Dara [Part 21-22]

2
0
Deskripsi

21-22

catatan: maafkan aku baru update karena belakangan ini banyak kejadian di luar kendali yang terjadi dan ngebuat aku nggak bisa nyentuh laptop huhu. selamat membaca lagi <3

PART 21

Alasan mengapa aku masih sulit melupakan Kak Lio dan masih berharap padanya, selain karena kepergiannya yang tidak jelas saat itu, adalah karena Kak Lio adalah seseorang yang baik dan pengertian. Segala pikiran negatifku tentang Kak Lio karena suatu hal pasti akan selalu terbantahkan dengan cepat. Kak Lio adalah pacar yang setia. Satu-satunya hal tak baik yang dilakukan Kak Lio selama berpacaran denganku adalah aib itu, yang kami lakukan atas dasar suka sama suka. 

Apalagi setelah mendengarkan cerita Ara tentang bagaimana Kak Lio ingin menemuiku sebelum ajal menjemputnya, membuatku berpikir bahwa ada sebuah alasan yang membuat Kak Lio meninggalkanku tanpa memberikan alasan yang jelas dan aku tak akan tahu tentang alasan itu karena perubahan alur kehidupan. Aku tak akan tahu alasan Kak Lio meninggalkanku kecuali aku bisa mencari jawabannya sendiri dengan bertanya pada makhluk bersayap yang saat ini tiba-tiba memunculkan dirinya sebelum aku membuka pintu dan menemui kedua orang tuaku yang sudah menunggu di ruang makan.

“Hei….” Kutatap wajah makhluk, yang katanya pernah menjadi manusia itu, dengan tatapan ragu-ragu. “Saya mau bertanya. Pasti pernah intip sepintas kehidupan saya sampai kamu datang dan nawarin kontrak. Kamu tahu Kak Lio—”

“Gue nggak bisa jawab,” potongnya dengan tegas sambil melipat kedua tangan di dada. Dia sedang duduk di atas meja belajarku dengan kedua sayap yang terbuka. “Gue datang untuk terakhir kalinya cuma mau sampaikan hal penting. Lo nggak boleh ungkapkan kalau lo ke masa lalu dan pengguna jasa Holtyum karena bisa saja di antara orang-orang sekitar lo ada yang terpilih dari Holtyum lain. Para pengguna Holtyum nggak boleh saling tahu bahwa mereka adalah pengguna jasa Holtyum. Di dunia ini ada banyak Holtyum dan kami nggak bisa saling melihat. Begitu pun dengan pengguna jasa Holtyum yang nggak boleh membocorkan info apa pun yang berhubungan dengan Holtyum.”

Cara bicaranya begitu informal. Tak heran, dia sendiri mengatakan bahwa dia dulunya adalah manusia. Entah bagaimana dia bisa berakhir menjadi makhluk bersayap. Bukan itu yang terpenting sekarang. “Please, apa kamu tahu sedikit tentang Kak Lio sebelum dia meninggal?”

Dia memalingkan pandangannya dariku sambil melambaikan tangan, lalu berucap dengan wajah datar. “Bye bye.”

“Tunggu!” seruku, tetapi dia menghilang begitu cepat.

Entah perasaanku saja atau bagaimana, dia sepertinya menyembunyikan sesuatu tentang Kak Lio.

Aku membelalak. Kak Lio meninggal di usia muda…, apakah ada hubungannya dengan Holtyum? Kepalaku terasa sakit. Kak Lio pernah menggunakan jasa mereka atau tidak, aku tetap tidak bisa tahu pasti tentang hal itu karena dibatasi oleh aturan Holtyum.

“Dara? Papa dari tadi nungguin kamu, loh.”

Aku menatap pintu kamar karena mendengar suara Mama, lalu menghela napas panjang. Sebelum aku kembali ke masa ini, Papa memiliki keluarga baru. Aku memiliki adik perempuan seayah di usia 24 tahun.

Alisa, adik perempuan kecilku, apakah akan terlahir kembali di dunia ini?

***

Ketika aku tidak menjawab dalam kondisi pintu kamar yang terkunci, Mama dan Papa pasti berpikir bahwa aku tertidur lelap.

Aku memanfaatkan itu dengan kabur dari rumah lewat jendela untuk melihat suasana kota, demi memastikan sekali lagi bahwa yang aku alami ini adalah sebuah kenyataan. 

 “Haha….” Aku tertawa kecil. Semua ini benar-benar nyata. Sekarang, aku berada di halte bus dan hanya mengenakan sandal rumah, piyama tidur, beserta sweter hitamku. Meski aku memiliki raga remaja SMP yang masih duduk di bangku kelas 9, tetapi jiwaku adalah seorang perempuan yang usianya sudah melewati seperempat abad. 

Aku bisa merasakan berisiknya kendaraan, terkena angin malam yang bercampur polusi, dan perbincangan beberapa orang di dekatku yang juga sedang menunggu di sini. Aku bisa merasakan bagaimana kedua kaki kecilku berayun di atas bangku halte sampai sebelah sandalku terjatuh. 

Ah, aku merasakan seseorang memandangku sejak tadi. Kupikir itu hanya perasaanku, tetapi ketika aku menoleh, seorang perempuan yang sepertinya lebih muda dari usia asliku memandangku dengan senyum kecil yang terselip kekhawatiran di wajahnya. Perempuan itu menatap ke sampingku, lalu kembali melihatku dengan tatapan bingungnya.

“Dek, bareng siapa ke sini?” tanyanya dengan hati-hati, lalu melirik sekali lagi ke sampingku yang baru saja kosong karena ditinggali oleh sepasang kekasih. “Kakak atau Mama Papa kamu ke mana?”

“Saya sendirian,” balasku cepat. 

Raut wajahnya berubah terkejut. “Se—ndirian? Kok sendirian?” Sepertinya, dia khawatir melihat anak perempuan berkeliaran di malam hari. “Kamu nggak ketinggalan, kan?”

Aku menggeleng cepat. Hah. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku adalah perempuan 27 tahun. Dia pasti akan tertawa atau terkejut hebat jika aku mengatakan itu.

“Saya pulang dulu, ya!” seruku, lalu turun dari bangku halte dan segera berlari sembari melambaikan tangan. 

Setelah ini, aku ke mana, ya? Aku masih ingin berkeliling dengan tubuhku yang masih sehat. Aku tidak mungkin akan tiba-tiba diculik karena ditawari es krim, kecuali aku diculik dengan cara digendong paksa ke mobil. 

Aku terus berjalan sambil mengingat-ingat kembali tempat yang pernah aku singgahi bersama Abel. Ah! Atau aku pergi ke rumah Abel saja malam ini? Hm, tapi pasti dia akan terkejut jika aku datang di malam hari. Terakhir kali bertemu dengannya adalah setelah kelulusan SMP. Aku jadi merindukannya meski aku bisa bertemu dengannya besok di sekolah.

“Kita udah putus! Ngapain lo masih ngikutin gue? Pergi nggak?!”

Aku menoleh saat mendengar suara yang tidak begitu asing. Meski ada beberapa orang yang berlalu, tetapi mereka terlihat tidak peduli. Seorang remaja laki-laki dan perempuan sedang bertengkar dan remaja perempuan itu aku kenali. 

Dia adalah Kak Abel, kakak kelasku saat SMA yang pernah aku cemburui. 

Argh, lepasin!” Kak Abel berusaha menarik tangannya yang dipegang erat oleh seorang cowok yang tak aku kenali. “Gue bilang lepas!”

Kak Abel begitu frustrasi karena seseorang yang sepertinya adalah mantan yang tak ingin diputuskan. Aku mengambil ponselku di kantong sweter, lalu kudekatkan ke telinga seolah-olah aku sedang menghubungi seseorang.

“Halo? Papa masih di kantor polisi? Cepat ke sini Pa. Soalnya ada cowok yang maksa-maksa dan kasar karena nggak mau putus.”

Mereka menoleh. Kak Abel dengan tatapan penuh harap dan cowok yang menatapku dengan tatapan marah. 

Kalau aku menghadapi ini di masa lalu, maka aku hanya akan berdiri dengan kaki gemetar dan tak tahu harus berbuat apa. Sekarang, bagaimana ya, mereka semua hanyalah bocah di mataku. Stuck di wajah itu kecuali Ara yang sudah pernah aku lihat wajah dewasanya dan Kak Lio yang ikut dewasa di mimpi-mimpi burukku.

Kutatap Kak Abel yang sedang menggigit bibirnya kuat-kuat. “Tenang, Kak, Papa aku polisi dan bentar lagi ke sini buat nangkap penjahat di depan Kakak.” 

Jelas itu kebohongan. Papaku bukan seorang polisi.

“Sial!” Cowok itu menghentakkan tangan Kak Abel hingga Kak Abel hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Ketika cowok itu mendekatiku dengan kedua tangan yang terkepal kuat, Kak Abel tiba-tiba menarik bahu cowok itu dan memberikan sebuah tamparan keras di pipi.

“Berhenti ganggu gue lagi cowok sialan!” teriak Kak Abel di trotoar yang kini menjadi tontonan sebagian orang yang penasaran.

Ketika cowok itu sepertinya akan membalas dengan pukulan, aku langsung melambaikan tangan pada sebuah kendaraan yang tentunya tak aku kenali. “PAAA! DI SINI!!!”

“ANJ*NG!” Teriakan cowok itu menjadi akhir dari pertemuannya dengan Kak Abel untuk malam ini. Dia pergi ke motornya dan segera mengenakan helm, lalu mengendarai motornya secara ugal-ugalan.

Kupandangi Kak Abel yang menjatuhkan tubuhnya ke trotoar sambil menangis tersedu-sedu. Aku baru melihat sisi Kak Abel yang seperti ini. Selama di bangku SMA, setahuku Kak Abel tak pernah berpacaran. Dia sibuk mendekati Kak Lio dengan maksud untuk lebih dari teman, meskipun tahu Kak Lio selalu dengan tegas melarangnya untuk mendekat dengan niat itu karena Kak Lio takut aku cemburu dan salah paham. Kak Abel bahkan mendekati Kak Lio sampai dia lulus dari SMA.

Aku menghela napas panjang. Kudekati Kak Abel sambil kuulurkan tanganku padanya. Kedua tangannya dia jauhkan dari wajahnya yang penuh air mata, lalu dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Thanks…,” katanya sambil menggigit bibir dan meraih tanganku yang lebih kecil dari tangannya. Dia berdiri meski tanganku tak cukup kuat untuk menariknya. Dia menghapus air matanya sambil tersenyum, lalu melihat sekeliling. “Bokap lo mana?”

Aku menggeleng. “Tadi itu bohong.”

Mulutnya membulat, lalu dia terbahak-bahak. “Keren banget lo berhasil bohongin cowok berengsek itu!”

Yah…, itu karena cowok tadi hanya seperti bocah ingusan di mataku. Apalagi aku tak pernah bertemu dengannya sebelumnya.

“Lo tinggal di mana?” tanyaku. “Mau pulang?”

Dia mengangguk kecil. “Lo sendiri?”

“Yah, nanti.” Aku melambaikan tangan pada sebuah taksi. Taksi itu menepi dan berhenti. Kutatap Kak Abel sambil membuka pintu mobil. “Naik, Kak.”

“H—hei, uang gue nggak cukup untuk naik taksi sekarang!” serunya setengah berbisik. 

Aku mengeluarkan dompetku dan kulihat uang yang aku tabung di sana. Aku masih ingat rumah Kak Abel di daerah mana jadi sepertinya cukup untuk Kak Abel dan aku. “Pak, ini. Anterin teman saya sampai rumahnya, ya. Ambil aja lebihnya.”

“Hei, tunggu!” seru Kak Abel sambil menarik tanganku. Aku bisa melihat tatapan tak enak di wajahnya.

“Nggak apa-apa. Naik aja.” Kodorong tubuhnya dengan sekuat tenaga agar naik. Sepertinya, dia juga ingin segera pulang karena masih mau naik meski sedikit keberatan. Aku segera menutp pintu sebelum dia berubah pikiran.

“Sudah hampir larut. Nggak baik buat anak cewek berkeliaran jam segini,” kataku dan Kak Abel langsung menaikkan alisnya tinggi-tinggi.

“Lo sendiri! Astaga lo sendiri kelihatannya lebih kecil dari gue!” 

Ini hanya soal tinggi badan. Pada dasarnya, secara raga kami hanya beda 1 tahun. Sementara jiwa? Bedanya belasan tahun!

Aku melihat sopir taksi. “Pak, anterin sampai depan rumahnya, ya? Papa saya polisi jadi jangan sampai teman saya kenapa-napa. Untuk jaga-jaga, saya rekam plat nomor taksi Bapak, ya?”

Sopir taksi itu mengangguk dengan sedikit tertawa.

Katanya, berbohong untuk kebaikan tak apa-apa. 

Aku melambaikan tangan pada mobil taksi yang mulai melaju sambil benar-benar merekam plat nomor mobil taksi itu. Aku menyadari Kak Abel tak bisa begitu tegas untuk menolak karena aku mengeluarkan uang cukup banyak. Itu karena dia baru saja mengalami kejadian yang membuatnya shock. Setelah dia sampai di rumah, dia pasti baru akan memikirkan semuanya dengan jernih. 

Tak apa. Kak Abel tak perlu merasa berutang budi. Toh, kalau aku tidak salah menghitung, beberapa hari lagi kami akan bertemu di sebuah gang. Pertemuan pertamaku dengan Kak Abel yang sebenarnya. 

 Dan … hari itu juga adalah hari paling berarti karena menjadi pertemuan pertamaku dengan Kak Lio.

***

 

PART 22

Tulisan ini untuk Mama. Jangan sampai orang lain baca. Dara minta, tolong Mama robek kertas ini sebelum Mama buang, ya? 

Dara akan langsung aja, ya, Ma? 

Kalau Mama lelah, jangan takut untuk cerai demi mempertahankan pernikahan karena “anak”. Dara nggak apa-apa, Ma. Bener-bener nggak apa-apa kalau Mama dan Papa cerai dan masing-masing memulai lembaran baru. 

Kalau Mama mempertahankan pernikahan Mama dengan Papa karena Dara dan menganggap itu adalah yang terbaik, Mama salah. Dara merasa nggak baik-baik saja karena Mama dan Papa berantem terus nggak peduli ada Dara di rumah atau tidak. 

 Sekali lagi, Ma, Dara nggak apa-apa kalau Mama memilih untuk cerai dengan Papa. 

Kecuali kalau Mama cuma jadiin Dara alasan, tapi “alasan sebenarnya” Mama memilih untuk mempertahankan rumah tangga Mama dengan Papa adalah karena masih cinta sama Papa, Dara … nggak tahu harus gimana. 

Cuma…, ini bukan harapan, tapi analisa Dara kalau Mama terus bertahan, yang ada cuma sia-sia. Dara pengin Mama sadar lebih cepat daripada menjalani hidup yang sia-sia dan ujung-ujungnya tetap berpisah karena Mama kelelahan sendiri.

Ma, nggak ada yang bisa dipertahankan untuk seseorang yang selingkuh. Lebih baik Mama mengakhirinya dari sekarang daripada mempertahankan dan hanya akan jadi penyakit. 

Ini saran dari Dara yang sebenarnya juga sedih, tapi nggak bisa berbuat apa-apa karena Mama dan Papa yang jalanin pernikahan. Dara cuma pengamat, sekaligus yang ikut merasakan kesedihan karena pertengkaran.

I love you, Mama. Aku selalu berdoa yang terbaik untuk Mama. 

Tanganku terhenti menyoret kertas dengan pulpen bertinta biru.

Dulu, di awal-awal pertengkaran mereka, aku tak tahu bahwa alasan utama pertengkaran yang terus menerus itu adalah karena perselingkuhan Papa. 

Benar. Tak ada yang bisa dipertahankan dari rumah tangga yang rusak karena perselingkuhan. Perselingkuhan adalah salah satu pengkhianatan terbesar. Apalagi pada akhirnya aku tahu bahwa Papa selingkuh sampai bersetubuh dengan perempuan itu, perempuan yang pada akhirnya tidak bersama Papa juga. 

Meskipun mentalku cukup baik untuk beberapa hal saat ini, tetapi untuk urusan keluarga aku tidak cukup berani untuk bicara bertatap muka dengan Mama membahas hal ini. 

Aku berani menyarankan perceraian karena pada akhirnya mereka juga akan bercerai setelah rumah tangga yang semakin hari semakin hancur selama bertahun-tahun. Benar-benar tak ada yang bisa diselamatkan. Aku hanya menyarankan agar mereka tidak menghabiskan sebagian hidup mereka dengan bertengkar. Dan yang terpenting adalah aku ingin ketenangan di rumah ini karena ke depannya aku akan menjadikan rumah ini sebagai “rumah yang sebenarnya.”

Kulipat kertas itu sebanyak empat kali, lalu kutaruh di saku kemeja SMP-ku. Aku meraih tas dan segera keluar dari kamar. Kumasuki ruang makan di mana Mama dan Papa sudah duduk di masing-masing kursi mereka.

Papa menatapku dengan senyuman hangatnya. Aku sudah tidak bisa lagi melihat Papa dengan cara yang sama karena pengkhianatannya terhadap Mama.

“Kemarin habis ngapain sampai kebanyakan tidur, hm?” 

“Nggak, kook,” balasku dengan intonasi yang berusaha kubuat seperti Dara remaja. “Dara masih dalam pertumbuhan jadi harus banyak tidur.”

Aku memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutku sembari menatap mata Mama yang sayu. Mama tak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Aku segera menghabiskan makanan sebelum Mama dan Papa selesai makan, lalu diam-diam pergi ke kamar Mama dan kumasukkan kertas yang sudah kutulis di dalam tas Mama. 

Setelah selesai, aku menunggu di beranda rumah sambil memakai sepatu dan menunggu Papa selesai. 

“Ayo.” Papa muncul sambil memegang ikatan dasinya. 

Di belakang Papa ada Mama yang berjalan dengan senyuman kecil sambil menatapku. Mama mengulurkan tangannya yang langsung aku raih dan kucium, lalu aku beralih memeluk Mama cukup lama. 

Mama dan Papa pasti keheranan melihatku yang tak biasa, tetapi aku hanya ingin memeluk Mama yang begitu kesepian di kehidupan sebelumnya. Aku benci Papa yang telah membuat kisah hidup Mama berakhir sedih sementara Papa hidup dengan tanpa rasa bersalah dengan keluarga barunya. 

 Aku menjauh dari Mama tanpa kata-kata dan segera kumasuki mobil Papa yang sudah menunggu di depan rumah. 

Mobil mulai melaju hingga hampir keluar dari area perumahan. “Pa, baju olahraga aku ketinggalan.”

“Loh? Untung kita belum jauh,” kata Papa, lalu membelokkan mobil ke lorong lain hingga kami kembali ke rumah.

Aku segera turun dari mobil dan berlari kecil. Setibanya di teras, aku mendengar suara tangis samar-samar. Aku melangkah, berusaha tak mengeluarkan suara dari sepatu yang beradu dengan lantai keramik. Suara tangis itu berasal dari kamar Mama. Itu jelas suara Mama yang menangis tersedu-sedu. Aku berhenti sesaat, lalu mengambil napas panjang dan mengembuskannya pelan. Kulihat Mama dari jauh pada pintu kamar Mama yang terbuka lebar. Mama sedang menangis sambil memeluk sebuah kertas yang aku kenali.

Seperti dugaanku, Mama langsung membacanya sebelum berangkat kerja.

Aku ingin datang memeluk Mama, tetapi aku sedang tidak ingin menangis kencang di pelukan Mama karena hanya akan menjadi perhatian Papa.

Aku segera kembali ke mobil tanpa membawa apa pun.

“Baju olahraga sudah kamu masukin ke tas?” tanya Papa yang kubalas dengan anggukan malas.

Sejak awal, baju olahraga itu memang sudah ada di dalam tasku.

***

Hari pertamaku kembali ke masa remaja, aku benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengan Kak Lio. Aku bahkan berpikir untuk menemui Kak Lio di kosannya. Namun, aku dengan cepat bisa mengendalikan keinginanku itu dan bersabar hingga hari ini akhirnya tiba.

Aku sudah berusaha mencocokkan semua kejadian hari ini dengan susah payah dan akhirnya kami berhasil dihadang oleh sekumpulan anak SMA yang suka mengganggu anak-anak SMP yang lewat di gang kecil ini. 

Seorang bocah SMA berjongkok di depan Abel. “Kalian berdua dari sekolah?” 

 “I—iya, Kak,” kata Abel.

Akhirnya! Ini sudah dimulai, tetapi ada satu hal yang aneh. Di mana Kak Lio? Bagaimana pun aku berusaha mengintip lewat tubuh teman-temannya yang menghalangi, tetapi aku tidak bisa melihat kehadirannya.

Atau dia belum datang?

“Eh, tunggu. Tunggu. Tunggu!” Suara Kak Abel mengalihkan fokusku dari mencari Kak Lio. “Lo bukannya anak ingusan malam itu, ya? Astaga beneran!”

Kak Abel mendekatiku dan memelukku sampai aku merasa sesak napas. “Akhirnya kita ketemu lagiii, malaikat gueee!”

Dia memelukku sampai aku sedikit berjinjit. Anak ini benar-benar di luar dugaan.

Pandanganku tertuju ke posisi yang seharusnya Kak Lio berada. Aku bisa melihat dengan jelas. Kak Lio tidak ada. Ke mana dia? Kenapa hanya ada teman-temannya? Bukannya dia ada di sana? Bersandar di dinding dengan postur tubuhnya yang menarik di usia remaja?

Aku sudah belajar mati-matian berteriak seperti tikus terjepit pintu demi mengulang momen pertemuan pertama kami agar perhatian Kak Lio tetap tertuju padaku.

Aku mendorong Kak Abel, lalu berlari ke arah di mana Kak Lio seharusnya berada.

Kosong. Tak ada. Benar-benar tak ada!

“Ngapain tuh bocah?” 

Aku menoleh pada seorang cowok yang barusan bertanya. “Kak Lio di mana?”

Keningnya berkerut samar. “Lio siapa?”

“Lio yang gue tahu bukannya yang ada di kelas sebelah itu?” tanya Kak Abel sambil berpikir.

Tunggu! Kenapa Kak Abel mengucapkannya seolah-olah dia dan Kak Lio tidak dekat? Aku memang tahu mereka tidak sekelas, tetapi bukannya mereka sudah menjadi teman akrab?

Ah, tidak…. Aku melupakan teori butterfly effect. Pertama kembali ke masa ini, sudah banyak hal yang berbeda. Terutama pertemuan pertamaku dengan Kak Abel yang berbeda.

Apakah ini benar-benar butterfly effect atau … Kak Lio juga seorang pengguna yang juga melakukan kontrak dengan Holtyum dan sedang menghindari pertemuan pertama kami? 

Tidak…. 

Bagaimanapun, aku tidak tahu banyak tentang Holtyum dan yang paling jelas adalah kenyataan bahwa aku tak akan mungkin mendapatkan jawaban tentang Kak Lio merupakan pengguna jasa itu atau tidak. 

Satu-satunya yang bisa aku yakini saat ini adalah semua ini berubah karena butterfly effect. Perubahan kecil yang berdampak besar di masa depan. Seperti sekarang.

Aku menatap Abel yang berdiri ketakutan sekaligus bingung. Aku berlari ke arahnya, lalu segera menariknya untuk pergi tanpa peduli dengan teriakan Kak Abel yang terus memanggil-manggilku dengan sebutan menggelikan “My Angel”.

Aku tidak sabar jika harus menunggu berbulan-bulan sampai aku memasuki SMA.

Hingga akhirnya aku benar-benar nekat dan pergi ke kosannya, tetapi aku tidak mendapatkan nama Kak Lio dalam daftar penghuni kosan itu.

Semuanya sudah kacau sejak awal aku tiba di masa ini, tetapi “kekacauan” yang aku buat itu untuk beberapa hal demi kebaikan. Aku tak mungkin menutup mata dan membiarkan semuanya berjalan dengan sama sampai pertemuan pertamaku dengan Kak Lio tiba. Bagaimana pun, sengaja atau tidak, pasti akan ada banyak hal yang berbeda karena keadaan.

Jika ke depannya aku tidak berusaha mendekati Kak Lio lebih dulu, maka mungkin saja Kak Lio tak akan pernah mengenalku di kehidupan kali ini. 

Jika itu terjadi, maka menjadi asing di mata Kak Lio adalah patah hati paling berat dibanding dia pergi meninggalkanku tanpa kejelasan di kehidupan sebelumnya.

***


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dara [Part 23-25]
1
1
23-25
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan