Aku baru saja menghempaskan pantat di atas kursi hidrolik ketika Bagus, office boy bersuara cempreng, menghampiri kubikelku. Jam masuk kantor bahkan masih dua puluh menit lagi.

“Punten, Bu Mia. Ada paket.”

Tanpa mengupas pembungkusnya, aku sudah bisa menebak isinya apa. Jadi, aku langsung melemparnya ke laci meja begitu kado itu kuterima.

Kado berpita merah itu terus berdatangan sepekan belakangan. Dua hari pertama, aku sempat mengintip sekilas. Hari pertama, Indomie Soto Mie. Hari kedua, Indomie Sambal Matah. Dan begitulah, aku tak berminat mengulik lebih jauh isi kado di hari ketiga hingga kelima.

Mas Indra, pengirim kado itu, memang bukan tipe pria romantis. Dia pikir, dia bisa meluluhkan hatiku hanya dengan serbuan Indomie setiap hari?

***

Jumat ini waktu bergulir teramat lambat. Setelah rapat seharian, aku beserta dua rekan kantorku terpaksa lembur hingga malam. Sudah begitu, gedung ini terkepung hujan. Lengkap sudah penderitaan kami bertiga. Lapar, lelah, plus kedinginan.

"Mia, masak Indomie, yuk! Kamu punya stok, kan?" tanya Devriri. Kubikelnya ada di sisi kiriku.

"Mia, kamu tahu nggak?” tanya Embun yang kubikelnya di bagian kanan. “Kamu tuh kayak huruf e di tulisan Indomie. Ada, tapi nggak dibaca. Nggak dianggep."

Perkataan Embun bergelayut di pikiranku. Gadis itu benar. Itulah mengapa aku ingin mengakhiri ikatan suci ini.

Pernikahan kami goyah bukan karena orang ketiga. Bukan pula karena buah hati yang tak kunjung hadir. Penyebab sebenarnya, karena kami jarang bersua. Mas Indra lebih banyak bergelung dengan kesibukannya di kantor dibanding merengkuhku dalam pelukan hangat.

"Lebih baik pisah aja. Aku lihat-lihat kayaknya si Satria anak marketing suka curi-curi pandang ke arah kamu," kata Devriri, menaik-turunkan alis.

“Udah, udah. Buruan masak Indomie. Perutku nggak bisa diajak kompromi, nih!” sela Embun sambil menggerutu.

Aku pun teringat Indomie-Indomie pemberian Mas Indra. Jumlahnya lima buah. Segera aku menyabet salah satu, mengurai pita merah, dan mengulik isinya. Indomie Rasa Soto Mie. Di bungkus belakangnya tersemat secarik kertas berhias tulisan tangan Mas Indra.

Hari ke-1: Indomie Soto Mie

Mia, mengenalmu adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Aku ingat betul, setelah sesi perkenalan selama tiga bulan, kita berdua mengikat janji suci pada 27 Juni 2015. Aku bahkan masih mengingat suvenir pernikahan kita untuk para tamu: paket Indomie Soto Mie dan sebotol teh kemasan.

Pernikahan kita sederhana dan hangat. Hanya ada keluarga dan tetangga. Meski begitu, seperti Indomie Soto Mie, pernikahan kita begitu kaya rasa dan nikmat.

Mia, walaupun kita dijodohkan dan prosesnya begitu singkat, aku yakin kamulah wanita terbaik yang Tuhan pilihkan buatku.

Tenggorokanku tercekat. Ja—jadi selama ini Mas Indra menyampaikan sesuatu di balik kado Indomie? Didorong rasa penasaran, aku pun membuka empat kado lain.

Hari ke-2: Indomie Sambal Matah

Indomie Sambal Matah mengingatkanku pada bulan madu kita. Waktu itu kita masih canggung. Jadi, sebagai kado pernikahan, Kak Vindry memberi hadiah paket liburan ke Bali. Tapi karena terlalu capek, kita bangun kesiangan. Buru-buru menyabet pakaian dan dokumen, berlarian menggeret koper di bandara, lalu terpaksa menelan kenyataan pahit. Kita berdua ketinggalan pesawat!

Meski kecewa, kamu mencoba tersenyum, lalu mengelus pundakku sambil berkata, "Udahlah, Mas. Kita bikin Indomie Sambal Matah aja, biar kayak di Bali."

Sejak itulah aku semakin yakin, kamu memang wanita terbaik untukku.

Hari ke-3: Indomie Mi Goreng

Tiap kali melihat Indomie Mi Goreng, aku teringat masa-masa kita hijrah ke luar pulau karena aku melanjutkan studi jalur beasiswa. Kamu, yang seumur hidup belum pernah lama-lama berjauhan dari orang tua, rela meninggalkan kampung halaman demi menemaniku.

Terima kasih atas semua kebaikanmu, Mia. Kamu setia mendampingiku bersama Indomie Mi Goreng yang kamu kreasikan beraneka macam, menemani perjuangan kita di sana.

Hari ke-4: Indomie Ayam Bawang

Setelah lulus, aku diterima kerja di sebuah klinik kecil. Gajiku tak menarik. Kita hanya mampu berteduh di rumah sewaan yang mungil, rapuh, dan banyak kecoa. Masih ingatkah kamu momen ketika kita refleks mengambil ember saat langit mulai mendung, menatanya di bawah atap kontrakan yang bocor?

Lalu kamu menjerang air, meracik sebungkus Indomie Ayam Bawang dengan kuah banyak-banyak agar bisa dimakan berdua. Kita saling melempar senyum, mengunyah Indomie ditemani simfoni tetesan hujan yang menempa atap rumah.

Mia, kesabaran dan ketulusanmu membuat kita bertahan tujuh tahun ini. Kamulah supporter terbesar hingga aku berhasil menjadi salah satu dokter spesialis onkologi terbaik di kota.

Ah, sepertinya terima kasih saja tak cukup untuk menggambarkan betapa berharganya kamu dalam hidupku. Dan maafkan, aku terlalu malu mengatakan ini semua, sehingga rasa ini hanya bisa disalurkan lewat tulisan.

Tulisan Mas Indra membuat mataku menghangat dan dadaku sesak oleh beraneka rasa. Ada rindu, marah, sedih, dan kecewa. Aku kecewa dan marah pada diri sendiri yang terlalu gampang membuat keputusan impulsif.

Mas Indra memang tipikal pria pemalu dan irit bicara. Sepanjang pernikahan kami, ia jarang membuaiku dengan rayuan maut. Sebaliknya, justru aku yang lebih sering menggoda Mas Indra. Biasanya, ia hanya menanggapi ocehanku dengan senyum tipis dan wajah memerah menahan malu.

“Mas tau nggak apa persamaan Indomie dan kamu?”

“Apa, Sayang?”

“Kamu dan Indomie sama-sama seleraku.”

Mas Indra bukanlah tipe pria romantis. Jadi, kata-kata manis di dalam surat itu membuat hatiku bergejolak. Ia pastilah berusaha sangat keras, bahkan sejenak “menjadi orang lain” demi mempertahankan pernikahan ini.

Di tanganku kini tersisa satu Indomie terakhir. Indomie Real Meat Rendang.

Hari ke-5: Indomie Real Meat Rendang

Sayang, kamu pernah bilang kalau ayahmu, penyuka rendang itu, adalah alasan mengapa kamu mau menikah denganku. Karena kamu ingin berbakti pada orang tua. Kamu menggigit erat keyakinan bahwa orang tua tahu yang terbaik buat anak-anaknya.

Mia, kini alasanmu menikah telah tiada. Beliau meninggal tiga bulan lalu. Sekarang, semua tergantung keputusanmu. Namun, jika kamu masih sudi memberi satu kesempatan lagi, aku hanya ingin meminta satu hal, bisakah kita memulai semuanya dari awal?

Cukup sudah. Air mataku keluar makin deras, sederas curah hujan di luar sana. Aku segera berpamitan pada Devriri dan Embun karena dokumenku sudah beres.

Dengan perasaan tak menentu, aku memacu mobil, membelah jalanan yang macet demi menemui Mas Indra di tempatnya bekerja.

Sesampainya di lobi, seseorang menyapaku. Itu Randy, adik kelasku di SMA. Kami berbincang sejenak. Ia terkejut saat mengetahui bahwa aku adalah istri Mas Indra. Selama ini Randy berkuliah di Amerika. Ia baru pulang ke Indonesia setengah tahun belakangan.

“Dokter Indra itu seniorku, Mbak Mia. Beberapa bulan terakhir beliau sibuk mengurusi dokumen sekaligus kasih pengarahan ke aku. Biar jadwalnya nggak segila beberapa tahun ini. Beliau bilang pengen meluangkan lebih banyak waktu buat keluarga. Kasihan istri, gitu katanya. Rencananya aku bakal isi juga beberapa shift di sini, bagi tugas sama beliau.”

Aku menahan napas, tak sabar menanti kelanjutan kisah versi Randy.

“Aku udah denger cerita dari Dokter Indra. Pekan lalu, maaf, istrinya pengen pisah. Beliau langsung shock. Kesehatannya drop, Mbak. Sekarang lagi dirawat di ruang VIP. Beliau juga pesan, nggak boleh bilang ini ke keluarga, apalagi istrinya. Biar nggak khawatir, katanya,” lanjut Randy. “Tapi aku terpaksa kasih tau ini ke kamu karena Mbak Mia sudah aku anggap kakak sendiri.”

Ucapan Randy ibarat palu godam, menghantam tepat di ulu hati. Badanku gemetaran dan pikiranku buntu. Kini, keinginanku hanya satu: bertemu Mas Indra, merangkumnya dalam pelukan, dan menghabiskan sisa hidup bersamanya.

“Meskipun Dokter Indra nggak pernah bilang, tapi aku yakin banget, beliau sebenarnya sayang banget sama istrinya, yaitu sama kamu, Mbak Mia.”

Aku pun berlari dengan wajah penuh air mata. Mas Indra, maafkan aku! Ayo kita mulai semuanya dari awal!

***

Indomie dan Lima Keping Kenangan #CeritadanRasaIndomie