Retrouvailles [24, 25, 26]

3
0
Deskripsi

Selamat membaca 💐✨

Semoga ceritaku bisa menghibur hari-harimu. Terima kasih juga udah mampir😽🌷🦢

Bab 24. Tak Sanggup Melupa

Aku telah tahu kita memang tak mungkin, tapi mengapa kita selalu bertemu?
 

***
KELAS sudah sepi sejak beberapa menit yang lalu, tapi Lyodra masih duduk di kursinya. Pandangannya kosong. Sebenarnya, Keisha dan Ziva sudah mengajaknya untuk pulang bareng tapi Lyodra menolak dan memilih untuk menunggu di kelas sampai di luar benar-benar sepi. Setiap hari selalu begitu karena Lyodra belum siap bertemu banyak orang. Ia masih belum siap jadi pusat perhatian dan mendengarkan olokan-olokan mereka secara langsung.
 

Dan juga bukan tanpa alasan Lyodra tidak mau pulang bersama kedua temannya, ia hanya butuh waktu untuk menepi dan sendiri setelah mendapatkan pesan dari papanya beberapa waktu yang lalu. Kalimat singkat yang meruntuhkan pertahanannya. Padahal, sebelumnya ia sudah mempersiapkan diri. Tapi, tetap saja akhirnya.

Papa ke Jakarta senin. Baru dapat panggilan untuk sidang pertama. Kamu mau ikut?

Harusnya, papanya tidak perlu memberitahunya untuk memperjelas. Cepat atau lambat, semuanya memang akan terjadi. Orangtuanya benar-benar akan berpisah dan tidak ada yang bisa diselamatkan lagi. Membayangkan kehancuran di depan mata, jelas membuatnya tertekan dan sedih.

Menghela napas, Lyodra melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir satu setengah jam dan ia masih betah berlama-lama disini. Menikmati sepi dan tenang tanpa ada yang mengganggu. Ia menelungkupkan kepalanya di meja lalu memejamkan mata. Semilir angin yang menelusup dari ventilasi ruangan menerpa wajahnya, gadis itu semakin merapatkan matanya.

Bayangan-banyangan memori di masalalu berkelebatan di kepala. Lyodra masih mengingat semuanya. Rasanya begitu indah. Tapi, seindah apapun jika sudah menjadi kenangan, sama saja sudah selesai.

Intinya, semua hal indah akan terasa menyakitkan jika sudah menjadi kenangan.

Ia masih ingat dengan kehangatan keluarganya dulu. Ia selalu merasa sebagai orang paling bahagia di dunia. Memiliki orangtua yang begitu sayang padanya, memiliki kakak yang selalu menjadi garda depan dalam hal apapun untuk melindunginya, memiliki sahabat yang begitu baik dan selalu ada untuknya. Sekarang, satu-persatu dari mereka pergi. Orangtuanya memilih berpisah, Mirabeth juga akan pergi setelah ini, Nuca.. lelaki itu sudah tidak bisa ia harapkan lagi. Lelaki itu benar-benar membencinya saat ini.

Sekarang, Lyodra benar-benar percaya, hidup memang berputar. Tidak selalu berporos padanya. Hidupnya seperti jungkir balik. Hidupnya mulai berantakan. Terlebih ketika Samuel masuk ke dalam hidupnya. Lelaki itu berhasil menghancurkannya.

Lyodra menahan dirinya agar tidak menangis ketika mengingat semuanya.  Perlakuan Samuel, ucapan kasar yang dilontarkan lelaki itu, semuanya.

Apalagi, setelah kejadian beberapa minggu yang lalu..

ia merasa hidupnya memang tidak terselematkan. Semesta tidak adil dan berpihak padanya untuk saat ini.

Tidak ingin terlalu larut, Lyodra bangun dan menegakkan tubuhnya. Setelah merapatkan jaketnya, gadis itu berdiri dan keluar kelas. Rencananya, sore ini, ia akan menonton mermaid show Mirabeth. Seperti janjinya pada kakaknya tadi malam.

Sekolah sudah lumayan sepi saat ia melewati koridor. Hanya ada beberapa murid yang masih di sekolah. Sebagian anak OSIS dan anggota basket yang masih disana. Lyodra memasang kupluk jaketnya, menghindari tatapan beberapa orang yang mulai memperhatikannya. Dari kejauhan, ia melihat Samuel di koridor lapangan indoor bersama teman-temannya. Lelaki itu terlihat sedang asik bercanda dan tertawa lepas, sangat kontras ketika sedang dengannya.

Mungkin karena insting, lelaki itu menoleh dan menatapnya. Sedetik kemudian, dapat ia lihat lelaki itu pamit pada teman-temannya lalu berjalan ke arahnya. Lyodra mempercepat langkahnya, ia tidak mood untuk menanggapi lelaki itu sekarang. Kepalanya penuh tapi Samuel lebih cepat dan menarik tasnya dari belakang.

Lyodra berhenti.

Ia dapat merasakan ketika Samuel membuka tasnya dan mengambil botol air disana lalu minum. Hal itu membuat Lyodra berbalik, ia mengulurkan tangannya ketika lelaki itu selesai, mengambil alih botol minumnya lalu memasukkan kembali ke dalam tas.

"Lo masih mau latihan basket?"

Samuel bergumam tidak jelas. Lyodra lupa, Samuel kan memang tidak pernah jelas. Lelaki itu menguap, membuat Lyodra meringis dan refleks menutupnya. Mungkin karena sudah kebiasaan Lyodra ketika melihat orang menguap tidak ditutup ia akan langsung mengulurkan tangannya.

Hal itu membuat Samuel kaget. Ia sontak memukul tangan Lyodra dan ngedumel. "Nggak sopan."

"YANG BARU TAKEN MAH BEDA, NGUAP AJA DITUTUPIN EUYY!!" teriak Bennedith dari kejauhan. Kemudian disusul tawa gerombolan teman Samuel tadi.

"UWWUUUU GEMMAY!!"

Pipi Lyodra memanas. Ia malu dan ingin cepat berbalik lalu pergi sekarang.

"Lo sih," ucap Samuel. "Udah sana balik. Ke apartemen gue kan?"

Lyodra menggeleng. "Gue mau ke Neo Soho."

Samuel menaikkan sebelah alisnya. Ia menarik Lyodra menjauh agar tidak menjadi sorotan teman-temannya lagi. "Badan lo panas banget, Ly." Samuel segera melepas cekalan tangannya dan menatap Lyodra dengan alis berkerut. "Sakit lo?"

"Enggak."

Samuel berdecak. "Mau ngapain lo ke Neo Soho?"

"Mau nonton Kak Abe show. Katanya show terakhir dia."

"Show apaan?"

"Mermaid show."

Samuel mengangguk paham. "Gue lupa kalau kakak lo duyung," katanya. Ia  menaikkan dagu Lyodra, membuat mereka saling bersitatap. Samuel menaikkan sebelah alisnya begitu sadar mata Lyodra bengkak. "Habis nangis lo?"

Gadis itu tidak menjawab dan menurunkan tangan Samuel. Ia menghela napas. "Lo nggak mau balik latihan?"

Samuel tidak menjawab. Ia memperhatikan Lyodra dari atas hingga bawah. Gadis itu banyak berubah akhir-akhir ini. Lebih pendiam dan sering nangis.

"Lo nggak hamil kan?"

***

"KAK Nuca lebih suka hujan apa kereta?" tanya Lyodra. Gadis memperhatikan lelaki di sampingnya dengan seksama. Ketika Nuca mencari angle yang pas, ketika Nuca memotret, ketika Nuca melihat hasil bidikan fotonya, semuanya tanpa terkecuali.

"Jawab dong. Rain apa train??"
 

Nuca menoleh. Ia menatap gadis berseragam putih biru itu lembut. "Kalau lo gimana?"

Lyodra terhenyak. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Eh, suka aku? Aku kan udah ada Glen! Enak aja."

Nuca tertawa dan mengacak rambut Lyodra. Hal itu membuat Lyodra cemberut dan segera merapikan rambutnya kembali.

"Siapa juga yang suka lo. Maksud gue, kalau lo gimana? suka hujan apa kereta?

"Makanya yang jelas kalau ngomong. Salah paham kan jadinya," dumel Lyodra.

"Lo aja yang otaknya nggak nyampe."

Lyodra melotot dan menabok pelan mulut Nuca. "Enak aja!"

Lalu mereka kembali fokus ke arah depan. Hujan belum reda, dan mereka masih asik mengamati kereta yang satu persatu mulai melaju, diiringi rinai hujan sore itu.

Lyodra menyelipkan jari-jarinya pada jari-jari tangan Nuca. Ia menatap lelaki itu sambil tersenyum manis. Nuca yang belum sempat meredakan kaget dan degup jantungnya tidak dapat berbuat banyak ketika Lyodra menariknya berlari menembus hujan. Melewati dan melompati space rel sesuai ritme yang Lyodra ciptakan sendiri. Tidak beraturan.

Nuca tidak dapat berpikir jernih, ia bahkan tidak peduli pada kameranya yang basah. Lyodra berhasil melumpuhkan otaknya.

"Kalau aku, aku suka hujan dan kereta. Apalagi, menikmatinya sama Kak Nuca."

Damage.

Gadis itu sudah hampir membuat Nuca hilang kendali. Ia sudah ingin mengungkapkan perasaannya saat itu, persetan dengan Glen yang notabene pacar Lyodra. Nuca sudah tidak peduli. Untungnya, Nuca masih memikirkan bagaimana baiknya setelah ini.

"Ly, kamera gue basah," ucapnya mengalihkan pembicaraan juga suasana.

Mereka berhenti, Nuca menarik gadis itu menepi karena bajunya sudah basah kuyup. Lyodra malah nyengir tanpa dosa memperlihatkan deretan giginya yang dibehel biru.

"Asik nggak?"

Nuca mendengus. "Basah semua jadinya."

"Nggak apa-apa. Kan seru."

"Seru apaan--"

"NUCAA, TIARA TELFON NIH!! LAIN KALI JANGAN TARUH HP SEMBARANGAN!!"

PRANGGG

Nuca tersentak kaget, foto yang dipegangnya tadi jatuh.

Berantakan.

Bersamaan dengan potongan memori yang tadi muncul kembali di kepalanya.

Ia cepat-cepat mengambil frame fotonya dan Lyodra yang pecah kemudian memasukkannya ke dalam laci.

Perasaannya mendadak tidak enak. Menenangkan diri, ia mengusap wajahnya kemudian merapikan kemeja putihnya lalu keluar kamar.

Ia hampir saja lupa jika malam ini ada janji dengan Tiara untuk mengajak gadis itu jalan-jalan.

Hampir lupa.

Hanya karena ingatan tentang Lyodra.

***

LYODRA tidak pernah ke Jakarta Aquarium. Ini pertama kalinya dan ia merasa sangat terhibur karena tempatnya benar-benar keren.

Mengabaikan pusing yang sejak tadi menderanya, ia terus melangkah mengamati pemandangan di sekitarnya. Pertama kali masuk, ia seperti berada di dalam hutan yang nyaman dengan aquarium di sisi kanan kirinya. Semakin ke dalam, ia semakin disuguhi pemandangan yang benar-benar epic. Melewati terowongan kaca, menyusuri sungai dengan pemandangan indah di bawahnya hingga seorang petugas menghampirinya dan menawarinya untuk menonton mermaid show di bawah.

Ia mengikuti untuk turun ke bawah -karena memang itu tujuannya- melewati tangga kemudian masuk ke dalam terowongan dengan dekorasi kapal selam. Hingga ia sampai di tempat show.

Lyodra memilih duduk di kursi terdekat. Yang sebisa mungkin melihat penampilan di depan dengan jelas. Kursi-kursi sudah penuh ketika pertunjukan di depan dimulai.

Ia begitu menikmati alur cerita yang dibawakan, meskipun ringan dan bisa ditebak endingnya ia tidak berhenti tersenyum dan bangga melihat Mirabeth ikut andi disana. Ini pertama kalinya ia menonton Mirabeth. Kakaknya itu benar-benar berdarah seniman. Permainan teathernya epic, tariannya di dalam air begitu memukau. Jingle Pearl of The South Sea begitu merdu mengiringi. Meksipun dari audio dekat lampu sorot, tapi Lyodra mengenal suara merdu itu.

Suara Mirabeth.
 

Sesekali, Lyodra mengambil gambar untuk dijadikan kenang-kenangan. Karena banyak hal yang perlu disimpan, didokumentasikan agar tidak hilang dari ingatan.

Saat pertujukan selesai. Lyodra menghampiri Mirabeth. Ia tersenyum lebar dan menempelkan tangannya di akuarium besar itu, tepat pada telapak tangan kakaknya.

Mirabeth benar-benar cantik.

Seperti Ariel. Putri duyung kerajaan di film Disney kesukaannya.

Gadis itu mengusap pelan kaca aquarium. Memejamkan mata, hingga ia merasa lega, lalu membukanya kembali.

"Lyodra pulang dulu.." pamitnya.

***

ADA kebetulan di waktu yang tepat, ada kebetulan di waktu yang tidak tepat. Dan Lyodra benci kebetulan yang kedua.

Tadinya, ia sedang dalam mode bahagia karena moodnya kembali membaik usai menonton pertunjukan Mirabeth. Makanya, ia memilih untuk tidak langsung pulang dan berkeliling dulu karena tiketnya mahal, sayang banget kalau tidak dimanfaatkan dengan maksimal.

Sebenarnya, sejak masuk ke area Aquarium Jakarta ini ia tertarik mencoba wahana touch poul, melihat biota laut seperti ikan pari, bintang laut, kelomang, kura-kura dan hewan darat lainnya seperti berang-berang, pinguin dan banyak lainnya. Ia juga sudah berencana untuk mencoba 5D theater nantinya, sekaligus sebagai refreshing karena ia bahkan lupa kapan terakhir liburan.

Tapi, ketika asik berkeliling dan usai memotret ikan warna-warni di aquarium depannya, ia mendapati Nuca dan Tiara disana. Di depannya.

Hal itu refleks membuatnya mundur selangkah.

Mereka sama-sama diam. Mungkin masih kaget. Kebetulan yang sangat menyebalkan memang.

Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat bagaimana Nuca mengeratkan genggaman tangannya pada Tiara, membawa gadis itu ke balik punggungnya. Seolah Lyodra adalah monster yang berbahaya untuk Tiara. Dan itu cukup menyinggungnya.

Dulu, ia masih ingat, Nuca selalu ada di pihaknya. Bagaimanapun keadaannya.

"Nanti, kalau kita udah sama-sama dewasa, masih tetap temenan kan? Kak Nuca nggak akan pernah pergi kan? Sekalipun udah ada pacar."

Nuca bergumam. Ia merasakan trampolin yang didudukinya terus berguncang karena Lyodra tidak berhenti melompat sejak tadi.

"Janji dulu," kata Lyodra. Ia duduk di samping Nuca sambil mengulurkan jari kelingkingnya dengan napas memburu. "Pinky promise."

"Alay ah."

"Janji ih!!"

Nuca berdecak tapi tak urung menautkan jari kelingkingnya, membuat Lyodra tersenyum lebar. "Kalau lo yang pergi dulu, gue mau cari temen baru aja."

Lyodra melotot. "Mana ada gitu ih. Nggak boleh!!"

"Udah terlanjur janji."

"Yaudah. Lagian, aku juga nggak akan pergi."

Potongan memori itu berkelabatan di kepala. Lyodra masih mengingatnya dengan jelas. Disini, memang ia yang salah.

Ia yang pergi terlebih dahulu. Wajar jika Nuca benci.

Tidak ingin mengingat lebih banyak lagi, Lyodra mundur dan cepat berbalik. Ia berlari, menjauh dari kedua orang tadi. Tidak peduli akan tatapan bingung orang-orang, Lyodra turun ke bawah menuju pintu keluar.

Ia harus cepat pergi.

Ia tidak mau lepas kendali dan membuat keributan.

***
MIRABETH jelas kelimpungan. Berulangkali ia menghubungi Lyodra tapi tidak sekalipun panggilannya diangkat. Sedangkan, sekarang sudah hampir jam sepuluh malam dan Lyodra belum pulang. Ia sudah menghubungi Samuel karena yakin adiknya itu pasti bersama pacarnya, tapi nihil. Samuel juga tidak tahu menahu soal keberadaan Lyodra. Opsi kedua, ia menghubungi Nuca. Hasilnya juga sama. Nuca tidak tahu juga. Sudah setengah jam berlalu dan ia masih setia menyisiri jalanan Jakarta Barat karena pertemuan terakhirnya dengan Lyodra di Neo Soho sore tadi.

Di sisi lain, Samuel tidak berhenti mengumpat. Ia sedang asik berkumpul dengan teman-temannya ketika Mirabeth menelpon dan menanyai keberadaan Lyodra. Untuk formalitas sebagai pacar, apalagi Mirabeth tahu jelas ia harus ikut andil dalam pencarian gadis itu. Merepotkan.

"Kenapa lo?" tanya Bennedith melihat wajah Samuel mulai tidak mengenakkan. Mata sipitnya membentuk garis ketika lelaki itu mengerutkan alisnya.

Samuel berdecak. "Kakaknya Lyodra telfon gue. Lyodra belum balik katanya."

"Coba telfon," saran Bennedith.

Dengan malas, Samuel meraih ponselnya dan menghubungi nomor Lyodra. Panggilan terhubung, tapi gadis itu tidak mengangkat panggilannya. Ia mencoba mengulangnya hingga empat kali dan hasilnya masih sama.

"Anjir, nggak diangkat."

"Ngeri kali dia, ditelfon dakjal."

"Coba telfon Ziva sama Keisha, kali aja sama mereka," ucap Liam sebelum Samuel adu debat dengan Bennedith.

"Nggak punya nomernya."

"Yaudah sana cariin, ntar gue kirim nomer Ziva sama Keisha."

Samuel buru-buru berdiri, lelaki itu mendengus kasar. "Nyusahin ah. Nggak tahu orang cape apa."

Liam terkekeh mendengarnya. "Kenapa nggak berhenti aja kalau sama-sama cape?"

Samuel tidak menjawab. Lelaki itu semakin menggerutu tidak jelas.

Lalu pergi.

"Temen lo tuh, Yam. Mana pernah jelas," ucap Bennedith sambil memperhatikan punggung Samuel yang semakin menjauh dan hilang dari pandangan.

***

SAMUEL sudah menghubungi Ziva dan Keisha tapi kedua orang tersebut tidak ada yang tahu. Semuanya mendadak panik. Lelaki itu greget sendiri karena panggilan terhadap Lyodra terhubung tapi sialnya gadis itu tidak menjawab panggilannya.

Ia menghentikan mobilnya di trotoar lalu segera membuka find my device. Ia segera memasukkan email yang terhubung di ponsel Lyodra. Sedetik kemudian, ia kembali menyalakan mobilnya setelah lokasi keberadaan Lyodra terlacak.

Butuh waktu lima belas menit lebih untuk Samuel sampai ke tempat tujuan. Malam semakin larut ketika ia menghentikan mobilnya di area parkir lalu turun. Lelaki itu memilih opsi putar suara di tampilan find my device sambil terus berjalan.

Tapi, nihil karena ia tidak mendengar apapun. Apalagi, sekitarnya masih cukup ramai.

Samuel diam sejenak. Ia seperti mempertimbangkan banyak hal ketika memilih masuk ke area Central Park dan menuju Eco Skywalk setelah masuk ke lantai satu.

Jembatan itu nampak indah saat malam hari. Lampu warna-warni melingkari jembatan tersebut, nampak seperti di Helix Bridge Singapura. Tapi, fokus Samuel bukan itu saat ini. Ia mempercepat langkahnya sambil terus melacak keberadaan Lyodra. Gadis itu berada di sekitar area Central Park. Seperti yang tertera di ponselnya. Dan ia memulai pencarian di jembatan ini sebagai langkah awal.
 

Jalannya yang mulai menanjak membuat napas Samuel mulai tidak beraturan. Sesekali ia berhenti dan mencoba menghubungi Lyodra, siapa tahu gadis itu menjawab panggilannya. Tapi hasilnya tetap sama.

Mungkin sekitar 100 meter berjalan dan tidak berhenti melacak, akhirnya ia mendengar dering ponsel yang semakin mendekat, Samuel sontak mempercepat langkahnya.

Dan benar saja.

Lyodra, gadis yang dicarinya itu berdiri di pinggiran jembatan sambil mengamati pemandangan di bawahnya. Podomoro City yang terbentang di bawah . Bahkan tas sekolahnya dibiarkan tergeletak begitu saja.

"Lo berniat buat lompat?"ucap Samuel.

Lyodra sontak berbalik. Meskipun kaget, ia tidak menampakkannya. Gadis itu menatap Samuel kemudian menunduk.

Samuel mendengus. "Ayo pulang," katanya.

Lelaki itu meraih tas Lyodra kemudian menarik pergelangan tangan gadis itu.

Untuk pulang.

"Lo sakit gini sok-sokan pake ngehilang dan ngerepotin banyak orang," ucap Samuel saat merasakan suhu tubuh Lyodra yang panas. Sama seperti sore tadi. Bahkan lebih parah.

"Cuma jalan-jalan bentar."

"Nggak usah jawab kalau gue marah, ngerti?!"

Lyodra terlalu pusing untuk menanggapi Samuel. Jadi, ia memilih untuk mempercepat langkahnya, menyeimbangi lelaki di sampingnya itu.

"Ngerti nggak?!"

"Iya, Sam."

Serba salah kan kalau ngomong sama Sam?

***

"BISA nggak sih lo nggak usah bikin masalah, sekali aja??! Capek gue ngurusin lo!!" bentak Mirabeth. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi.

"Lo tuh bikin tambah ribet semuanya!!"

"Masalah satu belum selesai, masalah lainnya lo ciptain!!"

"Dewasa dikit kek!! Gue tahu, mama sama papa udah mau cerai, dan lo mungkin stress mikirin semuanya!! Tapi nggak dengan cara lo lampiaskan dan bikin oranglain panik karena tiba-tiba ngehilang dan nggak bisa dihubungin!!"

"Gue cape baru balik kerja, harus muter-muter nyariin lo!! Lo nggak kasihan apa sama gue??!"

Lyodra hanya diam mendengar bentakan Mirabeth. Ia menunduk dan tidak menjawab sekalipun. Ini kali pertama Mirabeth memarahinya habis-habisan, di depan orang lain. Di depan Samuel.

Siapa yang tidak malu ketika dimarahi di depan oranglain?

Lyodra jelas malu.

Tapi, wajar Mirabeth marah. Selama ini, kakaknya itu mungkin memendam semua kemarahan dan rasa lelahnya mengatasi semua permasalahan yang telah diperbuatnya. Jika diputar kembali,  ia telah banyak membuat kesalahan akhir-akhir ini.

"Lama-lama gue muak punya adek kayak lo."

Kemudian, Mirabeth pergi ke kamarnya. Bantingan keras pintu membuat Lyodra berjegit kaget. Ia memejamkan mata, menahan sakit hatinya mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Mirabeth tadi.

Lyodra menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia memijat pelipisnya karena pusing yang sejak tadi menderanya. Sebenarnya, terhitung sejak masih di sekolah, ia memang tidak enak badan tapi ia menahannya.

"Sam, tolong ambilin air dong, gue mual."

"Enak aja lo nyuruh-nyuruh gue."

Lyodra menguatkan dirinya untuk berdiri. Sekitarnya seperti berputar-putar. Ia kembali duduk agar tidak terjatuh.

"Sam.."

Lyodra tidak bisa menahannya lagi ketika ia memuntahkan isi perutnya.

"Kak Abe!! Kak!!! Lyodra muntah nih!!" teriak Samuel. Tipikal anak manja yang tidak suka kotor, lelaki itu jelas memilih berteriak memanggil Mirabeth untuk menangani Lyodra.

"Kak Abe!!!"

"Oh shit!!" pekik Samuel saat bajunya terkena muntahan Lyodra. Ia seperti cacing kepanasan sekarang.

"Dibilangin ngeyel kan?! Sekarang masuk angin tau rasa!!" sentak Samuel. Kesal.

***
NUCA barusaja mematikan ponselnya. Lelaki itu menghela napas kemudian menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur dan melempar ponselnya asal.

Telfon dari Mirabeth tadi benar-benar mengusik pikirannya. Lyodra belum pulang, begitu kata Mirabeth. Lalu, gadis itu menanyakan keberadaan adiknya padanya. Dan Nuca menjawabnya.. tidak tahu.

Sesingkat itu, padahal, tadi mereka sempat bertemu.

Nuca hanya belajar untuk tidak lagi peduli pada gadis itu. Lagipula, Lyodra yang ingin untuk tidak ia pedulikan.

Untuk saat ini, meskipun masih banyak sekali kenangan tentang Lyodra di kepalanya. Nuca ingin cepat lupa dan menggantinya dengan segala hal tentang Tiara.

Bukan lagi Lyodra.

_________________

Bab 25. Mengapa Kita?

Beberapa orang bisa mencintai tanpa syarat. Beberapa orang lagi sanggup mencintai tanpa jeda. Dan kamu termasuk dalam orang-orang yang mencintai dengan cara.. memaksa?

***
SENYUMAN itu..

Hanyalah menunda luka..

Yang tak pernah ku duga..

Dan bila akhirnya kau harus dengannya..

mengapa kau dekati aku..

Kau membuat semuanya indah..

Seolah takkan terpisah..

Pagi itu Jakarta masih sama seperti biasanya. Masih padat, masih penuh, masih bising suara yang diciptakan oleh lalu lalang kendaraan.

Audi A8 yang dikendarai Nuca melanju membelah jalanan Kemang Raya. Di sampingnya, Tiara, asik mengikuti alunan lagu dari audio mobil. Sesekali gadis itu akan berhenti bernyanyi lalu mengamatinya dari samping.
 

Nuca tahu, itu kebiasaan Tiara. Kebiasaan yang membuatnya menahan diri untuk tidak tersenyum dengan pipi merah padam. Biasanya, ia hanya akan bersikap cuek atau balik memperhatikan gadis itu. Setelahnya, mereka akan terlibat pertarungan sengit untuk saling tatap.

Aku tlah tahu kita memang tak mungkin

Tapi mengapa kita selalu bertemu

Aku tlah tahu hati ini harus menghindar

Namun kenyataan ku tak bisa

Maafkan aku terlanjur mencinta

"Lagu baru ya?" tanya Nuca tanpa menoleh. Lelaki itu fokus menyetir dan memposisikan mobilnya di tempat yang pas karena pagi ini lumayan macet dan mereka terjebak di lampu merah. Untungnya sekarang masih cukup dibilang pagi.

Tiara mengangguk. Gadis itu menarik dua lembar tisu yang terletak di atas dashboard kemudian menyumbat hidungnya. Kebiasaan jika sinusnya kambuh, ia akan mimisan. Sebenarnya, ia sudah akan ijin untuk libur tadi pagi, tapi, Tiara terlalu bersemangat untuk sekolah karena tidak ingin melewatkan seharipun tanpa Nuca.

Tipikal orang-orang ketika di titik teratas jatuh cinta dan merasakan langsung bagaimana euforianya. Rasanya, ada yang kurang jika sehari saja ada jarak diantara keduanya.

Bila memang hatimu untuk aku..

Salahkahku berharap, berharap kau memilih diriku cinta..

Aku tlah tahu kita memang tak mungkin..

Tapi mengapa kita selalu bertemu..

Aku tlah tahu hati ini harus menghindar..

Namun kenyataan ku tak bisa..

Maafkan aku terlanjur mencinta..

Ternyata hati tak sanggup melupa..

"Kok kamu tetap bawa mobil? kan nggak boleh. Mau kamu parkir di belakang sekolah nanti?"

Nuca bergumam mengiyakan. "Motor aku dipakai Kak Richard tadi pagi. Keberatan?"

"Eh? nggak sih."

Lelaki itu terkekeh. "Kali aja kamu keberatan karena nggak bisa peluk, kalau naik mobil kan susah," goda Nuca.

 

Tiara melotot dan merengut. "Enak aja."

Nuca tertawa, ia mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Tiara, gemas. "Pacar siapa sih gemes banget, sini-- kamu mimisan, Tir?!"

Nuca kaget. Ia mendapati banyak tisu penuh darah di tangan Tiara ketika menoleh. Gadis itu malah tersenyum simpul seolah menenangkan. "Biasa, sinus aku kambuh."

"Kenapa masuk kalau sakit?!!."

"Nggak apa-apa. Lagian cuma sinus--"

"Cuma kamu bilang?!" Nuca menghebuskan napas. Ia mencoba mengendalikan emosinya sambil tetap fokus pada jalanan di depannya, macet mulai mengurai dan ruang kembali terbuka untuknya. "Jangan kebiasaan nyepelein sakit, Tir. Sinus itu beda sama flue biasa. Pasti sekarang kamu pusing dan area wajah kamu nyeri kan?"

Tiara meringis tapi tak ayal mengangguk. Gadis itu memilih jujur. Saat ini ia benar-benar tidak bisa dibilang dalam keadaan baik. Hidungnya tersumbat, kepalanya pusing, bagian belakang mata, dahi, pipi atas, bahkan hidung terasa nyeri. Sampai-sampai sudut matanya berair. Dan ia masih memilih untuk sekolah agar bisa terus bertemu Nuca?

"Yaudah pulang aja, aku anter. Nanti tinggal bikin surat ijin," putus Nuca.

"Nggak mau. Nanti kamu telat sampai sekolah. Lanjut aja, lagian nanggung banget kalau pulang pas udah tengah jalan gini," tolak Tiara cepat dengan segala alasan.

"Kamu sakit, Tir.."

"Nanti aku bisa ke UKS."

Nuca menghembuskan napas kasar. "Nanti bilang kalau benar-benar nggak kuat. Biar aku antar pulang," ucap Nuca akhirnya. Mengalah. Lelaki itu tidak mau terlibat adu argumen pagi-pagi.

Dan lagi, ia kembali mengumpat pelan ketika macet kembali menghadang. Di depan benar-benar penuh dan ramai. Beberapa orang mulai turun dan.. berkerumun??

Nuca mengerutkan alisnya, ia sedikit melongok ke depan. Disana ramai, sepertinya barusaja terjadi kecelakaan. Nuca menoleh pada Tiara di spingnya, gadis itu sedikit melorotkan duduknya dan menatapnya takut-takut.

"Ada kecelakaan ya? Aku takut," cicitnya.

Nuca mengerti. Trauma itu masih menguasai Tiara.

Ia mengusap punggung Tiara agar gadis itu lebih tenang tapi, malah perasaannya yang tidak tenang begitu melihat kendaraan yang barusaja dipinggirkan oleh polisi.

Ia mengenalnya.

"Tunggu sini sebentar ya."

"Mau kemana?"

"Bentar aja, mau lihat keadaan di depan."

Tiara menarik ujung kemejanya lalu menggeleng, menahannya. "Nggak usah."

"Sebentar, Tir.."

"Nuc.."

Nuca menghela napas. Ia melepaskan genggaman tangannya lalu menjauh. Lelaki itu menegakkan tubuhnya.

"Tunggu disini, jangan kemana-mana. Aku mau keluar sebentar."
 

"Nuc, aku beneran takut," ucap Tiara hampir menangis. Karena ia benar-benar takut. Bahkan tubuhnya sudah tremor. Ingatannya tentang kecelakaan Brisiana waktu itu otomatis berputar di kepala. Genangan darah, bau anyir, dan dinginnya ruang operasi membekukan otaknya untuk stuck di memori itu.

"Bentar aja, Tir. Aku cuma mau mastiin aja. Soalnya, motor yang dipinggirin itu mirip punya anak BHS."

Tiara langsung mengarahkan pandangan pada objek yang dilihat Nuca. Sontak, matanya membulat. Jantungnya berdegup kencang melihat ringseknya motor yang diamankan itu.

"Sam.. itu motor Sam kan?"

***
 


"KAMU kelihatan khawatir banget, Nuc."

Mendengar itu, Nuca langsung memelankan langkahnya. Ia menggamit tangan Tiara agar mereka jalan beriringan. Tidak seperti tadi. Ia berjalan di depan dengan tergesa sedangkan Tiara di belakang berusaha menyamai langkahnya.

"Kepala kamu masih penuh Lyodra ya?" tanya Tiara tiba-tiba. Di luar dugaan.

"Kamu langsung lupa aku ketika udah menyangkut Lyodra," lanjut Tiara.

Nuca menghela napas dan mengeratkan pegangan tangannya. Tidak ingin terlibat adu argumen di koridor dan menjadi pusat perhatian, Nuca menarik Tiara ke arah taman belakang yang biasanya sepi ketika pagi.
 

"Manusiawi aja, Tir. Aku dan Lyodra itu temen dari kecil. Wajar aku panik dan takut dia kenapa-kenapa ngelihat Samuel kecelakaan seperti tadi," kata Nuca begitu sampai di bawah pohon flamboyan yang saat itu sedang berbunga lebat.

"Tapi kamu udah tahu Lyodra nggak bareng Samuel, kenapa masih panik?"

Mengusap wajahnya kasar, Nuca menghebuskan napas kesal. Ia paling tidak suka jika Tiara sudah begini. "Berhenti besar-besarin masalah sepele. Aku nggak mau ribut cuma karena kamu kayak gini.."

"Kamu selalu menganggap semua hal sepele. Termasuk perasaan aku."

Yang tidak pernah Nuca mengerti sejak dulu adalah membaca hati perempuan. Ia tidak pernah bisa mengerti maunya, tidak paham bagaimana enaknya, tidak tahu harus berbuat apa menghadapinya.

Perempuan bagi Nuca adalah makhluk paling rumit. Lebih dari rumus apapun.

"Aku nggak tahu harus gimana lagi untuk jelasin ke kamu. Semua yang aku kasih rasanya belum cukup ya buat kamu percaya.."

***
"BUBUR apa? ayam apa kacang hijau?"

"Ayam lah."

"Pedes?"

"Nggak. Bungkusin kecap sekalian. Dipisah."

Lyodra masih berdiri di pelataran warung yang menjual bubur di depan sekolah. Tepat di samping SMA Xaverius yang notabene tetangga sekolahnya. Warung tersebut ramai akan anak-anak nonkrong, baik dari BHS ataupun Xaverius. Mereka membaur jadi satu.

Dan sekarang, ia berada diantara mereka. Sebisa mungkin ia tidak terusik dengan cuitan beberapa murid yang menggodanya, untung saja Liam masih setia menungguinya dan menyuruh mereka untuk berhenti.

Selagi menunggu Samuel selesai berbicara di seberang, ia memilih masuk lalu memesan bubur yang Samuel mau. Sekalian untuknya juga karena belum makan siang tadi.

Sebenarnya, ia sudah akan langsung pulang dan tidak berniat sama sekali untuk menjenguk Samuel, tapi, lelaki manja itu menghubunginya terusan. Bahkan saat jam pelajaran sedang dimulai. Hal itu jelas cukup mengganggu. Apalagi, saat jam sekolah berakhir, Liam menghampirinya dan menyampaikan pesan dari Samuel untuk menghampirinya ke rumah sakit. Makanya, sekarang ia berakhir disini. Di warung bubur ayam, untuk memesankan Samuel makan. Makanan rumah sakit terlalu hambar dan tidak enak, begitu katanya.

"Cepetan!"

Lyodra bergumam menanggapi, ia menarik dua plastik kerupuk di atasnya lalu menyodorkannya pada sang penjual agar dijadikan satu bungkus dengan pesanannya.

"Mau apa lagi?" tanya Lyodra.

"Kan gue sakit, beliin buah atau bunga kek! peka lah sebagai pacar."

Bunga kuburan?

Lyodra memutar matanya malas.

Jujur, tadi ia sempat kaget mendengar kabar Samuel kecelakaan dari teman-temannya. Kagetnya sebentar, mungkin tiga detik, lalu detik-detik selanjutnya ia merasa sangat senang dan berharap keadaan Samuel parah, kritis, lalu mati.

Itu sudah sangat cukup untuk Lyodra.

Tapi, nyatanya tidak. Lelaki itu bahkan masih bisa ngomel-ngomel dan marah saat menelponnya.

Kenapa sih, orang jahat matinya lama?

"Lo dengerin gue nggak?!!"

Lyodra tersenyum ketika penjual bubur tersebut mengulurkan pesanannya. Ia membayarnya, mengabaikan sebentar panggilan Samuel sambil menunggu kembalian. "Apa?"

"Beliin gue buah dan bunga!!"

"Ngarep banget sih," ucap Lyodra pelan.

"Gue denger, heh!"

Menahan dirinya agar tidak marah dan terbawa emosi, Lyodra bertanya pelan usai menerima kembalian. "Mau buah apa? bunga apa juga?"

"Terserah."

"Sam.."

"Terserah, pokoknya! Kan lo yang beliin ceritanya-- aduh!! tangan gue anjxr!!cepetan kesini ah!!"

Meskipun tidak sopan dan mungkin menyinggung Samuel, atau bahkan akan membuat lelaki itu marah, Lyodra memutuskan panggilan sepihak. Ia menghampiri Liam dan memberi kode jika ia sudah selesai.

Liam membuang rokoknya kemudian memberikan jaketnya pada Lyodra. Gadis itu menerima meskipun bingung di awal.

 

"Buat nutupin paha lo," kata Liam.

Sampai sini, Lyodra mulai mengerti maksud Liam. Karena lelaki itu membawa motor. Jadi roknya pasti tersingkap sedikit saat naik nanti. Makanya, Liam meminjamkannya jaket.

Setelahnya, mereka pergi.

Liam tidak banyak bicara, masih sama seperti Liam biasanya. Hal itu membuat Lyodra canggung, tidak seperti saat bersama Bennedith yang gampang sekali mencairkan suasana.

***

LIAM pulang, Talitha pulang, Bennedith pulang, semua teman-teman Samuel sudah pulang karena lelaki itu terusan mengeluh dan menggerutu perihal teman-temannya yang berisik. Kepalanya masih sakit, dan mereka terusan bercanda dan ramai. Jadi, Samuel mengusir mereka.

Mungkin karena sadar diri telah menganggu, mereka tidak banyak protes. Mereka semua pulang, meninggalkan Lyodra dan Samuel berdua.
 

"Mana bunga buat gue?!" tagih Samuel memulai percakapan. Masih aja tanya bunga. Padahal, keadaan Samuel tidak bisa dibilang baik-baik aja. Kepalanya dibebat perban, tangannya baret-baret dan diinfus, lengannya luka parah karena terseret di aspal dan sekarang malah dengan entengnya tanya bunga.

Emang minta ditaburin bunga kuburan nih orang.

Lyodra beranjak dari sofa yang didudukinya dan menuju Samuel. Gadis itu meletakkan bouqet bunga krisan di samping Samuel.

"Jangan ditaruh disini, lo pikir gue mau mati apa?!" sentak Samuel. "Taruh di vas. Yang bener! Terus bubur gue juga mana?!"

Sabar..

Sabar..
 

Kepalanya terus mendoktrin Lyodra untuk bersabar, ia meletakkan bunga tersebut dengan hati-hati di vas. Setelahnya, baru mengambil kresek berisi bubur yang dibelinya tadi dan duduk di kursi dekat brankar Samuel.

"Kok dua?"

"Punya gue satu," jawab Lyodra. Gadis meletakkan satu sterofoam yang lain di atas nakas, melainkannya karena itu bubur kacang hijau miliknya. "Ini gimana? lo makan sendiri apa disuapin?"

Samuel langsung merengut. Wajahnya berubah menyebalkan. "Disuapin lah. Lo buta apa? udah tahu tangan gue satu diinfus, satunya lagi luka-luka."

Lyodra berdiri dan membantu Samuel untuk duduk. Gadis itu menyusun bantal-bantal di belakang untuk Samuel menyandar. Setelahnya, ia duduk di pinggiran brankar agar lebih mudah untuk menyuapi.

"Nggak enak, udah encer. Dingin juga," ucap Samuel begitu satu sendok bubur masuk di mulutnya.

"Namanya juga udah dari tadi," jawab Lyodra. Ia meraih gelas berisi air dan memberinya pada Samuel.

"Udah ah. Nggak mau gue."

Tuh kan. Samuel emang menyebalkan. "Ya udah."

Saat Lyodra akan mengambil gelasnya kembali, Samuel menarik tengkuknya dan menciumnya tiba-tiba. Tidak lama, delapan detik mungkin hingga lelaki itu melepasnya kembali.

 

"Pedes, habis makan apa lo?"

Lyodra yang kaget tidak langsung menjawab. "Soto. Sambelnya lima sendok."

Meredakan kembali degup jantungnya yang mendadak berpacu cepat, ia menjauhkan diri dan turun dari brankar karena Samuel tidak mau melanjutkan makannya lagi. Lebih baik ia yang makan.

"Mau kemana lo?!!"

"Makan, Sam. Gue belum makan dari siang tadi."

Samuel berdecak. "Gue juga belum makan dari kemarin malam!!"

"Tapi lo nggak mau makan buburnya."

"Kupasin apel, atau beliin gue makanan di luar sana kek!"

What the hxxx?!! Samuel begitu menyebalkan saat sakit begini.

"Lo mau bubur kacang hijau nggak?"

"Suapin."

"Berdua ya," kata Lyodra dengan wajah memelas. Ia benar-benar lapar dan tadi cuma iseng bertanya pada Samuel. Nggak tahunya lelaki itu malah mau beneran. "Gue lapar banget."

Lalu, di menit-menit berikutnya, mereka duduk di tempat tidur yang sama. Lyodra dengan telaten menyuapi Samuel. Sedangkan lelaki itu makan sambil asik memainkan game ponselnya. Mereka makan berdua.

"Makan dulu habis itu lanjutin main gamenya," ucap Lyodra usai menghela napas. Ia dengan sabar menunggu Samuel selesai mengunyah dan menelan makanannya. "Sam," tegurnya lagi karena lelaki itu begitu lama.

Samuel berdecak kemudian membuka mulutnya dengan fokus tetap pada ponselnya. "Lo udah gede, Sam. Jangan kebiasaan dan terlalu bergantung ke orang lain."

"Siapa yang bergantung ke orang lain coba!"

"Lo. Giliran makan nggak bisa, main game bisa," ucap Lyodra blak-blakan.

"Terserah gue lah."

Lyodra menghela napas. Lagi. "Kalau gue udah nggak ada lo gimana coba, masih manja gini.

"Emang lo mau kemana?" tanya Samuel tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.

Lyodra mengedikkan bahunya. Ia menyodorkan kembali bubur ke mulut Samuel. "Nggak tahu."

"Lo berniat mau kabur dari gue?" tanya Samuel dengan raut wajah berubah mengerikan.

"Bukan gitu."

"Terus? maksudnya apa?"

"Umur kan nggak ada yang tahu, kal--"

"Lo punya penyakit serius," potong Samuel cepat. Lyodra tertawa. Begitu renyah di telinganya.

"Nggak lah."

"Ya terus?"

Lyodra menggelengkan kepalanya. Kembali menyedokkan bubur dan bermaksud menyuapi Samuel kembali.

"Jawab dulu!" ucap Samuel dengan raut wajah kesal.

"Apanya?"

"Yang tadi maksudnya apa?! lo mau kabur kan??!"

"Ya kalau udah nggak ada gue, lo gimana kalau apa-apa harus gue? Nggak ada yang pergi, Sam. Cuma, kita juga nggak akan selamanya buat bareng-bareng terus. Nanti, kita juga lulus sekolah terus kuliah, kerja dan punya keluarga masing-masing. Itu maksudnya."

Samuel menyeringai. Ia memandangi Lyodra dari atas sampai bawah, membuat gadis itu..risih.

"Emang ada yang mau sama lo? bekas gue gitu," ucapnya remeh.

Lyodra jelas sakit hati, tapi ia tidak mau terbawa emosi dan lepas kendali lalu membunuh Samuel dengan cara menikamnya dengan pisau buah di nakas. Apalagi, keadaan Samuel begitu mendukung.

"Ekhem, Sam?"

Suara tersebut membuat Samuel dan Lyodra langsung menoleh. Samuel tersenyum penuh kemenangan melihat seseorang di depan sana. Oh, bukan seseorang, tapi.. dua orang. Dua orang yang tidak lagi berani untuk melangkah lebih dekat. Bahkan, mereka seperti terpaku di tempat.

Mungkin kaget, terlihat dari raut wajah mereka.

Bukan hanya mereka yang kaget, Lyodra, gadis itu juga. Bubur kacang hijau yang tersisa sedikit itu sudah tumpah, berhamburan di kasur. Tapi, Samuel tidak peduli.

Ia lebih tertarik untuk kelanjutan pertemuan yang telah ia setting sedemikian rupa ini.

Gadis itu sudah berdiri menghadap lurus ke depan, ke arah perempuan yanh saat ini berdiri di samping papa Samuel.

Tadi, Samuel bersikeras menyuruh Lyodra untuk menemaninya ke rumah sakit karena Arsenio -papanya- mengabari akan menghampirinya. Sudah dapat Samuel pastikan bersama Rheia yang notabene mama Lyodra. Jadi, anggap saja reuni, juga ajang pengakuan dosa yang sebentar lagi akan Samuel katakan..

"Kok pada diem sih?" kata Samuel memecah keheningan. Lelaki itu tersenyum kecil, begitu sini tapi tidak nampak. Lalu, dengan tanpa dosa, ia berkata..

"Sayang, kenalin, itu papa dan calon mama tiri aku."

Samuel mengatakannya begitu enteng seolah tidak tahu apa-apa pada Lyodra.

Arsenio membelalak tidak percaya. "Sam.."

"Pa, ini Lyodra. Pacar aku."

Damage.

Arsenio jelas kaget, tapi ia tidak bodoh. Ini pasti rencana Samuel karena ia tahu anaknya itu tidak pernah merestui hubungannya dengan Rheia.

"Jangan bercanda kamu, Sam. Apa lagi ini, huh?!!"

Samuel mengerutkan alisnya, sok bingung. "Bercanda gimana? Lyodra pacar aku. Bagian mananya yang bercanda?!"

Arsenio mendekat. "Kamu udah dijodohkan dengan Aurbee sama kakek kamu. Jangan neko-neko kamu!!"

"Sam nggak pernah mau dijodohkan dengan Aurbee. Dan sekarang, Sam sama Lyodra, bukan Aurbee!!"

"Lyodra itu anak Rheia, Sam!!" bentak Arsenio mulai muntab.

Samuel tertawa. Lelaki itu benar-benar berperan seolah tidak tahu apa-apa dan ia adalah korban. "Nggak lucu, Pa. Papa ngerjain aku?"

Arsenio berdecih. "Kamu pasti udah tahu kan? jadi.. apa yang kamu rencanain?!!" tuduh Arsenio.

"Kalau aku tahu, aku nggak akan deketin dan pacarin Lyodra. Aku juga bakal mikir dulu untuk tidur bareng kalau dia emang anak tante Rheia!!" teriak Samuel.

Satu pengakuan yang membuat Arsenio juga.. Rheia kaget.

Lyodra apalagi.

"Kamu tidur bareng dia?"

Samuel mengangguk. "Perlu aku perjelas? Making love, kita pernah ngelakuin itu."

Setelahnya, Rheia, yang sejak tadi hanya diam.. memilih pergi dari ruangan menyesakkan tadi.

Tanpa menyapa Lyodra.

Tanpa menanyakan bagaimana kabarnya di pertemuan pertama mereka. Setelah sekian lama.

"Mama.."

Itu suara Lyodra. Terdengar bergetar dan serak di telinga.

"Kamu gila, kamu di luar batas dan keterlaluan, Sam."

Arsenio pergi.

Dan mereka.. Samuel dan Lyodra kembali berdua.

Bermain dengan hening.

***
 


"SIAPA dia, Sam?"

Oh shit, Samuel mulai gusar. Ini di luar rencananya. Kakek dan neneknya datang tepat sebelum Lyodra pergi.

Dengan Aurbee.

Gadis itu membawa satu bouqet bunga anyelir merah jambu. Meletakkannya di nakas lalu mengamati Lyodra dengan seksama.

 

Harusnya tidak begini..

Harusnya Lyodra pergi dulu, sebelum semuanya bertambah rumit. Dan berakhir seperti sekarang. Saat kakeknya mempertanyakan siapa Lyodra. Dalam konteks lain. Konteks status yang pasti karena kakeknya sudah tahu jelas gadis di sampingnya itu adalah Lyodra. Anak dari selingkuhan papanya.

"Lyodra. Teman aku."

"Hanya teman?" tanya kakeknya sangsi karena tadi melihat langsung kedekatan mereka. Seperti lebih dari teman.

"Memangnya boleh lebih?"

Kakeknya, Abimanyu menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya sudah lebih? Kamu pikir kakeknya bodoh dan tidak tahu hubungan kalian?" Lelaki itu menoleh pada Lyodra lalu bertanya. "Benar kan Lyodra, kamu dan Samuel pacaran?"

Ditanya begitu, Lyodra mendadak bungkam. Ia takut salah menjawab jadi memilih menunduk dan diam.

"Kamu diam berarti benar. Sejauh mana?"

Derap langkah kaki yang mendekat membuat Lyodra mendongak. Jantungnya berdegup kencang saat mendapati Aurbee menatapnya datar. Gadis itu tidak berbicara apapun kemudian duduk di kursi yang ditempatinya tadi. Di samping brankar Samuel.

"Aku dan Lyodra pacaran cuma buat menghalangi kelanjutan hubungan papa dan mama dia. Nggak lebih!!" jawab Samuel karena ia tahu Lyodra pasti tidak akan berbicara karena t

Abimanyu tertawa. "Sampai kapan tenggat waktunya? Selamanya?" tanyanya seolah meremehkan. "Kalian nggak akan berhenti di tengah jalan kan? Kalian pasti akan terus melanjutkan hubungan kalian agar mereka benar-benar tidak kembali. Itu yang kalian rencanakan?"

Sial. Samuel tidak bisa menjawab sekarang.

"Berhenti, Sam. Kamu sudah punya calon tunangan. Jangan bermain-main lagi. Sampai sini kamu mengerti kan?! Jangan berhubungan sama dia lagi!! Mau tujuan kamu untuk balas dendam atau menghalangi hubungan papa dan mama dia, kakek tidak peduli! Yang jelas, kamu harus berhenti, atau kakek yang paksa untuk berhenti.."

Pranggg

Vas dan bunga krisan berhamburan di lantai. Samuel melemparnya, membentur dinding. Cukup keras, sampai-sampai darahnya naik ke selang infus. Beberapa mengalir di tangan. 

Lyodra berjegit kaget.

Aurbee memejamkan mata, menarik napas dan menghembuskannya pelan.

Shora, nenek Samuel, tetap menampakkan ekspresi datar.

Abimanyu tersenyum sinis, mirip Samuel. Begitu menyeramkan.

"Pegang omongan kakek, selama kamu masih membawa gadis itu masuk dalam circle kamu, dia tidak akan pernah kakek biarkan aman."

"Aku nggak peduli."

"Oke kalau itu yang kamu mau. Gimana, kalau kakek percepat untuk dia mati? Biar drama kalian cepat berakhir?"

"Lyodra itu bagian aku, urusan aku. Bukan kakek. Jadi, jang--"

"Kamu mulai cinta dia, Sam?" tanya Shora. Akhirnya, perempuan itu buka bicara.

"Nggak!"

"Kalau gitu, lepaskan dan.. jangan keberatan ketika dia kami buat sengsara, ataupun menghilang. Semudah itu, Sam."

Lyodra yang tidak mengerti apa-apa merasakan kepalanya penuh. Barusaja ia bertemu kembali dengan mamanya, meksipun pertemuannya begitu buruk. Sekarang, ia bertemu dengan keluarga dan.. calon tunangan Samuel.

Mereka menyeramkan.

Sama seperti Samuel.

Mungkin lebih.

Tangannya dingin, ia dapat merasakannya. Untuk menghindari tatapan menakutkan dari nenek Samuel, gadis itu mengambil tasnya. Tanpa pamit, ia berlari keluar.

Kabur.

___________________

Bab 26. Sementara Dengan Jarak

Orang bilang, selain hujan dan senja. Langit dan bintang-bintang juga pandai memutar balik ingatan. Menahannya pada suatu hal di masa lalu dalam kurun waktu yang lama, padahal kita ingin lupa.
 

***
SAMUEL benar-benar diasingkan sepulang dari rumah sakit. Kakeknya memberikan pilihan untuk ke Singapura atau Menteng yang notabene rumah lamanya dulu. Sebagai bentuk usaha menenangkan diri dan rehat sejenak dari banyak hal. Begitu katanya.

Karena tidak ingin terlalu jauh dengan Jakarta, ia akhirnya memilih untuk pulang sementara ke Menteng. Rumah bergaya american colonial dengan halaman luas di depan. Rumah yang menjadi tempatnya pulang dari sekolah, dari jalan-jalan, dari manapun. Dulu.

Tidak banyak yang berubah dari rumah ini. Masih asri dan dingin. Tanaman monstera mulai menjalar di dinding beranda rumah karena tidak ada yang merawat dan memangkasnya. Tapi, rumah ini masih bersih. Tidak ada sedikitpun debu yang menempel di segala sisi karena setiap sore ada orang yang membersihkannya. Apalagi, sebulan dua kali biasanya ia akan menginap disini. Sehabis nyekar di makam mamanya biasanya ia akan menghabiskan sepanjang malam dengan menyusuri ruangan-ruangan yang biasanya mereka penuhi tawa. Sebelum memilih untuk tidur.
 

Dulu, dulu sekali..

Biasanya ia suka menghabiskan waktu di ruang makan, menunggu mamanya selesai membuat pasta ataupun eksperimen lainnya, atau di loteng rumah, melewati malam sambil mendengarkan papanya bercerita tentang mitologi dan segala hal yang berkaitan dengan konstelasi bintang. Semua ruangan di rumah ini begitu banyak menyimpan kenangan, begitu hangat saat itu dan begitu dingin saat ini. Saat dikenang.
 

Samuel masih mengingat dengan jelas, meskipun hanya beberapa. Setiap sore ia bermain di atas trampolin bersama Samira. Berlarian di atas hamparan rumput teki halaman rumah, bersepeda keliling kompleks ditemani papanya lalu mamanya akan menunggu di depan gerbang rumah sambil berkacak pinggang karena mereka pulangnya terlalu larut.
 

Lalu, jika minggu tiba, mereka akan banyak menghabiskan waktu di gazebo belakang. Ia dan Samira akan duduk anteng di kursi gantung sambil mendengarkan dongeng yang dibacakan mamanya. Papanya akan duduk di antara ia dan Samira. Sesekali, mengganggu mamanya yang membaca.

Dan mereka akan tertawa.

Lepas.

Sebelum semuanya berubah dan memburuk hingga sekarang.
 

Samuel tidak dapat berhenti untuk mengingat, satu persatu memori mulai muncul kembali ke permukaan. Dan ia tidak bisa mengalihkan pada apapun sekarang. Jika dalam keadaan yang berbeda, saat kenangan itu kembali biasanya ia mengalihkan fokus ke ponselnya. Tapi, sekarang tidak bisa. Ia tidak dapat melakukan apapun. Saat kakeknya memutuskan untuk menepikannya sejenak, ponselnya disita. Ia tidak dapat bebas berkomunikasi dengan siapapun selama tiga hari ini. Samuel hanya akan pegang ponsel ketika Liam datang dan temannya itu meminjamkannya.

Penjagaannya cukup ketat karena kakeknya menyuruh beberapa orang suruhan untuk menjaga gerak-geriknya. Hanya anggota keluarganya dan Liam yang boleh masuk, karena lelaki itu sudah kenal dekat dengan keluarganya. Makanya mudah diijinkan, berbeda dengan Bennedith.

Tidak ingin mengingat banyak hal lagi, ia memilih untuk memejamkan mata. Membiarkan cicitan burung kenari di atas pohon mangga masuk ke indera pendengarannya. Semakin mempererat pejamanan matanya, semakin gelap.. semakin membuatnya kembali ingat pada bayangan saat mendapati mamanya gantung diri di pohon itu.

Saat ia memanggil-manggil mamanya sepulang sekolah.

Saat ia mencari sosok mamanya ke seluruh penjuru rumah.

Saat ia menuju pintu belakang menuju beranda belakang rumah masih dengan keadaan santai, sesekali ia berteriak memanggil mamanya. Kebiasaan sepulang sekolah jika ingin disiapkan makan siang.

Saat ia berjalan menuju gazebo dan tubuhnya sontak berhenti, jantungnya berdegup kencang ketika mendapati mamanya menggantung disana.

Lalu.. dengan tubuh bergetar hebat. Ia berteriak.

Lalu.. gelap.

Kilasan balik itu mendadak berhenti.

Samuel membuka matanya cepat. Ia merasakan tangannya bergetar. Ia menegakkan tubuhnya, membuat gerakan kecil di kursi ayunan yang didudukinya. Lelaki itu memandang lurus ke depan. Tepat pada pohon mangga yang saat itu mulai berbunga lebat.

Meskipun tidak ingin.

Meskipun tidak mau terlihat lemah.

Samuel menangkup wajahnya, jantungnya berdegup kencang, hatinya sakit. Sakit sekali. Isakan kecil lolos dari bibirnya.

Membiarkan tubuhnya bergetar, Samuel... menangis.
 

***

"AKU mau kita break."

Nuca menghentikan pergerakan tangannya, ia berhenti mengikat tali sepatunya lalu menoleh pada Tiara di sampingnya.

Cukup mengejutkan Tiara mengatakan hal demikian, padahal tadi gadis itu berlaku baik-baik saja dan masih tersenyum saat teman-teman futsalnya menyapa dan mengajaknya bercanda.
 

Sekarang, lapangan sudah sepi, teman-temannya sudah pulang. Hanya tinggal ia dan Tiara berdua. Gadis itu sepertinya mengambil waktu yang pas.

"Break?" tanya Nuca memastikan pendengarannya.

Tiara mengangguk. "Udah berhari-hari aku mikirin ini, aku tahu ini nggak mudah. Tapi, kamu benar-benar butuh waktu, Nuc. Buat sadar gimana perasaan kamu sebenarnya."

Nuca terperangah. "Jangan bilang ini gara-gara respon aku kemarin-kemarin. Soal kecelakaan Sam?"

Tidak ada jawaban dari Tiara, Nuca mulai mengerti titik permasalahannya. Ia menghela napas kasar dan memandang lurus ke depan. Bingung harus bagaimana lagi menghadapi Tiara.

"Setahun lebih, Nuc. Dan aku cuma nunggu dan berharap sendirian. Kamu selalu berhasil buat aku nggak bisa pergi, makanya aku mau ketika kamu ajak aku pacaran. Aku kira, setelahnya semua akan berjalan baik. Ternyata enggak." Kalimat yang dilontarkan Tiara membuat Nuca menggeleng tidak percaya. Gadis itu banyak berubah akhir-akhir ini. Semakin overthingking, suka memperbesar masalah-masalah kecil, dan.. cemburuan.

"Tir.."

"Hubungan kita nggak baik, Nuc."

"Kenapa kamu mikir gitu?"

"Karena kamu masih cinta Lyodra," tuduh Tiara.

Menahan emosinya agar tidak tersulut, Nuca mengepalkan tangannya untuk menahan amarah. Jelas ia tersinggung dengan ucapan Tiara.
 

"Kamu nggak tahu, selama ini, aku bertahan sebatas teman sama kamu ya karena ini. Kalau aku ngajak kamu pacaran dari dulu lalu ada masalah, akhirnya akan seperti sekarang, atau bahkan lebih. Kalau misalnya putus, aku tahu hubungan kita nggak akan bisa kembali sebagai pertemanan lagi. Pasti akan ada yang beda," ucap Nuca panjang lebar. Lelaki itu enggan menatap Tiara, takut pertahanan runtuh. "Ada banyak hal yang aku pikirin sampai akhirnya aku berani ajak kamu pacaran. Aku nggak mau kamu pergi tapi disisi lain kamu belum cukup buat percaya aku. Kamu pikir, cinta sama cinta cukup?"

"Memangnya cinta kamu udah cukup? buat aku?" tanya Tiara dengan suara bergetar.

Seharusnya, Tiara juga mengerti bahwa cara mencintai itu berbeda-beda. Saling cinta tapi tidak saling menerima dan siap untuk bersama adalah definisi yang pas untuknya dan Nuca. Tiara dengan sisi yang tidak bisa percaya dan Nuca dengan sisi yang tidak bisa menerima beberapa sifat buruk Tiara dalam hubungan mereka.

Tiara, dengan kebiasaan overthingkingnya, ia membayangkan hal-hal buruk yang sebenarnya belum atau bahkan tidak terjadi. Masih menduga-duga. Seperti perasaan Nuca ke Lyodra yang bagaimana benarnya. Sedangkan Nuca yang tipikal tidak mudah peka, ia merasa semuanya yang dilakukannya adalah hal yang benar dan sudah cukup untuk Tiara. Tapi, gadis itu selalu merasa kurang tanpa memberitahunya dengan jelas kurangnya dimana.

"Memangnya kamu belum merasa cukup?" Nuca menoleh. Ia melihat Tiara mengangguk kecil. Gadis itu nampak berkaca-kaca sekarang.

"Gara-gara aku panik sama keadaan Lyodra dan sempat mengabaikan kamu kemarin-kemarin terus kamu kayak gini. Udah aku jelasin juga waktu itu."

Tiara menggeleng. Gadis itu menangkup wajahnya dan mulai menangis. "Aku bingung, Nuc.."

Nuca mengusap wajahnya kasar. Ia meraih kedua tangan Tiara agar bisa menatap wajah gadis itu. Tiara semakin kejer membuat Nuca bingung harus bagaimana.

Mereka terlibat saling diam. Nuca dengan pikirannya untuk kebaikan hubungan mereka kedepannya dan Tiara dengan segala ketakutannya.

"Kalau kamu merasa nggak pernah cukup sama aku, kamu boleh pergi, Tir. Aku nggak akan nahan kamu lagi," ucap Nuca pelan.

Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi.

Ia tidak mau Tiara semakin kepikiran dan tertekan karena dugaan-dugaan yang dibuatnya sendiri.

Sedangkan Tiara, tangisnya semakin tumpah. Ia bingung dengan apa yang ia mau. Ketika meminta untuk break ia merasa itu adalah keputusan yang benar. Tapi, saat Nuca benar-benar mau melepaskannya, ia..tidak mau.

"Maaf, udah buat kamu tertekan dan terikat selama ini."

Bukan ini yang Tiara mau.

Demi apapun.

Bukan ini.

"Aku mau break, bukan putus, Nuc."

Dan Nuca paling benci ini. Semua yang dilakukannya seakan serba salah.

***

BINTANG albireo dapat Samuel lihat dalam jarak dekat, sangat jelas dan begitu indah. Ia melihatnya dari teleskop. Melalui jendela loteng yang dibiarkan terbuka. Tempat paling pas untuk menikmati pemandangan langit malam ini.
 

Ia terbiasa mengenal aldebaran, altair, vega, capella, rigel, atau.. sirius, lalu melihatnya dari sini sambil mendengarkan papanya bercerita banyak hal. Tapi, malam ini, ia lebih tertarik pada bintang albireo yang terlihat di langit barat. Bintang ikonik yang berada dalam konslentasi cygnus. Dengan mata telanjangnya, ia bisa melihatnya berpendar sendirian. Tapi, menggunakan teleskop, Samuel bisa melihat jika bintang itu ganda dengan bintang berwarna kuning keemasan dan.. bintang di sampingnya berwarna biru. Lebih redup. Seolah opasitasnya sudah diatur.
 

Dua bintang albireo tadi merupakan kebenaran sistem bintang biner. Maksudnya, kedua bintangnya tidak semata-mata sejajar seperti yang terlihat dari sini, dari bumi. Sebaliknya, mereka berputar di sekitar pusat massa bersama. Tetapi, kedua bintang ini berjauhan dan mungkin membutuhkan waktu 100.000 tahun untuk saling mengorbit. Meskipun kedua bintang ini tampak berdekatan dalam sebuah teleskop.

Bergeser sedikit, ia dapat menemukan bintang deneb. Bintang paling terang dalam rasi ini. Sekali menemukan deneb, ia lalu menemukan bintang vega di rasi lyra dan altair di rasi aquila. Tiga bintang yang termasuk dalam artiresma segitiga musim panas.

 

Langit dari jarak dekat memang sangat indah. Penuh cerita, penuh teka-teki, penuh brankas berisi banyak hal yang menguap dari kepala manusia. Tersimpan disana. Lalu, malamnya, manusia akan berlomba-lomba untuk memandang langit dan meminta memori mereka diputar kembali.

Untuk mengenang. Karena, mengenang ketika malam sambil melihat hamparan bintang di langit begitu menyenangkan. Lebih tenang. Opsi lain setelah hujan pastinya. Karena, mengingat masa lalu ketika hujan merupakan hal yang paling pas dan.. sendu.

"Sam, lo di dalam??!!"

Panggilan itu membuat Samuel menjauhkan matanya dari lensa okuler teleskop lalu menoleh ke arah pintu yang mulai digendor beberapa kali. Itu suara Liam.

"Masuk aja!" teriak Samuel karena malas untuk membuka pintu.

Setelahnya, Liam masuk. Temannya itu menghampirinya lalu duduk di kasur lantai. Tepat di samping Samuel.

 

"Dari Lyodra," kata Liam sambil menyodorkan ponsel ke arah Samuel. Ponsel yang sempat ia pinjamkan dulu. Samuel menerimanya kemudian memandang lekat ke arah Liam.

"Semuanya aman kan?"

Mengerti apa yang dimaksud Samuel, Liam diam, ia berpikir untuk memilih kalimat yang pas sebagai jawaban. "Tiara aman. Gue lihat-lihat suruhan keluarga lo nggak ada yang mata-matain dia lagi. Apalagi, setelah Tiara beneran taken sama Nuca dan lo sama Lyodra. Cuma, mereka kemarin geledah apartement lo dan nemuin album foto lo. Yang ada foto-foto Tiara."

Dulu, saat keluarga Samuel tahu jika Samuel menyukai Tiara, beberapa orang suruhan mulai menguntit kehidupan gadis itu. Alasan lain yang membuat Samuel tidak berani memulai hubungan dengan Tiara karena takut Tiara kenapa-kenapa. Karena, keluarganya bisa berbuat nekat untuk membabas habis apa-apa yang tidak sesuai dengan kemauan ataupun alur yang mereka buat.

"Anjxng. Apa lagi?"

Liam menggeleng. "Nggak ada. Tapi, sekarang Lyodra yang nggak aman. Lelaki itu tersenyum sumir. "Mereka selalu di bekalang dia," lanjutnya.

"Itu aja?"

Liam berguman sebagai jawaban. Ia melihat jam di pergelangan tangannya, sudah larut malam ternyata. "Jangan bilang lo ngajak Lyodra pacaran buat ngalihin agar mereka nggak ngikutin Tiara lagi?"

Samuel tidak menjawab. Dan Liam menganggap jawabannya adalah iya. Sebenarnya, ia tidak habis pikir dengan Samuel. Temannya itu begitu rumit dan.. licik.

"Jangan terlalu jahat, Sam. Kasihan dia."

"Lo nggak tahu apapun."

Liam mengedikkan bahunya lalu berdiri. Beranjak dari duduknya. "Yaudah, terserah lo," katanya. "Oh iya, Samira tahu lo kecelakaan. Tadi dia telfon nanyain keadaan lo terus. Mending lo hubungin balik dulu. Bilang lo baik-baik aja biar dia nggak khawatir."

"Hm."

Sebelum benar-benar pergi dan menutup pintu, Liam berkata. "Lyodra bilang makasih."

"Buat?"

"Udah pinjemin hp."

Lalu Liam pergi. Menutup pintu dan hilang dari pandangan.

Samuel memandang ponselnya lama lalu membuka aplikasi WhatsAppnya. Ia mendengus begitu melihat foto profilnya kembali sama seperti sebelumnya. Lyodra menggantinya seperti di awal. Foto kecilnya. Menggemaskan tapi ia jijik. Itu fotonya dengan Jeffery dulu.

Meskipun bergidik, ia kembali memandangnya. Sekali lagi. Dan tersenyum.

Kemudian, seperti yang dikatakan Liam tadi, ia segera menghubungi Samira.

***

LYODRA tidak pernah bisa tidur nyenyak sejak beberapa tahun yang lalu. Kepalanya selalu berisik. Bahkan, dalam keadaan tidurpun, pikirannya tidak bisa beristirahat karena masalah-masalahnya terbawa dalam mimpi.

Karena insomnianya yang parah, ia sampai bolak-balik ke dokter untuk konsultasi dan pulang dengan membawa kantong berisi obat-obatan. Lalu, ketika malam dan ia belum bisa tidur, ia akan membukanya dan.. meminumnya. Sesuai anjuran dokter. Seperti kali ini misalnya.

Pernah ia merasa kesal dengan keadaannya, lalu meminumnya di atas dosis. Besoknya ia terbangung di atas brankar rumah sakit. Selalu begitu, apalagi waktu masih di Medan dulu. Sekarang sudah lebih baik. Bukan, bukan sekarang. Tapi sebelum Samuel datang, sebelum kedua orangtuanya benar-benar mau bercerai, sebelum Mirabeth akan pergi dan permasalahannya semakin besar.

Sekarang masih sama, bahkan lebih parah dari sebelum-sebelumnya.

Ia tidak bisa tidur, tidak bisa berhenti berpikir dan itu sangat mengganggu.
 

Mengambil empat butir pil dari botol obat di atas nakas, Lyodra langsung meminumnya lalu memasukkan obatnya ke dalam laci. Menyimpannya rapat agar Mirabeth tidak tahu. Karena, selama ini, yang mereka -orang terdekatnya- tahu, ia sudah sembuh dan tidak mengonsumsi obat itu lagi.

Padahal tidak.

Dibalik sifat manja, keras kepala, ambisus, dan menyebalkannya. Ia adalah manusia kuat dan tidak mau membagi keluhannya pada orang terdekatnya. Selalu mencoba terlihat baik-baik saja agar mereka tidak kepikiran. Begitu Lyodra.

Mungkin, oranglain saat ini memandangnya buruk. Ia akan membiarkan. Bagaimanapun, mau sebaik apa, jika mereka memang membencinya. Mereka akan terus begitu tanpa peduli kebaikannya. Makanya, ia cenderung tidak peduli dan bodo amat dengan perkataan orang-orang. Meskipun sakit hati, ia tidak mau terlihat lemah. Makanya, ia selalu mendongakkan kepala, agar mereka tahu kalau ia tidak selemah itu untuk peduli lalu menangis karena pandangan mereka.
 

Lyodra meraih ponselnya yang tergeletak di kasur. Itu baru dibelinya kemarin, bersama Ziva dan Keisha saat mereka pulang sekolah dan jalan-jalan ke PIM. Tiga hari belakangan ini ia merasa lebih bebas, ia bisa hangout bareng teman-temannya tanpa memikirkan semua ancaman Samuel. Ia bersyukur lelaki itu tidak masuk sekolah dalam waktu yang lama. Semoga saja keadaan Samuel tidak pernah membaik dan tidak akan pernah kembali ke sekolah. Kalau perlu mati karena ia ingin bebas.

Hampir lima belas menit berselancar di Instagram, membalas pesan teman-temannya, nonton video terbaru Nessie Judge. Hingga ia bosan dan memilih untuk mematikan ponselnya lalu menyimpannya di atas nakas.

"Tidur, Lyodra. Udah malam.."

Suara itu membuat Lyodra berbaring dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia merasa lebih tenang sekarang dan rasa kantuk perlahan menyerangnya. Sepertinya, obat tadi telah beredar, mengalir bersama darahnya. Menuju syaraf. Ia memejamkan mata.

"Berhenti, Ly. Untuk malam ini. Berhenti berpikir apapun."

Lyodra mengenalnya. Itu seperti suara Samuel. Lyodra dapat mendengarnya sayup-sayup. Seperti berbisik di telinga tapi kedengarannya jauh.

Matanya terpejam. Kepalanya berhenti memikirkan semua permasalahannya. Tapi, kenapa sekarang Samuel mengambil alih pikirannya?

Hanya karena kalimat tadi. Kalimat yang pernah Samuel ucapkan saat di Festival Jazz dulu.
 

"Sam.. pergi."
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Retrouvailles [27, 28]
7
2
TW/CW 🔞Selamat membaca duluaannn 💐✨pSemoga ceritaku bisa menghibur hari-harimu. Terima kasih juga udah mampir😽🌷🦢
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan