
23-25
PART 23
Berbulan-bulan telah berlalu sejak pertama kali aku kembali ke masa remajaku. Aku mendapatkan nilai Ujian Nasional ketiga tertinggi tingkat Kota. Padahal aku sudah sengaja menyalahkan beberapa nomor dalam satu mata pelajaran yang diujiankan. Mungkin saja, kesalahan yang aku sengaja justru adalah jawaban yang benar.
Bagaimana pun, aku juga tidak ingin memiliki nilai rendah hanya karena aku sudah lupa pelajaran-pelajaran dalam mata pelajaran Ujian Nasional. Aku mengisi waktu kosongku selama beberapa bulan ini dengan belajar mandiri di rumah dibanding mengikuti bimbingan belajar seperti masa sebelumnya karena aku lelah bertemu dengan siswa-siswi SMP yang umurnya berbeda jauh denganku.
Dan juga, untuk ke depannya aku tidak akan membuat nilai-nilai raport SMA-ku di dua tahun pertama rendah karena malas belajar.
Aku mengangkat gantungan baju yang terdapat kemeja SMA-ku. Setelah tiga hari masa Masa Orientasi yang melelahkan, akhirnya besok adalah hari pertamaku di SMA.
Aku gugup.
Sungguh.
Aku sudah cukup sabar menunggu waktu di mana aku akhirnya memakai seragam putih abu-abu lagi. Juga menjadi waktu di mana aku akhirnya bisa melihat Kak Lio untuk yang pertama kalinya di kehidupan kali ini.
Aku menaruh seragam sekolahku di atas tempat tidur, lalu kulangkahkan kaki keluar dari kamarku menuju dapur. Aku harus segera mengisi botol minumanku dan membawanya ke sekolah.
Langkahku perlahan berhenti ketika melihat lembaran kertas di meja. Pandanganku langsung tertuju pada tulisan yang menarik perhatianku.
Surat cerai…? Sepertinya Mama lupa mengambilnya.
Pantas saja selama satu bulan ini Papa sudah jarang tinggal di rumah. Aku juga tidak bertanya lebih jauh ketika Mama mengatakan bahwa Papa sedang sibuk. Mereka juga sudah tidak pernah bertengkar lagi semenjak aku menulis surat untuk Mama.
Mama sudah mengurus perceraiannya dengan Papa jauh lebih cepat dibanding kehidupan sebelumnya. Sebelumnya, kedua orang tuaku bercerai saat aku sedang mengurus skripsi.
Aku jadi merasa lebih lega karena merasa Mama sudah bebas sekarang.
Apa sesulit itu saat berumah tangga?
Apakah dulunya Mama dan Papa saling mencintai?
Apakah perasaan mereka telah pudar karena waktu?
Langkahku terhenti ketika melihat Mama sedang duduk di kursi sembari memegang gelas. Sebuah botol wine berada tepat di hadapan Mama. Mama memijat pelipisnya, lalu kembali meminum wine yang tersisa di gelasnya.
Aku mendekat dan langsung merampas botol wine itu ketika Mama akan menuangkan isinya ke gelasnya yang sudah kosong.
“Dara…?” panggil Mama dengan suara pelan.
Aku mengambil gelas Mama dan segera mencucinya di wastafel. Tak lupa menyimpan botol berbau itu di tempat yang masih gampang terlihat oleh Mama saat esok hari karena di kehidupan dulu maupun sekarang aku tidak pernah tahu di mana Papa menyembunyikan botol minuman itu.
“Apa kamu kecewa sama Mama?”
Aku menatap Mama yang menunduk. “Kecewa … kenapa?”
“Mama nggak bisa jaga rumah tangga ini demi kamu.” Mama menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Tangan kanannya terangkat dan menyentuh pipiku dengan lembut. “Sayang, Mama berdoa semoga kamu mendapatkan laki-laki yang baik. Jangan melakukan apa pun demi laki-laki itu, tapi laki-laki itu yang harus melakukan apa pun untuk kamu, Dara.”
***
Mama mengusap rambutku ketika mobil Mama berhenti tak jauh dari gerbang sekolah. “Ini hari pertama kamu. Semoga lancar dan dapat teman-teman yang baik.”
Teman…. Aku sudah tidak begitu peduli soal teman lagi karena sejak dulu aku sudah terbiasa sendirian. Entah akan ada yang akrab denganku atau tidak nantinya, hal yang paling penting sekarang adalah bagaimana aku bisa bertemu Kak Lio.
Ah, aku jadi teringat dengan perkataan Mama semalam. Apakah dalam konteks ini, aku sudah melakukan apa pun untuk laki-laki bukan sebaliknya?
“Dara turun, ya, Ma,” kataku sambil menarik punggung tangan Mama, lalu kucium.
Aku segera turun dari mobil setelah pamit pada Mama. Pandanganku tertuju pada gerbang sekolah yang terbuka. Siswa-siswi terlihat cukup banyak melewati gerbang sekolah. Aku melangkah dan melirik sekitar sambil bernostalgia. Langkahku secara spontan mengikuti langkah kaki siswa-siswi lain yang bergegas menuju sebuah kerumunan. Aku ingat. Tempat itu adalah majalah dinding. Terdapat pengumuman kelas yang tertempel di sana.
Aku bisa saja langsung ke kelasku yang sebelumnya, yaitu X-4. Namun, aku khawatir jika saja kali ini berbeda. Siswa-siswi berjinjit dan sebagian menginjak beton pembatas tanaman. Ada lebih banyak siswi dibanding siswa. Aku berusaha mencari namaku di kelas X-4, tetapi tidak menemukan nama Dara Anandya Nayaka di sana….
Sekali lagi….
Namaku benar-benar tidak tertera di kelas X-4.
Ah, sepertinya karena nilai Ujian Nasionalku tinggi. Aku harus mencari di kelas yang lebih tinggi. Kucari namaku di kelas X-3. Tidak ada. Kelas X-2. Tidak ada juga.
Kelas X-1…. Aku langsung menemukan namaku pada deretan huruf D.
Yah, kelas X-1. Bukannya itu kelas Ara?
Aku segera ke kelas X-1 untuk mendapatkan bangku terakhir. Tiba di kelas X-1, semua bangku terakhir telah terisi. Biasanya, orang-orang akan mati-matian memilih bangku pertama. Namun, kenapa kelas ini hanya menyisakan bangku-bangku pertama?
“Haiii!” Seseorang di bangku pertama dekat jendela melambaikan tangan sambil menatapku. “Lo yang baru dateng. Lagi nyari bangku, kan?” Siswi itu memegang bangku di sampingnya. “Duduk di sini aja bareng gue!”
Dan yang paling mengejutkanku adalah kenyataan bahwa siswi yang mengajakku untuk duduk di sampingnya adalah … Ara.
***
PART 24
Menjadi peringkat ketiga tingkat kota dalam Ujian Nasional dan juga merupakan siswi berprestasi yang lulus bebas tes di SMA ini, membuatku berakhir di kelas yang berbeda di masa sebelumnya.
Dan hal yang paling membuatku terkejut adalah aku sekelas dengan Ara.
Bahkan menjadi teman sebangku.
Mau bagaimana lagi, perubahan-perubahan ini tak bisa aku hindari. Aku tak ingat jawabanku saat aku mengisi kertas jawaban di kehidupanku sebelumnya. Jadi, mau tak mau aku belajar agar tidak mendapatkan nilai rendah.
Aku tidak menolak ajakan Ara untuk duduk sebangku dengannya karena dengan begini aku bisa bertemu dengan Kak Lio lebih dekat. Aku tidak akan lupa bahwa Kak Lio dan Ara adalah sepupu dua kali.
“Nama lo siapa?” Ara mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis karena cacat genetik pada pipinya yang beruntung dia dapatkan itu.
Aku menaruh tasku di atas meja, lalu duduk di bangku kosong ini sambil membalas uluran tangan Ara dengan singkat. “Dara.”
Ara menganga. “Nama lo Dara?” Lalu dia melirik namaku yang tertulis di kemeja bagian kanan.
“Iya,” balasku.
“Hampir mirip nama gue, dong?”
Aku hanya menatapnya dalam diam. Sementara Ara masih terkejut.
“Lucu tahu!” seru seseorang di belakangku. “Ara. Dara. Ara. Dara. Kelihatannya kalian bakalan jadi bestie banget, nih?”
“Kalau kalian berdua jadi bestie, ajak-ajak gue, dong,” kata yang lain lagi.
“Nanti kalau ada yang manggil gue atau Dara, kami berdua bakalan sama-sama nengok,” kata Ara, lalu tertawa.
“Haiii.” Siswi berkacamata memunculkan wajahnya di sampingku. “Kenalin, gue Reva.”
“Gue Tiffany.” Dan seseorang lagi ikut memunculkan wajahnya. “Sepertinya lo introver banget! Kita bertiga segugus waktu MOS. Jadi, jangan heran kalau agak berisik, ya?”
“Ah, ya,” balasku pelan.
Dulu dan sekarang, Ara tetaplah anak yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan dua siswi yang duduk di belakang kami ini juga baru kenal dengan Ara saat Masa Orientasi.
“Lihat, tuh! Oi! Tungguin gue!” Ara buru-buru keluar dari bangkunya. Pada akhirnya dia melewati bagian belakang bangkuku. Dua siswi di belakang juga ikut berlari mengejar Ara yang sepertinya mengejar orang lain yang barusan lewat di depan kelas.
Kebisingan ini … tidak buruk juga.
***
Istirahat ini, aku berpisah dari Ara, Reva, dan Tiffany. Mereka terlalu sibuk berbincang saat berjalan di koridor menuju kantin sampai tak sadar aku diam-diam kabur ke dekat perpustakaan sekolah untuk mempersiapkan hatiku bertemu Kak Lio yang entah di mana.
Namun, aku malah tak sengaja mendengar sekumpulan siswi dari perpustakaan yang sedang berbicara buruk tentang Sherly.
“Serius, sih. Se-nggak suka itu gue sama dia. Dia SKSD banget. Mau dikata social butterfly apa, ya?”
“Iya, dia jatuhnya lebih ke annoying.”
Mengapa orang-orang begitu semangat membicarakan keburukan orang lain? Telingaku jadi ternodai mendengar gosip.
Aku membuka bungkusan permen, lalu kumasukkan ke dalam mulut dan langsung kugigit agar stik permennya terlepas dari permen berbentuk kaki ini.
“Eit, eit. Jangan makan permen kayak gini nanti gigi lo bolong. Nggak bawa sikat gigi, kan?” Sherly tiba-tiba muncul entah dari mana.
Aku mengeluarkan satu permen dari saku bajuku, lalu kuberikan kepada Sherly yang langsung diterima cewek itu dengan riang.
“Ih, thank you.”
“Lo ngapain di sini? Nggak ke kantin?” tanyaku, basa-basi.
“Lagi males,” balasnya, lalu dia mengulurkan tangannya. “Ngomong-ngomong, gue belum ngasih selamat ke elo karena dapat nilai tertinggi Ujian Nasional di SMP kita.”
Aku membalas uluran tangannya dengan singkat. “Ya.”
“Apa lo denger?” tanya Sherly pelan.
Aku menatap tanaman di depanku dan pura-pura tidak tahu maksudnya. “Denger apaan?”
“Orang yang tadi bicarain gue dari belakang. Dia pikir gue nggak tahu aibnya?” Sherly berdecih. Kutatap bibirnya yang mulai maju. “Anj*ng, sih. Berani banget nyeritain gue dari belakang. Dia pikir gue lupa kalau dia kemarin bilang dengan bangganya udah ciuman sama kakak kelas waktu MOS?”
Ah, bukannya mereka sama saja? Aku tidak akan lupa bagaimana sifat asli Sherly di kehidupan sebelumnya.
Sherly memegang pahaku dan menoleh dengan mata membara. “Terus tahu nggak?”
“Gue nggak suka ngegosip,” balasku cepat. “Lo dan orang yang ngomongin lo dari belakang tadi, apa bedanya?”
Sherly langsung terdiam.
Aku berdiri dan merenggangkan otot-otot tanganku ke atas, lalu kutatap Sherly yang sedang menatapku sambil menggigit bibir. Aku tahu, dia ingin aku mendukungnya dengan cara ikut menggunjing cewek yang menggosipi Sherly tadi. Namun, aku sedang malas berurusan dengan orang seperti dia.
“Kalau suatu saat gue denger gosip buruk tentang gue, bisa jadi lo yang lakuin. Entah yang mulai lo duluan atau salah satu penyebarnya.” Aku menghela napas panjang. “Jangan gosipin orang lain. Ini bukan tentang karma atau bukan, tapi di mana-mana, ngegosipin keburukan itu nggak baik.”
“Tapi yang gue omongin tadi itu fakta!” seru Sherly pelan.
“Fakta atau fitnah. Bukan itu intinya,” balasku, lalu mulai melangkah sambil melambaikan tangan pada Sherly tanpa mengatakan apa-apa lagi.
***
“Lo dari mana aja? Tiba-tiba ngilang tanpa ngomong apa-apa!”
Aku disambut oleh teriakan Ara dan bibir cemberutnya ketika berhenti di dekat pintu kelas.
“Keliling sekolah,” balasku.
Ketika aku kembali melangkah, siswa kelas ini berlari dan tak sengaja menabrakku. Dia terjatuh, lalu memandangku sambil menyengir. Aku hanya menatapnya datar, lalu siswa itu segera bangkit dan memukul kepala temannya yang tertawa mengejeknya.
Aku akhirnya kembali melangkah dan tiba di bangkuku dengan selamat.
“Dih dia masih cengar-cengir salting tuh di sana habis hampir ngetabrak lo, Dar,” kata Ara.
Aku bertopang dagu dan kembali meratapi kekhawatiranku untuk bertemu Kak Lio. Padahal aku sudah berusaha menyiapkan hati, tetapi ujung-ujungnya tak berani mencarinya.
Kutatap Ara untuk bertanya tentang Kak Lio, tetapi dia sedang menatapku dengan penuh harap. “Apa…?”
“Lo punya aura yang bikin cowok-cowok nggak berani ngelawan lo,” kata Ara yang membuatku mengernyit heran. Reva dan Tiffany mengiakan perkataan Ara yang terkesan ada maunya itu. “Handphone gue disita sama kakak panitia MOS kemarin. Terus, dia bilang nggak akan ngasih gue kecuali gue yang datangin dia langsung. Masalahnya, gue nggak berani. Nanti gue dipegang-pegang. Gue nggak nyaman….”
“Kok bisa disita?” tanyaku heran.
“Nggak tahuuu!” serunya.
“Masa gitu aja lo nggak tahu, sih, Dar?” tanya Reva. “Apalagi kalau bukan karena cowok itu lagi nyari perhatian Ara!”
“Cari perhatiannya nggak gentle banget nggak, sih, sebagai cowok?” tambah Tiffany.
“Lo dipegang-pegang?” tanyaku dan Ara mengangguk dengan ekspresi ketakutan.
Tidak heran. Ada laki-laki yang memang suka bertingkah di luar batas demi mencari perhatian orang yang dia sukai meskipun membuat orang yang disukainya itu tidak nyaman.
Aku mengeluarkan bukuku saat bel tanda istirahat telah berakhir. “Nanti. Gue coba di istirahat kedua.”
***
“Tuh, lihat tuh. Di sana. Di kumpulan cowok-cowok itu!” seru Ara dengan tidak sabar. “Dia lagi megang handphone gue yang warna pink itu. Eh, eh, dia mainin huhu hampir jatuh!”
Aku memandang sekumpulan cowok yang—wajah-wajah mereka tidak terlihat jelas karena jauh—sedang duduk di tribun lapangan. “Sekarang banget?”
Ara mengangguk cepat. “Mau gue pakai. Nanti Nyokap marah.”
Selain karena Ara tidak mau bertemu dengan kakak kelas yang mengganggunya itu, Ara juga tidak nyaman berdiri di depan belasan cowok yang sedang menongkrong. Di mataku, mereka semua hanyalah bocah-bocah SMA. Sementara bagi Dara, mereka adalah sekumpulan kakak kelas yang membuatnya canggung dan malu jika berdiri di depan mereka.
“Bisa kita ambil kalau mereka bubar nggak, sih?” tanya Reva. “Apa lo nggak kasihan sama Dara, Ra?”
Kutatap Dara yang menghentakkan kakinya pelan di lantai. “Masalahnya adalah kalau bukan sekarang kapan lagi? Dia lagi megang. Gue juga butuh banget buat kabarin Nyokap.”
“Kalau gitu, kita berempat aja—” Kata-kataku terpotong karena punggungku didorong oleh tiga pasang tangan.
Aku menoleh dan menatap tiga anak itu melambaikan tangan. “Semangat!” seru mereka bersamaan bagai kembar tiga.
Aku menghela napas panjang, lalu melangkah dengan berani. Kenapa aku tidak menolak dengan tegas? Aku bisa saja menolak dengan tegas apalagi menolak permintaan remaja berusia 15 tahun. Namun, ada satu alasan yang membuatku tetap melangkah.
Kak Lio.
Aku masih berharap bertemu secara alami dengannya di sana. Kuharap dia ada di antara sekumpulan remaja laki-laki SMA itu.
Rasanya aneh melewati sekumpulan anak-anak ini hingga berhenti di satu cowok yang duduk paling pinggir. Dia memegang ponsel pink yang tak lain adalah milik Ara. Cowok itu memutar-mutarnya di tangan. Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel milik Ara ke wajah laki-laki yang telah mengganggu Ara.
Keningnya berkerut samar-samar.
Kualihkan pandanganku ke samping, ke cowok-cowok SMA lain, dan memandang wajah mereka satu per satu sampai akhirnya … aku benar-benar menemukan Kak Lio di antara mereka.
Dia sedang duduk di tribun dan menyandarkan sikunya di tribun atasnya. Dia menguasai beberapa anak tribun dengan tubuh tingginya yang sedang bersantai. Kami berpandangan. Dia pasti melihatku karena keheranan dengan seorang siswi aneh yang tiba-tiba datang di antara sekumpulan siswa SMA.
Dari ekspresinya, dia sudah pasi tidak mengenaliku. Aku sudah berharap Kak Lio juga mengingat waktu yang terulang, tetapi itu tidak mungkin.
Aku merasa sesak karena pertemuan terakhir kami di kehidupan sebelumnya. Aku ingin bertanya tentang alasan dia meninggalkanku, tetapi sekali lagi aku tak akan pernah bisa tahu alasan itu.
“Hei, bro. Tuh cewek kenapa tiba-tiba nangis di depan lo?” Cowok di samping cowok yang menyita ponsel Ara berbicara. Sementara pandanganku tak lepas dari mata Kak Lio yang cukup jauh di sana.
“Haaah? Gue bahkan nggak kenal dia siapa!”
Kak Lio tersenyum kecil. “Jangan bilang gue yang bikin dia nangis?” tanya Kak Lio tiba-tiba. “Dari tadi dia ngelihatin gue, tuh.”
Iya, kamu yang membuatku menangis. Andaikan aku berani mengatakannya, maka Kak Lio pasti akan keheranan karena ini menjadi pertemuan pertama kami.
Sebenarnya aku tidak menangis. Mataku terlalu berkaca-kaca dan membuatku terlihat seperti sedang menangis.
“Kayaknya gue beneran yang buat dia nangis?” Kak Lio masih menatapku sambil tersenyum kecil. “Apa muka gue … serem?”
Senyumannya bahkan tidak mengartikan bahwa dia sedang keheranan. Senyumannya lebih terlihat seperti senyum menggoda. Aku segera mengalihkan perhatianku dari Kak Lio karena mataku semakin berair. Kulihat ponsel Ara yang dilempar oleh cowok di depanku ini dan langsung aku tangkap.
Aku segera pergi dan mendengar sumpah serapah dari cowok itu. “Oi, anj*ng! Pencuri lo! Balikin tuh handphone!”
Aku tidak peduli teriakannya. Aku sudah mempercepat langkah bahkan nyaris berlari saat Ara, Reva, dan juga Tiffany menyemangatiku agar segera tiba di sana.
Aku menoleh untuk memastikan cowok itu tidak mengejarku.
Dia baru saja terjatuh di dekat Kak Lio yang sedang menujulurkan sebelah kakinya tanpa sengaja.
***
PART 25
Ah, aku sedang malas bertemu orang, tetapi kenapa anak ini sedang berdiri di depan mejaku sambil menatapku dengan tatapan nanar? Jemarinya saling bertaut dan bibirnya mengerucut. Dia membuat Ara mengurungkan niatnya untuk segera ke kantin.
“Mereka semua, teman-teman kelas gue, tiba-tiba ngucilin gue, Dar,” kata Sherly.
Bukan hanya aku yang sedang heran melihat kemunculannya, tetapi Reva, Ara, dan juga Tiffany yang tak kenal Sherly juga keheranan pada Sherly dan masih mempelajari keadaan.
Ada perubahan lagi. Di masa sebelumnya, Sherly tidak mungkin dikucili. Dia bahkan jadi pemimpin gosip sampai orang-orang menyebutnya ratu gibah. Tidak ada yang berani melawannya karena jika ada yang melawannya maka orang itu akan dikucilkan karena kepandaiannya dalam mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menjauhi orang itu.
Aku menyangga sikuku di sandaran bangku. “Terus?”
“Mau ke kantin bareng?” tanyanya dengan senyum kecil yang terbit. “Gue janji nggak bakalan jadi tukang gibah lagi.”
Aku mengernyit. Apakah dia terlalu frustrasi karena dikucilkan satu kelas sampai rela mendatangiku?
“Dari kelas mana?” tanya Ara padaku. Dia bahkan memilih untuk bertanya padaku daripada bertanya pada Sherly langsung. Dia terlihat canggung dengan keadaan ini.
“Kelas sepuluh tiga,” balasku. “Kami satu SMP.”
Mulut Ara membulat dan dia mengangguk-angguk.
Aku berdiri dan mengusap leherku yang terasa kaku. “Bareng mereka aja. Gue nggak ke kantin.”
“Ta—tapi, Dar?” Sherly menatapku dengan memohon. “Lo mau ke mana? Mau ikut, dong.”
“No,” balasku cepat, lalu aku segera keluar dari perantara meja dan bangku. Kutatap Ara yang bibirnya sedang mengerucut. “Titip Sherly, ya? Kenalan aja. Kalau lo nggak mau kenalan, suruh aja dia balik ke kelasnya.”
Ara, Reva, dan Tiffany sepertinya sudah mengerti bahwa aku tidak makan di istirahat pertama.
“Dar, apa yang temen-temen SMP kita bilang dulu ternyata beneran, ya?” Perkataan Sherly menghentikan langkahku sejenak. “Secara tiba-tiba, lo jadi lebih dingin dan tegas dalam satu waktu. Kadang-kadang, gue berasa ngomong sama orang dewasa. Ngebuat gue ngerasa segan….”
Perkataannya itu membuat siswa-siswi yang masih ada di kelas ini jadi terdiam dengan pandangan penasaran. Aku segera keluar dari kelas dan melangkah lebar tak tentu arah. Mungkin saja, secara tidak sengaja aku akan bertemu Kak Lio lagi.
Kemarin adalah pertemuan pertamaku dengan Kak Lio yang di luar perkiraan. Semua sudah berbeda sejak awal. Pada akhirnya, bisa saja Kak Lio tidak akan pernah mencintaiku dan dia akan menjadi Kak Lio yang asing di kehidupan kali ini.
Apa aku melupakan Kak Lio saja dan menjalani hari-hariku tanpa memikirkannya? Tentu tidak. Kak Lio salah satu alasanku kembali ke masa lalu. Kak Lio juga hidup selama bertahun-tahun dalam bayangan-bayangan dan mimpi-mimpiku di kehidupan sebelumnya.
Aku tidak akan bisa melupakan Kak Lio begitu saja.
Perubahan-perubahan yang terjadi berkali-kali membuatku pesimis tentang Kak Lio yang tetap tertarik padaku di masa sekarang. Kak Lio pernah mengatakan bahwa aku lucu dan imut. Itu menggelikan…. Tentu saja sekarang berbeda. Meski ragaku adalah remaja 14 tahun yang sebentar lagi 15 tahun, tetapi sifatku ternyata tetap saja adalah seorang perempuan dewasa. Kak Lio tak mungkin akan tertarik pada diriku yang bertolak belakang dengan sebelumnya.
Ah, aku kan sudah bertekat untuk mendekati Kak Lio lebih dulu dibanding menunggu takdir mempertemukan kami tanpa sengaja. Bagaimana bisa aku melupakan niat yang muncul beberapa bulan lalu itu?
Apa salahnya seorang perempuan yang mendekati laki-laki lebih dulu? Salahnya karena harga diri? Siapa yang peduli tentang itu jika berada di posisiku?
Aku berhenti melangkah dan menoleh ke koridor lain ketika sosok Kak Lio tertangkap oleh pandanganku. Segera kulangkahkan kaki menuju ke arahnya tanpa berpikir panjang. Ketika menyadari Kak Lio ternyata berjalan ke arah belakang sekolah, langkahku perlahan-lahan mulai memelan. Namun, aku tidak berhenti. Aku tetap berjalan hingga akhirnya bisa melihat apa yang Kak Lio lakukan sendirian di belakang sana.
Saat melihat Kak Lio mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya dan sebuah pemantik api, aku hanya bisa termenung dan membandingkannya dengan masa lalu.
Kak Lio bukanlah seorang perokok. Aku tahu pasti itu karena kami lebih sering bertemu. Selama kami berpacaran, dia tidak pernah menggunakannya. Satu-satunya momen ketika aku melihatnya memegang rokok adalah saat dia mnemukan sebatang rokok di saku jaketnya karena diisengi teman-temannya.
Kak Lio menoleh ketika menyadari kehadiranku yang tentu saja akan tertangkap dengan cepat oleh penglihatannya. Tatapan bingung di wajahnya langsung tergantikan senyuman manis di wajahnya yang aku rindukan.
“Oh, lo cewek berani yang kemarin?”
Mataku berkaca-kaca. Kumohon jangan menangis, Dara. “Ini area sekolah. Seharusnya lo nggak boleh ngerokok.” Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. “Kak….”
Telunjuknya terangkat dan menyentuh bibirnya. “Sst. Ini jadi rahasia kita berdua. Oke?”
Aku membisu.
“Lo ngelihat gue dengan tatapan itu lagi…,” kata Kak Lio. “Apa gue ngebuat lo jadi ingat seseorang?”
Kak Lio mengernyit dan menatapku dalam. Dia menyelipkan rokok di antara bibirnya, lalu beberapa detik kemudian dia terbatuk. “Ah, sial,” umpatnya pelan, lalu dia membuang batang rokok yang baru terbakar sedikit itu ke tanah dan menginjaknya.
“Nggak ilfeel sama cowok perokok?” tanyanya saat menoleh padaku lagi. Aku masih tak mengatakan apa-apa. “Kenapa ngelihatin gue kayak gitu banget? Jangan bilang lo terpana sama gue?”
Bagaimana ini? Aku ingin berlari ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya, tetapi Kak Lio pasti akan kabur dariku karena kegilaanku. Lagipula aku tak mungkin menyentuh Kak Lio.
Aturan pertama yang aku buat saat kembali ke masa lalu adalah; tidak boleh bersentuhan dengan Kak Lio sedikit pun saat berada di dekatnya.
Kak Lio mengacak-acak rambutnya, lalu dia melangkah ke arahku dan berhenti di dekatku.
Dia menunduk dan berbisik di dekat telingaku. “Kalau tertarik sama gue, mundur aja dari sekarang. Gue lebih tertarik sama yang ganteng daripada yang cantik dan imut kayak lo.”
What…?
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
