[PART 2] JEROAN MATAH

0
0
Deskripsi

Teror berlanjut sampai ke penghuni misterius di rumah kepala desa adat. 


"——Aku hanya membantu di desa ini, tidak ada maksud lain! Jadi jangan ganggu aku!" Teriak Wengi kembali, kepalang kesal dengan keadaannya.

BLUG

Suara itu kembali terdengar di belakangnya,

Ketika menoleh ke belakang dengan gerakan patah-patah,

Deg

Mata cokelat Wengi melebar,

Seketika wajah gadis itu mendadak memucat.

Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakan.
Wengi terkejut karena tidak melihat apapun, dia hanya mendengar nafas dengan hembusan besar-besar. Sesekali menggeram.

Karena tidak bisa bergerak, Wengi melirik ke kanan dan ke kiri, ingin tau apa itu, namun sekali lagi tidak ada apapun.

Maka, gadis itu memejamkan matanya.

Berdoa dalam hati dengan memanjatkan mantram gayatri.


Tidak sampai lima menit, tubuh Wengi bisa bergerak kembali.

Nafas gadis itu tersengal naik dan turun, keringat membanjiri dahinya sampai turun ke pelipisnya.

Gadis itu masih saja berani untuk memeriksa segala sesuatu dengan senternya.

Sekarang hanya terasa sunyi yang mencekam.

Wengi tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan memanggil atau menantang sebuah entitas yang tidak ia ketahui wujudnya. Bukan bermaksud, jahat. Tapi gadis itu hanya tidak ingin diganggu, sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya menerornya.

Suara-suara tadi sangat menyeramkan, namun itu tidak membuat Wengi gentar. Alih-alih lari setelah mengalami kejadian aneh, gadis itu kini mencoba mengarahkan senternya di dalam sumur.

Hanya gelap yang menguasai.

Maka,

Wengi hanya mendengus kasar.


"Jika mereka tetap menggangguku, aku tidak akan berhenti untuk mencari tau apa itu" gumam gadis itu, lalu pergi dari sumur itu, masuk ke dalam rumah.

Tidak Wengi ketahui, ada sebuah bercak darah segar yang mengelilingi sumur itu. Bercak yang menetes dari udara, dibawa oleh entitas misterius yang sedang mencari mangsa.

..........................


Disinilah Wengi duduk sekarang,

Di kursi kayu, teras rumah bapak Ketut dengan cahaya matahari lembut.

Secangkir kopi manis digenggam oleh jari-jari lentiknya.

"Meme Ketut, ibi ade nak ngalain nggih?"   (Meme Ketut, kemarin ada orang meninggal ya?) Tanya Wengi, sambil memperhatikan mata meme Wengi yang mengarah pada sebuah pohon besar di depan pagar rumahnya.

"Nak ngalain? Nyen ngorang?"       (Orang meninggal? Siapa yang bilang?) Meme Ketut langsung menghadap Wengi dengan satu alisnya yang terangkat naik.

"Nggih, ibi tiang nepuk ade nak  ajake liu ngabe peti bangke jam solas peteng ne, mai kelod lakune"  (Iya, kemarin saya melihat ada orang-orang yang membawa sebuah peti mayat jam sebelas malam, mereka berjalan ke arah selatan) Jelas Wengi, mencoba menceritakan apa yang dia lihat kemarin malam.

Wengi mengerutkan kedua alisnya ketika melihat meme Ketut menatap tajam pada dirinya.

"Yen ade nak mati, pasti be bapak Ketut ajak tiang nawang. Bapak Ketut nak kepala adat driki"   ( Kalau ada orang meninggal, pasti bapak Ketut dan saya tahu. Bapak Ketut kan kepala adat disini) jelas Meme Ketut. Sontak saja membuat Wengi menahan nafasnya sesaat.

"Terus, apa ane tingalin tiang ibi to me Ketut?" (Terus, apa yang saya lihat kemarin itu Me Ketut?) jawab Wengi, balas menatap tajam ke arah meme Ketut.

"Wong Samar "    Jawab meme Ketut dengan suara pelan, tepatnya bisikan.

Wengi tau apa itu Wong Samar  , menurut masyarakat Bali, Wong Samar adalah makhluk yang mirip dengan manusia, hanya saja mereka tidak memiliki lekukan di atas bibir. Makhluk ini juga konon menjalani kehidupan seperti manusia, mereka bekerja, memiliki keluarga dan lain sebagainya. Hanya saja, makhluk ini tidak bisa dilihat oleh orang awam. Atau mereka bisa menampakan dirinya jika mereka berkenan.

Meme Ketut terdiam seribu bahasa, membuat Wengi merasa tidak nyaman.

'Lihat, dia mendiamiku lagi. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan atau tabu untuk dibicakan' gumam Wengi dalam hati.

"Eh, bu Wengi! Sudah makan?" Teriak bapak Ketut yang sedang membuka gerbang. Sepertinya pria tua itu baru datang dari suatu tempat.


"Sudah pak" ucap Wengi sambil melempar senyum.

"Kamu tau? Ada ternak yang mati lagi, jeroannya hilang. Aneh sekali.  Kalau ini memang hewan buas kenapa dia tidak makan bagian tubuh yang lain?" Bapak Ketut menggaruk-garuk rambutnya yang penuh uban. Wajahnya menekuk—penuh dengan kegelisahan.

"Sudah ada lima kambing dan empat sapi yang mati seperti itu" lanjut Bapak Ketut.

"Oh ya, jangan takut ya bu Wengi, itu terjadi pada hewan ternak saja" ujar Bapak Ketut, membuat Wengi mengangguk, namun ada rasa penasaran yang mendalam dalam hati gadis itu.

Wengi kemudian pamit pulang kepada bapak dan meme Ketut.


"Antiang malu ning!" (Tunggu dulu nak!) teriak meme Ketut, membuat Wengi menghentikan langkahnya.

"Ning, sing maan ngaturang canang di tugu lan depan umah e diselat rurung?" (Nak, tidakkah kamu pernah menghaturkan canang di tugu dan depan rumah di seberang jalan?) Tanya meme Ketut, rumah yang dimaksudkan oleh meme Ketut adalah rumah yang dijadikan puskesmas sementara oleh Wengi.

*Secara umum, Canang adalah upakara keagamaan umat Hindu di Bali yang digunakan untuk persembahan. Biasanya terbuat dari janur yang dibentuk kotak atau bulat, lalu isiannya adalah; yang paling bawah bernama porosan yaitu gabungan dari;(potongan daun, potongan daun sirih dan kapur sirih), lalu di atasnya dihiasi dengan bunga dan juga wadah lengis (potongan janur kecil)

Wengi hanya menggeleng, iya dia tidak pernah menghaturkan canang sedari dia sampai disini. Sementara meme Ketut menghela nafas pelan.

"Mai ning, si baang Canang" (Kesini nak, akan kuberikan Canang) Meme Ketut kemudian masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Wengi di belakangnya.

Wanita tua masuk ke dalam dapur, sedangkan Wengi berdiri di tengah-tengah ruang tamu. Mata cokelatnya berpedar ke segala penjuru arah.
Dan perhatiannya kali ini terpusat pada sebuah kamar di sudut ruangan. Pintunya terbuka sedikit.

Wengi menyipitkan matanya, dia melihat untaian rambut panjang mencapai lantai di sela pintu itu, lalu detik berikutnya, rambut itu tertarik ke dalam kamar yang sepertinya gelap.

Wengi lantas menyusul ke dalam dapur. gadis itu melihat wanita tua sedang memasukan beberapa canang ke dalam tas kresek berwarna kuning.

"Meme Ketut kude ngelah panak?" (Meme Ketut berapa punya anak?) tanya Wengi.

"Tah a besik. Panak muani, lakone be luwas ngalih gae ke Badung" ( cuma satu. Nak muani, tapi sudah pergi bekerja ke kota Badung) Jawab meme Ketut sambil menyerahkan tas kresek itu kepada Wengi.

Alih-alih mengambil tas kresek yang disodorkan, Wengi malah berdiam diri seperti patung, menatap tas kresek kuning yang digoyang-goyangkan oleh meme Ketut.

"Ning?" (Nak?) Meme Ketut menautkan kedua alisnya.


"O-o-nggih, suksme meme Ketut" (O-o-ya, terimakasi meme Ketut) Wengi menggelengkan kepalanya sekilas lalu segera mengambil tas kresek yang berada di meme Ketut, lalu gadis itu cepat-cepat keluar dari rumah meme Ketut.

Wengi menyebrang jalan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri.

"Mereka punya satu anak laki-laki? Hm, mungkin itu anggota keluarganya yang lain? " gumam Wengi.

Tbc... 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [PART AKHIR] JEROAN MATAH
0
0
Misteri jeroan yang hilang itu akhirnya terkuak dengan mengerikan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan