SATPAM GENDENG Ch. 7

6
0
Deskripsi

Update setiap rabu dan sabtu

Senin pagi, ruang serba guna lantai 5 Spazio Tower berubah jadi arena gaming dadakan. Banner bertuliskan “VIRTUAL OUTBOND: Synergy Through Mobile Legends!” tergantung miring di dinding, dikelilingi balon warna-warni yang sudah mulai kempes. Tim Direktur Utama, dengan headset gaming mahal dan jersey bertuliskan “BOSS SQUAD”, sudah duduk di meja khusus, wajah mereka penuh kepercayaan diri.

“Liat tuh, Pak,” bisik Rizky sambil menunjuk layar proyektor. “Mereka pake skin limited edition. Katanya outbond, tapi jadi kayak ajang pamer duit!”

Irwan menggeser kacamata, matanya menyipit licik. “Kita cuma punya skin kolor. Tapi…” Suaranya rendah, “…aku punya laporan keuangan tim mereka bulan lalu. Diamond mereka cuma cukup buat beli emblem level 30!”

Pertandingan babak final dimulai dengan panas. Irwan yang memakai hero Lesley harus berhadapan dengan tim Direktur yang curang pakai jasa booster. “Ki, mereka hack map!” teriaknya, jari gemetar menekan retribution.

Rizky, dengan Akai-nya, mendorong kursi mendekat. “Fokus ke turtle, Pak! Aku yang hadang.” Bau minyak angin dari tangannya menyengat, tapi entah kenapa membuat Irwan tenang. Di menit akhir, Rizky melakukan flicker ke arah Lord sambil teriak, “Pak, last hit!”

Layar bergetar: “MANIAC!” Sorak-sorai memenuhi ruangan. Office boy sampai resepsionis berjingkrak-jingkrak. “CFO KILLER!” teriak Mbak Nia sambil mengarahkan kamera TikTok ke arah mereka.

Tapi senyum Rizky pudar saat Direktur Utama mendekat dengan wajah masam. “Selamat, Pak Irwan. Tapi kayaknya satpam tidak perlu ikut ke Bangkok. Biar tim audit saja yang menemani.”

Irwan menatap dingin, tangannya menggeser laporan keuangan di tablet. “Kami berdua tim. Kalau Rizky nggak ikut…”

“Bapak berani ancam saya?”

“Saya cuma ingatkan,” ujar Irwan sambil mengetuk-ngetuk layar tablet, “recharge diamond tim Bapak kemarin pakai dana CSR. Top up-nya tanggal 5, pas hari gajian outsourcing.”

Ruangan senyap. Rizky menunduk, bahunya bergetar menahan tawa.

***

Malam itu, di balkon apartemen Irwan, lampu kota Surabaya Barat berkelap-kelip seperti permadani bintang. Rizky memainkan helm motornya sambil bertanya, “Jadi… beneran nolak tiket ke Bangkok?”

Irwan membuka aplikasi travel di ponselnya. “Kita pesan tiket sendiri. Pakai duit pribadi.”

“Lagian, liburan sama direktur nggak seru,” potong Irwan, senyum nakal mengembang. “Mending ke Batu Malang. Naik motor lewat jalur Tumpang, makan rawon iga di pasar pagi, terus clash di Jatim Park. Siapa tau bisa healing beneran.”

Rizky terkekeh. “Bapak mah sok romantis. Nanti di Museum Angkut malah ngitungin pajak mobil antik!”

“Nggak juga. Aku mau liat kamu teriak-teriak di rumah hantu,” balas Irwan sambil mengetuk helm Rizky.

Dari ponselnya, notifikasi MLBB berbunyi: “IRWAN_GANS telah mengundang Anda ke room.” Angin malam berbisik lembut, membawa aroma kopi dan janji petualangan baru yang lebih hangat, tak sejauh Bangkok, tapi cukup untuk membuat dua hati ini berdebar sama.

***

Matahari pagi menyinari jalanan Surabaya ketika motor CBR 150cc Rizky melaju pelan menyusuri Jalan Raya Malang. Irwan duduk di belakang, tangan erat memeluk pinggang Rizky, tas ransel berisi baju casual tergantung di antara mereka. Keduanya mengenakan jaket kulit tipis, hadiah "kemenangan" dari turnamen MLBB yang mereka menangkan meski tanpa dukungan direksi. Sepanjang perjalanan, pemandangan berubah dari gedung-gedung tinggi menjadi hamparan sawah hijau yang tertiup angin. Mereka berhenti di warung pinggir jalan di Mojokerto, sarapan nasi pecel sambel bawang dengan segelas teh hangat. Irwan memandang Rizky yang asyik bercanda dengan penjual sambal, lalu tersenyum sendiri. Ini lebih baik dari meeting di ballroom hotel, fikirnya.

Perjalanan dilanjutkan melewati jalan berkelok di Kabupaten Malang. Udara semakin sejuk, dan aroma pinus mulai menggantikan bau knalpot. Rizky menepi di sebuah kebun stroberi di Desa Pujon. “Mampir dulu, Pak. Buat foto-foto sama stroberi segar,” ajaknya. Irwan mengernyit, tapi akhirnya tertawa saat melihat Rizky memakai topi petani anyaman yang dipinjamkan pemilik kebun. Mereka berfoto dengan latar hamparan buah merah, sementara petani setempat tersenyum geli melihat aksi sang CFO yang kikuk memetik stroberi.

“Ki, kapan sampai? Aku mulai kedinginan!” protes Irwan, hidungnya sudah memerah setelah dua jam berkeliling kebun.

Rizky melemparkan tumbler berisi air hangat. “Minum ini, biar nggak masuk angin. Kalau sampai masuk angin nanti malah nggak bisa nikmatin liburan.”

Matahari mulai tenggelam ketika mereka tiba di penginapan kayu bergaya rustic di lereng Gunung Banyak. Irwan menyerahkan KTP-nya ke resepsionis muda yang tersipu. “Kamar double bed, ya? Ada pemandangan langsung ke lembah,” ujar resepsionis itu, mencoba menyembunyikan senyum kecut.

“Iya, terima kasih,” sahut Irwan singkat, mengambil kunci kamar.

Kamar mereka sederhana namun hangat: ranjang kayu besar dengan selimut rajutan tangan, meja kecil dari drum bekas, dan balkon menghadap lembah yang diselimuti kabut senja. Rizky melepas sepatu boots-nya dengan kikuk, sementara Irwan berdiri di balkon, menatap asap dari cerobong rumah penduduk di kejauhan.

Malam itu, mereka makan rawon iga di warung tenda dekat alun-alun. Irwan tertawa geli melihat Rizky berkeringat kepedasan. “Katanya jago makan sambal, Ki?” godanya. Rizky mengipasi mulutnya dengan tangan. “Ini sambal level setan, Pak! Kalau ini ada di deket kantor, dijamin bakal bolak balik ke WC nggak jadi meeting!”

Sepulang makan, mereka jalan kaki menyusuri jalan sepi. Suara jangkrik dan gemericik air irigasi mengisi kesunyian. Di kamar, lampu temaram dan alunan lagu jazz dari ponsel Rizky menciptakan atmosfer yang berbeda. Irwan duduk di tepi ranjang, jemarinya memainkan gelang kayu di pergelangan Rizky. “Aku… nggak mau ini cuma jadi liburan,” bisiknya, suara parau. Rizky menelan ludah. “Maksud Bapak?”

“Jangan Bapak mulu ah, Ki. Udah nggak di kantor ini, panggil sayang aja gimana?” ujar Irwan dengan ekspresi meringis menampilkan gigi rapi dengan mata yang berbinar nakal.

Rizky tersedak tawa. “Ya… ya nggak bisa gitu juga, Pak… eh, Wan!” Pipinya memerah.

Tanpa kata, Irwan menarik kerah kaos Rizky, mendekatkan wajah mereka. Nafas mereka berbaur, hangat dan gemetar, sebelum akhirnya bertemu dalam ciuman yang lama tertahan.

Di balik pintu kamar mandi beruap, Rizky menahan nafas saat jemari Irwan menyibak kaosnya. “Pak… eh, Wan…” gumannya parau, “…selama ini aku cuma bisa liat dari jauh.”

Irwan mendesah, tangannya menelusuri bekas luka operasi di perut Rizky. “Justru ini yang paling nyata,” bisiknya, bibir menyentuh telinga Rizky. “Dan jangan panggil aku Pak lagi, ngerti ini perintah dari atasan.”

“Iya, Pak… eh, maksudku… sayang,” Rizky tersipu, kikuk menyesuaikan panggilan baru itu.

Angin malam menggoyang dahan pinus, menyaksikan dua tubuh yang saling menemukan, satu dengan kulit halus bekas hidup di menara gading, satu lagi dengan luka pelatihan satpam dan tahi lalat di punggung.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Satpam Gendeng
Selanjutnya SATPAM GENDENG Ch. 8 - PAY TO READ
8
0
Update setiap rabu dan sabtu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan