
Terperangkap dalam lorong waktu saat detik-detik krusial sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia! Temani Rey, Cecil, dan Asmara menyaksikan perseteruan antara tokoh-tokoh nasional dan rahasia di balik penculikan Soekarno-Hatta. Apa yang mereka saksikan? Jangan lewatkan setiap kata!
Pandangan mereka kembali. Waktu menunjukkan sore hari. Cahaya orange memantul dari dinding rumah yang bercat putih. mereka bertiga duduk di kursi kayu yang berukir menghadap sebuah meja. Mereka tidak hanya bertiga, ada 2 orang lain yang sedang berada di tempat ini.
“Bung, inilah saatnya,” ucap pria berkacamata bundar itu.
Pria itu memiliki tubuh kerempeng. Dahinya lebar, biasanya orang seperti ini diidentikkan dengan orang yang pintar. Wajahnya memberikan kesan dia adalah orang dari etnis Tionghoa dengan janggut khas yang hanya tubuh di dagunya.
“Sudah ku bilang. Kita belum bisa melakukannya,” jawab dari sisi lain.
Pria di sisi lain adalah sosok yang sangat terkenal. Wajahnya keras dan tegas. Hanya dilihat dengan sekejap saja, aura wibawa sudah sangat terasa dari dirinya. Dia juga mengenakan jas putih dan peci hitam yang sangat khas darinya. Dia adalah Presiden pertama, Soekarno.
“Ini keadaan apa cil?” tanya Rey berbisik pada Cecil yang pas duduk di sampingnya.
“Ini kita lagi sedang membujuk Soekarno untuk melaksanakan proklamasi besok, tanggal 16 Agustus 45. Ingat kan kejadian sebelum Rengasdengklok?” bisik Cecil balik.
“Nggak ingat. Jadi bagaimana?” balas Rey masih sambil berbisik.
“Ikuti saja dulu jalan ceritanya,” jawab Cecil singkat.
Mendengar itu, Rey kembali duduk di kursinya dengan tegap. Asmara yang tadi ikut mendengarkan bisikan itu juga melakukan hal yang sama.
“Bung, sebelumnya kami sudah memberitahu ketika bung baru saja sampai di Jakarta. Kami mendapatkan surat dari Sultan Syahrir bahwa ada berita Jepang menyerah kepada sekutu melalui radio. Ini adalah kesempatan kita untuk memerdekakan diri,” desak pria itu lagi.
“Wikana. Kita tidak bisa membacakan teks proklamasi tanpa persetujuan PPKI,” jawab Soekarno tegas.
“Jika tidak sekarang kapan lagi bung! Kami para pemuda dan Peta sudah siap membantu. Kemerdekaan harus disegerakan,” desak pria yang dipanggil Wikana itu.
“Jangan terlalu gegabah. Ini bukan hal yang sepele,” jawab Soekarno menolak.
Perdebatan terus berjalan di antara mereka. Wikana terus saja mendesak agar Soekarno menyetujui permintaannya untuk melakukan proklamasi kemerdekaan, namun Soekarno terus menolak dengan tegas. Tidak sabar dengan penolakan itu, Wikana mengeraskan wajahnya.
“Apabila bung enggak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah Bung,” ancam Wikana.
Mendengar ancaman itu, Soekarno naik pitam. Dia menarik nafas dengan dalam dan posisi duduknya seperti akan berdiri.
“Ini leherku,” kata Soekarno sambil mendongakkan dagu menunjukkan leher kencangnya.
“Seret aku ke pojok sana. Sudah nyawaku malam ini juga, ga usah nunggu besok,” lanjutnya dengan suara yang lebih keras.
Mendengar makian tersebut, Wikana gemetar. Dengan tubuh kerempengnya itu, dia terlihat kecil dan semakin mengecil. Dia ciut karena tidak menduga akan mendengar jawaban itu.
“Maksud kami bukan membunuh bung. Kami cuman mau mengingatkan apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai dan dianggap pro-belanda,” jawab Wikana dengan suara yang dikuat-kuatkan.
Soekarno tidak menjawab. Dia hanya terus menatap Wikana dengan tajam. Merasa tidak akan berhasil, Wikana bangkit dari kursi dan undur diri. Mereka bertiga mengikuti Wikana yang keluar dari teras yang digunakan sebagai ruang tamu rumah. Dia berjalan dengan langkah yang cepat dan tergesa-gesa.
Setelah meninggalkan rumah itu, mereka pergi menggunakan sebuah mobil dan sampai di sebuah bangunan bercat putih tak lama setelah itu. Bangunan tersebut adalah sebuah bangunan milik lembaga bakteriologi. Jaraknya tidak jauh dari kediaman Soekarno, jadi tidak terlalu jauh untuk mencapai tempat ini.
Dari namanya mereka bertiga berpikiran bahwa tempat itu adalah sebuah laboratorium yang penuh dengan botol kaca yang sebuah mikroskop yang digunakan untuk melihat bakteri dengan lebih jelas. Namun, bayangan mereka buyar setelah memasuki ruangan itu.
Memang ada botol kaca dan mikroskop di ruangan itu, namun mereka dipinggirkan di pojok ruangan. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat meja dan dikelilingi oleh kursi yang telah diduduki oleh banyak orang.
Tempat ini adalah ruangan yang digunakan golongan muda setelah mendengar pesan bahwa Jepang menyerah kepada sekutu. Sebelum Wikana dan yang lain datang membujuk Soekarno, mereka merapatkan banyak hal dan salah satu keputusannya adalah mendesak Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia segera. Jangankan segera, kepastian bahwa Soekarno menyetujui proklamasi kemerdekaan pun belum didapatkannya.
“Soekarno gagal dibujuk,” lapor Wikana kepada seluruh orang yang berada di dalam ruangan.
“Sama juga ya. Hatta juga menolak,” jawab salah satu dari mereka.
Mendengar laporan itu, suasana dalam ruangan menjadi hening. Tidak ada suara yang muncul dari mulut banyak orang yang ada di sini. ada yang memegang kepala dengan kedua tangannya, ada yang terus menggelengkan kepalanya dan ada juga yang hanya duduk tertunduk. Hanya ada kekecewaan dan keputusasaan yang terasa.
“Kenapa Soekarno-Hatta menolak?” tanya Asmara tiba-tiba.
Pertanyaan itu memecahkan keheningan. Salah satu dari mereka angkat bicara.
“Mereka memang menolak. Tapi di dalam lubuk hatinya yang terdalam, pasti mereka menginginkan kemerdekaan Indonesia seperti kami,” katanya berharap.
“Benar, kita harus melakukan segala cara agar proklamasi kemerdekaan untuk disegerakan,” kata orang lain mendukung.
“Menurutku Soekarno menolak karena dia mendapatkan tekanan dari Jepang. Di Jakarta ini banyak pemimpin-pemimpin dari Jepang yang memiliki pengaruh besar. Ingat ketika kita mencegat Soekarno yang baru saja turun di bandara untuk memberikan informasi penyerahan Jepang. Dia mengatakan bahwa di sana bukan tempat yang pas untuk mendiskusikan hal ini,” jelas orang lain dengan panjang lebar.
“Jadi,” kata pria yang duduk di ujung meja menjawab singkat.
“Kita harus memisahkan Soekarno-Hatta dari Pegangsaan. Kita harus membawa mereka keluar dari Jakarta,” usul pemuda itu.
Ruangan itu kembali diam. Di antara mereka ada yang bergumam ‘benar, benar’, ada yang mengangguk setuju dengan pendapat itu.
“Khairul Saleh. Bagaimana keputusan akhirnya?” kata Wikana menunjuk pria yang duduk di ujung meja.
Khairul Saleh berpikir untuk sekejap dan menjawab dengan lantang, “Baiklah. Gak ada jalan lain. dua bung itu harus kita angkat. Kita harus memisahkan mereka dari jepang. Jangan sampai mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia atas nama PPKI yang merupakan bentukan Jepang.”
“Sukarni, bisa aku serahkan masalah pengangkatan ini padamu?” kata Khairul Saleh menunjuk pemuda yang dengan wajah bulat dan peci miring itu.
“Insyaallah, saya siap,” kata Sukarni dengan mantap.
“Baik. Keputusan terakhirnya kita akan memisahkan Soekarno-Hatta dari jepang dan proses pengangkatannya sepenuhnya aku serahkan kepada Sukarni,” kata Khairul Saleh menutup rapat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
