Between Sympathy Ch. 14

1
0
Deskripsi

Update setiap rabu dan sabtu

Kontrakan Akmal lebih mirip kubangan sampah ketimbang tempat tinggal. Bau apek keringat bercampur asap rokok menyergap hidung begitu Laili membuka pintu. Di sudut ruangan, Akmal terduduk meringkuk seperti anak kecil ketakutan, tubuhnya terlihat lebih kurus tertutup kaos oblong kumal yang sudah berubah warna. Rambutnya acak-acakan berminyak, janggut lebat menutupi rahang, dan mata sembab merah dengan lingkaran menghitam seolah tak tidur berhari-hari.  

"Bang...?" Laili memanggil pelan, suaranya gemetar. Di belakangnya, Lukas berdiri kaku, tangan menggenggam bungkusan nasi ayam goreng yang masih hangat.  

Akmal tak menoleh. Matanya kosong menatap dinding retak di hadapannya, dihiasi foto-foto Bromo yang sudah disobek-sobek berhamburan di lantai. Laili melangkah pelan, menghindari botol minuman keras yang berserakan. "Kami bawain makanan, Bang. Abang belum makan, kan?"  

Tak ada respon. Hanya suara kipas angin berderit yang memaksa memecah keheningan. Laili memberanikan diri menyentuh bahu Akmal. Seketika, tubuh itu mengeras seperti patung.  

"JANGAN SENTUH GUE!" Akmal menjerit tiba-tiba, bangkit dengan gerakan kasar hingga kursi plastik di sampingnya terjungkal. Laili terpelanting mundur, nyaris menabrak Lukas.  

"Bang, kami cuma mau bantu..." Lukas mencoba menengahi, tapi kalimatnya terpotong oleh amukan Akmal.  

"BANTU APA?! GUE NGGAK BUTUH BELAS KASIHAN!" Akmal mengacak-acak lemari kayu lapuk di sudut ruangan. Baju-baju berhamburan keluar, sebagian masih menempel aroma parfum Andrean yang samar. "PERGI! KALIAN PIKIR GUE PENGEMIS?!"  

Laili menahan tangis. Di depan matanya, Akmal yang dulu tegar kini seperti binatang terluka, liar, tapi rapuh. Tubuhnya tersungkur di lantai, tangan mencengkeram kaus kaki Andrean yang terselip di antara tumpukan baju. Nafasnya tersengal-sengal, bahu bergetar tak terkendali.  

"Bang..." Laili berjongkok pelan, jari-jarinya gemetar mengulurkan nasi bungkus. "Makan dulu, ya? Abang kan dari tadi..."  

Akmal menyapu tangan kasar, membanting bungkusan itu ke dinding. Nasi dan sambal berceceran di lantai, kuah sambal menetes seperti darah segar. "GUE BILANG PERGI!!!"  

Lukas menarik Laili menjauh, tapi gadis itu memberontak. Air matanya jatuh deras. "Kita nggak akan pergi sampai Abang cerita! Abang kenapa sih?!"  

Akmal tertawa getir, suaranya parau seperti besi berkarat. "CERITA APA?! LO MAU TAU APA?! GUE GILA? GUE CACAT? GUE..."  

Tiba-tiba, tangisnya pecah. Tubuh kurus itu meringkuk di lantai, wajah terkubur di antara lutut. Suara isakannya menggema di ruangan sempit, lebih menyakitkan daripada teriakan.  

Laili dan Lukas saling pandang. Di luar, hujan mulai deras, seolah langit ikut meratapi kehancuran yang tak terucap.

Laili tak bergeming. Air matanya bercampur keberanian saat mendekati Akmal yang masih meringkuk. "Abang harus cerita! Kita nggak bisa bantu kalo Abang nutup-nutupin!" Suaranya bergetar, tapi tegas.  

"LO NGGAK AKAN NGERTI!" Akmal mengangkat wajah, mata merahnya menyala seperti bara. Pipinya basah oleh air mata dan ingus. "GUE DILUKAIN SAMA DIA! TAPI GUE... GUE..." Suaranya tercekat, tangan meninju lantai hingga memar.  

"Dia siapa, Bang?" Lukas bertanya hati-hati, tubuhnya setengah jongkok di samping Laili.  

Akmal menggeleng liar, rambutnya yang berminyak menutupi separuh wajah. "ORANG YANG GUE PERCAYA! YANG GUE KIRA BEDA DARI YANG LAIN!" Teriaknya sambil meremas kaus kaki Andrean yang masih tergenggam. "TAPI DIA JUGA BUANG GUE KAYAK SAMPAH!"  

Laili menelan ludah. Firasatnya selama ini berkelebat di pikiran, foto-foto tersembunyi dan nama Andrean yang selalu dihindari Akmal. "Ini... ini soal Andrean, ya?"  

Seketika, udara ruangan seperti membisu. Angin menerjang jendela reyot, membawa hujan dan petir yang menggelegar.  

"BANGSAT! JANGAN SEBUT NAMA DIA DI DEPAN GUE!" Akmal melolong, bangkit dengan gerakan kasar. Tubuhnya limbung, tapi tetap menunjuk ke arah Laili dengan jari gemetar. "LO TAU APA?! DIA... DIA..."  

Tiba-tiba, napasnya tersedak. Tubuh Akmal terguncang oleh isakan yang lebih keras dari sebelumnya. "GUE COWOK! DIA JUGA COWOK! KALIAN PASTI JIJIK KAN?!" Raungnya, suara parau pecah oleh rasa malu dan sakit. "GUE NGGAK NORMAL! GUE HOMO!"  

Laili terpaku. Di matanya, Akmal yang dulu selalu jadi pelindung kini seperti anak kecil yang kehilangan arah, telanjang secara emosional, terbuka dengan luka yang selama ini dikubur. Lukas menarik napas dalam, wajahnya pucat.  

"Abang..." Laili mencoba menyentuh lengan Akmal, tapi dihentak.  

"JANGAN! LO SEKARANG TAU KAN?! GUE SUKA SAMA COWOK! GUE... GUE..." Akmal menatap tangannya sendiri yang memar dengan darah tipis bekas tinjunya ke lantai, seperti baru menyadari betapa kotornya ia di mata dunia. "GUE HARUSNYA MATI AJA DARI DULU!"  

Di luar, petir menguak langit. Kilatan cahaya menyoroti foto Bromo yang tersisa, dua cangkir kopi dan bayangan tangan yang saling bersentuh.  

Laili tak bergerak. Air matanya jatuh deras, tapi suaranya justru mengeras, dipenuhi tekad. "Jijik? Kenapa harus jijik?" Tangannya meraih tangan Lukas, jari-jari mereka saling mengunci. “Aku sama Lukas juga dicap ‘salah’ cuma karena aku Muslim, dia Katolik. Kata orang tuaku, hubungan kami nggak normal. Terus apa bedanya?”

Akmal mengangkat wajah, mata merahnya membelalak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar.  

“Cinta ya cinta, Bang!" Laili memotong, suaranya meninggi. “Aku nggak peduli siapa yang abang cinta. Yang penting abang bahagia. Ini salah siapa? Andrean? Atau orang-orang yang nggak ngerti?”

Lukas mengangguk pelan, tangan kanannya menepuk bahu Akmal yang menggigil. “Aku juga dibilang pendosa sama keluarga besar Laili. Tapi kami tetap bertahan. Karena kami yakin, cinta nggak kenal agama... ataupun gender."  

Akmal terisak. Tubuhnya lunglai, seperti boneka yang talinya putus. "Tapi... gue cowok. Dia juga cowok. Orang-orang bakal—"  

“Orang-orang juga bakal ngatain aku sama Lukas! Apa bedanya?!" Laili memotong kasar, tapi matanya lembut. “Kita semua cuma cari bahagia, Bang. Nggak ada yang salah.”

Ruangan kembali sunyi. Hujan di luar mulai mereda, hanya gerimis yang tersisa. Akmal menatap tangan Lukas yang masih menempel di bahunya, panas, tegas.  

"Aku... aku nggak nyangka kalian..." Akmal tercekat, tangisnya kembali meledak. Kali ini, bukan amarah, tapi kelegaan yang tertahan terlalu lama.  

Laili merangkak mendekat, tanpa ragu menarik kepala Akmal ke pangkuannya. Tangan kecilnya membelai rambut Akmal yang kusut berminyak. "Cerita aja, Bang. Aku sama Lukas nggak akan pergi," bisiknya, suara hancur oleh tangis. “Kita di sini. Nemenin abang.”

Lukas mengangguk, duduk bersila di samping mereka. "Kita nggak bisa janjiin semua masalah selesai. Tapi kita bisa dengerin."  

Akmal menggigit bibir. Di pangkuan Laili, ia seperti anak lima tahun yang baru saja jatuh dari sepeda. "Dia... Andrean..." suaranya pecah, tapi kali ini, ia tak lagi berusaha menahan.  

Tiba-tiba Akmal menggeliat seperti binatang terjepit, tubuhnya terpelanting dari pangkuan Laili. "Jangan pura-pura ngerti! Lo berdua nggak bakal ngerti!" Raungnya, tangan meraih botol minuman kosong dan melemparkannya ke dinding. Kaca pecah berhamburan, potongan-potangan kecilnya berkilat seperti air mata yang membeku.

Laili menjerit ketakutan, tapi Lukas menahannya. “Biarin dia luapin semuanya!”

"GUE BENCI DIRI GUE SENDIRI!" Akmal merobek kaus oblong yang dipakai, memperlihatkan bekas luka goresan kuku di dada. "Liat?! Ini semua buat ngehibur diri! Setiap kali gue ingat dia, gue cakarin kulit gue biar ngerasa sakit yang lain! Bukan sakit gara-gara inget dia!" Tangannya mencakar lengan hingga berdarah, tapi wajahnya kosong, seolah tak merasakan apa-apa.

Laili menjerit histeris: "Berhenti, Bang! Jangan sakiti diri lagi!”

"LO PIKIR GUE BISA BERHENTI?! DIA ADA DI MANA-MANA!" Akmal menunjuk perca-perca foto yang tersisa di lantai. “Di kopi, di hujan, di nafas gue sendiri! Bahkan waktu gue tidur, dia datang kayak hantu!”

Lukas tiba-tiba maju, menahan kedua tangan Akmal yang hendak mencakar wajahnya sendiri. “Kamu nggak sendiri, Bang! Aku sama Laili juga ngerasain ini! Bedanya, kami punya satu sama lain. Kamu juga bisa!”

Akmal menggelepar, tapi pelukan Lukas terlalu kuat. “Lepasin gue! Gue nggak layak dibantu!”

"Kamu layak!" Laili merangkul dari belakang, air matanya menetes ke punggung Akmal. “Kamu layak dicintai, Bang. Apa pun yang terjadi.”

Kegelapan menyelimuti kontrakan, hanya diterangi kilatan sesaat dari luar. Dalam pelukan Lukas, tubuh Akmal perlahan lemas. Isakannya tak lagi meledak-ledak, tapi mengalir pelan seperti sungai yang mulai tenang setelah terjangan hujan deras.

"Aku... aku nggak sanggup..." bisiknya lirih, wajah tertunduk. Laili segera meraih tangan Akmal yang berdarah, mengelusnya dengan tisu dari dalam tasnya. “Abang nggak perlu sanggup sendirian. Kita di sini, Bang.”

Laili menyeka air mata Akmal dengan ujung kaosnya. “Abang tahu kenapa aku suka banget sama dodol dari Lukas? Karena itu udah kayak simbol buat kita, bang. Manisnya harus diperjuangkan, meski pahit di awal.”

Nafasnya mulai teratur "Aku... aku sayang dia. Tapi dia malu sama aku," suaranya pecah.

"Bukan kamu yang salah, Bang," Laili memotong. "Dia yang nggak cukup kuat. Tapi kamu, kamu udah berani jujur sama diri sendiri. Itu lebih dari cukup.”

Lukas mengeluarkan gelang anyaman dari saku. "Ini jatuh di lantai tadi." Gelang itu diletakkan di telapak tangan Akmal. “Cinta itu kayak anyaman, bang. Kadang ada benang yang putus, tapi selama kita mau nambal, nggak ada yang nggak mungkin.”

Akmal menggenggam gelang itu erat. Di luar, hujan reda. Cahaya bulan menyelinap lewat jendela, menyapu wajahnya yang basah. "Aku takut... takut nggak bisa move on," bisiknya.

"Kita berdua janji bakal temenin abang, setiap hari," Laili berjanji. “Sampai abang bisa ketawa lagi kayak dulu.”

Kontrakan yang sempat dikoyak amarah kini dipeluk keheningan. Akmal lemas, kepala rebah di paha Laili yang hangat. Nafasnya masih tersendat, tapi tangisnya tak lagi meledak, hanya air mata yang mengalir pelan, seperti hujan gerimis usai badai. Laili membelai rambutnya yang kusut, jari-jarinya lembut menyisir setiap helai yang menggumpal.

"Nggak apa-apa nangis, Bang. Keluarin aja," bisik Laili, suaranya serupa nyanyian pengantar tidur. Di sebelahnya, Lukas mengelus pundak Akmal dengan gerakan teratur, jari-jarinya menenangkan otot yang masih tegang.

Akmal memejamkan mata. Genggamannya pada gelang anyaman perlahan mengendur, tapi tak lagi gemetar. "Aku... aku malu," desisnya lirih, suara parau tertahan.

"Kami justru bangga," Lukas menyela, matanya berkaca-kaca. “Abang udah berani ngehadapin ini semua. Banyak orang nggak sekuat abang.”

Laili mengangguk, tangan tak berhenti membelai. “Besok kita bersihin kontrakan ini, ya? Aku bawain pengharum kamar aroma kopi, kesukaan abang.”

Akmal tersenyum getir. Masih ada yang ingat. Perlahan, ia menatap sobekan foto kenangan Bromo di lantai, dua cangkir kopi yang retak oleh lipatan kasar, tapi masih utuh. Seperti dirinya sekarang.

Di luar, langit jernih. Bulan purnama menyinari genangan air di jalanan, memantulkan cahaya ke dalam kontrakan. Akmal menarik napas dalam, mencium campuran aroma sabun Laili, minyak angin dari Lukas, dan sisa rokoknya sendiri. Hidup.

"Makasih," gumamnya, suara nyaris tak terdengar.

Laili menekan pelan kepala Akmal ke pangkuannya. "Tidur, Bang. Besok kita mulai dari nol lagi.”

Lukas mematikan lampu darurat, menyisakan cahaya bulan yang menyapu lantai. Dalam gelap, tiga tubuh itu bersandar, satu tertidur lelah, dua lainnya berjaga. Di sudut ruangan, gelang anyaman tersimpan di atas meja, warna merah dan biru yang mulai pudar.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Between Sympathy Ch. 15
2
0
Update setiap rabu dan sabtu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan