
Kanaya Haziqa dan Irgi Pratama Gemilang, dua anak manusia yang pernah melewati luka, patah dan kehilangan dalam hidup. Lalu keadaan membuat keduanya terus bersinggungan, hingga berujung pada satu takdir yang sama.
Mungkinkah mereka dipertemukan untuk saling menyembuhkan dan melengkapi satu sama lain, atau justru membawa luka, patah dan kehilangan yang baru?
Bagian 5
Naya tampak tercenung setelah mendengar apa yang baru saja diberitahukan Fatih. Dia seakan masih tak percaya bahwa pria yang selama ini dia kenal sebagai wali dari salah satu muridnya—Alisya, pria yang kini sedang berdiri di seberang bed tempat Fatih terbaring—yang masih tampak rapi dengan setelan jas hitamnya meski jarum jam telah menunjukkan pukul 8 malam, merupakan atasan kakaknya di kantor, juga pria yang telah memintanya pada sang kakak dan ingin menjadikannya pasangan hidup. Sungguh, tidak pernah terpikirkan dalam benak Naya bahwa pria itulah orangnya.
Satu hal yang menjadi pertanyaan Naya. Kenapa pria itu menjatuhkan pilihan padanya dan ingin menikahinya? Bukankah dia sudah menikah? Maksudnya, dia sudah menikah dan istrinya belum lama meninggal. Alisya saja masih berumur 8 tahun. Apakah semudah dan secepat itu dia melupakan wanita yang pernah dinikahinya—yang bahkan sudah memberinya seorang putri yang cantik, baik dan pintar seperti Alisya?
Entah kenapa, Naya justru merasa kecewa menyadari hal itu. Jika Naya menerima lamarannya, lalu mereka menikah dan nantinya Naya pun ikut meninggalkan dunia, apakah pria itu akan dengan mudah dan cepat melupakannya juga?
Atau ... mungkinkah pria itu sebenarnya belum melupakan almarhumah istrinya, lalu melamar Naya hanya demi memberikan sosok ibu untuk Alisya? Rasanya alasan itu pun sama saja, sama-sama tidak memberi kesan bahagia untuk Naya. Terlalu berat jika Naya harus hidup dengan seseorang yang hatinya masih tertawan pada masa lalu.
"Makasih udah bantu bawa kakak saya ke rumah sakit," ucap Naya pada pria itu sembari mengangguk singkat sebagai bentuk kesopanan. "Saya baru tahu kalau ternyata Anda adalah atasan kakak saya." Dan juga pria yang ingin menikahi saya—entah karena alasan apa, padahal istri Anda belum lama meninggal, lanjut Naya dalam hatinya. Dia masih saja merasa tidak senang saat memikirkan hal itu.
"Selanjutnya saya yang akan menemani Kak Fatih. Jadi Anda bisa pulang aja," imbuh Naya lagi.
Irgi, pria yang berdiri tak jauh di hadapan Naya tersebut, yang merupakan atasan kakaknya sekaligus wali dari salah satu muridnya, tampak terpekur sesaat. Lalu dengan cepat dia mengulas senyum tipis. "Sepertinya saya baru saja diusir dari sini," ucapnya dengan nada penuh canda.
"Nay." Fatih lekas menegur sang adik dengan tatapan isyarat. Lalu menoleh pada atasannya itu. "Maafkan adik saya, Pak."
"Maaf, saya nggak bermaksud mengusir. Saya cuma nggak mau terlalu banyak merepotkan Anda," celetuk Naya.
Irgi kembali menyunggingkan senyum. "Ya, ya, it's okay. Saya nggak merasa repot sama sekali by the way. Apa yang saya lakukan adalah bentuk pertanggungjawaban sebagai seorang atasan, juga sebagai rasa terima kasih pada Personal Assistent saya yang sudah banyak mencurahkan waktu dan tenaganya dalam membantu pekerjaan saya selama ini. Dan ...." Dia melirik sekilas analog watch yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. "Sebenarnya saya memang harus segera pulang. Ada seorang gadis kecil yang pasti sudah menunggu kepulangan saya di rumah. Tapi akan saya tuntaskan dulu tanggung jawab sebagai seorang atasan, sebelum kembali menjalankan peran saya sebagai seorang ayah."
Kini Irgi mengarahkan tatapannya pada Fatih. "Tunggu sampai obatnya selesai disiapkan dulu, setelah itu akan gue anterin lo pulang."
"Nggak usah, Pak. Biar saya pulang dengan adik saya. Bapak langsung pulang aja. Pasti udah ditungguin di rumah," tukas Fatih.
"Gimana caranya lo bawa motor dengan kondisi kayak gini? Mobil lo juga masih di kantor, kan?"
"Bisa saya yang boncengin, Pak," timpal Naya dengan nada datar.
"Iya, Pak. Biar diboncengi sama adik saya," ujar Fatih lagi.
Irgi melirik sekilas pada adik dari Personal Assistant-nya itu, lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya pada Fatih lagi. "Lo yakin, bisa pulang naik motor dengan kondisi kayak gini?"
"Cuma lecet-lecet doang ini, Pak, sama sedikit terkilir di kaki dan lengan kiri. Insya Allah bisa lah, kalau cuma duduk dibonceng," jawab Fatih dengan tenangnya.
Irgi pun akhirnya menurut saja, tak lagi memaksa. "Okay. Kalau gitu gue balik duluan ya. Get well soon, Tih," ucap Irgi sambil menepuk pelan lengan kiri Fatih yang membuat lelaki itu refleks memekik sambil memegangi lengan kirinya dengan wajah meringis.
"Sorry, sorry. Gue lupa kalau lengan kiri lo terkilir," ucap Irgi jujur dan merasa bersalah.
Naya spontan tergelak melihat ekspresi kakaknya. Menyadari tawa sang adik, Fatih lantas menatap tajam gadis itu, merasa tak terima ditertawakan. Namun, Naya malah semakin tertawa.
Irgi pun tersenyum menyaksikan mereka. "Nanti kalau obat lo udah selesai disiapkan, bakal diantar kemari sama perawat. Jadi tinggal nunggu aja. Begitu selesai, bisa langsung pulang. Semua administrasi dan pembayarannya udah gue beresin."
"Ditanggung sama kantor, bukan dari gue pribadi," tambah Irgi langsung begitu melihat ekspresi Fatih yang seakan hendak protes. "Semua biaya pengobatan lo diakomodasi oleh perusahaan, sebagai bentuk tanggung jawab karena lo mengalami kecelakaan saat sedang menyelesaikan tugas sebagai Personal Assistent gue. Jadi fokus aja untuk kesembuhan lo. Lupain dulu soal pekerjaan selama istirahat di rumah nanti. Lo terhitung cuti sampai benar-benar sembuh. Jangan coba-coba datang ke kantor kalau kondisi lo belum sembuh. Okay? Gunakan waktu sebaik mungkin buat istirahat yang cukup."
"Makasih banyak, Pak," ucap Fatih dengan sungguh-sungguh.
Irgi hanya menipiskan bibir menanggapinya. Setelah memohon diri pada kedua kakak-beradik tersebut, dia pun segera beranjak meninggalkan IGD dengan langkah gagah serta auranya yang penuh wibawa.
Tak lama setelah pria itu pergi, seorang perawat datang menghampiri dan menyerahkan sepaket obat untuk mereka bawa pulang. Setelah perawat tersebut melepaskan infus dari tangan Fatih, kedua kakak beradik itu pun akhirnya meninggalkan rumah sakit.
***
Begitu sampai di rumah, Fatih mendudukkan diri sejenak di sofa ruang tengah. Kaki dan lengan kirinya masih terasa sakit. Bahkan, saat berjalan pun dia harus dibantu pegangi oleh Naya karena kesulitan mempertahankan keseimbangan tubuh dengan sebelah kaki yang menjadi pusat tumpuan.
Naya ikut mendudukkan diri di sofa setelah mengunci pintu utama. Dengan dompet dan kunci motor yang masih di tangan, gadis itu tampak tercenung menatap ke sembarang arah.
"Kamu kenapa? Kok malah bengong?" tanya Fatih begitu melihat ekspresi adiknya.
"Aku masih nggak nyangka kalau ternyata atasan Kakak di kantor selama ini ... adalah Pak Irgi yang itu," ujar Naya dengan raut yang masih tampak tercenung.
Fatih tersenyum simpul. "Dan yang minta kamu juga sama Kakak," timpalnya menambahkan.
Naya terdiam, berusaha mencerna segala kebetulan yang baru saja dia ketahui. Lalu menoleh pada Fatih. "Kakak tahu nggak, dia itu wali dari salah satu murid aku."
"Alisya?"
"Kakak juga kenal Alisya?" Naya semakin terperangah menatap kakaknya.
"Tentu. Dia sering datang ke kantor kalau lagi nggak mau pulang ke rumah sehabis dijemput Pak Irgi di sekolah. Alisya juga bisa pindah ke sekolah kamu kan, atas rekomendasi dari Kakak."
"Maksudnya?" Kening Naya berkerut tipis mendengar itu.
"Tahun lalu Pak Irgi sempat bingung nyari sekolah baru untuk pindahin Alisya. Sekolah lamanya terlalu jauh dari kantor NUFI. Pak Irgi cukup kewalahan untuk membagi waktu supaya bisa tetap memaksimalkan peran sebagai manajer di kantor sekaligus papa untuk Alisya. Selama satu tahun pertama Alisya mulai masuk SD, Pak Irgi sering absen ngantar-jemput Alisya, juga menghadiri momen-momen penting di sekolahnya karena terkendala waktu dan jarak tempuh. Dan itu bikin Alisya jadi sering merasa sedih—yang otomatis Pak Irgi juga ikut sedih."
"Jadi saat Pak Irgi minta bantuan Kakak untuk nyari info sekolah baru buat Alisya—yang jaraknya cukup dekat dengan kantor NUFI dan tetap bagus dari segi kualitas pendidikan juga penerapan ilmu-ilmu agamanya, Kakak rekomendasikan aja sekolah tempat kamu ngajar. Karena sekolah kamu itu sangat memenuhi semua kriteria yang Pak Irgi butuhkan. Ternyata Pak Irgi merasa cocok dan akhirnya dipindahkanlah Alisya ke sana."
"Ah, iya. Ada yang lupa Kakak ceritain sama kamu saat menyampaikan lamaran Pak Irgi. Kamu udah tahu, siapa Alisya bagi Pak Irgi?"
"Putri kandungnya, kan?" tebak Naya langsung dengan sangat yakin.
"Bukan." Fatih menggeleng cepat.
"Terus?" Naya kembali mengerutkan kening. Dia memang tidak mengetahui pasti hubungan sebenarnya antara Alisya dan pria yang selama ini menjadi wali tetap anak itu di sekolah, karena Naya bukan wali kelasnya. Jadi tidak pernah melihat rapor atau data diri anak itu. Karena Alisya selalu memanggil pria itu dengan sebutan Papa, maka Naya menyimpulkan bahwa pria itu pastilah papanya.
"Saat menyampaikan lamarannya sama Kakak, Pak Irgi sempat minta Kakak untuk sampaikan juga soal Alisya sama kamu, tapi Kakak malah lupa ngasih tahu kamu. Alisya itu bukan anak kandungnya Pak Irgi, melainkan keponakannya. Anak dari kakak laki-lakinya yang udah meninggal."
"Oh, ya?" Naya tampak kaget mengetahui fakta tersebut. "Aku kira ... dia papa kandungnya Alisya dan istrinya udah meninggal. Dan aku pikir ... dia ngelamar aku karena mau nikah lagi," gumam Naya lirih.
Fatih tertawa simpul mendengar dugaan adiknya yang tidak benar sama sekali. "Bukan," ujarnya, menegaskan sekali lagi. "Kedua orangtua Alisya meninggal saat dia masih sangat kecil. Lalu sebagai wali yang sah dan mahram laki-laki satu-satunya yang dimiliki Alisya, Pak Irgi pun memutuskan untuk mengambil hak asuk penuh atas Alisya dan merawat Alisya bareng mamanya."
“Pak Irgi sangat menyayangi Alisya, satu-satunya keponakan yang dia punya, anak dari satu-satunya saudara kandung yang dia punya juga. Pak Irgi udah nganggap Alisya seperti anak kandungnya sendiri. Jadi, setelah nikah nanti, Pak Irgi ingin terus jadi wali dan orangtua bagi Alisya. Dan dia berharap, siapa pun yang akan jadi istrinya, bisa menerima Alisya juga, sepaket dengannya. Kalau kamu keberatan soal itu, Pak Irgi nggak akan maksa. Dia siap mundur ataupun menerima penolakan dari kamu.”
Naya kembali terdiam setelah mendengar semua penjelasan kakaknya. Ternyata segala dugaan tentang Irgi yang sempat muncul di benak Naya sebelumnya salah besar. Pria itu tidak melupakan istrinya karena memang dia belum pernah menikah dan tidak memiliki istri. Jadi dia pun melamar Naya bukan karena ingin memberi sosok ibu bagi Alisya, tapi justru mencari pendamping yang siap menerimanya sepaket dengan Alisya yang berstatus sebagai keponakannya.
Setelah mengetahui semua fakta tentang latar belakang Irgi tersebut, Naya tetap belum merasa yakin juga untuk menerima lamaran pria itu. Sepertinya memang bukan status Irgi yang menjadi masalah baginya, tetapi hatinya sendirilah yang belum bisa dia buka untuk pria mana pun. Mungkin karena jejak-jejak patah hati setelah mendapati kenyataan bahwa Hanan tak berjodoh dengannya, masih tersisa di sana. Soal Alisya, Naya sungguh tidak keberatan sama sekali. Dia menyukai anak itu. Tidak sulit bagi Naya untuk menyayanginya dan memperlakukan seperti anak sendiri. Hanya saja, Naya tidak yakin bisa mencintai pria yang menjadi papa bagi anak itu.
"Jadi gimana? Kamu udah pertimbangkan lamarannya Pak Irgi? Sekarang kamu udah tahu kan, siapa orangnya? Selama ini kamu juga udah kenal Pak Irgi sekilas karena dia wali dari salah satu murid kamu. Apa kamu udah punya jawaban? Kalau memang kamu bersedia untuk taaruf, rencananya kakak sama Pak Irgi akan minta tolong Ustadz Imran dan Ustadzah Qonita untuk mendampingi. Tapi kalau memang kamunya nggak bersedia, kita nggak perlu libatin mereka."
Naya kembali mengarahkan tatap pada kakaknya. “Gimana dengan traumaku? Apa Pak Irgi tahu? Kakak ada cerita soal kejadian yang pernah aku alami di masa lalu?"
Fatih mengangguk sebagai jawaban. “Kakak nggak cerita detailnya, karena itu lebih tepat diceritakan saat nanti udah dalam proses taaruf atau mungkin setelah kalian menikah—kalau memang berjodoh sampai ke pernikahan. Kakak cuma cerita sekilas tentang apa yang pernah kamu alami di masa lalu sampai bikin kamu trauma dan harus menjalani terapi untuk penyembuhan. Kakak juga udah bilang ke Pak Irgi, walaupun selama ini kamu udah dinyatakan sembuh, tapi ada kemungkinan trauma itu belum sepenuhnya hilang kalau dihadapkan dengan kehidupan pernikahan.”
“Terus? Apa jawaban Pak Irgi? Apa dia benar-benar siap menerimanya?”
Lagi-lagi Fatih menjawab dengan sebuah anggukan. “Pak Irgi nggak merasa keberatan dengan hal itu. Dia tetap bersedia dan yakin untuk menikahi kamu.”
"Apa Pak Irgi sadar, seberat apa konsekuensi yang harus dihadapi kalau jadi pasanganku? Dia tahu kan, apa yang harus ditanggung kalau memang setelah menikah denganku ternyata traumaku belum sepenuhnya hilang? Aku rasa, untuk jadi pasanganku nggak akan mudah. Selama ini aku memang udah dinyatakan sembuh dan mulai biasa aja setiap berhadapan dengan laki-laki. Tapi walaupun begitu, nggak menjadi jaminan aku bisa tetap bereaksi sama dengan laki-laki yang akan jadi suamiku nanti.”
“Selama ini, setiap laki-laki yang berinteraksi dengan aku, mereka semua punya batasannya, karena mereka bukan mahram bagi aku. Beda halnya dengan suami. Suami adalah satu-satunya lelaki yang memiliki hak penuh atasku, satu-satunya lelaki yang bebas berinteraksi dengan aku tanpa hijab apa pun. Bahkan, dia punya hak atasku melebih dari yang Kakak miliki. Aku nggak tahu, akan seperti apa jadinya saat nanti aku harus berhadapan dengan laki-laki yang akan jadi suamiku. Aku nggak tahu, entah traumaku bisa tetap muncul atau gimana. Apa Pak Irgi sadar dan siap dengan semua konsekuensi itu?”
Fatih kembali menjawab seluruh pertanyaan Naya dengan sebuah anggukan. “Kakak udah jelaskan semua itu sama Pak Irgi, bahkan berusaha menanyakan dan memastikan lagi berulang kali. Dan jawabannya tetap sama, dia tetap bersedia dan yakin untuk menikahi kamu. Dia siap menghadapi apa pun konsekuensinya. Jadi Kakak nggak punya alasan apa pun lagi untuk menolak lamaran dari pria sebaik Pak Irgi. Karena menolak lamaran dari laki-laki yang baik agama serta akhlaknya tanpa alasan apa pun dan tanpa memohon petunjuk sama Allah lebih dulu, juga menanyakan pendapat kamu sendiri, justru bisa menjadi sebuah pintu fitnah. Sekarang Kakak tinggal nunggu jawaban dari kamu aja. Kakak akan ngikut gimana pun keputusan kamu. Jadi gimana? Apa kamu udah punya jawaban?"
Naya menggeleng pelan. "Setelah tahu semua tentang Pak Irgi, aku justru mau mikirin lagi dan pertimbangkan banyak hal. Sepertinya aku butuh waktu untuk istikharah lagi. Aku masih belum nemu jawaban yang yakin."
Fatih tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Istikharah lagi aja. Nggak perlu tergesa-gesa dalam menerima lamaran, tapi jangan juga digantung terlalu lama karena itu bisa menzalimi pihak yang menunggu jawaban. Pertimbangkan baik-baik apa yang mau kamu putuskan, karena ini menyangkut masa depan kamu di dunia dan juga di akhirat nanti."
"Kakak sampaikan lamaran dari Pak Irgi sama kamu, bukan sebagai bawahannya, tapi sebagai seorang kakak buat kamu. Jadi, jangan pandang Pak Irgi sebagai atasan Kakak, tapi lihat dia sebagai seorang pria yang datang meminta kamu untuk jadi istrinya. Pertimbangkan, apakah kamu siap untuk hidup dengan pria seperti Pak Irgi sepanjang sisa umur kamu, bersedia menerima segala latar belakangnya, dan apakah kamu siap untuk menyerahkan bakti sebagai istri nantinya."
"Ingat pesan Ustadz Imran dalam kajian yang kita ikuti sama-sama bulan lalu. Pernikahan itu hanya menyempurnakan separuh agama, sedangkan sisanya harus diraih dengan ketakwaan. Itu Rasulullah sendiri yang mengatakan dalam sebuah hadits riwayat Baihaqi."
"Kalau nantinya setelah menikah kamu sulit meraih takwa sebagai istri dan juga sebagai seorang hamba, maka kamu juga akan sulit untuk meraih kesempurnaan agama pada separuh yang sisanya. Bahkan, dalam separuh yang ada pun bisa hancur kalau pondasinya terlalu rapuh karena kurangnya iman dan takwa pada Allah. Jadi pilihlah pasangan yang kamu yakin bersamanya bisa terus meraih takwa setelah menikah, supaya kamu dan pasanganmu bisa sama-sama meraih kesempurnaan agama pada separuh yang sisanya."
"Kalau dari pandangan Kakak sebagai sesama pria, juga sebagai bawahan yang selama ini udah sering ikut Pak Irgi setiap bekerja, insya Allah dia merupakan pria yang baik. Pak Irgi itu sosok pemimpin yang bijak dan amanah, papa yang sangat baik dan bertanggung jawab untuk Alisya, dan yang paling penting, ketaatannya pada Allah insya Allah cukup terjaga. Walaupun mungkin tetap ada sisi-sisi nggak sempurnanya sebagai manusia, tapi Kakak rasa, dia sangat layak untuk dipertimbangkan."
"Tapi terserah kamu. Kalau hati kamu tetap ragu untuk terima setelah istikharah berulang kali, tetap nggak yakin juga setelah terus memohon petunjuk sama Allah, nggak apa-apa untuk ditolak. Meskipun kamu perempuan, kamu juga punya hak untuk memilih dan menentukan, siapa laki-laki yang ingin kamu nikahi. Jangan pikirkan posisi Kakak sebagai bawahannya, utamakan kebahagiaan kamu. Karena itu yang paling penting buat Kakak. Dan satu lagi yang nggak kalah penting, jadikan agama dan akhlak sebagai pertimbangan utama dalam memilih dan membuat keputusan. Okay?"
Naya tak lagi berkomentar apa-apa. Dia hanya menunduk, merenungi setiap kata-kata yang disampaikan Fatih.
"Ya udah, Kakak istirahat aja. Nggak perlu mikirin soal ini. Kalau udah ada jawaban, insya Allah akan aku sampaikan sama Kakak. Fokus aja dulu untuk kesembuhan Kakak," kata Naya kemudian.
Lagi-lagi Fatih tersenyum. “Okay.”
***
Berulang kali berusaha meredam perasaannya pada Hanan, nyatanya Naya tetap saja masih gagal sampai hari ini. Bahkan, ketika melihat Syifa mulai membagi-bagikan undangan pernikahan, perasaan Naya justru semakin porak-poranda.
Ketika semua orang—para guru dan staf—di sekolah menunjukkan raut bahagia saat menerima undangan dari Syifa, juga memberi ucapan-ucapan selamat dan doa terbaik, Naya malah harus bertarung dengan segala luka yang sedang dirasakannya. Naya tahu, perasaan itu tak seharusnya ada. Ribuan kali dia mengingatkan diri, bahwa Hanan tidak ditakdirkan untuknya. Namun, tetap saja rasa sakit akibat patah hati itu tak mudah dia pulihkan.
"Nay, mau cerita sesuatu nggak sama aku?" Aiza tiba-tiba berceletuk ketika mereka sedang sama-sama berada di halaman sekolah, menemani para murid menunggu jemputan begitu sekolah berakhir dan semuanya telah selesai melaksanakan salat Zuhur berjamaah di musala gedung putri. Hari ini giliran Naya dan Aiza yang mendapatkan jatah piket tersebut.
Naya menoleh pada Aiza dengan alis tertaut. "Cerita apa?" Di dekat mereka ada lima murid lagi yang sedang menunggu jemputan. Sementara yang lainnya sudah dijemput semua. Dan di antara kelima murid itu, ada Alisya yang sedang asik bercerita dengan salah satu temannya selagi sama-sama menunggu jemputan.
"Apa pun yang mau kamu ceritakan atau kamu rasakan sekarang. Siapa tahu kamu lagi butuh seseorang buat berbagi dan dengerin cerita kamu. I'm all ears," kata Aiza sambil menerbitkan senyum.
Naya terdiam sesaat. Dia tidak mungkin menceritakan soal patah hatinya pada Aiza. Naya malah berharap, Aiza dan Syifa tidak sampai mengetahui soal itu. "Nggak ada, Za. Mau cerita apa memangnya?"
"Soal ... perasaan kamu sekarang mungkin?"
Lagi-lagi Naya menautkan alis mendengar penuturan Aiza.
"Nay, aku tahu, kamu ... lagi patah hati kan, sekarang, karena sebentar lagi Kak Hanan akan menikah dengan Syifa? Selama ini ... kamu menyukai Kak Hanan, kan?"
Seketika Naya terkesiap mendengar pertanyaan Aiza. "Ka-kata siapa?" kilahnya sambil menatap ke sembarang arah dengan gelagapan.
Aiza masih menatap Naya lamat-lamat. "Aku tahu, Nay. Sebagai sesama perempuan, apalagi sebagai sahabat yang udah lama bareng, aku bisa menyadarinya. Kamu dan Syifa itu sama-sama menyimpan rasa sama Kak Hanan. Aku bisa lihat itu dari kalian berdua. Aku malah nggak nyangka kalau ternyata Kak Hanan pada akhirnya melamar salah satu dari kalian, yaitu Syifa."
"Aku ikut bahagia atas kebahagiaan Syifa, sahabatku sendiri. Tapi di saat yang sama, aku juga tahu kalau ada sahabatku satu lagi yang hatinya sedang patah karena hal itu, dan aku pun ikut merasa sedih atas kesedihan sahabatku yang satu ini."
Naya kembali terdiam. Dia tidak memberi komentar apa pun pada Aiza. Raut wajahnya tampak berubah menjadi sendu. Mendengar penuturan Aiza, Naya jadi teringat pada saat pertama kali dia mulai mengenal sosok Hanan Ghiffari tahun lalu. Semua dimulai karena kejadian hari itu, ketika Naya sedang mengikuti halaqah dengan Ustadzah Qonita di rumah beliau bersama Aiza dan Syifa, juga 6 orang teman lainnya yang satu kelompok halaqah dengan mereka.
Jadi, selain rutin mengikuti kajian pekanan di sebuah masjid terdekat yang kerap diisi oleh Ustadz Imran, selama ini Naya, Aiza dan Syifa juga rutin mengikuti halaqah dengan Ustadzah Qonita di rumah beliau. Halaqah itu semacam kajian juga. Namun, dalam hal ini lebih bersifat khusus dan privat, karena terdiri dari kelompok kecil yang tidak sampai dua puluh orang dan hanya sesama perempuan saja—jika dibawah bimbingan seorang ustadzah, atau sesama laki-laki saja—jika dibawah bimbingan seorang ustadz. Materi yang disampaikan biasanya lebih mendetail dan berkesinambungan. Lalu bisa saling berdiskusi dan tanya jawab, juga diselingi dengan kegiatan-kegiatan lain untuk membangun keakraban dan membuat suasana tidak terlalu kaku—seperti makan-makan dan saling bercerita, tanpa mengabaikan tujuan utama halaqah itu sendiri, yaitu mengkaji ilmu agama.
Sore itu Naya mengikuti halaqah seperti biasa. Dia dan teman-temannya menyimak setiap materi yang disampaikan Ustadzah Qonita, lalu saling berdiskusi. Dan seperti biasa juga, Ustadzah Qonita selalu menyiapkan makanan untuk mereka makan bersama selagi berlangsungnya halaqah. Ustadzah Qonita meminta Naya dan Syifa untuk membantu beliau mengambilkan makanan yang sudah dipersiapkan di dapur. Maka, Naya dan Syifa pun segera ke dapur untuk mengambilnya.
Sampai di dapur, ketika Naya dan Syifa telah memegang dua piring makanan di tangan masing-masing dan hendak membawanya ke ruang depan, seorang lelaki tiba-tiba datang memasuki dapur di waktu bersamaan. Karena sama-sama tidak menyadari, Naya dan laki-laki itu pun tak sengaja saling menubruk bahu hingga membuat piring di tangan Naya terjatuh ke lantai, bersamaan dengan ponsel di tangan lelaki itu yang juga terjatuh ke lantai dan headset yang terpasang pada benda pipih itu pun terlepas, hingga terdengar lantunan surah Al-Waqi'ah dari Syaikh Mishary Rashid yang sedang terputar. Lelaki itu lekas meminta maaf dan memungut kembali ponselnya. Naya pun turut meminta maaf.
Karena suara gaduh benda-benda jatuh terdengar sampai ke ruang depan, Ustadzah Qonita kemudian datang menghampiri dapur. Lelaki itu lekas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Ustadzah Qonita. Ustadzah Qonita hanya tersenyum simpul mendengarnya dan meminta Naya beserta Syifa untuk tidak perlu merasa bersalah. Lalu beliau pun menjelaskan siapa lelaki itu pada mereka. Saat itulah Naya tahu bahwa lelaki itu bernama Hanan Ghiffari, putra bungsu Ustadzah Qonita dan Ustadz Imran yang baru dua minggu pulang dari Sudan setelah menyelesaikan S2-nya.
Lelaki itu kemudian mengambil alih tanggung jawab membereskan dapur dan meminta Naya beserta Syifa untuk kembali melanjutkan halaqah. Ustadzah Qonita pun turut mengatakan hal yang sama. Sehingga Naya dan Syifa akhirnya kembali ke ruang depan untuk melanjutkan halaqah setelah membawa semua sisa makanan yang tidak terjatuh.
Setelah hari itu, Naya tidak begitu sering bertemu lagi dengan Hanan. Hanya sesekali saja dia melihat lelaki itu ketika mengikuti halaqah di rumah Ustadzah Qonita. Namun, dari setiap pertemuan yang sesekali itu, Naya bisa menyaksikan, sebaik apa akhlak dan sikap lelaki itu, sebaik apa tutur katanya setiap berbicara dengan siapa saja, juga betapa baik lelaki itu memperlakukan kedua orangtuanya, pun betapa lelaki itu sangat menjaga pandangan serta menjaga batasan ketika berinteraksi dengan lawan jenis. Sehingga tanpa sadar, perlahan Naya mulai mengagumi sosok Hanan. Lalu kekaguman itu pun berubah menjadi sebuah pengharapan. Harapan agar di kemudian hari, lelaki itulah yang akan menjadi imam kehidupannya.
Sayangnya, sekarang Naya harus mengakhiri segala harapan itu karena ternyata bukan dirinya yang Allah takdirkan untuk bersanding dengan Hanan, melainkan Syifa—sahabatnya. Dan Naya sedang berusaha keras untuk menghapus segala perasaan yang sempat tumbuh di hatinya terhadap Hanan, karena dia tidak ingin terus mengagumi lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suami sahabatnya sendiri.
"Kamu boleh cerita sama aku kalau butuh ngeluapin apa pun yang ada di hati kamu, Nay. Jangan dipendam sendirian. You aren't alone, Naya. Aku masih sahabat kamu dan juga sahabatnya Syifa. Aku akan memposisikan diri sesuai yang kalian berdua butuhkan. Just tell me if you need someone to talk." Aiza kembali berujar, memecah lamunan Naya.
Naya hanya menanggapinya dengan senyum samar. Dia tak juga memberi komentar. Tatapannya nanar tertuju ke sembarang arah. Lalu ketika membalik badan, seketika Naya terkesiap karena mendapati Syifa telah berdiri satu meter di hadapannya. "Syif?"
"I'm sorry, Nay," ucap Syifa dengan wajah memelas.
"Kenapa kamu minta maaf?" Naya berusaha untuk tetap menunjukkan ekspresi tenang dan menyembunyikan raut patah hatinya di hadapan Syifa. Meski dia yakin, pasti Syifa telah mendengar semua pembicaraannya dengan Aiza barusan.
"Aku ... Aku nggak tahu kalau selama ini kamu ... menyukai Kak Hanan juga. Aku malah begitu menggebu-gebu cerita tentang lamaranku dengan Kak Hanan sama kamu dan Aiza, lalu minta kamu untuk ikut temenin aku juga selama nyari baju pengantin, sampai bantu segala persiapan untuk pernikahanku. Pasti itu semua nggak mudah buat kamu dan udah nyakitin kamu banget. I'm so sorry, Nay." Sepasang mata Syifa mulai berkaca-kaca. Dia seakan merasa amat bersalah pada Naya.
"Hei, it's okay. Santai aja kali, Syif." Naya kembali berusaha bersikap tenang dan menyunggingkan senyum. "Kamu tahu dari mana kalau selama ini aku menyukai Kak Hanan? Kalau memang kamu dengar semua pembicaraan aku sama Aiza barusan, harusnya kamu juga tahu. Aku belum jawab apa-apa lho. Aku nggak mengiakan tebakannya Aiza, kan?"
"Kalian berdua pasti sama-sama tahu, apa perbedaan antara kagum dan cinta. Aku itu cuma kagum sama Kak Hanan, bukan mencintai." Naya mengatakan itu seolah sedang memperjelas pada dirinya sendiri, bahwa selama ini dia memang hanya sebatas kagum, bukan mencintai lelaki itu. Walaupun nyatanya tidaklah demikian. "Dan kalian juga tahu kan, pripsip aku selama ini? Aku cuma mau mencintai satu pria aja dalam hidupku selain Abi dan Kak Fatih, yaitu pria yang Allah takdirkan untuk jadi jodohku nanti." Sayangnya dia telah gagal mempertahankan prinsip itu ketika mulai mengenal sosok Hanan Ghiffari.
Syifa dan Aiza tidak memberi komentar. Mereka bertiga pun saling hening karena sama-sama tak tahu harus berkata apa lagi. Situasi antara mereka seakan berubah menjadi serba salah. Naya tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak ingin sahabatnya—terutama Syifa—akan terus merasa canggung padanya sampai ke depan nanti, hanya gara-gara dia pernah menyukai Hanan yang nantinya akan menjadi suami Syifa.
Maka, ketika di kejauhan Naya melihat sebuah SUV hitam yang cukup familiar baginya tampak memasuki halaman sekolah dan berhenti di tempat biasa para wali murid memarkirkan kendaraan mereka, lalu si pengemudi keluar dari pintu depan bagian kanan, mendadak Naya malah membuat sebuah keputusan secara impulsif.
"Kalian tahu," Naya menatap Syifa dan Aiza bersamaan, "Sebenarnya ... aku udah dilamar sama seseorang. Jadi berhenti menduga-duga kalau aku menyukai Kak Hanan. Aku justru lagi merasa bahagia sekarang karena Allah udah menjawab salah satu doaku. Kalau semuanya lancar, insya Allah sebentar lagi aku juga akan menikah lho."
"Beneran, Nay?" tanya Aiza memastikan.
Naya mengangguk yakin sambil mengulas senyum.
"Papa!" Suara Alisya terdengar jelas mengiringi obrolan Naya bersama kedua sahabatnya. Gadis kecil itu tengah berlari menghampiri papanya dengan antusias begitu melihat kemunculan sang papa yang telah tiba untuk menjemputnya.
"Tadinya aku nggak mau cerita dulu sama kalian karena belum sampai ke tahap khitbah. Tapi berhubung kalian mikirnya aku lagi patah hati, jadi aku ceritain aja sekarang. Tapi tolong dirahasiakan dulu, ya. Jangan cerita dulu sama siapa pun sampai semua prosesnya lancar dan siap buat sebar undangan kayak Syifa. Dan ... doakan juga, semoga laki-laki ini bisa jadi pilihan yang tepat untuk aku." Naya mengulas senyum lebar untuk menyakinkan kedua sahabatnya tersebut.
"Bunda Naya! Bunda Aiza! Bunda Syifa!" Alisya tiba-tiba datang menghampiri dan menyalami ketiga gurunya itu untuk berpamitan. Ketiga gadis itu pun serentak mengalihkan atensi pada Alisya.
"Hati-hati pulangnya, ya."
"Iya, Bunda Aiza."
Naya menyadari, tak jauh di hadapannya, ada Irgi yang sedang berdiri menunggui Alisya. Maka, dengan sengaja dia kembali berujar pada Aiza dan Syifa dengan suara yang lebih nyaring, agar pria itu pun dapat mendengar apa yang hendak dia katakan.
"Laki-laki itu menyampaikan lamarannya lewat Kak Fatih. Aku udah pertimbangkan lamaran laki-laki itu dan beristikharah juga. Insya Allah aku akan terima lamarannya hari ini ... kalau memang belum terlambat dan masih ada kesempatan buat aku."
Irgi dapat mendengar apa yang baru saja dikatakan Naya. Dia tampak sedikit terkejut dan sempat mengarahkan atensi sejenak pada salah satu guru putrinya itu, sebelum kemudian menatap ke sembarang arah untuk menjaga pandangannya. Bibirnya pun perlahan melengkung tipis karena memahami maksud perkataan Naya barusan. Hatinya seketika merasa senang karena mengetahui bahwa lamarannya hendak diterima oleh gadis itu.
"Wah! Masya Allah! Selamat, Nay. Bismillah, semoga dimudahkan, ya," ucap Syifa yang kini telah kembali terlihat semringah. Aiza pun ikut tersenyum sambil mengucapkan selamat dan mendoakan hal yang sama untuk Naya.
"Aamiin. Makasih, Syif, Za," ucap Naya dengan senyum yang kembali dia sunggingkan.
Dalam hati, Naya sedang berjuang untuk terus meyakinkan diri, bahwa keputusan yang dia buat itu sudah benar. Karena Naya sadar, apa yang selanjutnya akan dia hadapi.
Karena itu, ketika Alisya dan papanya sudah meninggalkan sekolah, begitu pun dengan empat murid lainnya yang juga sudah dijemput semua oleh wali mereka, lalu Naya, Aiza dan Syifa juga sudah sama-sama pulang ke rumah masing-masing, saat Naya baru saja menginjakkan kakinya di ruang tengah dan belum sempat mengganti seragam mengajarnya dengan pakaian rumahan, ponselnya seketika berdering. Sebuah panggilan masuk dari Fatih—sang kakak. Lelaki itu telah sembuh dan kembali masuk kerja sejak dua minggu yang lalu.
Naya lekas mengangkatnya sambil mendudukkan diri di sofa ruang tengah, depan televisi. "Assalamualaikum, Kak," ucap Naya dengan nada tenang.
"Wa'alaikumsalam. Nay, barusan Pak Irgi minta Kakak sampaikan sesuatu sama kamu. Katanya, belum terlambat sama sekali dan kesempatan itu masih tetap ada. Jadi kalau kamu mau sampaikan jawaban hari ini, akan dia tunggu lewat Kakak. Kakak nggak ngerti apa maksudnya. Pak Irgi minta Kakak untuk tanyain sama kamu."
"Aku ... bersedia untuk taaruf sama Pak Irgi, Kak. Dan insya Allah aku juga siap jadi istrinya, juga ibu untuk Alisya," ujar Naya.
"Kamu serius?"
"Iya, Kak. Bismillah. Inilah jawaban dari aku."
Ada hening sejenak sebelum Fatih kembali bersuara. "Okay. Akan Kakak sampaikan sama Pak Irgi. Nanti saat di rumah kita bahas lagi soal ini, ya. Kakak tutup dulu. Mau lanjut kerja. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Naya mengembuskan napas panjang begitu telepon berakhir. Tatapannya menerawang ke sembarang arah bersamaan dengan tangan kanannya yang perlahan menurunkan ponsel. Naya harap, ini merupakan keputusan terbaik bagi hidupnya, juga bagi orang-orang terdekat yang dia sayangi.
________________
Otw nikah nih, Naya-Irgi.
Kira-kira jadi nggak? 😁✌️
See u next part.
Selanjutnya mulai masuk bab berbayar ya. Insya Allah cerita ini nggak terlalu banyak babnya. Harga per bab yang berbayar juga gak mahal-mahal amat.
Buat yang mau lanjut baca, semoga dimudahkan rezekinya untuk buka semua gembok dan membaca kisah ini sampai tuntas. ☺️🧡✨
Makasih udah meluangkan waktu untuk membaca karyaku. Semoga ada manfaatnya.
Jazakumullahu khair.
Bagi yang mau dapat spoiler tipis-tipis, pemberitahuan update atau segala postingan terkait karyaku, bisa follow Instagram: @zazadaisilova
🤍🤍🤍
-Zazadaisilova-
21/01/2025
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
