusi menoleh ke Zena dan mendapati cowok itu sedang menahan senyum. Lusi kembali menatap Bunda. “Bunda....”

Bunda mengacak rambut Lusi, seperti Zena. Anak dan ibu sama saja, batinnya.

“Ajar Zena baik-baik, ya? Kalau bandel jitak aja.” Bunda mencium pipi kiri dan kanan Lusi, membuat Lusi tak tahu harus bersikap apa selain tersenyum.

Bunda pamit. Sepertinya lelah sehabis dari kerja. Lusi berbalik menatap Zena yang malas-malasan di sofa.

“Waktunya belajar!” seru Lusi pada cowok itu yang langsung mengambil posisi duduk di atas karpet. Lusi mebereskan sampah-sampah yang berserakan di atas meja. Mereka mulai belajar. Lusi benar-benar menjitak Zena jika cowok itu kembali seenaknya. Alasan Lusi selalu sama jika Zena tidak terima, “Ini amanah dari Bunda.” 

 Tak terasa waktu berjalan. Lusi selalu khawatir melihat ke jam dinding ruangan itu. Dia masih setia mengajar Zena meski sudah berulang kali Lusi meminta untuk segera pulang, tetapi Zena tidak mengizinkan. 

Di tengah-tengah aktivitas mereka, Lusi mendengar suara Bunda. Dia penasaran karena mendengar suara orang lain juga. Suara laki-laki. Lusi akhirnya menoleh ke percakapan antara Bunda dan cowok itu. Seseorang di dekat tangga sedang berbincang dengan Bunda. Cowok itu sepertinya lebih dewasa dari Zena.

Lusi membelalak. Itu Kakak Zena! Dewangga Bayurama.

“Fokus.” Zena menarik dagunya hingga wajah Lusi mengarah sepenuhnya ke Zena. 

“Cu—cuma nengok bentar.” Lusi gugup bukan karena kakak Zena, melainkan karena Zena yang tiba-tiba menyentuh dagunya.

Zena menatapnya tajam. “Nggak usah nengok-nengok.”

“Emang kenapa?” tanya Lusi. “Kan bentar, doang. Lagian lo juga lagi serius pahami materi.”

“Pokoknya nggak usah nengok-nengok!”

Perintah Zena membuat Lusi menatap cowok itu bingung. 

“Takut gue naksir Kakak lo?” Lusi terkekeh. “Nggak mau gue jadi bagian keluarga lo nanti kalau Kakak lo juga balik suka sama gue?”

Zena mengernyit. “Apa kelebihan Kakak gue?” 

“Ganteng,” balas Lusi sembari menatap Rama kembali. Dia menyangga ujung pulpennya di bawah dagu sambil tersenyum. Berbagai macam duagaan muncul di benaknya karena Zena. “Pinter, lagi.”

“Gue juga pinter, kok. Cuma males aja.” Zena tak mau kalah.

“Ya udah. Yang rajin kalau belajar di sekolah. Jangan bolos pelajaran mulu.”

“Gue lagi berusaha.”

Lusi memicing ke Zena. Sebenarnya, cowok itu kenapa? 

Tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, Lusi kembali mengarahkan Zena untuk lanjut belajar.

Beberapa saat kemudian, Lusi merasa seseorang hadir di dekatnya. Dia menoleh dan melihat Rama berdiri tak jauh darinya. 

“Bunda pengin kita kenalan,” kata Rama, berhasil membuat Lusi terkejut.

“A—ah?” 

Zena menatap Rama dengan sorot tajam. “Nggak lihat kami lagi belajar?”

Rama menatap adiknya itu. “Ini permintaan Bunda.”

Lusi menatap dua kakak beradik itu bergantian. Mereka saling pandang. Dingin. Tiba-tiba, Lusi merasa tidak nyaman dengan atmosfer ini. 

“Nggak apa-apa, Kak. Nggak apa-apa!”  Lusi segera berdiri menghadap Rama. Dia mendekati Rama yang langsung mengalihkan perhatian padanya. 

“Kenalin, Kak. Aku Lusiana Elmira. Dipanggil Lusi.” Lusi menggigit bibir saat tangannya terulur.

Belum sempat dibalas Rama, tangan Lusi segera ditarik oleh Zena. “Udah. Belajarnya lanjut besok lagi,” kata Zena sembari menariknya menjauh dari Rama. “Ayo, pulang. Gue anter.”

Lusi menatap Zena bingung, tetapi pada akhirnya dia mengikuti Zena. Dia meminta maaf berulang kali kepada Rama yang masih diam seperti patung. Menatapnya sejak tadi.

Lusi berkemas. Tangannya terus-terusan ditarik oleh Zena. Dia mulai melangkah pergi bersama Zena yang berjalan di depannya. Saat melewati Rama, Lusi tak sengaja melihat sebuah kalung yang terlihat sepintas dari kemeja Rama.

Langkah Lusi memelan di bawah genggaman Zena.

Kalung itu.... Liontin L.

Mirip dengan yang Lusi pakai sekarang.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya DELUSI [Part 31-41]
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan