Midnight in Manhattan | Chapter 01 - 05

2
0
Deskripsi

A sexy single dad and nanny

Chapter 01 – The First Meet

Joanne Irish Lyne POV 

Aku mengambil tempat duduk di konter dapur sembari meletakkan laptopku, menjadi pengasuh anak seorang billionaire yang terlahir dari lingkungan dan keluarga uang lama.

Christopher Warren Addison.

“Ini tehmu,” kata Elena.

“Terima kasih,” jawabku.

Aku mengetikan namanya di sana sembari menunggu, aku menyesap teh yang Elena buat untukku hingga Google menampilkan wajah seorang pria sangat tampan dengan setelan jas yang melekat di tubuh indahnya—aku mengambil napas dalam-dalam saat aku membaca biografi itu, di situ tertulis, dia pernah menikah dan bercerai, aku tahu itu dan tentu berita itu sangat trending selama proses perceraian dan hal wajar kenapa pria setampan Warren Addison bercerai, aku bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada mereka, karena tidak ditulis alasan mereka bercerai, semuanya benar-benar tertutup. 

“Apa kau sudah melihat tentangnya?”

Aku membaca semua tentangnya, tidak ada yang spesifik, hanya biografi singkat, pekerjaan, aku tidak melihat foto keluarganya di internet—aku melihatnya, kupikir itu sangat lama, bisa saja dia masih berusia dua puluh empat tahun atau dua puluh lima dan pernikahan yang intimate, tidak ada media tapi hanya keluarga dan teman dekat, dia benar-benar tidak menginginkan keluarganya terekspos media.

Aku menoleh. “Bagaimana bisa wajah William dan Jane tidak ada di mana-mana?”

“Keluarga Addison memang tidak mempublikasikan wajah cucu mereka sampai mereka memasuki masa remaja, mereka hanya ingin keluarga mereka sedikit lebih tenang apalagi William dan Jane masih terlalu kecil untuk itu.”

Elena datang dan duduk di sampingku, merebut laptopku dan menekan gambar pada pencarian pria itu. “Kupikir memang itu yang dilakukan para uang lama, hidup tenang di rumah besar dan berlatih kuda di tanah mereka setiap libur atau memiliki peternakan kecil,” lanjutnya.

“Dia tampan…” gumamku.

“Aku setuju dengan itu, dia jauh lebih tampan jika dilihat secara langsung, jika kau ingin melihat Warren, lihatlah William, persis bahkan cara mereka menatap lawan bicaranyapun sama, aku bekerja dengannya sudah 4 tahun, Irish, kami bahkan bertukar nomor ponsel.”

“Karena kau pengasuh mereka”

“Ya, tapi aku sudah tidak menjadi pengasuh mereka lagi.” Aku membuang napas panjang. “Tenanglah, Irish, dia tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Maksudku, ini Christopher Warren Addison yang sedang kita bicarakan.” Aku membuang napas panjang. “Aku ingin memeriksa Jane dan William, aku belum mengucapkan selamat malam untuknya.”

Aku bangkit dan melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Perlahan aku menyentuh kenop pintu dan mendorongnya, dia masih bermain boneka dan menoleh ke arahku ketika pintu terbuka.

“Kau terbangun?”

Jane mengangguk. “Daddy selalu menciumku sebelum tidur, jadi karena dia tidak di sini, aku ingin kau menciumku, Irish.”

Aku mendekat dan mengecup keningnya. “Good night, Joanne…”

Aku terkekeh seraya mengusap rambutnya lembut. “Good night Jeanne…” kataku padanya sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Saat ayahku pulang, apa kau akan tinggal di sini?”

Aku terdiam dan mendudukkan bokongku di sisi ranjang. “Aku tidak tahu pasti karena ayahmu belum memberitahuku, mungkin kau akan mendapatkan jawabannya besok karena ayahmu kembali besok.”

“Tapi Elena tidak tinggal di sini lagi, Irish,” katanya.

“Ayahmu yang memberi keputusan, Jane, sekarang yang kau butuhkan adalah tidur, jangan membuat ayahmu menunggumu besok, dia sangat merindukanmu,” bisikku dengan jari telunjukku menyentuh hidungnya.

Jane tertawa geli. “Selamat malam, Irish.”

“Selamat malam, Jeanne, mimpi indah…”

Aku mematikan lampu kamar dan melangkah keluar, menuju kamar William—dia sudah tertidur memegang hotwheels, perlahan aku menyingkirkan mainan itu dan meletakkan di lemari koleksinya lalu menarik selimutnya hingga dada. Aku terdiam selama beberapa saat, wajahnya, aku melihat bossku di Internet dan beberapa bingkai kecil yang kulihat di kamarnya, mereka sangat mirip, benar-benar mirip hanya saja William adalah versi kecil, aku tidak tahu apakah sikap mereka juga sama atau berbeda, aku berharap mereka berbeda. 

Aku melangkah ke balkon, udara malam menerpa wajahku dan meniup rambutku. Empat hari aku sudah berada di tempat ini dan Elena pergi di hari kedua sejak aku datang karena aku tidak membutuhkan waktu lama untuk mengerti dengan peraturan rumah ini tetapi malam ini, Elena kembali karena pemilik rumah sekaligus ayah dari William dan Jane pulang besok.

Suasana hening seperti biasa, aku duduk menopang kedua siku di pagar selama beberapa menit hingga sebuah cahaya terang berhenti di depan gerbang, itu cahaya dari lampu mobil, pandanganku terus menatap ke arah gerbang yang terbuka dan mobil itu memasuki pekarangan mansion, aku bisa melihat seorang pria duduk di kursi kemudi dan berhenti.

Itu Christopher Warren Addison.

Christopher Warren Addison bukanlah tipe pria yang bisa dilihat dua kali dalam lingkup lingkungan sepertiku alias sebuah keberuntungan bisa bertemu dengannya dalam hidup sebagian besar wanita yang tahu tentangnya dari internet dan kupikir keberuntungan itu ada pada diriku, aku memang tidak bertemu dengannya sebanyak dua kali tetapi aku bertemu dengannya setiap hari.

Aku tahu pria itu, dia cukup terkenal di kalangan pebisnis maupun wanita dan aku mencaritahu lebih dalam tentangnya di laptopku, di sana tertulis bahwa dia adalah anak kedua dari pasangan Arlene dan Maximiliam Addison—semua orang tahu siapa mereka.

Aku berbalik dan melangkah cepat keluar dari kamar, menuruni anak tangga yang melingkar dan disitulah aku melihat Elena membersihkan gelas dengan cepat di dapur sebelum pemilik rumah benar-benar masuk—dengan cepat dia menghampiriku sambil mengeringkan kedua tangannya di sisi baju.

“Dia pulang lebih awal?”

Elena mengangguk. “Dia tidak mengabariku, jangan memberikan tatapan menggoda karena dia tidak suka itu, dia sedikit kaku tapi nanti kau akan terbiasa.”

“Kau membuatku gugup, Elena,” kataku.

“Dia datang dan dia sangat tampan.”

“Kau mengatakan itu berulang kali.”

“Aku hanya ingin memperingatkanmu.”

“Aku selalu ingat,” kataku pada Elena saat kami berjalan menuju ke arah yang sama yaitu ke pintu utama—pintu terbuka ketika kami belum dekat.

Aku membeku seolah aku terhipnotis, Ya Tuhan dia bertubuh tinggi muncul dari balik pintu, dia mengenakan setelan jas abu-abu arang dibalut kemeja hitam dengan dua kancing atas terbuka yang pas di tubuhnya tetapi pandanganku teralihkan oleh ketampanannya, dia menarik bahkan saat dia menutup pintu dan berjalan mendekati kami hingga mata kami bertemu.

Dia memiliki mata biru yang terang, aku membeku selama beberapa detik melihatnya. Dia jauh lebih tampan jika dilihat mata telanjang dan tampan seperti ayahnya, mereka sama-sama memiliki bulu disekitar rahangnya.

Dia wangi, wangi seperti pria dan benar-benar matang untuk seorang pria, berpakaian seperti seorang pria, tidak ada perhiasan yang menonjol di tubuhnya—ada alroji Omega Speedmaster Moonwatch di pergelangan tangan kirinya, dia sangat rapih, rambutnya cokelat tapi tidak terlalu gelap, dia datang memegang tas kulit yang menampilkan logo pemain Polo seorang diri yang sedang menunggangi kuda di tangan kanannya lalu dia memindahkan tas itu ke tangan kirinya ketika Elena maju selangkah dan menjulurkan tangan padanya. 

“Selamat malam, Mr. Addison.”

“Malam.”

“Ini temanku, Irish, dia yang akan menggantikanku mengurus William dan Jane, bukan begitu Irish?”

“Miss. Lyne.”

Suara Elena dan senggolan lengannya di lenganku membuatku tersadar, aku mengangguk dan tersenyum, ternyata dia sudah menjulurkan tangannya padaku, aku menelan ludah ketika urat-urat itu menonjol tidak sopan padaku—aku segera membalas jabatan tangannya, genggaman tangannya hangat dan besar, tubuhku seperti dibuat tersetrum ketika aku menyentuhnya, kami hanya berjarak satu kaki, dia persis di depanku sehingga aku sedikit mendongak untuk mencapai matanya dan tatapannya menguasaiku.

“Aku Joanne Irish Lyne, Elena biasa memanggilku Irish.”

Ini pertama kalinya dalam hidupku bertemu dengannya yang selama ini hanya kulihat dari internet dan televisi. Elena memperingatkanku untuk tidak menggodanya dengan tatapanku dan aku tidak memiliki niat seperti itu, justru tatapannyalah yang membuat jantungku berdegup kencang, dia pasti merasakan kegugupanku—dia mengangguk samar.

“Warren saja, Mr. Addison terlalu formal dan Elena menceritakan banyak tentangmu lewat panggilan telepon,” katanya, suaranya berat dan dia tampan—tapi sangat tampan.

Sial.

Warren benar-benar tampan.

Aku tersenyum. “Thank you, sir,” kataku.

Butuh beberapa saat bagiku untuk menemukan suaraku, jabatan tangan kami terlepas—tidak ada ekspresi, dia mengintimidasi… seperti putranya, William.

“Anak-anak sudah tidur?” 

Kedua alisku terangkat. “Ah, ya, mereka sudah tidur.”

“Aku belum tidur sejak kemarin malam, kita bisa bicara besok setelah aku pulang kerja, sebelum makan malam dan kalian berdua bisa istirahat sekarang, maaf jika menganggu.”

Sempurna.

Kami tersenyum menggeleng. “Tidak masalah.”

Dia mengangguk samar. “Sempurna, selamat malam.”

“Malam,” kataku.

Raut wajahnya terlihat begitu lelah tetapi dia sangat wangi untuk seseorang yang baru pulang bekerja dari luar kota selama beberapa hari. Dia terlihat sibuk bahkan ketika dia pulang, aku mengangguk dan dia berjalan melewatiku, langkahnya besar, kedua bahunya lebar dan tegap, dia menaiki anak tangga dan tepat, dia masuk ke dalam kamar William.

William's room…” gumamku, aku menoleh ke arah Elena. “Apakah mereka tidur bersama?” tanyaku.

Elena menggeleng. “Hanya untuk ucapan selamat tidur dan ciuman.”

Jantungku berdetak kencang, aku segera membuang napas panjang, Elena tertawa kecil dan berbalik untuk kembali ke dapur, aku mengikuti langkahnya dan kembali duduk di tempatku untuk melihat wajahnya lagi di internet sembari memegangi dadaku yang tak juga berdetak lebih normal. “Aku sudah mengatakan padanya jika besok aku sudah tidak di sini lagi, kemungkinan kau akan di sini dengan William dan Jane seperti kemarin,” kata Elena.

“Rumah ini terlalu besar untuk kita bertiga.”

Elena menggeleng. “Tidak, dia tidak memintamu untuk membersihkan rumah ini, dia hanya ingin kau mengasuh kedua anaknya, menemaninya bermain dan belajar, ikut mengantar mereka ke sekolah dan menjemputnya, hanya itu. Untuk urusan lain, kau tidak bertanggung jawab, orang lain yang mendapatkan tanggung jawab itu.”

Elena kembali menuangkan minumannya ke dalam gelas, dia segera mengambil duduk di hadapanku dengan tubuh yang mencondong ke depan dengan gigi yang menggigit bibir bawahnya. “Jadi, bagaimana menurutmu? Seperti apa dia, Warren Addison maksudku?”

Aku mengangkat bahu, menggigit bibir bawahku. “Aku suka matanya tapi dia mengintimidasiku, sangat serius, sedikit kaku, orang bisa menganggapnya bahwa dia sendiri bukan ayah tunggal…” aku menatapnya di layar. “Dia seksi, dia tampan jika tidak memiliki brewok tapi aku berharap dia tetap memiliki rambut tipis itu di rahangnya, itu yang membuatnya terlihat lebih matang…”

“Aku lebih menyukai dia memiliki brewok daripada tidak,” komentar Elena.

“Ya, benar.”

“Lalu?”

“Jane dan William benar-benar mirip dengannya, cara mereka berjalan, cara mereka berbicara dan cara mereka menatap, benar-benar mirip dengan ayahnya…” gumamku. “Dia dominan, kuat dan benar-benar boss, aku tidak tahu apakah pendapatku tentang bossku benar karena aku baru perama kali melihatnya di depan mataku, kami bahkan berbicara tidak ada 5 menit.”

“Tapi yang kau katakan tentangnya aku menyetujui itu, dia tidak berkencan lagi setelah perceraiannya dan—”

Aku mengangkat tangan kananku ke udara dengan cepat sebelum Elena melanjutkan ucapannya. “Kupikir pembicaraan kita cukup sampai sini saja, Elena, aku tahu kemana arah pembicaraanmu selanjutnya, jadi aku harus ke kamarku dan tidur, aku tidak ingin telat bangun di hari pertamaku bekerja dengannya, selamat malam dan sampai jumpa.”

Kami tidak lagi membicarakan Warren Addison karena aku segera mengambil laptopku dan masuk ke dalam kamarku, aku meletakkan laptopku di meja lalu membungkus tubuhku dengan selimut dan berbaring menyamping, melihat pemandangan taman mansion yang hening.  

・༓☾ ☆ ☽༓・

Aku bangun lima belas menit lebih awal daripada biasanya—aku baru saja menyelesaikan ritual mandiku dan aku segera keluar dari kamarku menuju dapur tentunya, menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak, Elena sudah tidak ada di sini, dia pulang semalam jadi hanya aku, sendirian.

Ponselku bergetar, aku melihat sebuah pesan dari Elena, dia mengatakan mungkin pagi ini bossku akan bangun terlambat karena dia belum beristirahat dengan cukup selama beberapa minggu ini jadi dia memintaku untuk membuatkan sarapannya, dia pria sehat dan menghindari makanan cepat saji jadi aku harus membuatkan sesuatu yang lebih sehat begitupun anak-anak yang harus terbiasa dengan makanan sehat.

Bossku sangat terencana hidupnya.

Aku membuka lemari es, mengeluarkan bahan yang kubutuhkan untuk menyiapkan sarapan, Elena mengatakan biasanya pukul enam Warren sudah bangun tapi ini bahkan belum pukul enam, aku bangun lebih awal jadi aku bisa menghabiskan waktu lebih santai untuk membuat sarapan.

Bossku, Warren, dia ayah tunggal yang matang, mempersiapkan semua kebutuhan anak-anaknya dengan telaten dan konsisten, dia bahkan membuat daftar untuk pengasuh kedua anaknya yang ditempel di lemari es agar aku mengetahui aktivitas sehari-hari mereka di hari biasa maupun libur—William dan Jane sudah terbiasa dengan jadwal dan rutinitas itu, aku kagum dengan Warren, dia benar-benar memperhatikan hal kecil termasuk makanan yang boleh dan tidak boleh di makan dan membuat anak-anak bisa membangun kebiasaan sehat dari kecil.

  • 6:30 am – 7:00 am : Kids wake up, get dressed, come down stairs and breakfast
  • 7:00 am – 8:00 am : Go to school
  • 8:00 am – 2:30 pm : School
  • 2:30 pm – 4:00 pm : Outside play
  • 4:00 pm – 5:00 pm : Homework
  • 5:00 pm – 6:00 pm : Dinner prep and dinnertime
  • 6:00 pm – 7:30 pm : Family time
  • 7:30 pm – 8:00 pm : Bed prep and bedtime

Sarapan pagi untuk tiga selesai, aku membuka lemari es mengambil susu lalu kutuangkan ke dalam gelas mereka, Elena mengatakan bahwa anak-anak menyukai susu dingin daripada hangat jadi aku mengikutinya sejak hari pertama.

“Kau tidak perlu membuatkan sarapan pagi untukku, Miss. Lyne.”

Aku hampir saja mengalami serangan jantung, sialan, aku menoleh ke belakang—Warren melangkah dengan sangat tenang melewatiku, aku tidak menyadari bahwa dia sudah ada di belakangku. “Maaf mengejutkanmu pagi-pagi sekali,” kata dia membawa kertas kecil yang sudah di laminating lalu menempelkan benda itu di pintu lemari es.

“Selamat pagi, Mr. Addison,” sapaku. “Elena mengatakan padaku mungkin kau akan bangun terlambat karena kau belum mendapatkan istirahat yang cukup beberapa minggu ini jadi dia memintaku untuk membuatkanmu sarapan agar kau tidak telat,” lanjutku.

Aku menelan ludah, dia belum berbicara tapi dia hanya diam membelakangiku—aku melirik jam di lengan kiriku menunjukkan pukul enam, ya ampun, apa yang dia lakukan di sini dengan rambut setengah basah dengan celana olahraga pendek hitam dan bertelanjang dada? Mataku sedikit membulat ada tato pria memiliki sayap di bawah lehernya.

“Aku selalu bangun pukul 6, Nona Lyne,” katanya, aku tahu dia sedang membuat kopi dari mesin kopi, aku masih memegang kotak susu hingga dia berbalik dan menemukan diriku terkunci dalam pandangan biru berani Warren Addison yang saat ini bersandar di cabinet menghadapku, meminum kopi di tangan kirinya.

Aku melirik jam, sebagian waktu dia habiskan di kamar mandi lalu turun, kurasa seperti itu.

“Elena banyak berbicara denganku tentangmu, Mr. Addison, jadi jika kau tidak menginginkan sarapannya, aku bisa menyimpannya untukku.”

Pandangannya melirik meja makan lalu kembali menatapku. “Terima kasih, Nona Lyne, aku akan memakannya dan…”

Aku terdiam, dia menegakkan tubuh dan mengisyaratkanku untuk mendekatinya, aku mendekat dan melihat kertas yang dia tempel di lemari es, itu daftar tambahan makanan yang dilarang untuk William dan Jane makan yang belum aku lihat sebelumnya tapi Elena sudah memberitahuku sebelumnya dan sebagai pengasuh, aku tahu aturannya.

  • Junk Food
  • Soda
  • Sugar
  • Salt
  • Packaged foods, deep-fried foods
  • Prawns, peanuts or foods that could cause allergies
  • Full-fat dairy / Raw milk

“Aku tidak mengizinkan anak-anakku untuk mengkonsumsi junk food atau makanan manis terlalu sering, mereka memiliki nilai gizi yang sangat sedikit dan meningkatkan risiko diabetes, obesitas dan penyakit jantung pada tahap selanjutnya. Aku tidak melarang mereka untuk makan itu, aku hanya memastikan mereka hanya mengonsumsi junk food dalam jumlah yang terbatas, aku akan memberitahumu nanti kapan waktu mereka bebas untuk makan apapun yang mereka inginkan.”

“Aku mengerti,” kataku.

“Apa kau mengonsumsi soda?”

“Terkadang…” gumamku.

“Tolong untuk menyimpan di tempat yang tidak dapat dijangkau mereka termasuk Jane, aku tidak ingin mereka mengonsumsi soda. Lalu makan makanan asin, tidak baik pertumbuhan ginjalnya dan hindari udang untuk William, dia memiliki alergi udang sepertiku. Camilan, makanan olahan dan minuman manis yang sering diisi dengan gula atau pemanis buatan, lemak atau garam, tidak menambah nutrisi atau manfaat pada makanan anak, terlalu banyak sajian makanan dan minuman akan menyebabkan kesehatan yang buruk, penambahan berat badan, diabetes, penyakit jantung dan kerusakan gigi pada tahap selanjutnya, aku ingin menyelamatkan anak-anakku dan kau pengasuh mereka, kau pasti tahu tentang semua yang kukatakan padamu tadi.”

“Aku mengerti semua yang kau bicarakan, Mr. Addison.”

“Itu bagus.”

Dia melirik jam di lengan kirinya. “Sekarang kau hanya perlu menyiapkan pakaian mereka, kau tidak perlu membangunkan mereka, mereka sedang mandi dan yang kau butuhkan hanya merapihkan pakaiannya saja, dia mengerti rutinitas mereka sendiri.”

Aku mengangguk, suasana kembali hening, dia terus menatapku. “Lalu apa yang kau lakukan di sini? Kau ingin membuat mereka terlambat ke sekolah?”

Oh sial, apa yang aku lakukan? Aku membuka lemari es dan meletakkan kotak susu itu kemudian berbalik menaiki anak tangga menuju ke kamar mereka—aku membuka pintu dan William sudah tidak ada di tempat tidurnya, aku membuka lemari dan menyiapkan pakaiannya pagi ini hingga pintu kamar mandi terbuka, William baru saja selesai mandi dan menatapku tajam.

“Elena lupa tentang seragam sekolahku, aku tidak memakai seragam yang sudah mengecil di tubuhku. Keluar dari kamarku, aku bisa melakukannya sendiri.” William mencibir.

Aku terdiam. “Ayahmu—”

“Kita akan terlambat.”

Aku menatapnya tapi dia berjalan melewatiku tanpa melirik padaku sedikitpun, aku menyukai anak kecil tapi William sudah bukan anak kecil lagi, dia sudah bisa berpikir dan mengetahui apa yang dia bicarakan termasuk padaku tadi. Aku mengangguk pelan, meletakkan seragam itu di pinggir ranjang dan meninggalkan kamarnya dengan cepat. 

Aku membuang napas panjang, ucapannya membuat hatiku sakit, aku tidak mengerti mengapa dia seperti ini sejak pertama kali, rasanya aku ingin pulang ke rumah—aku menggeleng pelan, ini masih awal, William akan terbuka padaku seiring berjalannya waktu, aku cukup bersabar dan berusaha memenangkan hatinya.

Aku menyentuh gagang pintu kamar Jeanne dan mendorongnya masuk.

“Selamat pagi, Irish!”

Ujung bibirku tertarik ketika aku baru saja membuka pintu dan melihat Jane duduk di ranjangnya dengan handuk yang menempel di tubuhnya, aku segera membuka lemari dan menyiapkan pakaian agar dia tidak kedinginan.

“Selamat pagi, Jeanne!”

post-image-660425de479cb.png


・༓☾ ☆ ☽༓・

 

Chapter 02 – The School 

Joanne Irish Lyne POV

Ponselku berdering, aku melirik ke sisi tempat ponsel itu berada. Sebuah pesan singkat terpampang di layar utama.

Mr. Christopher Addison: “Anak-anak sebentar lagi pulang, jangan terlambat.”

“Aku sudah di sekolah, Warren…” gumamku.

Aku keluar dari mobilnya, mobil yang membuat sepanjang perjalananku dipenuhi kegugupan karena Warren yang memintaku membawa mobil seharga jutaan dolar itu, dia bilang mobil itu yang selalu Elena bawa setiap kali menjemput anak-anak dan aku boleh melakukan apapun dengan mobil itu karena mobil itu yang akan selalu ada di garasi.

Aku melangkah masuk ke dalam sekolah dan melihat siswa-siswi berlarian keluar. Mataku melihat kesegala arah untuk mencari di mana Jeanne dan William berada.

“IRISH!”

Aku menoleh ke kanan dan ujung bibirku tertarik membentuk senyuman lebar ketika seorang gadis kecil berlari ke arahku dengan kedua tangan terbuka lebar seolah dia merindukanku sangat dalam. Aku berjongkok dan memeluknya dengan erat sementara William hanya berjalan memandangi adiknya—dia benar-benar duplikat Warren, begitu tenang.

“Hai, bagaimana sekolahmu?”

Jane melepaskan pelukanku. “Itu menyenangkan, hari ini aku memiliki kelas seni.”

“Oh ya? Apa yang sudah kau lakukan di kelas senimu?”

“Aku membuat mangkuk kecil dengan tanah liat dan guruku memberiku nilai yang bagus dari semua teman-temanku.”

Aku tersenyum lebar. “Benar begitu?” Jane mengangguk antusias. “Itu bagus, aku bangga padamu, Jane, pertahankan nilaimu dan bagaimana dengan sekolahmu Warner?” aku mendongak lalu berdiri menatapnya.

Dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan kedua alis terangkat. “Menyenangkan, panggil aku William saja, Joanne.”

Aku memanyunkan bibirku. “Kau juga harus memanggilku Irish jika kau ingin aku memanggilmu William.”

Mata William sangat mirip dengan Warren, tajam dan mengintimidasi. Dia mendengus dan mengangguk samar. “Irish…” gumamnya.

Aku mengulurkan tanganku pada Jeanne yang disambut antusias olehnya sementara William, dia menolak dan memilih mendahuluiku membuatku merasa begitu asing ketika bersamanya—aku tersenyum tipis, apa hal yang membuat sikap anak sekecil William begitu dingin seperti ini?

Aku melanjutkan langkahku menuju mobil, membantu Jane duduk di jok mobil anak dan mereka sangat pintar untuk tidak merepotkan orang lain, mereka menolak bantuan dariku dan mengatakan bahwa mereka akan meminta pertolongan dariku jika mereka benar-benar membutuhkan pertolongan. Aku menjalankan mobil keluar dari area sekolah, mataku melirik kaca—Jane duduk manis bermain dengan bonekanya sementara William duduk dengan buku di kedua tangannya, keningku berkerut dengan buku yang dia baca.

Aku berdehem. “Buku apa yang kau baca, William?”

William melirikku singkat lalu dia menunjukkan sampulnya padaku. “Kau membaca buku seperti itu?” dia mengangguk. “Apakah buku itu menarik perhatianmu?”

“Aku ingin menjadi pilot seperti pamanku, Matthew, kau tahu pamanku?”

Aku menggeleng pelan. “Sayangnya aku belum pernah melihatnya secara langsung tapi aku pernah melihatnya di foto,” gumamku.

“Uncle Matt seorang pilot, dia selalu memberiku dan Jane hadiah setiap kali dia terbang ke luar negeri.”

“Apakah pajangan di lemari kamarmu sebagian besar dari uncle Matt?” dia berdehem pelan tanpa mengalihkan pandangannya pada buku itu. “Dan kakekku…”

“Pasti menyenangkan memiliki paman seperti uncle Matt,” gumamku.

Dia mengangguk samar. “Tentu, terkadang dia menjengkelkan…”

“Kenapa menjengkelkan?”

“Terkadang dia diam, terkadang dia banyak bicara dan terkadang dia tidak bisa diam, selalu menggangguku.”

Aku tersenyum tipis dan menggelengkan kepalaku, tidak ada ekspresi dari wajahnya—aku kembali fokus pada jalanan, tidak menambah kecepatan mobil dan berhati-hati, aku membawa anak billionaire. Sesampainya di mansion, William dan Jane masuk ke dalam kamar mereka masing-masing, membersihkan tubuh mereka dan bersiap untuk belajar.

Me: “Ya, kami baru sampai di mansion, mereka sedang membersihkan diri untuk beristirahat lalu belajar dan bermain“

Aku meletakkan ponselku di konter dapur dan membuka lemari es untuk menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk menemani mereka belajar.

Hari memasuki kamis malam, kuhabisan hari menemani mereka belajar dan bermain di ruang tamu hingga waktu memasuki waktu makan malam, aku melangkah ke dapur ketika mereka sedang merapihkan semua mainan ke tempatnya di ruang tamu—aku suka dengan cara Warren mendidik anak-anaknya, mereka begitu disiplin dan tidak menganggapku di bawah mereka tapi William masih belum berbicara banyak denganku, aku akan terus berusaha memenangkan hatinya, bagaimanapun juga dia butuh teman dan tempat untuk bercerita karena aku tahu tidak ada orang yang bisa hidup sendiri, semua orang bergantung.

Aku memakai apron biru tua yang menggantung lalu membuka lemari es dan mengeluarkan empat telur, guanciale dan keju pecorino romano di rak sayuran lalu menutupnya kembali. William dan Jane menginginkan spaghetti carbonara untuk makan malam, aku segera memasak untuk mereka karena ini sudah memasuki hampir pukul enam.

Aku membuka lemari penyimpanan dan berdiri di tengah, mataku melihat ke sekelilingku, mencari keberadaan bahan yang kubutuhkan.

“Apa yang kau cari?”

Aku menoleh ke belakang. “Black pepper, di laci sudah habis,” kataku pada William yang berdiri di ambang pintu tempat penyimpanan makanan.

William berjalan melewatiku dan membuka salah satu laci yang tak jauh dari tempatku berdiri kemudian menyodorkan bumbu itu padaku, aku segera keluar dari sana dan kuletakkan di samping telur. Saat aku mengeluarkan talenan dan pisau, William membuka bungkus guanciale kemudian dia meletakkan daging itu di sana.

“Kau bisa masak, William?”

Dia mengangguk. “Aku selalu memasak Carbonara untuk Elena,” katanya.

Keningku berkerut. “Elena? Kenapa kau yang memasak?”

“Karena Elena sangat buruk untuk memasak sepiring Carbonara, dia menggunakan bacon dan aku tidak suka bacon di Carbonara, guanciale adalah terbaik.”

Aku mendengus mendengarnya, mataku terus memperhatikan cara anak laki-laki berusia enam tahun memotong kecil berbentuk dadu sebanyak empat ratus gram guanciale itu kemudian memasukkan ke dalam pan dan masak dengan api med-high hingga lemak meleleh—cara dia memasak dengan bantuan kursi kecil agar bisa melihat masakannya membuatku tersenyum.

Aku mengambil mangkuk dan memecahkan empat telur itu. “Who did you learn to cook with?” tanyaku seraya memisahkan kuning telur ke dalam mangkuk.

Dia menoleh. “My dad…” kata William sembari menuangkan spaghetti ke dalam air yang sudah mendidih.

“Jadi yang selama ini memasak—”

“Ayahku yang mengajari Elena memasak masakan Italia dan dia masih sangat buruk hanya untuk Carbonara.”

“Wow…” kagumku. “You amaze me, little Addison.”

Thank you.”

Setelah telur bagian kuningnya sudah kupisahkan, aku memarut keju pecorino romano itu kemudian menuangkang ke mangkuk yang sudah berisikan kuning telur itu dan mengaduknya hingga rata.

“Kenapa kau tidak ingin jadi seorang koki?”

Dia menggeleng. “Aunt Cassie is a chef and Jane wants to be one…”

“Ahhh…”

Setelah guanciale meleleh dan matang, William meniriskan lemaknya ke dalam mangkuk kecil dan aku menuangkan satu setengah air pasta panas ke dalam mangkuk yang berisikan telur dan keju yang sudah diaduk rata kemudian aku menuangkan pasta yang sudah al dente ke dalam pan kemudian disusul dengan tiga perempat guanciale matang.

“Biar aku yang mengaduknya.”

Selagi William mengaduk pasta itu, aku menuangkan campuran keju dan telur tadi ke dalam pan.

Daddy's home!”

Suara teriakan Jane membuatku dan William menoleh bersamaan, benar, ayah mereka pulang, dia memeluk Jane dan memberinya hujaman ciuman di wajahnya sementara aku dan William tetap fokus pada masakan kita.

Hey, my little girl.”

Dad, stop!” suara tawa geli Jane terdengar keras membuat ujung bibirku tertarik membentuk senyuman tipis.

“Kau tersenyum pada ayahku?”

Aku menoleh dan terdiam kemudian menggeleng. “Tidak, itu Jane, aku tersenyum karena Jane tertawa…”

William mendengus. “Aku tidak suka kau menyukai ayahku, aku tidak ingin dia kecewa lagi dengan seorang wanita pirang sepertimu,” ucapnya menatapku tajam.

“Aku tidak pirang.”

You're not a brunette but you were born a blonde girl but not as blonde as the dumb blonde, Irish.”

Aku terdiam menatapnya. “How do you know I'm blonde?”

Dia mengangkat kedua bahunya. “My mom is blonde and like a dumb blonde.”

The real Monroe was smarter, tougher, and a better actress than we realize,” ucapku.

“Si pirang bodoh itu cantik, seksi, dan pintar, tetapi ibuku bodoh, jelek, dan pembunuh—”

Don't talk like that about your mom, William.”

William kembali mendengus kemudian mematikan api setelah masakannya matang, aku meletakkan pirang di meja makan dan membawa pan itu, menuangkan masing-masing carbonara yang kami buat ke atas piring dan pembicaraan kami selesai sampai situ.

“Hey, William…”

Aku menoleh ke belakang, Warren berjongkok dan memeluk anak laki-lakinya begitu erat tak lupa memberikan ciuman padanya.

“Kalian memasak?”

“Ya, aku membantu Irish membuat carbonara, aku pikir dia memakai bacon seperti Elena, ternyata dia tahu guanciale adalah terbaik.”

Jadi ini alasan Elena selalu meributkan tentang carbonara dengan William? Aku tersenyum tipis dan menuangkan pasta terakhir ke dalam piringku yang kuletakkan di pulau dapur.

“Ini untukku?”

Aku mengangkat pandanganku, Warren melampirkan jasnya di kursi, menggulung kemejanya hingga siku dan melepaskan dasi yang mencekik lehernya selama hampir sepuluh jam—tidak ada yang lebih seksi dari seorang ayah tunggal darinya, aku mengedipkan mataku tersadar bahwa aku baru saja memperhatikannya dengan lekat, aku mengangguk samar.

“Bagaimana denganmu?”

“Tidak perlu memikirkanku, aku sudah memisahkan makan malamku,” kataku padanya, aku meletakkan pan, pisau, mangkuk, talenan dan lainnya ke dalam mesin pencuci piring.

“Dad, Irish tidak akan makan malam di meja yang sama dengan kita?” sambung Jane, menatap Warren memohon seolah dia ingin aku berada di antara mereka.

Aku terdiam, mataku melirik kilas Warren masuk ke penyimpanan khusus untuk minuman—dia membawa dua gelas di antara jarinya dan sebotol anggur di tangan kirinya berjalan mendekati meja makan.

“Irish bergabung untuk makan malam.”

Kedua alisku terangkat menatapnya, pria itu mengangguk dan mengisyaratkanku untuk duduk di samping Jane—persis seperti keluarga. William sudah duduk di sisi kiri Warren dan Jane di seberangnya, aku menarik kursi dan duduk di samping Jeanne sementara itu, Warren menuangkan anggur putih itu ke gelasku.

Thank you,” kataku padanya.

Aku tidak pernah merasakan situasi secanggung ini jika Jane tidak terus berbicara, aku berada di antara laki-laki yang tidak banyak bicara, mereka berdua hening dan tenang dan Jane lah yang mencairkan suasana jadi makan malam tidak sedingin itu.

“Ini lebih baik daripada Elena,” celetuk William.

“Karena kau membantuku,” kataku padanya.

Aku kembali menyuap pastaku hingga suara William kembali terdengar. “Kau tidak perlu mengubah warna rambutmu menjadi brunette, Irish, pirang lebih cocok denganmu.”

Aku mengangkat kedua alisku. “Aku tidak percaya diri.”

“Kau pirang?”

Aku menoleh, giliran Warren yang bertanya, aku mengangguk samar, dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan melirik singkat rambutku, rambutku sudah tumbuh lebih banyak sejak aku mewarnainya.

“Tapi bukan berarti aku memujimu cantik.” dia menatapku. “Aku juga tidak menyebutmu si pirang yang bodoh—”

“William,” peringat Warren.

Aku tersenyum. “Tidak masalah, aku baik-baik saja, Mr. Addison…”

“Aku tidak pernah mengajarimu berbicara seperti itu dengan seseorang yang lebih tua darimu, jaga bicaramu.”

“Tapi itu memang benar.”

“Minta maaf dengan Nona Lyne bahwa kau tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanmu.”

William menunduk kemudian kembali menatapku. “Aku tidak bermaksud seperti itu, Irish, aku minta maaf,” gumamnya.

Aku tersenyum simpul. “Tidak apa, aku terbiasa dengan ucapan menohok, kau bukan yang pertama,” kataku.

Makan malam terasa lebih lama dari biasanya, aku menghabiskan seluruh sisa anggurku dan mengambil piring untuk kumasukkan ke dalam mesin tetapi Warren lebih dulu menahanku.

“Aku akan mengurus ini, kau temani Jeanne sampai dia tertidur.”

“Tapi—”

“Tugasmu bukan mencuci piring, Nona Lyne.”

Aku mengangguk dan meletakkan piring itu kembali ke meja kemudian aku berjalan menaiki anak tangga menuju kamar gadis kecil itu, di sana dia baru saja keluar dari kamar mandi setelah menggosok giginya—aku menarik selimutnya hingga dada lalu menutup gorden kamarnya.

“Irish, boleh kutanya sesuatu?”

“Tentu.” 

“Di mana kau tinggal sebelum kau berada di rumahku?”

Aku berbalik dan menghampiri ranjang Jane, duduk di sisinya. “Apartment, kamarku dan Elena bersebelahan,” kataku.

“Jadi kalian bersahabat dengan baik?” aku mengangguk. “Sudah berapa lama kalian saling mengenal?”

Aku terdiam sejenak berpikir. “Cukup lama, Elena pernah menolongku saat aku kecelakaan dulu, sejak saat itu kita berteman…”

Jane mengubah posisinya menjadi duduk. “Kau kecelakaan?” aku mengangguk. “Apa yang terjadi, Irish?”

“Aku melamun dan tidak melihat lampu merah menyala jadi aku tertabrak, tidak parah hanya luka ringan tapi sejak saat itu aku berteman dengan Elena.”

Aku mengelus rambutnya, dia terlihat lega setelah aku menceritakan kejadian itu kemudian dia kembali berbaring. “Kau harus tidur, ayahmu akan menciummu,” kataku.

“Kau belum tidur?”

Aku menoleh dengan cepat, Warren berdiri di depan pintu, aku bangkit saat dia masuk ke dalam—aku berdiri tepat di samping Warren saat pria itu duduk di pinggir ranjang.

“Dad, kau tahu, Irish tadi menceritakan padaku awal pertemuannya dengan Elena,” ucap Jeanne.

“Oh ya?”

Jane mengangguk. “Irish tidak seharusnya berjalan di penyebrangan saat lampu merah menyala, dia melamun dan mobil menabraknya dan Elena membawanya ke rumah sakit, sejak saat itu mereka berteman dengan baik.”

Aku terdiam begitu Warren menoleh begitu cepat. “Benarkah itu?”

Ekspresinya persis seperti Jane, keningnya sedikit berkerut lalu aku mengangguk samar. “Sudah beberapa tahun yang lalu, aku hanya mengalami luka ringan,” jelasku.

“Jenis luka ringan apa yang kau maksud?”

Aku menunjukkan siku pada mereka, ada bekas luka jahitan di kepalaku. “Itu luka yang besar,” gumam Jeanne.

Aku tersenyum tipis. “Itu sudah beberapa tahun yang lalu, empat hari setelahnya aku masuk sekolah, itu artinya aku baik-baik saja.”

Warren kembali menghadap Jane. “Kau harus tidur, biarkan Irish beristirahat malam ini, ucapkan selama malam padanya.”

“Good night, Irish…”

Aku tersenyum. “Good night, Jeanne…”

Aku melangkah keluar lebih dulu, aku memberikan ruang untuk ayah dan anak di ruangan itu jadi aku memilih pergi ke bawah, aku tidak akan tidur sebelum Warren masuk ke dalam kamarnya jadi aku memutuskan untuk menetap di dapur dengan secangkir cokelat panas dan beberapa potongan biscuit di samping buku romantisku.

Hanya selang kurang dari sepuluh menit, suara langkah kaki di tangga membuatku menoleh—aku menutup bukuku ketika Warren datang ke dapur, dia berjalan melewatiku dan membuka lemari es, mengambil sebotol air dingin.

What are you doing?”

Just read a book.”

What kind of book?”

Charlotte Brontë.”

Jane Eyre? The Professor? Villete?

Jane Eyre.”

A young orphan being raised by Mrs. Reed, her cruel, wealthy aunt…

Aku tersenyum. “Yes… What kinds of books do you read besides Charlotte Brontë?

“Louisa May, Thomas Hardy…” Warren berbalik. “Sejak kemarin aku belum berbicara banyak denganmu jadi aku ingin kita bicara, tidak keberatan jika aku mengganggu waktumu?”

Aku menggeleng. “Tidak, tentu tidak,” kataku.

Jadi dia bersandar di cabinet dan menegak segelas air dingin. “Apakah anak-anak membuatmu repot hari ini?”

Aku menggeleng. “Tidak, mereka tidak pernah.”

“William?”

“Tidak—ah, dia berbicara lebih banyak hari ini, saat pulang sekolah aku bertanya tentang buku yang dia baca, dia bilang buku itu pemberian uncle Matt dan dia ingin menjadi pilot seperti pamannya.”

Ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis. “Ada hal lain?”

“Dia selalu menyukai hadiah pemberian uncle Matt, kau dan kakeknya, dia selalu menyimpannya dengan baik dan mengatakan terkadang uncle Matt menjengkelkan…”

“Apakah William menyinggung sesuatu?”

“Sejauh ini tidak, dia akan berbicara ketika aku bertanya dan…” aku terdiam sejenak. “William lebih suka sendiri, dia selalu dengan bukunya tapi dia tidak pernah menolak ajakan Jeanne untuk bermain. Saat Jeanne mengajaknya bermain, dia langsung menutup bukunya dan mereka bermain, lebih banyak bicara dan tersenyum.”

Aku mengangguk samar. “Ya, William seperti itu…”

“Bagaimana dengan makan?”

Aku terdiam, menggigit bibir bawahku kemudian aku kembali menatapnya. “Ada sesuatu yang mengganjal, dia selalu melihatku saat makan, maksudku dia akan makan setelah dia melihatku makan, apa yang terjadi?”

Hening.

Warren terus memandangku kemudian dia menegak habis airnya. “Ibunya… jangan menceritakan hal ini pada William, kau mengerti?”

Aku mengangguk. “William pernah keracunan makanan dan ibunya dengan sengaja memasukkan udang ke dalam makanannya, dia tidak tahu hal ini…”

Aku menelan ludahku, apa? Anak sekecil William? Aku tidak percaya dengan apa yang dilakukan wanita itu. “Aku minta maaf—”

“Tidak perlu, itu bukan kesalahanmu dan kuharap kau mengerti dengan sikap William, dia mulai terbuka sekarang, aku senang melihatnya tersenyum lagi. Apa kau sudah tahu bagian-bagian dari rumah ini?”

Aku mengangguk. “Elena dan Jeanne menunjukkan padaku,” kataku.

“Itu bagus, aku tidak perlu menunjukkan apapun lagi padamu dan kurasa William cukup menyukaimu sebagai pengasuh baru, dia tidak biasanya seperti ini dengan orang baru.”

“Awalnya dia sedikit dingin padaku tetapi dia mulai terbuka denganku dan hari selanjutnya kami bermain bersama di taman, dia sangat menyenangkan.”

Dia hanya mengangguk-aggukan kepala. “Aku ingin memberitahumu suatu hal yang harus kau ikuti di rumah ini.” Aku mengangguk mengerti. “Aku tahu kau bisa memasak.”

Aku mengangguk. “Ya, tentu, aku sudah melihat jadwalnya jadi aku bisa memasaknya.”

“Itu bagus, aku tidak memintamu memasak untukku, aku ingin kau memasak untuk kedua anakku dan aku sudah menyiapkan daftar bahan yang harus kau beli. Gunakan mobilku dan bawa anak-anak untuk berbelanja karena itu yang selalu mereka lakukan saat kita berbelanja bahan dapur. Jika ada sesuatu yang tidak kau tahu, kau bisa bertanya pada William, dia tahu semua bahan. Pesan apapun yang kau inginkan saat kau belanja untuk rumah ini, Elena menceritakan semua hal tentangmu dan aku mempercayaimu untuk ini.”

“Aku mengerti.”

“Aku sudah menempelkan daftar makanan dan minuman yang tidak untuk di konsumsi oleh anak-anakku di pintu lemari es, kau bisa melihatnya nanti.”

Ada keheningan di antara kita selama beberapa detik hingga Warren berdehem pelan. “Aku seorang ayah tunggal dan aku tidak bisa mengurusnya sepanjang hari jadi aku membutuhkanmu untuk menemani mereka bermain dan belajar layaknya anak seusia mereka. Aku yakin Elena sudah memberimu peraturan yang aku berikan untuk kedua anakku, aku tidak mengizinkan mereka menggunakan ponsel tanpa izin dariku dan tentu aku tidak mengizinkanmu meminjamkan ponsel pada mereka apalagi memposting sesuatu di internet yang memperlihatkan wajah kedua anakku.”

Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan meletakkan ponsel itu di hadapanku, seorang wanita cantik berambut pirang dengan senyuman tipis terlihat jelas di layar. “Samantha Lennan, dia ibu dari kedua anakku, jika dia datang ke rumah ini dengan alasan apapun termasuk ingin bertemu dengan William dan Jane, telpon aku, jika aku tidak mengangkat, jangan buat dia masuk ke dalam rumahku dan jangan buat kedua anakku melihatnya terutama William ataupun sebaliknya.”

“Jika aku boleh bertanya—”

Warren menggeleng. “Tidak, Nona Irish, aku tidak ingin membahasnya dan aku harap kau mengerti untuk tidak membicarakan wanita itu di hadapan kedua anakku.”

Setiap kata yang keluar dari bibirnya begitu dalam dan ekspresi wajahnya berubah seperti dia tidak ingin nama itu terucap di bibirnya seolah dia memberitahuku bahwa rumah ini sangat terlarang untuk wanita itu injak juga alasan mengapa dia menjadi seorang ayah tunggal untuk kedua anaknya—tatapannya seolah mengisyaratkanku untuk tidak menanyakan apa dibalik dari cerita yang mereka alami dan aku tahu di mana batasanku, aku tidak akan bertanya sebelum dia membericarakannya lebih dulu. 

“Jika ada hal lain yang kau butuhkan di rumah ini, tolong bicara denganku dulu dan jangan buat kepercayaan yang kubuat untukmu hilang, apa kau mengerti?”

Aku mengangguk. “Yes, sir.”

Warren menahan pandangannya sejenak, dia mengatakan begitu banyak hanya dengan satu pandangan dan aku gugup di bawah pandangannya—dia mengangguk samar. “Waktu selesai kau bekerja setelah makan malam, kuharap mereka tidak membuatmu repot.”

“Tidak, mereka menyenangkan.”

“Aku tidur pukul 1 pagi, jika ada yang ingin kau butuhkan, kau bisa mengetuk pintu kamarku atau kirim pesan.” dia kembali menyodorkan ponselnya padaku. “Berikan nomormu,” lanjutnya, aku mengetikkan nomorku di layar ponselnya dengan namaku, Irish.

Nomor tersimpan, aku memberikan ponsel itu padanya seraya mengangguk. “Aku mengerti.”

“Baiklah, kau boleh melanjutkan membaca bukumu dan selamat malam.”

“Malam.”

post-image-660426c584fe5.png

・༓☾ ☆ ☽༓・

 

Chapter 03 – Warren’s Fiancé?

Joanne Irish Lyne POV

“Range Rover, apakah Warren Addison memberikanmu secara cuma-cuma?”

Aku dan Elena menoleh secara bersamaan, Lewis menutup pintu dan meletakkan paperbag berisikan kopi di meja di hadapan kami.

“Itu Range Rover yang aku gunakan saat aku masih mengasuh anak-anaknya, Lewis.”

Keningnya berkerut. “Oh ya?” dia menggeleng tidak percaya. “Range Rover untuk seorang pengasuh itu mewah, seberapa kaya keluarga Addison itu?”

“Warren sudah tumbuh di lingkungan yang sudah kaya bahkan dari kakek buyutnya, dia melanjutkan bisnis keluarganya di bidang properti bahkan diluar dari itu, dia juga memiliki hotel dan vila mewah di Hawaii dan Bali, mereka juga memiliki sebagian besar saham perusahaan surat kabar jadi saat Warren bercerai tidak begitu banyak berita yang keluar tentang perceraian itu.”

“Jadi gosip tentang perselingkuhan yang disangkal oleh keluarga Addison sebenarnya itu benar adanya?”

Elena mengangkat kedua bahunya. “Percayalah, Lew, semua yang tertulis di media tentang perceraian mereka, tidak ada yang tahu alasan mereka bercerai. Disitu hanya tertulis bahwa ada alasan pribadi yang tidak bisa dipublikasikan ke media, jadi semuanya tertutup rapat.”

“Semalam Warren berbicara tentang Samantha padaku,” sambungku.

“Oh ya? Apa yang dia katakan?”

Aku mengangkat kedua bahuku. “Dia hanya memperlihatkan foto Samantha dan mengatakan untuk jangan buat dia masuk ke rumah dan jangan buat anak-anak melihatnya terutama William ataupun sebaliknya, hanya itu tapi raut wajahnya terlihat marah saat membicarakan wanita itu,” gumamku.

“Jika aku adalah Warren, aku akan melakukan hal yang sama.”

Aku menyandarkan tubuhku di sofa dan meminum kopiku. “Ah ini enak, kau datang terlambat, Lewis, aku harus menjemput anak-anak dan membawanya berbelanja hari ini karena mereka tidak ingin menghabiskan akhir pekannya untuk berada di luar.”

“Hari bebas?” Aku mengangguk. “Mereka tidak menginap di rumah kakek dan neneknya?”

“Warren tidak memiliki waktu untuk membawanya ke sana, mungkin minggu depan jadi sebagai gantinya mereka boleh bermain game di rumah selama 2 jam.”

“Aku dengar mantan istrinya baru saja menikah beberapa hari yang lalu, apa itu benar?”

Keningku berkerut sementara Elena mengangguk sambil menyesap kopinya. “Dengan siapa dia menikah?”

“Wanita itu menikah dengan cucu konglomerat pemilik brand kosmetik, Samantha berselingkuh dengannya saat masih menjadi istri Warren Addison, kau tahu, wanita itu selingkuh saat hamil Jane. Aku yakin gosip yang tersebar di media itu benar alasan mereka bercerai karena pihak ketiga.”

Aku hampir saja memuncratkan kopiku—mataku membulat menatapnya. “Itu gila, kau serius?”

Elena mengangguk. “Pria itu memiliki usia 2 tahun lebih tua dari Warren tapi dia tampan, seksi dan suka berpesta. Ada banyak sekali statement bahwa alasan Sam berselingkuh karena Warren tidak bisa memberikan seks yang dia inginkan, hanya seks? Pria sebesar Warren memiliki penis kecil? Tidak dapat dipercaya, itu seperti akal-akalan Sam karena pria itu seniornya saat masa kuliah.”

Suara dering alarm membuatku tersentak selama aku mendengarkan berita tentang Warren dari mulut Elena.

“Aku harus menjemput anak-anak,” kataku pada Elena dan Lewis.

Aku bangkit mengambil kunci mobil dan membawa kopiku. “Terima kasih kopinya, Lewis. Sampai bertemu lagi,” lanjutku mengecup pipi kanan dan kiri Elena dan melakukan hal yang sama pada Lewis.

“Hati-hati di jalan.”

Aku mengangguk dan keluar dari apartment—perkataan Elena barusan membuatku penasaran tentang wanita itu, aku membuang napas panjang dan masuk ke dalam lift. Ponselku bergetar, sebuah pesan muncul di layar utamaku.

Mr. Warren Addison: Apakah kalian akan belanja hari ini?”

Aku                        : William ingin hari ini agar akhir pekan dia bisa bermain, bagaimana?”

Mr. Warren Addison: Tentu, aku akan menyusul jika ada waktu.

Pintu lift berdenting, aku melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil untuk menjemput anak-anak. Perjalanan menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, aku sampai lima menit lebih awal dari biasanya—aku merapihkan sedikit rambutku yang berantakan dan menambahkan pelembab bibir agar tidak begitu pucat di bibirku.

Aku melangkah keluar dari mobil bersamaan dengan itu pintu aku melihat beberapa anak sudah keluar dan aku tersenyum lebar saat seorang gadis kecil keluar dari kelas dengan rambut berantakannya.

Aku berjongkok dan Jane berlari memelukku dengan erat. “My little girl…” bisikku, mengecup singkat kepalanya.

“Bagaimana sekolahmu hari ini, apa yang sudah kau kerjakan?”

“Hari ini aku belajar menghitung tapi nilaiku ada di urutan ketiga, menghitung itu sulit.”

“Tidak sulit, kau tidak fokus karena kau hanya ingin bermain.”

Aku menoleh, William sudah selesai dengan kelasnya. “Tapi aku akan mendapatkan nilai bagus agar daddy memberiku hadiah, daddy sudah berjanji padaku.”

“Tentu, kau harus belajar lebih giat agar nilaimu berada di peringkat pertama, sekarang ayo kita pergi untuk belanja, karena beberapa barang sudah habis di rumah.”

“Kau sudah membawa daftar belanjaannya?”

Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan secarik kertas yang kulipat. William memandangku begitu aneh, seolah pakaian yang kukenakan tidak bagus dalam pandangannya—hanya kaus putih dan celana jeans, tidak buruk, bukan? Apakah dia berekspetasi aku akan memakai pakaian abad ke-19?

“Ada apa dengan pakaianku, kau tidak suka?”

William menggeleng. “Kau selalu memakai jeans lurus wedgie setiap saat dengan warna yang sama, kau tidak mencucinya? Itu sangat jorok.”

“Kau ingin menciumnya?”

“Ew, tidak!” Aku tertawa dan bangkit mengejar William, dia berlari menuju mobil. “Irish! Menjauhlah dariku, kau jorok!”

Suara gelak tawa Jane membuat semua murid melihat ke arah kami, dia masuk lebih dulu sementara aku dan Jane masih di luar, kami bertepuk tangan dan aku membantunya masuk ke dalam.

“Hey, aku memiliki 4 warna jeans yang sama jadi ini yang baru aku ambil dari lemari, aku tidak mungkin memakai celana yang sama berulang kali.”

“Tetap saja, kau jorok.”

“Aku tidak.”

“Kau jelek memakai jeans itu.” Aku menoleh ke kaca depan. “Sangat jelek…”

“Lalu kau ingin aku memakai apa, William?”

Hening.

“Rok lebih cocok untukmu, kau perempuan dan itu akan terlihat lebih menawan, jangan senang dulu, aku mengatakan hal ini bukan hanya padamu tapi pada temanku—”

“Jadi kau punya teman perempuan?”

“Tidak.”

“Oh yeah?”

“Fokuslah pada jalanan, Irish atau aku akan mengadu pada daddy karena kau tidak becus menyetir dan membahayakan kami berdua.”

Aku mendengus dan menggeleng pelan. “Yes, sir…”

Tempat ini mahal, semua yang ada di sini mahal—aku sudah berada di sini selama hampir dua puluh menit, mengambil semua yang kubutuhkan di bantu oleh William dan Jane. William sudah hapal lorong yang dia tuju untuk barang yang dibutuhkan di rumah tanpa harus melihat daftar yang Warren buat.

Sementara aku kesulitan, William menunjukkan jalannya dan semuanya sudah terkumpul dalam satu troli besar.

“Aluminum foil masih ada di rumah, kenapa daddy memasukkannya ke dalam daftar? aku baru membelinya dua minggu yang lalu,” gumam William.

Kedua alisku terangkat. “Kau yakin?” William mengangguk. “Jadi letakkan itu, sekarang kita ke tempat buah.”

William meletakkan aluminium foil itu ke tempatnya kemudian melangkah menuju tempat sayuran—deretan sayur dan buah sudah menunggu kita, William berada di tempat buah dan aku memilah-milah sayuran yang Warren inginkan.

“Tidak ada Kiwi, Irish.”

Aku menoleh. “Kita ganti dengan mangga, bagaimana?”

“Tentu.”

William membantuku mengambil semua buah yang ditulis di dalam list sementara aku masih dengan sayuran—William menghampiriku dan mencoret buah terakhir di dalam list yang diberikan Warren pagi ini sebelum berangkat sekolah.

Aku mengambil wortel, tomat ceri dan brokoli sementara William mengambil seledri, peterseli dan paprika lalu kami letakkan di satu troli.

“Apa lagi yang kita butuhkan?”

Aku mengambil list seraya mendorong troli itu. “Susu Almond, Greek Yogurt, keju Mozarella, Cheddar, Cream dan Sliced, aku akan mengambil telur dan butter.”

“Irish, aku ingin ice cream…”

“Tentu kita akan membelinya tapi ice cream itu akan meleleh jika kita membawanya sekarang, kita akan mengambilnya setelah semuanya selesai, bagaimana?”

Jane mengangguk paham, aku tersenyum manis padanya sambil membantuku meletakkan telur di dalam keranjang—anak-anak tampak bersemangat mengumpulkan belanjaan mereka, seharusnya hari ini adalah jadwal santai mereka setelah pulang sekolah tapi mereka tidak ingin menghabiskan akhir pekannya nanti untuk berbelanja jadi mereka ingin cepat agar akhir pekan tidak melakukan apapun lagi.

“Biar aku yang mendorong!” seru Jane.

Gadis kecil itu mencoba mendorong troli itu dengan susah payah hingga langkahnya berhenti. “Lily!” teriak Jane.

Ah, itu temannya. Mereka tertawa dan berlari, masing-masing dari mereka memeluk satu sama lain dan aku tersenyum ketika wanita yang kutebak ibunya menghampiri mereka berdua.

“Hai, kau pasti Jeanne Eugene Addison?”

Jane mengangguk antusias. “Ya, Mrs. Adler, aku Jane dan ini Irish, dia yang menemaniku sepanjang hari saat ayahku bekerja.”

Wanita itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya padaku—aku menyambutnya dengan penuh kasih. “Mrs. Adler, aku Irish, pengasuh Jane dan William, senang bertemu denganmu,” kataku padanya.

Dia mengeratkan genggamannya padaku dan ibu jarinya mengusap lembut kuliku. “Sangat cantik untuk seorang pengasuh, senang bertemu denganmu, Irish. Lily selalu membicarakan Jane saat di rumah, mereka berteman baik.”

Aku tersenyum. “Ah ya, mereka berteman baik bukan begitu Jane?” tanyaku melirik Jane singkat.

“Ya!” seru Jane dan Lily bersamaan. “Sampai bertemu di hari Senin, Lily!”

“Bye bye, Jane!”

Jane terus memandang mereka hingga menghilang di balik lorong makanan. Aku mengusap lembut rambut Jane, gadis kecil itu mendongak ke arahku. “Irish, kau punya ibu?” tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam, kedua alisku terangkat, aku tersenyum padanya dan menggeleng pelan. “Tidak, Jane, aku sudah tidak memiliki ibu sejak aku lahir, ibuku meninggal setelah melahirkanku.”

Senyum ceria di bibir Jane memudar. “Aku juga tidak pernah memiliki ibu, aku tidak tahu siapa ibuku, aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki ibu,” kata Jane.

Aku berjongkok. “Hey, memiliki orang tua tunggal bukan berarti hal yang buruk, Jane. Aku tidak memiliki ibu tapi aku memiliki ayahku, ayahku lebih dari sekedar seorang ayah, dia juga ibuku sama seperti ayahmu.”

“Ayahku mencintaiku,” kata Jane.

Aku mengangguk. “Sangat mencintai kalian berdua,” bisikku, aku bangkit. “Sekarang ayo kita kembali belanja agar kita bisa bermain!”

“Ayo!”

Aku tertawa kecil ketika dia mencoba mendorong troli belanja begitu sulit karena hampir semua belanjaan terkumpul di tempat itu—aku membantunya mendorong troli sementara William begitu bersemangat mengambil sayuran dan buah beku.

“Apakah ini terakhir?”

Aku memeriksa ulang daftar belanja dan, benar, semuanya terkumpul di dalam troli. “Ice cream, William, ambil yang kau inginkan lalu kita bayar semuanya.”

Jane bersorak gembira, dia menunjukkan satu cup ice cream kecil rasa strawberry sementara William mengambil beberapa kotak ice cream—bukankah dia mengambil terlalu banyak? Ukuran ice cream itu besar dan dia mengambil enam kotak.

“Kau yakin?”

“Orang dewasa juga makan ice cream, Irish, daddy suka ice cream.”

Dering panggilan telepon membuatku tersentak, aku mengambil ponselku di saku jeans dan melihat nama ayah mereka di layar ponselku—aku menggeser tombol hijau dan menempelkan benda itu di telinga kananku.

“Hey, Mr. Addison?”

“Itu Daddy?” aku mengangguk dan mengisyaratkan mereka untuk diam sejenak.

“Hey, kalian masih di sana?”

Aku mengangguk. “Ya, kami masih di sini, William dan Jane sedang mengambil ice cream, kau ingin menitip sesuatu sebelum kami membayar?”

“Tunggu di sana, aku datang.”

Sambungan terputus, keningku berkerut dan menoleh ke kanan dan ke kiri, bagaimana bisa dia datang secepat itu? Ini hampir makan malam dan bukankah dia pulang lebih awal?

“Apa yang daddy katakan?”

“Sepertinya daddy datang untuk menjemput.”

Aku memasukkan ponselku ke dalam saku dan membuka lemari es itu lagi untuk mengambil ice cream, untukku, orang dewasa juga makan ice cream, itu yang William katakan.

“Bukankah vanilla lebih enak?”

Aku mengangkat kedua bahuku. “Mencoba rasa baru, kau mengambil hampir semua ice cream dengan rasa yang sama jadi aku ingin berbeda.”

Aku mengedipkan sebelah mataku pada William dan meletakkan ice cream itu ke dalam troli hingga suara sepatu pantofel membuatku menebak bahwa suara itu milik Warren.

“Daddy!”

Jane berlari, aku menoleh ke belakang—benar, itu Warren, Jane melompat ke arah Warren dan pria itu menyambut begitu bahagia, ada senyuman di bibirnya seolah harinya yang buruk tiba-tiba hilang melihat kedua anaknya.

“Kali ini aku tahu kau berbohong, kau tersenyum lagi pada ayahku.”

Aku menoleh ke arah William. “Aku yatim piatu, ibuku meninggal setelah melahirkanku dan ayahku meninggal karena serangan jantung saat aku berusia 3 tahun, jadi alasanku tersenyum bukanlah karena aku menyukai ayahmu tapi karena aku suka melihat Jeanne memiliki ayah yang baik.”

“Kau tinggal dengan siapa setelah ayahmu meninggal?”

“Bibiku, dia seperti penyihir tapi aku berhasil kabur darinya, tidak perlu khawatir.”

“Kau bohong.”

“Kau bisa bertanya pada Elena.” aku mendekat. “Elena sudah kuanggap seperti kakakku sendiri karena dia memiliki orang tua yang sangat baik padaku,” bisikku.

“Itu bagus, bukan?” aku mengangguk. “Maaf soal orang tuamu dan bibi penyihirmu.”

Aku tersenyum. “Bukan salahmu,” gumamku mencubit lembut pipinya yang langsung William tepis dengan tangannya.

“Jangan sentuh wajahku!” ketusnya.

Aku mencoba menyentuhnya lagi tapi William memukulnya lebih dulu membuatku tertawa karena raut wajahnya begitu kesal setiap kali aku ingin mencubitnya.

“Irish, tanganmu kotor!”

“Aku tahu.”

Matanya membulat. “Kau sengaja menyentuh wajahku dengan tangan kotormu itu? Kau ingin bertanggung jawab jika wajahku memerah karenamu, huh?”

Warren segera menjauh dariku dan menghampiri kami sambil menggendong Jeanne, dia mengecup kepala William dengan penuh kasih sayang.

“Kau pulang lebih awal?”

Warren mengangguk. “Tidak ada meeting penting,” kata Warren menatapku.

“Jadi apa yang sudah kalian beli selama hampir satu jam di tempat ini?”

“Hanya ada beberapa yang kosong jadi kami menggantinya dengan yang tidak ada di list. Kita membeli mangga karena kiwi tidak ada,” sambung William.

“Itu bagus.”

Warren menurunkan Jane dari gendongannya membiarkan mereka berjalan untuk mengambil makanan ringan yang mereka inginkan sementara Warren yang mendorong troli itu. “Ambil beberapa kotak ice cream lagi, Nona Lyne,” ucap Warren.

“William sudah mengambil banyak tadi.”

“Tidak masalah.”

Aku mengambil beberapa kotak ice cream dengan rasa yang berbeda dan meletakkan ke dalam troli. “Apa yang kurang?” tanyanya, aku menggeleng dan memberikan daftar belanjaan yang dia buat.

“Ada hal lain yang ingin kau beli?”

Warren mengangguk. “Selai kacang.”

Aku menoleh ke arahnya, dia mengangkat kedua alisnya. “Bukankah kalian alergi?” tanyaku.

“Jane suka selai kacang.”

“Dad, apa aku boleh minum ini?”

Itu minuman dengan pemanis buatan—Warren memiringkan sedikit kepalanya berpikir kemudian mengangguk samar, William bersorak dan memasukkan kotak minuman itu ke dalam troli kemudian kami kembali melangkah untuk mengambil selai.

“Bagaimana sekolah mereka?”

Aku meletakkan selai kacang itu ke dalam troli, aku melirik singkat anak-anak dan mengangguk samar—Warren segera menunduk, menopang tubuhnya dengan menyandarkan kedua lengannya di troli dan menatapku dan tetap diam di tempat.

“Apa yang terjadi?”

“Sebenarnya bukan sebuah masalah hanya saja, Jane mengatakan kenapa dia tidak memiliki ibu, dia bertanya sebelum kau datang.”

Keningnya berkerut, wajahnya tampak terkejut seolah ini pertama kalinya Jane bertanya tentang ibunya. “Secara tiba-tiba?” tanya Warren.

“Dia mengatakan itu setelah melihat teman sekolahnya sedang membeli sesuatu di sini tadi, tapi kau tidak perlu khawatir, aku tidak menyinggung apapun tentang mantan istrimu, aku hanya membuat Jane tidak memikirkan hal seperti itu dan mengatakan bahwa dia tidak perlu memiliki ibu jika dia memiliki ayah terbaik dalam hidupnya.”

“Bagaimana dengan William?”

“Hanya…” ucapanku tertahan ketika William muncul di belakang Warren, aku menyenggol jarinya dan pria itu menoleh ke belakang saat William menyodorkan sebuah mainan di tangannya.

“Apa yang kau inginkan lagi, buddy?”

“Tidak ada, aku menemani Jane memilih mainan di lorong mainan.”

“Tetap bersama adikmu, mengerti?”

“Baiklah.”

“William hanya menatapku kemudian dia menjauh dariku saat Jane bertanya tentangnya.”

Warren terpejam sejenak kemudian menegakkan tubuhnya lagi. “Terima kasih, kuharap ini pertama dan terakhir Jane bertanya tentang ini.”

“Tapi kau akan memberitahunya seperti kau memberitahu William, kan?”

Warren mengangguk. “Jane masih terlalu kecil untuk mengetahui semuanya, dulu William anak yang ceria persis seperti Jane tapi semuanya berubah dan aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama pada Jane.”

“Warren?”

Aku dan Warren menoleh bersamaan—seorang wanita datang menghampiri kami, memeluk Warren dan mencium pipi kanan dan kiri seolah mereka sudah kenal lama bahkan ada senyuman di bibirnya.

“Helena?”

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Dia brunette, kulinya seputih susu, matanya berwarna cokelat terang dan memiliki bentuk tubuh jam pasir terlihat karena dia memakai dress hitam panjangnya hingga lutut dengan lengan sependek siku, merek tersembunyi di setiap hal yang menempel di tubuhnya bahkan untuk tas—sangat wangi, sangat cantik dan sopan.

Apakah dia sudah selesai masa hiatusnya jadi dia kembali ke Amerika?

“Tugas ayah.”

Mereka tertawa dan aku tetap diam memperhatikan mereka hingga wanita itu menyadari bahwa aku ada di hadapannya.

“Dan gadis ini?”

“Pengasuh William dan Jane.”

Aku tersenyum tipis padanya, dia mengulurkan tangannya padaku, dengan ragu aku menjabat tangannya.

“Helena Anderson, tunangan Warren. Kupikir kau kekasih tunanganku, maaf menuduhmu…”

Helena Anderson, supermodel, sosialita, dan aktris juga anak perempuan dari mantan pengacara pajak, Luke Anderson sekaligus cicit perempuan dari Carter Anderson, pendiri Anderson Company, sebuah perusahaan real estate komersial yang berbasis di New York dan memiliki lebih dari seratus properti mewah di New Jersey, Pennsylvania dan Texas yang ternyata tunangan Warren Addison.

“Irish Lyne…”

“Kau terlihat sangat muda dan cantik.”

Aku tersenyum tipis. “Terima kasih, kau juga sangat cantik…”

Jadi keluarga Anderson dan Addison sudah sudah saling mengenal jauh? Helena adalah cicit dari Carter Anderson dan Warren adalah cicit dari Alexander Addison, sudah berapa lama mereka bertunangan? Elena tidak menceritakan apapun tentang pertunangan antara mereka berdua.

“Kapan kau kembali?” Warren bertanya.

“Beberapa hari yang lalu, aku lupa mengabarimu…”

“Apa kau sudah memikirkan tentang apa yang ayahmu dan ayahku rencanakan untuk pernikahan kita?”

Keningnya berkerut. “Pernikahan?”

Aku terdiam membeku, apa yang pria itu katakan? Pernikahan? Helena dan Warren akan menikah? Kedua keluarga konglomerat properti dan real estate akan menikah? Tapi kenapa wajah Warren begitu terkejut seolah dia lupa tentang pertunangan itu.

“Ya, tentang pernikahan kita.”

post-image-660428047a2f6.png

 

・༓☾ ☆ ☽༓・

 

Chapter 04 – A Forgotten Engagement 

Joanne Irish Lyne POV

“Apa maksudmu tentang pernikahan dengan putri dari keluarga Anderson?”

Kau sudah bertunangan tentu kau akan menikah. Jangan bilang kau lupa tentang pertunangan itu?

Kami sudah berada di mansion beberapa menit yang lalu dan meninggalkanku berdua dengan Warren di dapur untuk memasukkan semua barang belanjaan ke tempatnya karena anak-anak sedang membersihkan tubuh mereka untuk makan malam.

Aku membuka lemari es, mengeluarkan semua isinya dan membersihkan bagian-bagian yang kotor dan telingaku mendengar percakapan mereka. Warren dijodohkan dengan cicit konglomerat properti, Carter Anderson—tiba-tiba hatiku terasa sesak mendengarnya, untuk apa aku merasa cemburu dengan orang yang jauh berbeda denganku?

Fuck…” aku meliriknya, Warren memijat keningnya dengan mata terpejam. “I’m sorry, dad…

Usiamu sudah 33 tahun, aku membebaskan anak-anakku untuk memilih pasangan hidup mereka tapi perceraianmu dengan Sam membuatku khawatir dengan cucuku, William dan Eugene membutuhkan seorang ibu.”

William mendengus. “Yang perlu kau khawatirkan adalah jika aku seusiamu tapi aku belum menikah sama sekali, aku 33 tahun yang sudah memiliki 2 anak, 4 tahun sendiri bukan ide yang buruk.”

Aku memikirkan cucuku, Warren.”

“Tapi kau tidak memikirkanku.”

Tentu aku memikirkanmu, aku ingin kau menikah dengan Helena Anderson, dia sangat baik dan cantik, dia masih muda—”

“Kenapa kau jadi seperti ini? Menikah bukan sesuatu hal yang aku pikirkan saat ini, William baru saja menerima Irish sebagai pengasuh barunya setelah Elena dan tentang Helena, aku tidak berkencannya dan dia masih berteman baik dengan Sam, aku tidak ingin Helena menjadi jalan untuknya bertemu dengan anak-anakku.”

Eugene masih 4 tahun, dia tidak pernah bertemu dengan ibunya, Christopher. Kalian sudah bertunangan selama 1 tahun 7 bulan, aku tidak ingin kalian terlalu lama bertunangan, keluarga Anderson menginginkan pernikahan secepatnya.”

Aku menelan ludah dan membuang napas panjang, mendengarnya membuatku kepanasan—aku mengambil karet di tempatnya dan menguncir berantakan rambutku, dia sudah bertunangan berarti dia terlarang.

“Jane akan tahu setelah dia sudah matang dengan usianya. Aku akan berkencan tapi bukan dengan Helena, aku tidak bisa berkencan dengannya karena media selalu mengelilinginya, aku tidak suka jika hidupku di ganggu oleh pertanyaan ‘Apa yang kau lakukan sepanjang hari saat akhir pekan?’ dan ini hidupku, dengan siapa aku berkencan dan dengan siapa aku menikah itu adalah urusanku.”

Terakhir, aku memasukkan ice cream ke dalam lemari es dan memisahkan makanan yang sudah tidak layak di makan ke tempat sampah. Waktu sudah menunjukkan hampir makan malam, aku menyiapkan semua bahan yang kubutuhkan untuk memasak. 

Aku sudah terlanjur menyetujui makan malam bersama dengan keluarga Anderson malam ini dan kau sudah bertunangan dengan Helena.”

Aku tersedak, Warren menoleh ke arahku, aku segera mengambil air dan meminumnya. Apa? Makan malam? Bukankah itu berarti semakin dekat dengan pernikahan? Perjodohan antar keluarga konglomerat adalah sebuah bisnis untuk mempertahankan kekuasaan, menikah dan memiliki anak tanpa rasa cinta lalu hidup monoton.

Aku mendengus, itu bukan hal yang tabu tapi bagaimana dengan William dan Jeanne jika mereka menikah? Helena adalah seorang nepo baby, dia mendompleng nama besar keluarga Anderson yang hampir semua keturunannya adalah pengusaha sekaligus memanfaatkan popularitas dari ibunya yang dulunya seorang aktris terkenal di dunia hiburan.

“Aku tidak percaya denganmu melakukan ini tanpa izin dariku, aku memiliki pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini.”

Aku sudah menelpon Natalie untuk mengurus semua pekerjaanmu malam ini, kau hanya perlu bersiap dan makan malam pukul 7.”

Terdengar helaan napas panjang. “Kau keterlaluan, dad. Jangan buat aku memaksa anak-anak untuk akrab dengan mereka, aku tidak membawa anak-anak malam ini, selamat malam.”

Hening.

Aku tersentak. “Awh!” aku meringis pelan. “Fuck,” umpatku.

Warren menoleh dengan cepat. “Apa kau baik-baik saja?”

Aku mengangguk pelan, dia meletakkan ponselnya dan menghampiriku. “Aku tidak apa-apa,” gumamku, darah menetes dari jari telunjukku saat aku memotong ayam untuk makan malam.

Warren menahan lenganku saat aku ingin menyesap jariku, dia menyalakan air dan membasuh lukaku—goresan pisau itu lumayan dalam masuk ke dalam kulitku hingga jariku terus mengeluarkan darah dan terus menetes di westafel.

“Tunggu di sini.”

Warren menjauh dariku dan kembali membawa kotak P3K—aku menegang dan hanya diam melihatnya mulai menyentuh tanganku untuk mengobati lukaku, tanganku sedingin es saat dia menyentuh tanganku, jantungku berdebar kencang saat bibir itu meniup lukaku.

“Aku bisa melakukannya sendiri, kau harus bersiap-siap untuk makan malammu. Maaf jika aku mendengar pembicaraan kalian,” kataku.

“Tidak masalah, kau punya telinga untuk mendengar.”

“Aku tidak pernah tahu kau sudah bertunangan.”

“Karena tidak ada yang tahu tentang ini bahkan Elena juga tidak tahu.” Warren berdehem pelan. “Menurutmu apa yang harus aku lakukan, Nona Lyne? Aku datang untuk makan malam dan menyiapkan tanggal pernikahan atau aku tidak datang dan mempermalukan nama keluargaku?”

Aku terdiam, Warren mendongak dan menatapku singkat. “Kenapa kau menerima pertunangan itu jika pada akhirnya kau menolak?”

“Terkadang kita selalu salah melangkah untuk mengambil keputusan dalam keadaan yang tidak baik.”

“Menurutku, kau datang dan membicarakan hal ini untuk mengambil jalan keluarnya.”

“Seperti apa jalan keluar yang kau maksud?”

Aku menggigit bibir bawahku, Warren mengangkat pandangannya padaku. “Bahwa kau tidak siap menikah,” gumamku, hanya Warren yang bisa mendengarnya. “Karena kau harus bertanggung jawab atas apa yang kau perbuat, Mr. Addison,” lanjutku, berbisik.

“Seperti itu?”

Aku memiringkan sedikit kepalaku. “Kurasa…”
 

・༓☾ ☆ ☽༓・
 

Christopher Warren Addison POV

“Aku ingin mempercepat pernikahan ini mungkin dalam dua bulan ini waktu yang tepat untuk mempersiapkan semuanya, bagaimana menurutmu, Chris?” tanya Luke Anderson. “Kalian bertunangan sudah cukup lama dan lebih baik jika melangsungkan pernikahan tentunya, bukan begitu, Mr. Addison?”

Ayahku tersenyum, dia mengangguk sambil menyuap suapan terakhirnya. “Ya, 1 tahun 7 bulan untuk pertunangan itu bukan waktu yang sebentar.”

“Sepertinya kita harus menanyakan hal ini kepada putraku dan Helena secara langsung agar semuanya berjalan dengan baik,” sambung ibuku.

“Jadi bagaimana, sayang?” tanya Louise Anderson, ibu Helena.

“Aku mengikuti Warren, mom…”

Tidak ada penolakan apapun darinya, Helena hanya tersenyum dan pasrah mengatakan bahwa dia hanya mengikutiku, jelas dia tidak bisa membuat keputusannya sendiri.

“Bagaimana denganmu, nak?”

Rahangku mengertak, aku sudah tidak memiliki nafsu makan saat aku menginjakkan kakiku di sini dan sangat terpaksa aku harus menghabiskan makan malamku di meja ini—keluarga Anderson tidak mengizinkanku untuk beristirahat dan menikmati makan malamku, mereka datang dan langsung membicarakan tentang perencanaan pernikahanku dengan Helena.

Tidak semua pernikahan tentang cinta, terkadang untuk bisnis.

“Sebentar lagi akan memasuki musim dingin, apa kita akan menunda lagi sampai musim panas nanti?”

“Kedengarannya bagus,” sambung Luke. “Kita bisa gunakan waktu untuk mereka saling mengenal lebih jauh dan menikah saat musim panas nanti,” lanjutnya.

“Bagaimana dengan pengumuman pernikahan?” ibuku bertanya. “Apakah ini akan digelar secara publik atau hanya keluarga dan kerabat terdekat yang datang?”

“Pernikahan intim sepertinya tidak cocok dengan keluarga Addison dan Anderson, mengingat kalian memiliki banyak koneksi yang baik dan itu akan menguntungkan antar keluarga, bukan?” suara Helena mendominasi ruangan. “Akan ada banyak keuntungan jika pernikahan ini diadakan lebih besar daripada seharusnya.”

“Tanggal pernikahan?” tanya Louise Anderson. “Kuharap tanggal cantik untuk kalian berdua, itu akan indah…”

“7 Juli adalah tanggal yang cantik, aku yakin keluarga Addison juga ingin pengumuman pernikahan ini diumumkan lebih cepat,” kata Luke Anderson.

“Aku mengenal seseorang untuk mengurus pernikahan, dia juga yang mengurus pernikahan putriku, Cassie dengan suaminya dulu,” sambung ibuku.

Semuanya tampak sibuk mengurus tanggal, tawa mereka membuatku diam tanpa ekspresi apapun di wajahku dan hanya diam mendengarkan hal yang mereka impikan dalam sebuah pernikahan dalam perjodohan—aku tidak pernah menginginkan perjodohan ini walaupun hal biasa di kalangan atas seperti ini untuk menjaga nama baik keluarga dan tentunya bisnis.

“7 Juli adalah tanggal pernikahan, bagaimana menurutmu, Warren?”

Semua mata tertuju padaku, aku berdehem pelan dan menegak sedikit anggurku. “Jika aku ingin membatalkan pernikahan ini, apa sanksi yang akan kudapatkan, Mr. Anderson?”

“Warren,” tukas ayahku.

Semua gelak tawa dan pembicaraan mereka berhenti dalam satu detik. “Biarkan putramu menyelesaikan ucapannya lebih dulu, Max,” kata Luke Anderson, menahan lengan ayahku yang marah karena aku menolak perjodohan ini?

Aku meletakkan garpu dan pisauku—suara denting piring dan pisau tiba-tiba tidak ada lagi, aku mengangkat pandanganku dan melihat orang tuaku juga orang tua Helena menatapku dengan terkejut atas apa yang kuucapkan pada mereka.

Di sampingku, Helena menegang, jelas terkejut dan dia juga tidak melanjutkan makan malamnya. “1 tahun 7 bulan untuk pertunangan adalah waktu yang tidak sebentar, seharusnya waktu itu kita gunakan untuk pendekatan dan saling mengenal satu sama lain tapi kau pergi meninggalkanku dua hari setelah hari pertunangan dengan alasan untuk memulihkan kondisimu tapi aku tahu bahwa kau pergi agar kau tidak ingin menikah denganku.”

Aku menahan tatapanku pada Helena. “Dulu kau tidak ingin ada orang yang tahu tentang pertunangan ini lalu tiba-tiba kau ingin mengumumkan tanggal pernikahan pada media, itu akan menjadi skandal besar dan reputasi keluarga akan hancur. Akan ada banyak statements di media yang mengatakan bahwa aku menikahi putri konglomerat dalam waktu singkat karena kau hamil atau telah melahirkan seorang anak saat kau memutuskan hiatus dari dunia hiburan. Aku harap kau ingat tentang skandalku dan mantan istriku dulu, namaku sudah pernah buruk di media selama 3 tahun dan aku tidak akan membuat nama keluargaku buruk karena kesalahanku.”

Sindiranku pada Helena membuatnya diam seribu bahasa, aku melakukan itu karena aku ingin dia ingat apa yang dia lakukan di malam pertunangan bahwa dia menolak menikah denganku karena buruknya nama keluargaku setelah perceraianku dengan mantan istriku.

Hening.

“Kau ingin membatalkan semua yang sudah direncanakan?” Helena bertanya. “Saat itu aku masih muda dan aku—”

“Tidak bisa membuat keputusan?” Aku menyela, dia menelan ludah dan perasaanku sudah tidak amat nyaman berada di sini. “Kau berusia 27 tahun saat itu, tidak bisa membuat keputusan adalah hal paling bodoh yang pernah kudengar, Helena. Putraku, William sudah membuat keputusan untuk tidak ingin bertemu dengan ibunya, dia berusia 7 tahun saat itu.”

“Cukup, Warren,” peringat ayahku.

“Tidak apa-apa, Mr. Addison, aku mengerti kenapa Warren berbicara itu denganku karena aku meninggalkannya saat namanya buruk dan bukan berarti aku salah di sini, kita bertunangan untuk menikah karena bisnis dan membuat namamu baik lagi jadi kita saling menguntungkan, bukan?”

“Namaku baik karena usahaku sendiri, pertunangan kita tidak membuat namaku menjadi baik karena pertunangan ini tidak pernah menyentuh media.”

“Lalu apa yang kau inginkan, Mr. Addison?” tanya Helena.

“Sudah jelas kedatanganku untuk membatalkan semua yang sudah direncanakan, aku masih menikmati kesendirianku dan mendekatkan diriku dengan kedua anakku.”

“Ini tidak sesuai dengan rencana,” sambung Luke. “Kita baru saja menentukan tanggal pernikahan dan kau membatalkan semuanya, bagaimana responmu dengan apa yang putramu katakan, Max?”

“Warren aku ingin berbicara denganmu.”

Aku bangkit, aku merasa sudah cukup duduk di sini selama dua jam, aku mengancingkan satu kancing jasku. “Aku memiliki janji dengan Bruce Wallace, aku akan menemuimu nanti,” kataku.

Ibuku berdiri, aku mendekat dan memeluknya, mencium pipinya kemudian ayahku, aku memeluknya seperti yang biasa kulakukan. “I’m sorry, dad…” bisikku.

Aku melepaskan pelukanku padanya kemudian menatap Luke Anderson seraya mengangguk samar. “Mr and Mrs. Anderson, Helena, selamat malam.”

Aku melangkahkan kakiku keluar dari sana bersamaan dengan itu, ponselku bergetar dan aku bergegas masuk ke mobil membuka pesann itu di dalam—aku mendengus, memiliki janji dengan Bruce Wallace adalah akal-akalanku agar aku bisa keluar dari tempat itu.

Bruce Wallace: Aku di depan mansionmu, di mana kau?”

Aku: “On the way to the mansion, sir.”

Bruce Wallace: “You son of a gun.

Aku menggeleng pelan kemudian meletakkan ponselku dan mengendarai mobilku menuju mansion. Ponselku terus menerus berdering selama aku menyetir, tujuh panggilan dari ayahku dan empat panggilan dari ibuku. Aku mengerti tentang kekhawatiran ayahku kepada kedua anakku yang hidup tanpa seorang ibu tapi aku tidak bisa melakukan hal seperti ini.

Perjodohan di jaman modern?

Prioritas utamaku sekarang adalah William dan Jane, William masih memiliki trauma dan terus mengurung diri sejak kejadian itu. Dia berubah menjadi anak kecil yang menutup diri dan tidak ingin bersosialisasi dengan siapapun—Elena membutuhkan waktu lama untuk bisa berbicara dan akrab dengan William jadi aku tidak yakin dengan Helena, bagaimana cara mereka membuat hubungan jika wanita itu baru saja kembali ke dunia hiburan?

Aku tidak suka dunia hiburan, aku tidak suka berhubungan dengan media, mereka akan membuat berita yang sangat jauh dari kenyataanku, itu sangat menjengkelkan.

Aku tiba di rumahku, mobil hitam sudah terparkir di sana bersama dengan pemiliknya yang bersandar di pintu dengan sepuntung rokok yang terselip di bibirnya—dia begitu fokus pada ponselnya sampai dia tidak sadar mobilku sudah berada tepat di depannya.

Aku keluar dari mobil. “Too focused, huh?” kataku.

Bruce mengangkat pandangannya dan mendengus. “Hampir 20 menit aku ada di sini, apa yang kau lakukan di luar sana?”

“Kenapa kau tidak masuk?”

Bruce menggeleng. “Aku butuh udara,” katanya, dia memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dan membuang asap rokok itu ke udara.

Aku menyandarkan tubuhku di mobilku berhadapan dengannya, dia menyodorkan rokok dan aku menarik satu batang. “Pertunangan, Bruce, aku melupakan pertunanganku,” kataku seraya menyalakan rokokku.

Kedua alis Bruce berkerut. “Helena?” katanya hingga kedua alisnya terangkat dan menjauhkan rokok itu dari mulutnya. “Percayalah, aku lupa tentang pertunanganmu dengannya, apa kalian sudah memutuskan tanggal?”

Aku mendengus. “Aku membatalkan semuanya saat mereka sudah menentukan tanggal, kau tahu alasannya,” kataku padanya. “Aku juga menggunakan namamu untuk alasan aku pergi dari sana lalu kau sudah berada di rumahku,” kataku.

Bruce menatapku tidak percaya. “Aku menggunakan namamu untuk alasan aku pergi dari rumahku, Warren.”

“Apa yang terjadi?”

“Kakekku, dua tahun lalu dia mengurus warisan untuk cucu-cucunya dan ingin aku menikah agar aku mendapatkan hakku sebagai cucu pertama yang akan memegang perusahaan utama.” Bruce mendengus. “Kita bukan dari royal family, Warren, kenapa kakekku begitu repot untuk hal ini, dia bahkan mengancamku jika aku belum menikah di usia 35 tahun, dia akan menjodohkanku dengan gadis pilihannya atau aku tidak akan mendapatkan sepeserpun dari yang sudah direncanakan…”

Aku mendengus dan Bruce tertawa karena kami memiliki masalah yang sama. “Who is that girl?”

Bruce menghisap rokoknya dan membuang asap ke udara. “Cliff Harrington's daughter,” kata Bruce.

Which daughter?”

The youngest…

Selina Anne?” keningku berkerut, terakhir aku bertemu dengannya, gadis itu masih berusia delapan belas tahun. “How old is she?” tanyaku.

Bruce mengangguk pelan. “She's 11 years younger than me, Warren, think about it, I just came back from Washington and my grandfather already set the wedding date, everything was prepared.”

What the f—” Aku tertawa, bukan tertawa kecil tapi tertawa meledek. “Your grandfather was crazier than we thought, Bruce,” kataku, mengusap ujung mataku yang mengeluarkan air.

Don't laugh, Addison, this isn't funny.”

Aku menggeleng. “No, this is the funniest thing, a 35 year old man with a big muscular body, tattoos along his right arm, couldn't refuse an arranged marriage from his granfather… God…

Shut up, Addison.”

Apa yang terjadi dengan orang-orang?

“Siapa gadis cantik itu, Warren?”

Keningku berkerut. “Siapa?”

“Saat aku masuk ke dalam untuk ke toilet, aku melihat seorang gadis memakai jeans dan kaus putih masuk ke kamar Jane, jelas itu bukan Elena, dia lebih pendek dan lebih putih dari Elena.”

“Irish Lyne, pengasuh baru.”

“Aku tebak dia lebih muda dari Elena.”

Aku mengangguk. “23 tahun, pirang.”

“Kau selalu berurusan dengan gadis pirang, apa dia segila Sam?”

“Dia mencoba membuat hubungan lebih dekat dengan William dan mereka lebih banyak bicara sekarang.”

“Dia seksi, gadis pirang selalu seksi.”

Aku mengangkat kedua alisku. “Dia mencuri pandang ke arah celanaku saat aku pulang dari Manhattan beberapa hari yang lalu, Bruce.”

“Kau serius?”

Suara dering panggilan, itu bukan milikku—Bruce berdecak saat melihat layar utama yang memperlihatkan nama kakeknya di sana, aku terdiam menahan bibirku untuk tidak tertawa.

“Kenapa kau menelponku?”

Aku diam, wajahnya tampak kesal dan decakan di bibirnya kembali terdengar kemudian dia mengarahkan ponselnya ke arahku dan memotretku saat rokok itu masih ada di bibirku.

“Bruce ada di rumahku, Mr. Wallace, dia akan pulang sebentar lagi dan menemuimu untuk berbicara tentang pernikahan,” kataku.

“Warren, apa-apaan kau?” tukas Bruce.

Hai, Warren, bagaimana kabarmu?

Aku merebut ponsel itu dari tangannya dan menempelkan benda itu di telingaku. “Aku baik, bagaimana denganmu?”

Ya, aku sangat baik, tolong katakan pada pria brengsek di depanmu untuk cepat pulang dan persiapkan diri karena dia akan menikah dalam waktu dua bulan atau aku mati tanpa memberikan sepeserpun hartaku untuknya.

Oh c’mon man, kau tidak bisa mengatakan hal itu pada Warren,” sambung Bruce dengan kening berkerut.

Tentu aku bisa, aku sudah menganggap keluarga Addison seperti keluargaku sendiri. Usiaku sudah tidak muda lagi, pilihan ada di tanganmu, Christopher Bruce Wallace.”

“Pintu gerbang rumahku sudah terbuka lebar, dia akan pulang sekarang, jadi selamat malam, Mr. Wallace.”

Sampaikan salamku pada ayah dan ibumu, Warren. Undangan akan sampai di tanganmu, jangan lupa datang dengan kekasihmu.

“Tentu.”

Sambungan telepon terputus, Bruce merebut ponsel itu dariku dan menatapku dengan tatapan kesalnya. “Kau bercanda, Warren?” tanyanya.

Aku membuang asap rokok itu ke wajahnya lalu membuka pintu mobilnya. “Aku tidak pernah bercanda, cepat pulang dan selesaikan semuanya.”

“Kupikir kau akan membelaku.”

“Bruce, cepatlah, anak-anakku akan terbangun dengan suara mobilmu.”

“Aku datang dengan mobil biasa, mereka tidak bisa mendengarnya karena terlalu jauh, kau berlebihan.”

Pria itu masuk ke mobilnya dan melenggang keluar dari pekarangan mansionku, aku menggeleng pelan dan membuang rokokku lalu masuk ke dalam. Semuanya tampak hening, gelap dan tidak ada siapapun—aku membuka lemari es, mengambil sebotol air mineral dan meminumnya.

Aku memejamkan mataku sejenak, ini hari yang melelahkan karena pertunangan sialan itu. Aku membuang napas panjang dan melangkahkan kakiku menaiki anak tangga hingga langkahku memelan saat gadis itu keluar dari kamar William untuk ke kamar Jane—celana jeans itu sudah tidak melekat di kakinya tetapi diganti dengan celana pendek hingga kaki jenjangnya terpampang begitu jelas dan dia berjalan masuk tanpa alas kaki.

Fokus, Warren.

Aku melanjutkan langkahku dan masuk ke dalam kamarku, melepaskan seluruh pakaianku dan masuk ke dalam kamar mandi, air dingin akan menemani malamku.

post-image-6604298cd0121.png

 

・༓☾ ☆ ☽༓・

 

Chapter 05 – Fired 

Joanne Irish Lyne POV

“Kapan daddy pulang?”

Aku menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Jane, aku akan menelpon ayahmu nanti, tidurlah, jika ayahmu melihatmu belum tidur, apa yang harus kukatakan padanya?”

“Irish, aku lupa dimana aku meletakkan bonekaku, sepertinya aku meninggalkan bonekaku di kamar daddy saat aku di sana tadi.”

Aku mengangguk. “Ya, aku akan mengambilnya,” gumamku seraya mengelus rambutnya.

Sekarang sudah pukul sebelas malam, dia terbangun karena menunggu ayahnya pulang jadi aku menemaninya—aku keluar dari kamarnya, menutup pintu dan melangkahkan kakiku menuju kamar utama yang berada persis di samping William—ini pertama kaliku masuk ke dalam kamarnya, sejujurnya aku juga penasaran tapi aku tidak memiliki alasan untuk masuk ke dalam sana dan sekarang aku memiliki alasan untuk mengambil boneka Jane yang tertinggal.

Aku menyentuh kenop pintu dan mendorongnya ke dalam. Ketika aku menginjakkan kedua kaki telanjangku, aku seperti menginjak es, dingin dan harum seorang pria, aku terdiam sejenak, tentu ini jauh lebih besar, tempat tidur berukuran king dengan warna abu-abu, hitam dan putih yang masih rapih seperti belum ada yang menidurinya karena Warren belum pulang.

Ruangan mendominasi abu-abu dan putih dengan permadani berwarna abu-abu seperti warna selimutnya yang terletak di bawah tempat tidurnya—perlahan kakiku melangkah, kamar tampak gelap, hanya lampu di walk in closet yang menyala.

Ada cermin besar di belakang kepala tempat tidur, aku mendekat ke ranjang tapi aku tidak menemukan boneka di sana. Aku tidak ingin terlalu lama di sini, aku berjongkok ke bawah dan melihat ke kolong tempat tidur tetapi nihil.

“Di mana kau meninggalkan bonekamu, Jane?” gumamku.

Aku bangkit dan berbalik, ketika aku hendak keluar pintu kamar mandi terbuka setengah, aku melirik jam di lengan kiriku, dia belum pulang jadi aku mendekat dan rasa penasaranku begitu tinggi dengan kamar mandi di kamar utama seperti apa bentuknya jadi kuletakkan tangan kananku di pintu lalu mendorongnya hingga detik selanjutnya mataku membulat, tubuhku membeku di tempat, jantungku mulai berdetak kencang.

Apa yang aku lakukan? Satu-satunya yang dia kenakan hanyalah jam Omega di pergelangan tangan kiri dan dia berdiri di bawah shower yang tak menyala, menyandarkan tangan kirinya di dinding dengan kepala menunduk untuk melihat apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.

Seluruh tubuhnya sudah basah begitu juga dengan rambutnya yang setiap helainya meneteskan air ke lantai—ada banyak garis-garis urat di lengannya, tubuhnya besar dan berotot hingga kaki, bokongnya sempurna.

Leherku tercekat, aku seperti tidak bisa bernapas ketika mataku tertuju pada sesuatu di dalam dirinya yang membuat bibirku perlahan terbuka—aku tidak tahu berapa inci tapi itu begitu tegang dalam genggaman yang terus bergerak tanpa henti hingga dia mendongak dan kembali menunduk dengan bibir yang setengah terbuka, suara geraman rendahnya menandakan dia hampir usai.

Aku menelan ludah susah payah, apa yang baru saja kulihat? Aku hampir tidak berkedip selama beberapa detik, aku menggeleng pelan, tidak seharusnya aku berada di sini, aku mendorong kedua kakiku untuk mundur dari sana dan menarik pintu untuk menutupnya, mataku melebar.

Sial.

Sial.

Sial.

Pintu ini tidak tertutup, aku membeku di tempat dengan menekan kenop pintu—perlahan aku membuat kenop pintu itu naik seperti semula dan aku membuang napas lega.

“Apa yang kau lakukan di kamar mandiku?”

Napasku tercekat, mataku melebar dan darah mengalir deras di sekujur tubuhku, aku dipenuhi rasa takut dan penyesalan, jantungku berdetak lebih cepat—perlahan aku melangkah mundur, menggelengkan kepalaku dan berbalik dengan cepat.

“Nona Lyne, berhenti di situ.”

Aku hampir sampai pintu dan siap untuk berlari tapi kesialan menghampiriku, Warren menarik lenganku dengan cepat hingga menghadapnya dan mendorong pintu kamar dengan keras hingga tertutup rapat.

Dia begitu tinggi di hadapanku hingga aku berjinjit dan mendongak untuk melihatnya, genggaman tangannya di lengan bagian atasku terlalu keras membuat kulitku memerah—rahangnya mengertak, raut wajahnya menandakan bahwa dia marah, sangat marah. Aku masih mencoba untuk melepaskan genggamannya yang begitu keras di kulitku.

“Aku tidak bermaksud, aku… aku minta maaf.” aku tergagap, tanganku bergetar—aku kembali memejamkan mataku sesaat dan kembali menatap matanya. “Aku tidak seharusnya masuk ke dalam kamarmu, aku sedang mencari boneka Jeanne dan—”

“Sudah berapa lama kau berdiri di sana?”

“Aku…” aku menggeleng. “Aku minta maaf—”

“Aku bertanya padamu, Irish.”

Sekali lagi aku menyentuh tangannya untuk melepaskan genggamannya dari lenganku. “Sakit… ini sakit—”

“Irish!”

Aku tersentak, suaranya begitu lantang hingga berhasil membuatku terdiam seribu bahasa. “Apa yang kau lakukan di kamarku?” tanyanya sekali lagi, dia terus menatapku begitu dalam.

“Aku bersumpah atas nyawaku, aku tidak bermaksud masuk untuk mengintipmu, aku berjanji tidak melihat apapun—”

“Sudah berapa lama kau berdiri di sana?”

Aku terdiam. “Aku tidak bermaksud—”

“Sudah berapa lama kau berdiri di sana, Irish?”

“Aku tidak tahu, aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sana, aku… itu seperti dua menit, tiga, aku bersumpah aku tidak tahu, Mr. Addison, aku minta maaf—”

“Hentikan.” aku terdiam. “Ini sudah kelewatan, kau melanggar privasiku. Kau datang ke kamarku dengan alasan untuk mengambil boneka putriku tapi aku tidak menemukan apapun di sini.”

Aku menjatuhkan pandanganku ke lantai setelah melihat raut wajahnya yang begitu marah padaku. “Kau berhak marah tapi aku benar-benar minta maaf, jangan memecatku, aku janji tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku akan mengetuk pintu sebelum aku masuk dan aku akan melupakan apa yang sudah kulihat tadi.”

Rahangnya kembali mengertak. “Apakah ini sudah menjadi kebiasaanmu?”

Aku menggeleng dengan cepat. “Tidak, aku tidak pernah melihat hal seperti itu sebelumnya, maksudku…” Aku membuang napas panjang, apa yang aku bicarakan? aku menggigit bibir bawahku dan menggeleng. “Aku orang yang jujur, Mr. Addison…”

“Lalu kenapa kau mencoba pergi?”

Aku meringis pelan. “Karena aku takut, Jeanne mengatakan padaku bahwa dia meninggalkan bonekanya di kamarmu—”

“Jangan pernah membawa putriku untuk ini, Nona Lyne.”

“Aku tidak berbohong padamu,” gumamku. “Boneka itu tidak di sini, aku tahu kau tidak percaya padaku tapi aku tidak pernah berbohong padamu, aku mohon jangan pecat aku, aku butuh pekerjaan ini.”

Hening.

“Aku ingin saat aku pulang, kau sudah tidak ada di rumah ini lagi, Nona Lyne.”

Perlahan dia menarikku dan membuka pintu di belakangku, cengkeraman di lenganku mengendur aku berbalik dan melangkah keluar dari kamar dengan langkah berat. Aku menuruni tangga secepat yang aku bisa untuk kembali ke kamarku, aku menutup pintu di belakangku, menyandarkan tubuhku di sana dan memejamkan mata. Aku telah melakukan hal paling bodoh yang pernah kulakukan.

Aku membuang napas panjang dan baru saja aku melangkah menuju ranjang, aku terdiam—boneka, boneka itu di ranjangku, aku mengambil boneka itu dan menjatuhkan tubuhku di ranjang, mengangkat boneka itu.

“Kau, karena kau, aku mempermalukan diriku sendiri, karena kau, Warren akan menganggapku pengasuh mesum yang mencoba menggoda pria yang tak beristri dan memecatku.”

Aku menarik tubuhku duduk di pinggir tempat tidur, menjambak rambutku dan menggigit selimut—aku berteriak tanpa suara, melempar boneka itu ke dinding dan menjatuhkan tubuhku ke lantai yang dingin memandangi boneka itu.

“Irish, apa yang sudah kau lakukan?”

Aku terdiam dipenuhi rasa malu—aku memejamkan mataku dan memegang lenganku yang sudah memerah, aku tidak bisa, ini sangat memalukan. Kapan dia datang? aku bahkan tidak mendengar suara mobilnya dari kamar Jeanne. Apa yang harus kulakukan besok pagi? Bagaimana caranya agar aku bisa berbicara dengannya dan menatap wajahnya mengingat apa yang telah kulakukan.

Dan kenapa aku harus penasaran dengan kamarnya?

“Kau benar-benar bodoh, Irish.”

Aku diam melamun, seharusnya sejak aku masuk, aku menggigit bibir bawahku, semuanya, aku melihat semuanya, tidak ada bagian yang tidak aku lihat, semuanya terpampang begitu nyata, dia berdiri enam langkah di depanku dengan sesuatu yang berdiri begitu tegak, begitu keras seperti batu dan besar.

Pantaskah aku mencurigai apa yang terjadi di kamar mandi?

Aku menggeleng dengan cepat dan menendangkan kedua kakiku di lantai—aku merutuki diriku sendiri. “Tenangkan dirimu, Irish, kau hanya perlu keluar dari kamarmu, naik ke atas tangga dan melewati kamarnya lalu berikan boneka itu pada Jeanne, itu mudah, hal yang mudah.”

Aku bangkit, mengambil boneka itu dan membuang napas panjang. “Kau bukan pengasuh mesum, ingat itu…”

Aku melangkah menuju pintu membukanya, kedua kakiku mulai melangkah menjauh dari kamar dan menaiki anak tangga dan sial,

Itu dia.

Aku berbalik, kesialan kedua aku terselimpat kakiku sendiri, suara hantaman tubuhku di pagar hingga tubuhku menghantam lantai membuatku terpejam dengan rasa sakit di sekujur tubuhku. Aku terjatuh dari tangga ke empat dan aku dipecat—hidungku, oh sial, kurasa aku baru saja mematahkan hidungku saat aku terbentur pagar tangga.

Tetesan darah mengotori lantai membuat mataku melebar, sialan, kenapa harus sekarang?

My God,” gumamku.

Hari keduaku dengan bossku sudah mendapatkan dua kali hal memalukan dan menjijikan. Aku terpejam erat, mencoba bangkit tetapi aku butuh waktu karena punggungku dan lenganku terasa ingin putus—Warren membalikkan tubuhku menghadapnya, keningnya berkerut ketika melihat noda merah di hidungku dan dia segera merengkuh pinggangku, membawaku duduk di dapur sementara dia menjauh dari pandanganku, yang kutebak mengambil kotak obat.

Aku mengusap hidungku dengan tanganku hingga sosoknya muncul kembali.  “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya saat dia membantuku membersihkan wajahku.

Kau melihatku, bagaimana aku bisa baik-baik saja, Mr. Addison? Aku mengangguk samar. “Ya, aku baik-baik saja,” gumamku.

“Kita harus ke rumah sakit,” ucapnya.

Aku menggeleng. “Tidak perlu, aku baik-baik saja.”

“Kau bisa beristirahat besok sampai kau benar-benar pulih, aku melihatmu terjatuh tadi, aku akan memanggil dokter besok pagi—”

“Tidak perlu!”

Warren terdiam, aku menutup bibirku, apakah aku baru saja berteriak di depannya? Keningnya berkerut seolah dia merasa aneh denganku.

“Kau berlari saat kau melihatku, ada apa denganmu?”

“Kau tidak ingin melihatku.”

Keningnya berkerut seperti tidak percaya sembari merapihkan semuanya dan aku turun begitu pelan, mengambil boneka Jeanne untuk membawanya ke atas tapi Warren lebih dulu menahanku dan merebut boneka itu.

Are you out of your mind?” keningku berkerut. “Aku akan mengantarmu ke kamar, kemarilah,” ucapnya, dia memunggungiku dan sedikit berjongkok.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku, aku mengerti maksudnya.

“Menurutmu?”

“Aku bisa sendiri.”

Terdengar helaan napas darinya sebelum dia menegakkan tubuh menghadapku, matanya hanya memandangku seolah dia menantangku untuk berjalan sendirian tanpa bantuan darinya—perlahan aku menurunkan kedua kakiku dan aku bisa berdiri tapi terasa sakit, aku mulai melangkah menjauh darinya tapi dia membuatku berteriak.

“Warren!”

Warren mengangkat tubuhku—aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya dengan cepat, aku hampir saja membuat anak-anak terbangun dengan teriakanku. Pria itu membawaku menuju ke kamarku, dia terus berjalan tanpa peduli aku berusaha untuk lepas darinya.

I can do it myself, I can walk…

I know you can but let me.”

Jantungku berdetak kencang, apa aku sudah gila? Apa yang aku lakukan? Warren tahu bahwa aku menghindarinya, dia berhenti di depan kamarku dan memintaku untuk membuka pintunya.

Dia mendorong pintu itu dengan kakinya dan mendudukkanku di tepi ranjang. “Aku baik-baik saja, Addison. Mimisan bukan hal pertama bagiku, darah akan keluar setiap kali hidungku terbentur,” gumamku.

“Kau terjatuh cukup keras.”

Aku mendongak ke atas. “Aku tahu, maaf merepotkanmu dan aku minta maaf soal tadi.”

“Aku akan menelpon dokter untukmu.”

“Tidak perlu.”

 

・༓☾ ☆ ☽༓・

 

Joanne Irish Lyne POV

Aku sudah berada di dapur selama satu jam membuat sarapan pagi—kopi untukku dan bossku, aku melirik jam tanganku ternyata hampir pukul tujuh tapi aku belum melihat tanda-tanda kemunculan mereka turun dari tangga. Aku menuangkan telur ke dua piring dan makan siang yang kubuat untuk anak-anak. Aku tidak bisa tidur sejak semalam karena otakku selalu mengingat hal memalukan itu dan tubuhku seperti hancur berkeping-keping. Lengan dan kakiku? tidak perlu di tanyakan, aku terkilir tapi aku baik-baik saja, aku terbiasa terjatuh.

Suara pintu membuatku tersadar, itu mereka. Aku menuangkan susu ke dalam dua gelas untuk mereka dan suara Warren terdengar, pagi ini aku tidak melihatnya turun lebih awal, biasanya dia turun pada pukul enam pagi.

“Perhatikan langkahmu, Jane.”

“Selamat pagi, Irish!”

Aku menoleh ke arah tangga, Jane menuruni anak tangga diikuti William dan Warren berada di belakang mereka, aku meletakkan kotak susu ke dalam kulkas, Jane berlari ke arahku dan memeluk kedua kakiku. Aku menutup pintu kulkas dan berjongkok membalas pelukannya.

“Selamat pagi, Jane,” ucapku. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak, hm?”

“Hmm…” Jane mengangguk. “Semalam aku tidur dengan daddy karena aku terbangun,” ucapnya.

“Itu bagus…”

“Bagaimana denganmu? Apa kau tidur dengan baik, Irish?”

Aku mengangguk dan tersenyum. “Tentu, aku tidur dengan nyaman,” ucapku, berbohong.

Jeanne melepaskan pelukanku dan mengambil tempat duduk di meja makan tepat di samping William—anak itu, dia melirikku singkat. “Selamat pagi, Irish.”

Aku tersenyum. “Selamat pagi, William.”

“Pagi.”

Aku menoleh, Warren meletakkan tasnya di kursi, pria itu sudah lengkap dengan pakaian kerjanya, harum parfumnya menyeruak satu ruangan. Setelan jas serba hitam tanpa dasi tetapi dia membuat pakaian lebih santai dengan membuka kedua kancingnya.

“Pagi…”

“Ini kopiku?” aku mengangguk. “Ya, Elena mengatakan padaku kopi yang sering kau buat.”

Kedua alisnya terangkat, dia mencium aroma kopi itu dan menyeruputnya, aku hanya diam setelah dia mengangguk samar. 

“Terima kasih, ini enak.” aku merasa lega, ketika aku hendak membersihkan tempat masak, pria itu membuat langkahku terhenti, aku menoleh. “Aku akan mengantar anak-anak pagi ini.”

“Tidak apa, aku baik-baik saja, tidak ada yang terluka.”

Warren tetap menggeleng. “Tetaplah di rumah, aku tidak ada meeting hari ini dan pulang cepat jadi tidak masalah.”

“Kenapa Irish tidak mengantar kami sekolah?”

“Karena…” Warren melirikku kemudian kembali menatap Jane. “Irish terjatuh semalam dari tangga jadi dia harus beristirahat sampai benar-benar pulih.”

Jane dan William segera menoleh ke arahku begitu cepat. “Kau baik-baik saja, Irish?” itu suara William, pertanyaannya membuatku dan Warren menoleh ke arahnya.

Aku mengangguk. “Ya, aku baik-baik saja.”

“Bagaimana bisa kau terjatuh?”

Aku tersenyum pada Jeanne. “Aku tersandung tapi aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir.”

“Daddy selalu mengatakan perhatikan jalanmu saat menuruni tangga, apa daddy tidak mengatakan itu padamu juga?”

Aku terdiam sedetik kemudian aku tersenyum tipis. “Ya, daddy mengatakan itu padaku tapi aku tidak berhati-hati dan terjatuh tapi aku baik-baik saja sekarang.”

post-image-66042ab221ee5.png

 

・༓☾ ☆ ☽༓・

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya The Bodyguard | 21 - 25
5
0
Stacey Waldemar, yang dikenal dengan nama panggung Emily Lynch, merupakan seorang supermodel yang berasal dari negeri 'Paman Sam'. Dia pertama kali dikenal oleh publik melalui perannya sebagai model iklan. Emily memulai karirnya di dunia modeling pada usia 14 tahun dan pada usia 21 tahun, dia telah menjadi model untuk berbagai majalah dan edisi Vogue internasional, serta masuk ke dalam daftar model dengan pendapatan tertinggi. Pada pertengahan tahun, Stacey telah aktif dalam berbagai acara peragaan busana dari perancang busana terkemuka serta merek parfum ternama.Namun, di tengah kesuksesannya, Emily terlibat dalam skandal yang mengakibatkan ancaman terhadap dirinya. Awalnya, ancaman ini diabaikan olehnya dan manajernya. Namun, seiring berjalannya waktu, Emily jadi sering menerima ancaman yang membuat manajernya, James Herbert, khawatir akan keselamatannya. Akhirnya, demi keamanan Emily, James memutuskan untuk menyewa seorang bodyguard yang bukanlah sembarang orang. Bodyguard ini merupakan seorang profesional dari agen dinas rahasia Amerika yang biasa mengawal Presiden AS, yakni Secret Service.Bagaimana dengan Emily ketika mengetahui bahwa manajernya telah mengambil langkah untuk menyewa seorang bodyguard demi keamanannya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan