
Rumpley: Pala, Puisi, dan Kampung Halaman (Catatan Perjalanan Residensi Banda Neira)
1
1
Deskripsi
Pertama kali menginjakkan kaki di bekas tanah pengasingan Banda Neira, tempat ini berhasil mengantar saya menuju bayangan masa silam yang membekas bersama malam, yang ditulis menjadi kisah-kasih oleh kalam, sehingga abadi menjadi sejarah dan kenangan.
Bagi saya Banda adalah sejarah, Banda adalah puisi, Banda adalah surga pala, dan Banda tidak akan selesai dibicarakan maupun ditulis, karena Banda adalah simbol dari karya sastra yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa kita sehari-hari tetapi dapat...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
Selanjutnya
ISI KEPALA: Apakah ini pertanda?
0
0
Kenapa konflik di negeri ini tidak pernah selesai dan satu persatu terus bermunculan? Pertanyaan yang sering kuajukan pada Presiden BEM di kampusku tidak pernah sedikitpun berjumpa dengan jawaban yang menyenangkan, yang ada aku malah terus berdebat dengannya. Begitulah – wong ngeyel gak onok obate! – seperti tutur Kakek saat beliau tidak ingin meneruskan perbincangan dengan lawan bicaranya. Di kampus, semua ribut perkara berita yang menyebar di media bahwa banyak dari anggota Dewan mengaku kalau mereka sedang kehilangan isi kepala mereka. Akibatnya saat sidang paripurna mereka semua seketika menjadi cerdas, tidak malas-malasan, tidak ada yang tidur dan terus berargumen tanpa henti, sehingga tidak ada hal yang bisa diselesaikan secara baik. Namun karena mereka tidak ingin terlihat tidak bekerja di depan rakyat akhirnya mereka mengesahkan UU yang melemahkan Komisi Pemberantas Korupsi, sebagai tindak keisengan belaka.“Sudah, daripada bingung-bingung biar rakyat saja nanti yang beri usulan pada kita, sementara ini dulu. Besok kalian hanya tinggal bilang sah, jangan mendebat. Sidang saya tutup!”Ketua sidang melihat kecemasan seluruh anggota Dewan yang kehilangan isi kepala mereka, ia menutup sidang secara mendadak. Demikian berita yang diributkan hari ini. ***‘Kalau isi kepala manusia satu dengan manusia yang lain sama, pilihannya ada dua: jadi negeri yang damai atau jadi negeri yang semakin bobrok. Tapi kalau hati manusia merasakan getaran yang sama, maka saya pastikan kita semua hidup dalam keheningan yang bening.’Setidaknya, presepsi Kang Jati dapat menghibur kegalauan ideologi aktivis mahasiswa amatiran seperti diriku. Baru kali ini dari selama tiga tahun duduk di bangku kuliah, aku turut partisipasi untuk turun langsung ke jalan menyuarakan hak rakyat. Dulu aku tidak begitu tertarik turun ke jalan, panas-panasan, menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendengarkan pimpinan demonstran berorasi dan menunggu keputusan atas tuntutan yang sudah disepakati bersama. Apalagi kalau sampai terjadi kericuhan, kematian dan berita orang hilang, jujur saja aku tak suka.Kang Jati, aku tidak melihatnya hari ini, teman-teman yang lain juga tidak ada yang peduli, semua sibuk pada tugas mereka masing-masing. Padahal selama aku duduk semeja di warung kopi, Kang Jati selalu tak henti mengajakku diskusi terkait pergerakan mahasiswa, isu-isu politik terkini, permasalahan buruh, filsafat, bahkan soal cinta dan selangkangan. Kang Jati-lah sosok orang yang tumbuh dalam jiwa berontakku saat ini. Tapi anehnya, sampai petang pun Kang Jati tidak menunjukan kegarangannya seperti biasa, ia menghilang seketika.***“Apa yang terjadi jika api, asap, udara, dan cahaya panjang – jatuh dari balik tingkap ruang tidurmu, melebur jadi satu kesatuan tanpa mengurangi esensi dari unsurnya?” Sepertinya aku mengenali suara yang menyusup melalui jaring-jaring jendela kosku. Lamat-lamat aku berjalan menuju pintu. Kuredam keraguanku dalam keheningan malam. Kubuka pintu tua yang berderit seperti jeritan kematian. Tak kusangka Kang Jati yang selama beberapa hari menghilang, sampai ada yang mengabarkan ia sudah mati. Kini berada di hadapanku. Bukan main senangnya diriku bertemu kembali dengan sosok pemikir sepertinya.“Aku rindu isi kepalamu Kang!”“Tahu sendiri kau, isi kepalaku cuma tai ayam dan sambal pete.”Kami tertawa bersama, kami sudah seperti kakak beradik yang sama-sama berjuang di kota perantauan. “Hari ini ada kuliah? Atau sampai seminggu ke depan, mungkin?”“Jelas ada. Tapi Kang, ternyata demo di jalan lebih merakyat ketimbang kuliah, Kang!”“Jangan terburu-buru, nanti gampang bosan! Rakyat saja ada yang tak begitu simpati melihat kalian demo karena tak mengubah apapun.”“Kau sendiri toh yang mengajarkan kalau isi kepala setiap orang tidak sama, jadi apapun keadaannya, harus diterima dong!”“Nah, soal isi kepala, nanti kamu akan tahu sendiri. Ikut aku, aku tak punya waktu lama!”Aku diajaknya pergi tanpa membawa apa-apa selain tas ransel yang berisi kain handuk dan baju ganti. Kang Jati tak basa-basi lagi, aku diboncengnya menggunakan motor tua yang tak pernah kuketahui kepemilikannya. Sampailah kita di suatu tempat sepi, gelap, hanya ilalang tumbuh tinggi.“Tunggu di sini, apapun yang terjadi jangan menangis!”Kang Jati menghilang sejenak. Saat datang kembali ia membawa seember air yang sudah dicampur dengan bunga yang biasa ditabur di kuburan. Ia juga membawa segenggam dupa, wangi-wangian, minyak zaitun, sajen, tikar pandan, jarik, dan kain mori.“Untuk apa ini semua, Kang?”Kang Jati tidak menjawab, ia sibuk mempersiapkan sesuatu yang terus membuatku penasaran sekaligus kebingungan. Kang Jati membungkusku dengan kain mori. Ia menyuruhku tidur berbaring di atas tikar pandan. Aku menaruh kepercayaan yang besar padanya sehingga aku menurutinya.“Tutup mata, kalau nanti kau melihat sesuatu yang bagimu itu kotor atau sampah. Ambil, jangan ragu-ragu! Waktumu hanya sampai sebelum subuh.”Kang Jati menyalakan dupa. Menaburkan wangi-wangian. Menyirami tubuhku dengan air yang sudah dicampur dengan bunga. Mulutnya tidak berhenti bergerak. Anehnya, aku merasa semakin mengantuk. Aku memejamkan mata. “Ambil, jangan ragu-ragu!”Saat aku memasuki alam mimpi, suara Kang Jati menghentak. Seketika itu pula aku memasuki satu ruangan besar. Ruangan itu berisi sekumpulan orang-orang berdasi. Terlihat rapi. Perut gendut. Semua terbaring berjajar di atas pembaringan. Anehnya, aku melihat dari kesemua tubuh mereka tidak memiliki kulit dan daging. Mereka hanya terbentuk dari organ tubuh dalam seperti tulang, usus, lambung, jantung, paru-paru dan lain sebagainya. Aku sempat merasa takut, tapi suara Kang Jati begitu dekat sehingga seakan ia berada di sampingku. Pun aku juga melihat tulang ekor mereka patah dan gosong. Hati mereka membusuk. Jika semua orang memiliki otak, aku melihat mereka tidak. “Ya itu, yang ada di kepala mereka. Ambil lalu buang ke belakang, jangan ragu-ragu!”Suara Kang Jati kembali menghentak. Suara Kang Jati menyadarkanku bahwa aku tidak boleh berlama-lama. Aku harus segera selesai sebelum fajar menyingsing. Aku bergegas melakukan apa yang dikatakan Kang Jati. Kuambil apa yang ada di kepala mereka, kubuang ke belakang, satu persatu. Sebenarnya beberapa dari mereka juga ada yang memiliki otak bersih dan utuh, akan tetapi hati mereka dikerubungi belatung. Ada juga beberapa dari mereka hatinya bersih, tetapi otak mereka terbuat dari batu. Tiba-tiba tubuhku sakit sekali, seakan ditarik kebelakang dengan kekuatan penuh, melesat begitu cepat, melewati lorong gelap, melewati lorong putih – kosong dan seketika aku berada di samping Kang Jati. Ia sedang berusaha membuat perapian. Ia melihatku berusaha bangun dari tidur. Ia segera memberiku minum. Menenangkanku sejenak. “Apa yang kau bakar, Kang?”“Lihat dan perhatikan apa yang baru saja kau lakukan!”Pada pembakaran itu aku menangkap hal-hal yang tidak masuk akal. Ada kondom, ada puting payudara, ada vagina, ada uang kertas, ada kursi, ada tikus, ada sampah berserakan, ada otak membusuk, ada mobil, ada emas, ada surat-surat tanah, ada pohon-pohon, ada makanan-makanan enak, ada banyak minuman memabukan, ada narkoba, dan yang pasti ada banyak hal lagi yang berkaitan dengan keserakahan dan kepongahan.***Beberapa hari berikutnya, setelah peristiwa langka yang kualami bersama Kang Jati malam itu, aku tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Pergi ke kampus dan membicarakan soal aksi lanjutan dan hal-hal yang berkaitan dengan pergerakan. Presiden BEM menghampiriku, ia mengajakku untuk audiensi dengan para anggota Dewan. Aku menerima tawarannya. Sesampainya di gedung DPR, terjadi keributan, mereka saling menuduh atas hilangnya isi kepala mereka masing-masing. Berita kehilangan isi kepala menyebar sampai ke pelosok negeri. Pun hingga hari ini pencarian masih terus dilakukan oleh pihak kepolisian untuk menemukan isi kepala para anggota Dewan yang hilang entah kemana. Karena jika tidak, sidang paripurna, audiensi dengan mahasiswa maupun rakyat - akan terus ditunda. Dampak paling parah permasalahan isi kepala ini adalah anggota Dewan akan menghasilkan keisengan kembali atas segala solusi dari permasalahan yang terus muncul satu per satu di negeri ini.Aku terhenyak, jantungku berdebar, aku ingin menangis tetapi aku menahannya. Peristiwa hari ini mengingatkanku pada kejadian di suatu malam bersama Kang Jati. Aku melihat sekeliling, mereka – anggota Dewan Perwakilan Rakyat – lebih seperti mayat hidup, mereka hidup tapi berada dalam kegelapan, tak tahu arah pergi dan pulang, tak bisa merasakan pedih – perihnya kehidupan, dan aku menyaksikan sendiri mereka tumbuh berkembang di tanah airku tercinta.Atas menyebarnya berita ini, aku ingin bertanya pada Kang Jati. Tapi aku tidak tahu dimana harus menemuinya, karena di dalam gedung ini, aku seperti berada di ruang gelap bekas pembantaian besar-besaran. Aku hanya dapat berucap dalam hati; “Apakah ini pertanda Kang?”Dengan tenang suara Kang Jati seketika membisik. Ia menjawab pertanyaanku.“Itulah isi kepala, polisi juga akan sulit menemukan, karena sepertinya isi kepala mereka tidak jauh berbeda dengan mereka, bahkan juga teman yang sekarang berada di sampingmu. Berhati-hatilah, Adikku!” Tepat di samping kiriku, Presiden BEM melemparkan pandangan jauh ke depan, entah kemana. Tapi sorot matanya terlihat sangat tajam dan serius. 2019
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan