
Wangi Indomie goreng dan daging ayam penuh remah sungguh menggoda. Ketujuh orang itu duduk bersila di tanah. Menikmati makan malam yang diluar dugaan. Sementara yang lain makan dengan lahap. Fia sibuk memperhatikan Pak Rahmat. Lelaki itu makan tanpa selera. Sepertinya tengah memikirkan sesuatu. Anehnya, walaupun mendapat giliran terakhir. Pak Rahmat malah menyisakan mie yang seharusnya bisa ia habiskan dalam wajan. Mungkin pak tua itu sedang tidak lapar.
Udara makin dingin. Anak-anak cowok memberi...
Rahasia Semangkuk Indomie
“Moso iyo dirimu orang Kediri tapi belum pernah ke Kelud?” tanya Doni setengah tak percaya seraya melepas kacamata yang melorot hingga ujung hidung.
Sontak pertanyaan Doni disambut oleh keempat temannya. Slamet, Dodik, Fia, dan Wina serempak menggeleng-gelengkan kepala, diikuti decakan menyayangkan.
“Ah, sontoloyo kalian semua!” tangkis Dirman, melawan ledekan mereka, matanya melotot menyatakan kemarahan.
“nggak takut, ah!” celetuk Fia, melempar gumpalan kertas ke badan Dirman.
Dirman mengelak, gumpalan kertas jatuh di rumput taman. Diraihnya kertas itu, lalu diremas-remas hingga diameternya makin mengecil. Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepala cowok berbadan gempal itu. Dirman berdiri, dengan suara digagah-gagahkan ia menyuarakan ide tersebut kepada kelima temannya.
“Kalau gitu, aku tantang kalian semua mendaki Kelud!” serunya, matanya menatap wajah mereka satu demi satu.
Doni mengangakan mulut dengan sengaja, permen lolipop tergantung mengenaskan di bibir bawahnya. “Sampean sadar ta?” kalimat tanyanya berakhir dengan terjatuhnya permen lolipop ke atas rumput.
Slamet, Dodik, Fia, dan Wina sama kagetnya dengan Doni. Mereka mengamati Dirman yang tampak sungguh-sungguh dengan niatnya. Dirman nyengir, menyadari tantangannya mengena. Memang selama ini dirinya kerap jadi bahan ledekan karena selalu memutuskan untuk jadi anak rumahan.
“Kapan?” tanya Slamet hati-hati, masih setengah percaya dengan pendengarannya.
“Hah? Kapan apa?” Dirman balik bertanya, pertanyaan Slamet melunturkan angkuhnya.
“Iyo, kapan toh? Katanya mau ke Kelud.”
Deg. Sadarlah kini Dirman kalau kelima temannya menantang balik lagi. Dia terjebak. Dirman menelan ludah, berpikir keras. “Hmm. Jumat sekarang?” usulnya ragu-ragu.
Keenam teman baik itu akhirnya terlibat perdebatan. Masing-masing mengusulkan berbagai kemungkinan dan rencana. Akhirnya setelah satu jam bergelut dengan data, informasi dan strategi, mereka pun memutuskan berangkat Jumat sore setelah jam kuliah selesai. Dirman ditugasi mencari tempat menginap dengan asumsi dia orang Kediri asli, dan pastinya punya banyak channel. Menyadari terjebak tantangan sendiri, Dirman hanya bisa mengangguk. Padahal daerah Kelud asing baginya, semoga saja ada keajaiban, dan ia terhindar dari bully kelima temannya.
***
Lima hari persiapan penuh kerumitan dan pertentangan. Dirman hampir menyerah. Ia benar-benar tidak tahu harus menginap di mana. Sedangkan yang lain bersikeras untuk mendaki di Sabtu pagi. Udara pagi cocok untuk pendaki pemula seperti kita-kita ini. Demikian alasan yang diajukan Slamet dan disetujui tanpa paksaan oleh empat teman lainnya. Padahal Dirman yakin mereka menghindari kesorean, bahkan kemalaman. Gunung Kelud memang masih kental mistisnya. Beruntung dua hari menjelang keberangkatan, ditengah putus asa memuncak, tiba-tiba saja Dirman mendapat informasi yang diperlukan.
“Yakin orang ini ada?” Dirman menunjuk foto yang disodorkan ayahnya. Wujud manusia dalam foto itu sama sekali tidak meyakinkan. Lusuh dan terlihat tidak fokus.
“Ya, iyalah. Itu Pak Rahmat yang ditugasi menunggui rumah teman ayah. Dia jadi seperti itu semenjak anak perempuannya hilang.” Ayah menunjukkan keprihatinan mendalam ketika bercerita.
Mendadak bulu kuduk Dirman merinding. Ia yakin dalam kata ‘hilang’ ada misteri yang disembunyikan. “Oke, kalau begitu. Dirman bagikan info ini ke teman-teman,” ujarnya penuh terima kasih. Informasi pun tersebar cepat melalui sinyal kuat dan stabil. Chat demi chat menyatakan persetujuan, mereka sepakat untuk menginap di rumah yang ditunggui Pak Rahmat.
***
Jumat sore mendadak di kosan cowok-cowok terjadi kehebohan. Fia dan Wina yang ditugasi mengepak perbekalan datang dengan wajah merah padam. Rupanya ransel yang mereka bawa terlalu berat untuk ukuran cewek.
“Lengkap semua?” Dodik menyambut mereka berdua, memeriksa ransel besar perbekalan.
“Lengkap. Plus Indomie juga.” Wina mengacungkan plastik besar berisi Indomie.
“Mantap!” sambut keempat cowok, bertepuk tangan.
Fia nyengir. Indomie selalu jadi teman sejati kalau mereka pergi piknik atau berkemah. Indomie Makanan wajib bestie-bestie. Selalu itu yang diselorohkan Doni saat mereka menyiapkan perbekalan untuk bepergian. “Jadi sekarang kita tinggal OTW ke Kelud, ‘kan? Terus nanti dijemput di pintu masuk?” Fia bertanya memastikan yang dijawab oleh Dirman dengan anggukan. Setengah jam lamanya mereka berkutat dengan persiapan dan diakhiri dengan keberangkatan menggunakan jasa mobil online.
***
Satu jam kemudian mereka sudah antre di loket tiket masuk ke Gunung Kelud. Sementara yang lain sibuk patungan uang untuk tiket masuk, Dirman sibuk sendiri mencari keberadaan Pak Rahmat. Setelah 5 menit berdaptasi dengan lingkungan pintu masuk ke kawasan Kelud, ia menangkap sosok pria di kanan jalan masuk. Tak kentara karena terhalang mobil petugas yang diparkir, tampak Pak Rahmat mengenakan pakaian serba hitam plus celemek kumalnya. Dirman tak perlu waktu lama untuk mengenali pria tua itu. Ia sudah menghapal wajahnya berhari-hari selama persiapan. Demikian juga rute menuju rumah milik teman ayahnya itu.
“Kayaknya itu Pak Rahmat,” tunjuk Dodik, telunjuknya mengarah persis ke pria tua yang diyakini Dirman sebagai Pak Rahmat.
Dirman mengangguk, memberi isyarat agar yang lain mengikutinya. Mereka menyeberang, menghampiri pria tua yang tengah berdiri memperhatikan.
Pria tua itu meneliti wajah Dirman. “Dirman?” sapanya begitu mereka mendekat.
Dirman mengangguk, menyodorkan ponsel, menunjukkan isi chat ayahnya. Pak Rahmat mengangguk. Ikuti saya, ucapnya kemudian. Keenam anak itu mengikuti Pak Rahmat menyelinap di antara semak dan pepohonan hingga tiba di jalan setapak. Dirman dan kawan-kawan memperhatikan kalau jalan setapak itu berasal dari arah barat. Berarti ada jalan setapak dari pinggir jalan utama di bawah sana. Suara mobil dan motor dari jalan masuk kawasan Kelud teredam sama sekali ketika mereka menyusuri jalan kecil itu. Dirman dan yang lainnya berkeyakinan, jarak yang rapat antara pepohonan jadi semacam media kedap suara. Entahlah ... semua itu hanya asumsi belaka. Mereka sebenarnya sudah merasa dari awal bertemu Pak Rahmat. Lelaki berkulit hitam itu terlihat misterius. Ditambah rambut panjang dan ikat kepala warna hitam, perwujudannya jadi makin menyeramkan di mata mereka.
Sementara itu Fia dan Wina jalan berdempetan. Walaupun di depan ada Doni dan di belakang ada Slamet juga Dodik, tetap saja rasa seram mengganggu mereka berdua sepanjang jalan. Bahkan beberapa kali Fia yakin melihat kelebatan di deretan pepohonan sebelah kanan mereka. Ia berulang kali menggelengkan kepala, mengusir halusinasi, tapi tetap saja ujung matanya menangkap bayangan itu. Hingga di tengah perjalanan telinga Fia dipekakkan oleh sebuah jeritan.
“Ya, ampun,” desisnya, refleks mengegenggam tangan Wina. Mata Fia liar, mencari-cari sumber suara di antara pepohonan. “Kamu dengar itu?”
Wajah Wina memerah. Ragu menjawab ‘iya’, tapi ragu juga menjawab ‘tidak’. “Aku tidak yakin ...,” bisiknya.
“Itu jeritan,” desis Fia, matanya nyalang, mencari kebenaran di antara pepohonan.
“Sepertinya suara burung.” Wina menimpali, meyakinkan dirinya sendiri.
“Burung?” Fia melotot. Ia menoleh ke belakang. Slamet dan Dodik tetap berjalan, seperti tidak mendengar apa-apa. Fia mulai ragu. Akhirnya ia memutuskan memercayai Wina.
***
Rumah tua itu mulai terlihat setelah 15 menit menyusuri jalan setapak. Keenam sahabat itu mengembuskan napas lega ketika menyadari telah berada di halaman depan rumah. Kondisi rumahnya tidak begitu buruk menurut mereka. Hanya saja atap bagian belakang rumah sudah agak miring. Kesannya jadi agak menyeramkan kalau dilihat dari belakang.
“Bagian belakang rumah kurang aman untuk dimasuki.” Pak Rahmat menjelaskan sambil membuka pintu, mempersilakan mereka berenam masuk. Bau apak rumah tua tercium ketika mereka berada di dalam. Wina dan Fia saling merapatkan diri. Mereka berdua merasa seram begitu berada di ruang tengah. “Kalian nanti tidur di ruangan ini. Ke dapur dekat. Kamar mandi ada di sebelah kiri,” lanjut Pak Rahmat.
Dirman mengangguk. “Dapur bisa dipakai, yah, Pak?” Pertanyaannya dijawab dengan anggukan oleh lelaki tua itu. Tak lama kemudian Pak Rahmat berpamitan. Katanya sudah waktunya memberi makan (entah untuk siapa). “Oke. Ayo bereskan barang-barang kalian!” Dirman menunjuk sudut di samping lemari butut sebelah pintu kamar mandi. Yang lain beringsut penuh keengganan ke sudut itu. Menumpuk tas yang akan dibawa mendaki besok. Sedangkan tas berisi perbekalan dan alas tidur dipisahkan. Wina menemukan tumpukan koran bekas di kolong meja. Ia dan Fia berusaha membersihkan debu di lantai menggunakan kertas yang mulai menguning tersebut. Sekilas Fia membaca tanggal terbit koran paling atas. Tahun 1995. Ada foto anak gadis berambut panjang di halaman depan. Judul artikelnya besar-besar “Hilang Tanpa Jejak”.
“Fi, jangan melamun.” Wina menegur. Dirampasnya koran yang tengah dibaca Fia. Sebuah kalimat “Gadis itu menghilang setelah tamu yang menginap meninggal secara mengejutkan” menarik perhatiannya. Rumah yang melatarbelakangi gadis dalam foto tersebut membuatnya terkejut. “Eh, ini ...?” Wina membuka lebar-lebar koran. Menunjuk si gadis dalam foto. Gugup. Lalu menunjuk atap rumah. Fia mengangguk, cemas. Ada kegelisahan yang aneh, menjalar dari lambung ke jantung.
Dirman melotot. Dikiranya kedua gadis itu bergosip. “Ayo, ayo ... mau malam, nih.” Ia berseru, memberi perintah untuk mengumpulkan kayu bakar. Wina, Doni, Dodik, dan Slamet ke halaman belakang. Mengambil kayu bakar yang ditumpuk di bawah pohon. Sesuai petunjuk Pak Rahmat sewaktu di jalan setapak tadi. Cahaya redup di luar mulai tergantikan lampu. Warna kuningnya membuat suasana sunyi jadi makin mengerikan. Latar senja merah kontras dengan warna cat putih kusam dari rumah tua.
“Mirip rumah Drakula.” Slamet berbisik tiba-tiba. Meskipun pelan. Bisikan Slamet membuat Dodik terkejut. Jemarinya gemetar. Gugup. Berulangkali usahanya menggesek kepala korek api pada bungkusnya gagal. Tidak ada api yang keluar. “Sini biar aku saja!” Slamet merebut bungkus korek api. Gemas. Tak lama kemudian api muncul perlahan dari serpihan kayu. Membesar. Mulai membakar kayu-kayu bakar.
Di ruangan tengah Dirman dan Fia menata alas untuk tidur. Seruan Doni memaksa mereka meninggalkan barang-barang yang belum selesai dibereskan. “Ini kusimpan di sini saja, yah? Di belakang sana belum perlu, ‘kan?” Fia meletakkan pisau dan talenan di meja yang berdebu. Dirman mengangguk. Memang belum waktunya masak. Anak-anak masih berusaha menghasilkan api dari kayu bakar.
“Apinya saja belum benar nyalanya.” Dirman terkekeh, menunjuk Slamet yang mengipasi api memakai daun pisang.
Fia nyengir. Mengikuti Dirman ke halaman belakang. Mereka tidak sadar kalau ada yang mengintip dari celah pintu dapur. Bola mata kuning itu mengikuti mereka berdua hingga keluar rumah.
“Kalian enak bener nggak bantuin nyalain api, huh!” Slamet menatap sinis kedua teman yang menghampirinya.
“Woy! Kita beresin ruang tengah, loh! Belum pula nyiapin buat masak nanti.” Fia balas menimpali, tak kalah sinis.
Wina melempar Slamet dengan gumpalan daun pisang. “Kerja yang bener ajalah! Udah laper tau!” serunya yang langsung disahuti penuh persetujuan oleh yang lain.
Akhirnya setelah menambah sejumlah daun dan ranting kering. Bahkan nyaris Doni dengan penuh sadar diri menyumbangkan kaus kaki dekilnya. Api mau juga menyala dengan kekuatan penuh. Ketika akhirnya api mulai berkobar, mereka semua bertepuk tangan. Bangga.
“Sekarang tinggal makan!” Seru Dodik. Melemparkan bungkus korek api kosong ke tong sampah. Tanpa menunggu komando, dia mendahului yang lain masuk ke rumah tua.
Kehebohan berikutnya terjadi ketika Fia tidak bisa menemukan pisau dan talenan. Yang lain jadi ikut heboh. Rencananya mereka akan memasak sarden. Ada bahan-bahan seperti bawang, jahe, dan kunyit yang harus diiris. Semua itu terancam gagal karena alat tempur memasak raib. Sementara itu Doni dan Dodik bersiteru. Masing-masing tidak mau meminjamkan pisau lipatnya. Bau bawang, berkali-kali kata itu dilontarkan mereka. Wina mengeluh. Perutnya mulai perih. Dirman merana. Memperhatikan pasukan yang sengsara karena lapar. Kegalauan tiba-tiba dipaksa berhenti. Jeritan Fia dari dapur membuat mereka semua terpana.
Dirman melompat. “Apa itu?” Sontak ia berlari ke dapur. Diikuti oleh yang lainnya. Wina ikut menjerit begitu melihat apa yang dilihat Fia. Seruan kaget, teriakan, langsung memenuhi ruangan itu.
“I-itu darah?” Doni menunjuk pisau dekat tempat cuci piring. Talenan dan pisaunya berlumur warna merah. Kental. Bau amis pekat tercium jelas.
Slamet bertindak. Ia menarik Fia. Memberi komando pada yang lain agar keluar dapur. Gontai. Mereka mengikuti Slamet. Dirman mengenyakkan pantat di matras. Keningnya berkerut. Wina dan Fia berdempetan. Seolah celah antara mereka bisa jadi peluang untuk dijahati.
“Indomie banyak, ‘kan?” Pertanyaan Dodik yang tiba-tiba menyadarkan mereka akan rasa lapar. Bergegas Dodik membuka tas perbekalan. “Bikin ini saja!” serunya. Melambaikan Indomie goreng.
“Aku ogah masak di dapur!” Fia langsung protes. Darah di pisau dan talenan masih terbayang jelas. “Pisau tiba-tiba ada di dapur. Terus penuh darah pula. Kamu saja yang masak sendiri!” Protesnya disambut anggukan Wina. Dia juga tidak mau masuk ke dapur.
“Repot amat, sih,” celetuk Doni tiba-tiba. Mengambil termos berisi air panas. Membuka tutupnya. “Dir, kamu masih ingat, kan?” tanyanya. Nyengir pada Dirman.
Dirman yang awalnya lesu langsung tercerahkan. Teringat masa kritis sewaktu kemping di awal tahun. “Masing-masing ikuti cara masak Indomie ala aku, yah!” Penuh semangat ia memperlihatkan caranya. Pertama-tama mie diremukkan dahulu dalam bungkusnya. Sobek perlahan bungkus. Perhatikan jangan sampai ada yang bocor. Keluarkan bungkus bumbu. Tuang air panas ke dalam bungkus. Rapatkan ujung bungkus dengan jari. Tunggu 5 menit. Pastikan mie mengembang matang. Buang air dalam bungkus. Masukkan bumbu. Aduk mie dan bumbu.
“Termos penyelamat. Toss!” Dodik mengangkat termos tinggi-tinggi. Disambut bungkus berisi Indomie matang milik Doni.
“Nggak rugi, ‘kan, berat-berat bawa termos?” Fia menyindir Dirman yang tadi sore sempat protes. Cowok gempal itu hanya mengangguk-angguk. Mulutnya penuh mie.
Wangi Indomie goreng memenuhi ruangan. Membuat rasa lapar tak kuasa menghilang. Mereka tak sadar tengah diperhatikan saking sibuknya mengunyah mie.
“Sudah pada lapar rupanya.” Sebuah suara membuyarkan konsentrasi makan mereka.
Wina terpekik. Pak Rahmat berdiri di ambang pintu dapur. Di celemeknya ada percikan darah. Pria tua itu menatap tajam keenam anak yang tengah terpana. “Baru saja mau bapak ajak masak di luar.” Kepala Pak Rahmat mengedik. Menunjuk halaman belakang.
Dirman segera meletakkan bungkus Indomie. Gugup dia menjawab, “Eh, Oh, gini Pak ... biasa ... kebiasaan ngemil sebelum makan. Hehehe.” Matanya mengedip. Memberi isyarat pada yang lain agar meletakkan Indomie-nya.
Slamet mengeluh. Padahal kenikmatan sesungguhnya Indomie ada di bubuk mie paling akhir. Penuh bumbu pula. Dan dia telah berhasil mencapai tahap itu. Sudah siap untuk menyelesaikan sesi makan mie terunik. Sayangnya, perintah Dirman mengatakan lain. Enggan. Kelima anak itu mengikuti Dirman dan Pak Rahmat ke halaman belakang.
“Wow, apinya besar sekali!” Doni berseru takjub. Mengingat perjuangan tadi yang hampir menjerumuskan mereka ke jurang putus asa.
Seruannya disambut persetujuan yang lain. Mereka mengerumuni api unggun. Belasan telapak tangan bercahaya dalam gelap. Merasai hangatnya api. Sementara itu Pak Rahmat meletakkan ember di dekat mereka. Isinya potongan daging.
Fia berjengit. Menjauh dari Pak Rahmat. Darah di celemek mengingatkannya pada pisau di dapur. Apa mungkin Pak Rahmat yang---
“Ini daging ayam. Sekalian masak untuk bekal kalian besok pagi.” Pak Rahmat menumpahkan potongan daging ke dalam panci besar. Berikut pula bumbu-bumbu yang sudah disiapkan. Wangi masakan daging penuh rempah menguar di udara. “Semoga kalian suka krengsengan.” Lelaki tua itu berucap. Tangannya sibuk mengaduk dan membalik daging dalam panci.
Atas inisiatif Dirman, Indomie goreng kembali diolah. Tentu saja kali ini pengolahannya lebih wajar. Setelah daging matang. Ganti Indomie yang dimasak. Piring-piring dikeluarkan dari dapur. Fia memejamkan mata, tak mau melihat pisau ketika ditugasi mengambil piring. Wina mengutuki Dirman yang seolah sengaja menguji nyali mereka berdua.
Wangi Indomie goreng dan daging ayam penuh remah sungguh menggoda. Ketujuh orang itu duduk bersila di tanah. Menikmati makan malam yang diluar dugaan. Sementara yang lain makan dengan lahap. Fia sibuk memperhatikan Pak Rahmat. Lelaki itu makan tanpa selera. Sepertinya tengah memikirkan sesuatu. Anehnya, walaupun mendapat giliran terakhir. Pak Rahmat malah menyisakan mie yang seharusnya bisa ia habiskan dalam wajan. Mungkin pak tua itu sedang tidak lapar.
Udara makin dingin. Anak-anak cowok memberi isyarat pada Fia dan Wina untuk masuk. “Sekalian ini ditata untuk besok.” Dirman menyodorkan mangkuk besar berisi krengsengan. Mereka pun bubar satu per satu. Ujung mata Fia menangkap Pak Rahmat yang mengambil sisa mie dalam wajan. Lelaki tua itu berjalan perlahan. Menjauhi cahaya api unggun. Mengendap dalam gelap. Ketika Fia mengedip bayangannya pun telah hilang. Untuk siapa mie itu?
***
“Ayo tidur ... tidur ....” Slamet berseru parau. Kekenyangan dan mengantuk.
Yang lain segera menyusul Slamet. Merebahkan diri di atas matras. Suara cengkerik dan serangga kemarau memecah kesunyian. Lamat-lamat Fia mendengar suara kucing berkelahi. Mengeong keras. Penuh ancaman. Dan jeritan. Mendadak Fia membuka matanya. Terduduk. Ia menajamkan telinga. Jeritan. Yah, Fia mendengar jeritan itu lagi ....
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
