
Seorang pemuda berubah nasibnya ketika ia kehilangan salah satu giginya.
“Tidakkah kau lihat di sana ada meja yang kotor? Bagaimana bisa orang minum di meja kotor seperti itu, Sialan?!”
Vinssent masih mengurusi pelanggan saat Pak Tua tetiba berteriak padanya. Ia membersihkan meja, membuatkan minuman dan kembali melayani pelanggan kedai sebelum kembali diteriaki. Bisa karena tugas lain yang telah menunggu, sesuatu yang terjadi karena keteledorannya, atau bahkan tanpa memerlukan alasan sama sekali karena Pak Tua membenci Vinssent hingga ke dasar jiwanya. Seumur hidup.
Orang-orang meyakini kebenaran ini meski tidak mampu membuktikannya. Bahwa Vinssent sebenarnya adalah anak dari hubungan gelap istri Pak Tua. Pak Tua terpaksa membesarkannya karena ia sendiri telah lebih dulu menghasilkan seorang anak dari hubungan gelap. Istrinya telah meninggal belasan tahun lalu dan Pak Tua kian semena-mena memperlakukan Vinssent. Meski telah menjaga kedai hingga kerap jatuh sakit, Vinssent bukanlah peminum, dan justru karena itulah Pak Tua suatu kali memaksanya minum, lebih tepatnya menggelonggongnya hingga tersedak hampir mati, dan terkapar nyaman di tanah seperti binatang.
“Sudahlah. Kerjamu selalu marah-marah.”
Beruang yang ini bukan binatang pemarah yang menghuni rimba. Beruang yang ini adalah panggilan orang-orang karena ia tak ubahnya manusia gelandangan. Rambutnya panjang tandus, mukanya seperti semak belukar yang tidak terjamah alat pemotong. Orang-orang tidak tahu siapa nama sebenarnya. Mereka hanya tahu mereka sesama peminum, dan memberi nama Beruang sebagai penghargaan atas perawakannya yang berantakan.
“Diam kau, Beruang bodoh! Pikirkan saja hutang minumanmu!”
***
Sebelum dibuka, Vinssent terlebih dulu mempersiapkan kedai. Ia menyapu remah-remah, mencuci gelas-gelas, membelah kayu-kayu bakar, memindahkan tong-tong anggur, juga memanggang roti sebagai menu hidangan ringan nanti. Vinssent tidak bekerja sendiri. Bleki, anjing putih peliharaan Pak Tua menemaninya di sana; melipat kakinya, mengangkat kepala saat Vinssent melintas, dan selalu menyahut saat Vinssent bercerita padanya. Bleki binatang setia, dan mungkin lebih setia kepada Vinssent dibandingkan Pak Tua, yang membuat Pak Tua terkadang ingin meracuninya.
Perapian menyala melindungi pengunjung kedai dari malam yang dingin. Begitu juga gelas minuman di depan mereka. Merekalah orang miskin, yang semiskin apapun itu, selalu mampu menyisihkan uang untuk minum di kedai. Minum membuat mereka hangat, membantu mereka pula lepas dari rasa waspada. Dari pekerjaan mereka, atau mungkin omelan istri mereka yang sangat menyiksa telinga. Koin-koin dari kantong kumal mereka menambah pundi-pundi Pak Tua. Lantas, dengan menjalankan kedai minum yang merupakan satu-satunya tempat hiburan di desa, apakah Pak Tua semakin makmur? Sayangnya, tidak selalu seperti itu.
“Berikan aku uang.”
“Kau pasti mau berjudi lagi.”
“Tidak, aku tidak akan berjudi. Berikan saja aku uang.”
“Semua uang sudah kau ambil!”
“Kau bohong! Jelas-jelas malam ini ada banyak pelanggan!”
Jahn putranya akan datang menghabiskan uang. Pak Tua tidak bisa berbuat apa-apa karena Pak Tua mengasihi darah dagingnya sebesar ia membenci Vinssent. Jahn hampir tidak pernah berada di rumah. Ia pulang hanya untuk menguras lumbung Pak Tua dan kembali bersenang-senang di luar.
“Lihat, kau berbohong!” Jahn menemukan uangnya. Dengan kemenangan itu ia bersiap untuk kembali menjelajah dunia malamnya. Di ambang pintu Jahn memandang ke Vinssent, setengah abai ia bertanya, “ke mana gigimu?” sebelum menghilang dengan tawa yang aneh.
Pak Tua mulanya tidak serius menanggapi. Namun ketika ia mengamati, ia paham putranya yang mabuk itu tidak asal bicara. Vinssent sungguh kehilangan satu gigi depannya.
“Kenapa dengan gigimu?”
“Aku dipukuli sekelompok orang.”
Pekan lalu Vinsent memang diminta ke hutan di perbatasan untuk mengumpulkan kayu bakar. Sejak saat itu Pak Tua sama sekali tidak menyadari jika gigi anak ini telah tanggal satu. Pak Tua tidak perduli oleh sebab Vinssent dipukuli orang. Namun Pak Tua dengan senang hati tertawa merayakan hal itu, satu-satunya bentuk tawa yang sudi ia berikan ke anak najis. Sudah makan hati dengan tingkah Jahn, kemalangan Vinssent sudah barang tentu menjadi obat manjur untuk ia telan.
“Sekarang kembali bekerja, tutup mulutmu dan jangan tersenyum karena itu menjijikkan.”
“Baik, Tuan.”
“Sudahlah. Kau selalu marah-marah.”
“Diam kau, Beruang bodoh”
***
Vinssent masih ingat jelas peristiwa itu. Mereka yang saat itu memukulinya pasti bukan warga biasa. Dan pasti bukan penduduk desa pula. Vinssent amat bersyukur dirinya masih bisa selamat. Bukan hanya gigi depan, kepalanya pun bisa saja dibuat tanggal oleh bandit-bandit kejam itu.
Ah, ia tidak boleh terlalu meratap. Kedai sudah harus dipersiapkan kembali.
Malam itu ada sedikit yang aneh dengan Beruang. Dari ia mendudukkan pantatnya hingga saat ini, ia selalu tersenyum menatap ke Pak Tua. Gelagatnya seperti mengandung suatu siasat. Pak Tua tidak khawatir Beruang akan berbuat aneh-aneh, Pak Tua mendekatinya semata-mata agar senyum menjijikan itu raib secepat mungkin.
“Kau ini kenapa, sialan?”
“Aku senang sekali. Malam ini aku bisa minum sepuasnya. Lalu, kau juga akan menganggap lunas seluruh hutangku.”
"Jahanam! Kukira kau tidak bisa lebih sinting lagi! Pergilah! Tidak ada minuman untukmu!”
“Kau pasti berterimakasih. Kita lihat saja nanti.”
Tingkah Beruang membuat Pak Tua muak. Vinssent diminta tidak lagi memberi Beruang minuman. Tapi Beruang memang tidak meminta, hanya duduk tenang memainkan jemarinya, tetap tersenyum ke arah Pak Tua. Seumur hidupnya tak pernah Beruang bertingkah seaneh itu. Pak Tua menyerah. Beruang sialan, kutuknya dalam hati.
“Baiklah. Katakan apa maumu?”
“Kukira kau ingin aku pergi dari sini.”
“Jahanam! Katakan sekarang!”
Beruang tersenyum menang, dan dengan hati-hati ia mengeluarkan selebaran dari balik bajunya dan menyerahkannya secara sembunyi-sembunyi. Pak Tua membacanya, dan Pak Tua kini mengikuti cara Beruang tersenyum. Rasanya seperti Pak Tua mengagumi cara Beruang berpikir.
“Kau cerdas.”
“Sudah kubilang, kau akan berterimakasih padaku.”
“Dari mana kau mendapatkannya? Siapa lagi yang mengetahui hal ini?”
“Itu tidak penting. Dan aku pastikan belum ada yang mengetahui hal ini. Sekarang, apa aku bisa minum sepuasnya?”
“Bantulah aku dulu. Setelah itu kau bahkan boleh memiliki kedaiku.”
***
Beruang telah memimpikan hal ini. Sebentar lagi ia bisa berdagang, barangkali akan menginvestasikan uangnya, apapun itu yang penting ia harus mengelolanya dengan cermat. Tapi sebelum ke sana, pertama-tama ia harus membantu Pak Tua menjalankan rencana mereka. Ia telah berhasil mendapatkan obat bius dari pedagang kenalannya, dan dengan itu mereka kemudian mencampurnya dengan minuman Jahn. Ya, Pak Tua ingin membuat Jahn pingsan sebelum mereka melakukan sedikit operasi kepadanya.
“Kau yang lakukan,” kata Beruang. Jahn di depan mereka tak sadarkan diri, dengan tangan dan kaki terikat.
“Kau gila! Dia putraku! Mana tega aku melakukannya!”
***
Pak Tua menghampirinya di kamar. Vinssent merasa, roman mukanya bak musim langka yang tidak akan dilihat dalam kurun waktu seratus tahun.
“Aku ingin kau beristirahat saja. Hari ini kau tidak perlu bekerja.”
“Bagaimana dengan pelanggan, Tuan?”
“Tidak perlu mengkhawatirkan itu. Ada Jahn yang menggantikanmu. Beristirahatlah. Segala keperluanmu akan kusediakan di sini.”
“Tapi aku tidak dalam keadaan sakit.”
“Jangan membantahku, Sialan!!” Lalu Pak Tua kembali mengatur nafasnya. “Maafkan aku. Tapi aku ingin kau tetap di sini.”
Pak Tua mengurung Vinssent di kamarnya, sementara Jahn hanya mampu berbuat onar alih-alih bersikap sebagai pelayan yang baik. Pak Tua berkali-kali memintanya menjaga sikap. Jika rencana mereka berhasil, keberuntungan mereka akan membaik berpuluh-puluh kali. Dan sampai tiba saatnya, Jahn harus tetap bersikap waras.
Kedai sedang tidak ramai. Beruang ada di sana, duduk memainkan jemarinya, dan dengan rasa curiga ia melemparkan jangkar pandangnya jauh ke luar jendela.
“Harusnya mereka telah tiba.”
“Kau yakin tidak mendapatkan kabar yang salah?” tanya Pak Tua.
“Percayalah. Mereka akan datang.”
Mereka kian resah menanti. Menjelang tengah hari belum juga ada tanda-tanda bagus. Beruang dituduh pembual busuk dan hampir kena amukan Pak Tua. Tidak lama setelah itu, Beruang membuktikan perkataannya.
Rombongan kerajaan akhirnya tiba.
Sepasukan kavaleri berada paling depan, lalu kereta yang membawa Sang Raja berada di antara puluhan pasukan infanteri. Sementara orang-orang di kedai terkejut, mengira gerangan apa yang ada di balik kedatangan Sang Raja, terlebih raja ini bukanlah pemimpin mereka, desa mereka hanyalah tempat terpencil di luar perbatasan.
Seorang Prajurit-sepertinya Panglima atau tangan kanan Sang Raja sendiri-memasuki kedai. Seketika suasana berubah senyap, yang terdengar hanyalah pedang yang bergoyang di pinggang Sang Prajurit. Dari pinggangnya pula Sang Prajurit menarik segulung kertas, membukanya, dan menunjukkannya kepada khalayak.
.***
‘PEMILIK GIGI INI AKAN DINIKAHKAN DENGAN SANG PUTRI’. Begitulah keterangan selebaran yang kemarin disebar oleh pasukan kerajaan. Penduduk negeri terang saja heran. Gigi siapa yang digambar ini? Mengapa pula ia akan jadi sedemikian beruntung?
Semua orang tergiur, apalagi gambar gigi di selebaran itu memang hanya gambar sebuah gigi. Mereka tidak melihat pembeda yang jelas, bahkan jika diamati baik-baik, gambar itu tak berbeda dengan bongkahan batu di dekat kaki mereka. Maka dari itu mereka pun berbondong-bondong ke istana untuk menyatakan diri. Tapi tentu saja tidak semudah itu karena istana juga telah menyiapkan seorang ahli, dialah Tabib paling termasyhur di negeri itu.
“Kau bukan pemiliknya,” sangkal Sang Tabib. “Gigi ini putih sementara gigimu kuning. Tidak mungkin warna gigi bisa berbeda satu sama lain seperti itu.”
Si peserta tertawa mendengarnya. Datang karena iseng belaka, dan ia pun tak lebih dari seorang pemabuk yang menghabiskan waktunya di kedai minum.
“Kau bukan pemiliknya,” sangkal Sang Tabib kembali. “Gigi ini masih cukup segar sementara gusimu telah berlubang lama sekali.”
Si peserta tertawa mendengarnya. Datang juga karena iseng belaka, dan ia pun tak lebih dari seorang tua bangka yang akan masuk liang tanah dalam hitungan hari.
Sang Raja gusar melihat audisi yang kacau itu, sedih pula karena putrinya urung berjumpa dengan si pemilik gigi. Bersama menteri-menterinya Sang Raja membentuk dewan rapat. Akhirnya diputuskan jika Sang Raja bersama panglimanya dan para pengawal akan membawa Putrinya menemukan Sang Pangeran. Pintu ke pintu. Sang Putri menyambut rencana itu dengan gembira. Seraya menyimpan gigi si pangeran dalam liontinnya, sang putri berharap agar mereka dapat bertemu kembali.
***
“Kami mencari pemilik gigi ini. Adakah di antara kalian yang memilikinya?” kata Sang Prajurit. Seumur hidup, mungkin itulah satu-satunya saat di mana para pengunjung kedai menyesali gigi mereka yang sehat.
“Sungguh takdir telah mempertemukan kita, Tuan,” jawab Pak Tua. “Putraku! Putraku adalah orang yang kalian cari!”
“Siapa putramu?”
“Itu dia, Tuan,” Pak Tua menunjuk ke Jahn. “Lihatlah, Tuan. Ia tampan, juga pekerja keras.” Dan Jahn seketika menundukkan mukanya. Tingkahnya mendadak pemalu seperti anak anjing yang sulit dibuat mendekat.
Sang Prajurit mendekat dan meminta Jahn menunjukkan giginya. Benar bahwa ia kehilangan gigi depan, namun ia masih harus diperiksa Sang Tabib, hal yang tentu tidak diperkirakan Pak Tua dan Beruang. Sang tabib masuk setelah aba-aba, langkahnya pelan, dengan tubuh yang semakin dilahap waktu. Sang Tabib mengeluarkan sebuah kotak dan membukanya. Dengan gigi yang ada di dalamnya itu, Sang Tabib mencocokkan mulai dari warna, bentuk, dan usia.
“Lubang di gusi putramu masih amat segar. Bahkan aku yakin belum mencapai satu hari.”
“Apa maksudnya itu?” Pak Tua tergeragap.
“Apapun itu, yang pasti Putramu bukan orang yang kami cari.”
“Kau mungkin keliru, Tuan. Putraku pasti orang yang kalian cari. Coba kau periksa lagi baik-baik.”
Sang Tabib tidak menggubris permintaan itu. Ia memberi isyarat agar mereka bergegas mengingat pencarian belum usai, masih ada banyak tempat yang mesti mereka singgahi. Pak Tua terus berusaha agar Sang Prajurit mengubah pendiriannya. Sia-sia.
Sang Prajurit melaporkan hasilnya kepada Sang Raja yang berada di dalam kereta. Barisan mereka berganti haluan, sebelum Bleki muncul dan menyalak tanpa henti. Mereka juga melatih anjing di kemiliteran mereka. Dan Sang Prajurit tahu anjing itu tidak sedang terancam karena bau yang asing, tetapi ingin menunjukkan sesuatu.
“Lupakan dia, Tuan. Anjing itu sedang sakit.”
Sang Prajurit tidak menggubris Pak Tua dan meminta barisannya bertahan sebentar. Sang Prajurit lalu mengikuti Bleki ke sebuah rumah kecil di belakang kedai. Mereka memasuki rumah itu. Bleki mengarahkannya ke sebuah kamar. Sang Prajurit mengetuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban. Sang Prajurit hendak membukanya, namun terkunci rapat.
“Ada apa di dalam kamar ini?”
“Tidak ada apa-apa, Tuan.”
Pak Tua tergeragap lagi, kian menampakkan raut muka dusta. Mau tak mau ia menyerahkan kunci kamar setelah Sang Prajurit mengancam akan membelah pintu kamar itu. Sang Prajurit masuk ke kamar dan menemukan Vinssent sedang terpaku. Vinssent tidak menjawab ketika dipanggil karena ia tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Vinssent dibawa ke luar, dan di sana Sang Prajurit memberikan padanya hak yang sama seperti pada khalayak. Sang Prajurit memberitahukan itikad mereka dan memberikan kesempatan untuk membuktikan. Benar bahwa Sang Prajurit melihat Vinssent tidak memiliki gigi depan. Tapi kembali lagi, keputusan ada di tangan Sang Tabib.
***
Ia seorang dara dengan paras cantik dan mata yang indah, ia suka berpetualang seperti Ibunya, Sang Ratu, ia cerdas seperti yang dikatakan gurunya di istana, maka ia cukup cerdik pula untuk mengelabui para pengawalnya, tak mungkin ia sebebas merpati jika terus berada dalam kawalan.
Ia menuju ke hutan perbatasan. Kata orang-orang di sana terdapat sebuah air terjun yang sangat indah. Ia berhasil menemukan air terjun itu, dan ia terpana menyaksikan keindahannya. Merasa tidak ingin melewatkannya begitu saja, ia pun membebaskan dirinya, ia mandi di air terjun itu.
Hutan tempat penuh misteri. Karena hutan juga dijadikan tempat persembunyian bandit-bandit yang diburon oleh kerajaan. Ketiga orang itu menemukan ada seorang gadis cantik mandi di tengah hutan, tiada seorang pun akan mendengar mereka, dan lengkaplah kesenangan itu mereka rasa.
Apalah dayanya di hadapan sekelompok bandit itu. Ia berlari sekencang mungkin, tapi tetap tak lebih cepat. Mereka bisa menyusulnya, menangkapnya, menghempaskan tubuhnya, menindihnya, lalu mencengkeram kaki dan tangannya. Percuma sekuat apapun ia meronta, hanya akan membuat mereka bertambah beringas. Mereka bersenang-senang, dan ia takkan bisa mempertahankan apapun.
Di saat ia merasa sudah hilang harapan, saat itulah seseorang datang menyelamatkannya. Orang itu menyerang bandit-bandit itu dari belakang, hingga ia mampu melepaskan diri. Kini giliran orang itu yang menjadi sasaran, dipukuli hingga babak belur oleh bandit-bandit itu. Mereka sudah akan mengakhiri hidup si pengganggu. Di saat itulah para pengawalnya muncul kembali. Bandit-bandit itu melarikan diri, pun si lelaki misterius. Segalanya terjadi begitu cepat. Ia tak sempat mengenali wajah penyelamatnya.
***
Tiada keraguan di dada Sang Tabib. Ia telah memeriksa semua, dan ia yakin, sebagaimana yakin mentari esok masih bersinar. Vinssent adalah pemilik gigi itu. Ialah yang menyelamatkan sang putri ketika mengumpulkan kayu bakar ke hutan. Tidak ada yang mengetahuinya karena Vinssent hanya cerita pada Bleki si anjing. Kalaulah ia cerita pada orang lain, mungkin takkan ada juga yang mempercayainya.
Mereka akhirnya bertemu. Sang putri bisa melihat dengan jelas wajah penyelamatnya. Sementara Vinssent masih saja merasa gugup, seperti ketika ia melihat sang putri di air terjun. Vinssent sebenarnya lebih dulu berada di sana. Ia sempat bersembunyi, butuh waktu hingga ia memutuskan melawan ketakutannya.
“Terimakasih telah menyelamatkanku.”
“Aku sebenarnya takut, Tuan Putri. Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka menyakitimu.”
Sang Putri bahagia bisa berjumpa dengan Vinssent. Sang Raja bahagia melihat putrinya bahagia. Rombongan kerajaan bahagia mereka bisa kembali untuk membuat pesta pernikahan yang megah. Tapi di antara orang-orang bahagia akan ada pula orang-orang yang tidak bahagia. Pak Tua amat berang kepada Beruang. Demi dewa, roh, hantu sekalipun, Beruang takkan ia lepas.
“Bayar hutangmu! Dua kali lipat ditambah dengan bunga!”
***