Hidup setelah keluar penjara tidaklah mudah. Akankah Seokjin dan Namjoon mampu bertahan dengan segala kesulitan yang kembali mendera?
Namjoon memasukkan kedua tangannya ke saku. Ia mendongak memandang langit yang mendung dan matahari bersinar redup.
Ironis sekali. Di hari dimana ia seharusnya merasakan kebahagiaan yang luar biasa dunia seakan tidak mendukungnya.
Matanya bertemu pandang dengan seorang wanita paruh baya yang bergenggaman tangan dengan seorang pria yang tampak seusia.
Keduanya tampak canggung dan ragu. Jelas mereka ingin mendekati Namjoon, tapi sesuatu menghentikan mereka.
Namjoon sama sekali tidak mempedulikan ketegangan dan sikap sedikit bermusuhan. Kakinya langsung memacu ke arah kedua orang itu. Dipeluknya erat si perempuan tua. "Eomma!!!"
Pelukan yang Namjoon terima jauh lebih kencang, dan begitu lama. Dalam waktu yang singkat, terasa segala kerinduan yang bertahun-tahun ditahan karena sebentuk ego.
Sulit bagi orang tua Namjoon untuk mengakui bahwa anak semata wayang mereka yang jenius tidak bahagia dengan jalur karir akademisi yang mereka siapkan untuknya, lengkap dengan network dan posisi yang bergengsi.
Petunjuk selalu ada, walaupun dengan mudah diabaikan. Sampai akhirnya mereka dipaksa menerima kenyataan putra mereka menjadi narapidana.
Di saat Namjoon paling membutuhkan mereka justru meninggalkannya, pindah ke Eropa dan menyelamatkan dunia kecil mereka yang nyaman dan aman.
Tapi darah selalu lebih kental. Bahkan kemarahan dan kekecewaan tidak bisa mengalahkan rasa sayang pada pemuda yang sudah mereka besarkan dengan susah payah.
Hingga pada suatu hari, nomer ponsel tua yang mereka tetap simpan, berdering.
Pesan berisi foto candid seorang pria muda yang rupawan, mengabarkan bahwa Namjoon sudah bebas, dan ia menemukan seseorang yang disebutnya the one.
"You'll love him, mom. He's an angel fallen from the sky just for me to catch."
Tapi lagi-lagi, mereka memilih untuk tidak mengacuhkannya. Seorang guru besar memiliki anak scammer saja merupakan kenyataan yang masih sulit mereka terima. Ditambah sekarang anak ini menyukai sesama pria. Apa kata kolega dan teman-teman mereka?
Tapi pesan-pesan terus berdatangan. Namjoon cukup bijaksana untuk menyiratkan bahwa ia tidak melupakan orang tuanya dan tetap ingin mereka ada di naik turun hidupnya.
Ia mengabarkan kalau ia dipecat, kabar berikutnya ia mendapat pekerjaan baru. Ia menceritakan kalau ia kini resmi berpacaran dengan pemuda yang selalu disebutnya sebagai "my angel", dan beberapa minggu kemudian mereka hidup bersama.
Tidak terasa, waktu berlalu.
Lalu datanglah pesan yang menakutkan. Pesan pengakuan bahwa Namjoon masih hidup di dunia kejahatan, dan mungkin ini adalah pesan terakhir yang akan bisa ia kirimkan.
Segala ego pecah berkeping-keping. Keduanya langsung menaiki pesawat untuk menyusul putra kesayangan mereka dimanapun ia berada. Tidak rela kehilangan untuk kedua kalinya.
Tapi yang menjawab telepon mereka, adalah polisi. Namjoon kembali menjadi tahanan, dan Seokjin, si malaikat yang akhirnya mereka ketahui namanya, dalam kondisi kritis.
Satu pertemuan di kantor polisi yang menjadi tempat penahanan sementara merubah hidup mereka. "Aku akan baik-baik saja di penjara. Tapi, Seokjin tidak akan selamat disini. Dia tidak punya siapa-siapa." Namjoon berlutut di lantai dengan bersimbah air mata, memohon agar keduanya membawa Seokjin. "You'll love him. He's a better person than me."
Kata-kata terakhir itu menjadi awal perpisahan selama hampir tiga tahun. Hingga akhirnya tanggal pembebasan tiba.
Anak laki-laki yang sudah terpisahkan hampir satu dekade lamanya, kini berdiri di hadapan mereka. Tampak sedikit kuyu dan liar. Tapi paling tidak kali ini ia nyata. Bukan hanya berupa suara di telepon, atau tulisan di surat.
Kecupan hangat Namjoon mendarat di pipi ibunya. Sementara ayahnya hanya menepuk-nepuk punggungnya. Namjoon tidak keberatan, ayahnya selalu menjadi pribadi yang dingin dan jauh. Ia berada disini saja, sudah menjadi tanda kalau ia peduli.
Sesosok tinggi menyelinap ke balik punggung Ayah Namjoon, seperti anak kecil yang bersembunyi di balik tubuh ibunya.
Senyum Namjoon melebar. Dari semua orang di dunia, Seokjinlah yang paling ingin ia temui. Suara cerianya di telepon dan surat dengan tulisan tangannya yang berantakan sudah tidak lagi cukup.
Namjoon ingin merasakan hangatnya kulit Seokjin, melihat matanya yang lincah, menyidu aroma tubuhnya yang khas.
Tapi Seokjin makin mundur. Dan ayah Namjoon maju menghalangi diantara mereka. "Namjoon, jangan memaksa. Seokjin masih... belum siap."
Namjoon terdiam. Hanya bisa menyaksikan bagaimana orang tuanya membujuk pemuda kurus yang tenggelam dalam jaket oversize berkerah tinggi yang terus tertunduk menatap tanah. Masker menutupi wajahnya, dan topi menutupi sisanya.
Hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk berdiri di hadapan Namjoon, walaupun dengan tangan gemetar.
"Seokjin?" Namjoon tidak tahu harus berkata apa. Ini lebih buruk dari bayangannya. Atau mungkin, ia masih hidup di masa lalu. Dimana Seokjin yang penuh percaya diri dengan agresif berburu pelanggan. Mengumbar senyum manis dan kerlingan merayu.
"Mmmh?" Bahkan gumamannya gemetar.
"Apa kabar?"
"Ba..." Seokjin mengangguk, memilih tidak berbicara.
Namjoon mengulurkan tangannya. "I miss you."
Seokjin ragu. Begitu lama ia menimbang, hingga akhirnya perlahan ia meletakkan tangannya di atas tangan Namjoon.
Hati-hati, Namjoon menggenggam jemari yang ringkih dan dingin oleh keringat.
Hanya inilah yang bisa ia lakukan.
• • • 🌇 • • •
Namjoon meneguk kopinya sambil memandangi bayi berpipi gendut yang tampak ngantuk dalam gendongan ayahnya.
Hoseok, si ayah, mendorong buku bank dan kartu atm ke arah Namjoon, yang langsung Namjoon sambar, mengecek saldo terakhir dan memasukannya ke saku sebelum Hoseok berubah pikiran.
Hoseok adalah polisi yang lebih kotor daripada yang Namjoon bayangkan. Bisnis penjualan narkotika mereka bahkan berlanjut selama Namjoon berada dalam penjara.
Hoseok yang menyelundupkan ponsel, menerima pembayaran, mengatur keamanan buat Namjoon. Ia bahkan sesekali mencuri narkoba sitaan dari gudang kantor polisi untuk dijual.
Untungnya bagi Namjoon, Hoseok cukup jujur masalah kerjasama. Dan deretan angka di dalam buku bank ini sesuai dengan kalkulasi bagian Namjoon.
"Surat-surat apartemen akan kukirimkan dalam beberapa hari." Hoseok meneguk tehnya. Istrinya sedang tidak minum kopi karena sedang menyusui, dan ia berkeras bahwa suaminya juga harus tidak minum kopi untuk mendukungnya. "Pemilik gedung sedang melakukan inspeksi kelengkapan. Setelah itu harusnya tidak ada masalah."
Namjoon mengangguk-angguk. Ia memutuskan membeli apartemen Hoseok di kota asal Seokjin. Sulit bagi seorang narapidana untuk bisa mendapatkan tempat tinggal melalui jalur normal.
"Kapan kau keluar?"
"Tadi siang jam 3."
"Sudah bertemu Seokjin?"
Namjoon hanya mengangguk-angguk.
"Seokjin, apa kabar?"
"Dia..." Namjoon mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya berusaha menemukan kata yang tepat. "...berbeda."
Hoseok menghela napas panjang. "Maaf. Sungguh aku minta maaf."
"Yeah. Aku penasaran." Nada suara Namjoon berubah. Dingin dan menuntut. "Hari itu kenapa kau... ugh... kau janji melindungi kami."
"Aku setuju berbisnis denganmu. Aku juga tahu kalau Seokjin... memberimu sesuatu." Matanya tajam menghunjam ke arah Hoseok. "Jadi, kenapa?"
Hoseok terdiam. Berusahan menyusun kata-kata yang tepat. "Aku, marah." Ia mengalihkan pandangannya dari Namjoon. "Dia bilang aku lebih buruk daripada pelanggannya. Dan aku akan meninggalkannya seperti para pelanggannya meninggalkan istri mereka di rumah."
"Jadi waktu Jimin bilang ia menemukan tempat tinggal kalian, aku hanya berpikir kalau aku harus masukkan kau ke penjara. Jadi aku punya banyak waktu untuk membuktikan dia salah." Hoseok mengerang. "Aku, salah perhitungan."
Namjoon mencibir. Setelah segalanya, akhirnya ucapan Seokjin menjadi kenyataan.
Hanya 6 bulan setelah baku tembak itu, saat Seokjin masih terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit dan vonis Namjoon belum dijatuhkan, Hoseok justru menikah dengan perawat yang ia temui di rumah sakit tempat Seokjin dirawat.
Tapi Namjoon tidak bisa menuntut lebih dari Hoseok. Bagaimanapun, kalau tidak ada Hoseok mungkin Namjoon dan Seokjin sekarang tinggal nama.
Namjoon masih mengingat semua detail hari itu. Ia melihat wajah Seokjin pecah oleh peluru tepat di depan matanya.
Saat ia berusaha memeluk tubuh Seokjin yang melunglai jatuh, tembakan berikutnya menghancurkan rusuk Seokjin hanya beberapa centimeter diatas pelukan tangan Namjoon.
Ia mengangkat wajahnya, cukup untuk melihat Jimin mengokang pistolnya. Namjoon berani bersumpah bahwa ia sudah melihat akhir hidupnya saat tiba-tiba Hoseok melompat diantara keduanya dan terdengar suara tembakan.
Lalu Jimin tersungkur dengan luka tembak di dahi.
Sisa hari itu bagaikan mimpi. Namjoon ditahan saat Seokjin masih di dalam ruang operasi. Di kantor polisi, Namjoon seperti orang linglung. Yang ada dalam pikirannya hanyalah jantung Seokjin yang berulang kali berhenti berdenyut.
Setiap kali ia menutup mata, bayangan serpihan daging, pecahan tulang dan aliran darah Seokjin menari-nari dalam kepalanya. Namjoon yakin Seokjin tidak akan selamat. Sekarang ia tahu perasaan Seokjin dulu, bahwa mati jauh lebih baik daripada merasakan semua kesakitan dan kesedihan ini.
Tapi, mukjizat kadang datang dalam bentuk yang tidak disangka. Seokjin selamat, walaupun koma, dan orang tua Namjoon langsung bersedia merawatnya di Eropa bersama mereka.
Hoseok berhasil meyakinkan semua pihak bahwa ini hanyalah razia narkotika yang hilang kendali, entah bagaimana caranya.
Namjoon hanyalah pengguna, bukan pengedar dan Jimin meninggal karena pantulan peluru Hoseok di badan mobil.
Setelah proses persidangan yang singkat, Namjoon dihukum karena kepemilikan narkoba. Sedangkan Seokjin dibebaskan dari segala tuduhan.
Kebencian pada Hoseok tentu masih Namjoon rasakan, tapi rasa terima kasih lebih patut ia jaga.
Namjoon bangkit dari duduknya. "Aku harus pulang. Besok pagi kami pindah ke apartemen baru."
Hoseok tersenyum dan melambai. Tapi kata-kata yang keluar dari bibir tipisnya penuh perintah. "Jangan lupa atur stok untuk bulan depan."
"Ah, aku harus menyusun sistem baru. Aku belum paham bagaimana cara bisnis di kota sana." Ia melambai balik. "Akan segera kukabarkan."
Hoseok tidak membalas lagi. Maka Namjoon berbalik, lalu segera meninggalkan cafe itu. Pulang menemui keluarganya.
• • • 🌇 • • •
Seokjin mengintip dari pintu kamarnya. "Sudah selesai?"
"Sudah." Namjoon mematikan komputernya.
Dengan penuh perhatian Seokjin menyampirkan atasan piyama ke bahu telanjang Namjoon. "Banyak yang kirim gift?"
Ia duduk di pangkuan Namjoon lalu mengancingkan piyamanya dengan lembut. "Mau makan?"
Namjoon menarik leher Seokjin lalu menciumnya. Seokjin merekahkan sedikit bibirnya, dan decak sensual langsung bergema di apartemen yang sunyi. "Atau kau lebih ingin makan aku?" Seokjin tertawa kecil.
"Memang kau mau?"
"Asal lampunya dimatikan..."
Setahun sudah lewat semenjak mereka mulai kembali hidup bersama. Seokjin menolak kembali ke Eropa karena ia ingin terus bersama Namjoon yang tidak bisa lagi meninggalkan negara ini.
Walaupun itu berarti ia harus meninggalkan semua terapi fisik dan mental yang lebih berkualitas disana.
Perlahan Namjoon mengelus wajah Seokjin, merasakan tonjolan-tonjolan bekas jahitan di bawah jemarinya. Dan matanya mulai berkaca-kaca.
Tiga tahun lalu, peluru-peluru Jimin menghancurkan tulang pipi dan satu bola mata Seokjin, juga beberapa tulang rusuknya.
Setelah sadar dari koma selama 3 bulan, berbagai operasi rekonstruksi dan terapi fisik menyusul. Bahkan dengan teknologi mutakhir dan prosedur yang dipimpin kolega-kolega ayah Namjoon, parut-parut mengerikan tetap memenuhi wajah dan perut Seokjin. Kini Seokjin juga berjalan sangat pincang, karena otot yang rusak di kakinya terpengaruhi oleh lamanya ia koma.
Walaupun Seokjin selalu menyebut wajahnya sebagai kutukan, tetap kepercayaan dirinya runtuh.
Kini ia selalu berjalan sambil menunduk, dengan rambut sebahunya menutupi sebelah wajahnya, menyeret langkahnya agar orang lain tidak begitu melihat timpangnya. Di rumah mereka, tidak ada satupun cermin karena dapat mentrigger kondisi mentalnya.
Ia tidak suka Namjoon menatap wajahnya lama-lama, menolak tidak berbusana di hadapan Namjoon. Segala usaha Namjoon untuk meyakinkan Seokjin bahwa ia tidak menganggap bekas-bekas lukanya mengganggu selalu berhadapan dengan perang mulut yang justru membuat Seokjin makin terpuruk.
Butuh hampir setahun sampai akhirnya Seokjin siap bercinta kembali. Dalam kegelapan pekat, kadang di bawah selimut. Jujur Namjoon merasa tidak nyaman, dan Seokjin juga jelas kurang menikmatinya.
Tapi keduanya sama-sama ingin sesekali merasakan intimasi yang hanya bisa didapatkan dari hubungan fisik. Dan seburuk apapun itu, keduanya tetap bersyukur.
"Hei, kenapa menangis?" Seokjin mengecup pangkal hidung Namjoon. "Mmh, kau keras. Karena aku atau karena ada yang centil sama kau tadi?"
Namjoon tertawa kecil dan memeluk Seokjin makin kencang. Hubungan fisik tidak lagi penting baginya. Seokjin bisa bercanda begini saja, sudah kemajuan luar biasa yang membuat perasaannya membuncah oleh rasa syukur.
"Tidak ada gunanya centil padaku. Aku tidak akan menanggapi siapapun yang memberi gift kurang dari mobil*." Namjoon memicingkan matanya dengan sombong.
Seokjin membelalak menggoda. "Oh wow. Pak professor sudah semakin ahli sekarang?"
"Iya donk. Siapa dulu gurunya?" Namjoon menggigit bibir Seokjin.
Beberapa bulan lalu Hoseok mengabari kalau bisnis narkoba mereka harus berhenti sementara karena mereka mulai dicurigai. Namjoon panik, uang mereka tergerus begitu cepat karena mahalnya biaya terapi Seokjin.
Satu malam Seokjin berkata dengan lirih. "Apa aku harus cari klien lagi? Tapi aku tidak tahu mereka mau bayar berapa karena... a-aku..."
Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, hanya menutupi wajahnya dengan tangannya.
Tangis Namjoon pecah. Kekasihnya ini berkali-kali nyaris mati karena menyelamatkannya, tapi tidak sekalipun ia mengungkit pengorbanannya.
Justru ia kembali menjadi yang pertama menawarkan diri untuk mensupport mereka berdua.
Hatinya hancur saat Seokjin justru mengelus-elus rambutnya pelan dan mengeluh. "Maaf ya Joon. Kau benar. Aku tidak tahu apapun kecuali menjual seks."
"Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang." Suara Seokjin parau. "Andaikan aku tidak sebodoh ini, hidup kita mungkin tidak akan begini."
Malam itu, untuk pertama kali dalam hidupnya Namjoon merasa sangat tidak berguna. Ia sadar betapa memalukannya dirinya. Seokjin yang melihat pantulan wajahnya sendiri saja tidak mampu, malah memberanikan diri untuk kembali melayani pria-pria yang mungkin akan memperlakukannya jauh lebih buruk daripada dulu.
Sementara ia, yang tidak kurang apapun, justru terlalu takut untuk keluar dan mencari pekerjaan karena statusnya.
Ia selalu mengatai Seokjin bodoh di pertengkaran mereka, tapi kini ia pun sama-sama tidak tahu harus melakukan apa, kecuali menangis meraung-raung dalam pelukan Seokjin sampai keduanya jatuh tertidur.
Tapi keajaiban kembali datang.
Saat Namjoon terbangun dengan mata bengkak, Seokjin menunjukkan sebuah artikel di ponselnya. "Aku baru tahu streamer pendapatannya besar." Ia langsung menutup artikel itu. "Ah, siapa yang mau menonton streamer bermuka seperti aku?"
Selorohan polos yang merubah drastis hidup Namjoon. Seks menjual, ia tahu itu. Dalam dunia transaksi seks, tidak ada yang peduli statusnya sebagai mantan narapidana.
Ia menggantikan Seokjin, telanjang di hadapan webcam. Sekarang Namjoon adalah stripper online yang mengajar dan memecahkan soal-soal ujian negara sambil melucuti pakaiannya satu persatu demi hadiah-hadiah yang dikirimkan penontonnya.
Hanya butuh beberapa hari sampai ia viral dan chanelnya naik ke ranking atas. Seokjin mengajarinya cara menggoda audiens agar mereka bersedia mengalirkan uang lebih, dan Namjoon harus mengakui bahwa itu jauh lebih sulit dibandingkan rumus dan trik memecahkan soal matematika.
Namjoon melumat bibir Seokjin. Terasa lidah menggeliat malu-malu memasuki mulutnya. Mencari-cari lidah pasangannya, dan saat keduanya bertemu, desahan sensual lolos dari pita suara Seokjin.
Namjoon tiba-tiba merasakan keberanian untuk mencoba. Tangannya menyelip ke dalam celana Seokjin, meraba bulatan daging yang begitu pas dalam genggamannya. "Disini mau tidak?" Ia bergumam di bibir Seokjin.
"Tidak mau." Jawaban Seokjin begitu langsung tanpa keraguan sedikitpun.
"Aku tidak akan membuka mata." Namjoon mencoba menawar. Ia sungguh bosan harus meraba-raba tubuh Seokjin dalam gelap.
"Jadi kau diam saja begitu? Mana enak?" Seokjin terdengar makin kesal.
Namjoon menolak menyerah. Direngkuhnya leher Seokjin, lalu membenamkan giginya. "Kau genjot. Aku tidak akan lihat mukamu. Aku lebih ingin makan lehermu."
Tidak ada jawaban. Lebih baik daripada ditolak mentah-mentah. Maka Namjoon mulai menghisap tengkuk Seokjin kencang, menyapukan lidahnya, menggerigiti pelan-pelan. Memastikan ia meninggalkan bekas yang baru akan hilang setelah berhari-hari.
"Hahhh... anak pintar." Ia mengerang saat terasa Seokjin memiringkan kepalanya, memberi izin pada Namjoon untuk meneruskan apa yang sedang dilakukannya.
Lalu terasa sentuhan lembut di kejantanannya yang sedari tadi berdiri tegak, dan perlahan jepitan yang sangat dirindukannya menelannya.
Mulai dari ujungnya, semakin dalam, terus menekan hingga terasa ia menyentuh bagian terdalam dalam tubuh Seokjin.
Pelan-pelan, pijatan terasa di sepanjang batangnya. "Eungh... Seokjin... kau sempit..." Ia tidak bisa menahan racauan karena nikmatnya.
Seokjin tidak menjawabnya, hanya merintih dan mendesah, melentingkan bokongnya dan terus bergerak naik turun. Hembusan napasnya terasa panas di kepala Namjoon, dan keringat mulai melapisi kulit pucatnya.
Akhirnya ia menyembunyikan wajahnya di lekukan tengkuk Namjoon, dan memeluk bahunya erat. Sentakan-sentakan kecil mulai terasa, tanda Seokjin mulai mati-matian menahan puncaknya.
Cepat-cepat Namjoon melingkarkan jemarinya di kejantanan Seokjin, mengelus-elus lubang kecil di ujungnya dan berbisik. "You can cum..."
Kuku-kuku Seokjin membenam di punggung Namjoon, sementara giginya membenam di bahu Namjoon. Ia mengerang, menggelinjang, dan berbisik. "I love you, Joon..."
Namjoon balas merengkuh bahu Seokjin dengan tangannya yang terbebas. "I love you too, baby."
"Besok juga?"
"Yes. I'll love you tomorrow, and the day after tomorrow, and the day after the day after tomorrow…"
"Bilang saja forever..."
"Kau mau aku bilang begitu?"
"Ehm ehm..."
"Seokjin, I love you forever."
"Hehe.."
"I love you forever and ever and ever..."
Seokjin kembali tertawa cekikikan. Ia mengelus wajah Namjoon dan mendekatkan wajahnya. Pelan-pelan, kecupan hangat menyentuh bibir Namjoon. Satu kecupan, lalu satu lagi.
“Bawa aku ke kamar, Joon.” Ia berbisik. “Aku mau bercinta denganmu.”
Dan seperti biasa, Namjoon langsung melakukannya.
• • • TAMAT • • •
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰