Retrouvailles [6, 7, 8]

0
0
Deskripsi

Selamat membaca 💐✨

Semoga ceritaku bisa menghibur hari-harimu. Terima kasih juga udah mampir😽🌷🦢

Bab 6. Memories Bring Back You
 

"Tolong sadar diri, dia tidak cinta kamu."

***

LYODRA memandang kagum pada Keisha yang terlihat begitu energik di depannya. Gadis itu menari, mengikuti alunan lagu Look What You Made Me Do-nya Tailor Swift dengan sangat memukau. Pantas saja temannya itu digadang-gadang menjadi kapten cheersleader tahun ini. Selain memiliki body yang goals banget, ia juga jago dance.

Benar seperti yang dikatakan Ziva.

Padahal, kalau dilihat-lihat, tampang dingin dan sinical Keisha sangat kontras dengan kemampuan yang dimilikinya. Siapa yang menyangka kalau gadis cuek itu jago dance juga.. calon kapten cheersleader? Belum lagi soal dirinya yang juga jago basket. Ah, pokoknya Keisha penuh kejutan. Semua hal tentang Keisha juga sulit sekali untuk ditebak. Makanya, sampai saat ini ia masih sulit untuk mengerti teman barunya yang satu itu.

"Hah capek!" seru Keisha begitu duduk selonjoran di dekat Lyodra. Ia menenggak habis minumnya kemudian menoleh. "Lo ngapain disini? nggak pulang?" tanyanya pada Lyodra.

"Belum dijemput. Kak Abe lagi ada show hari ini. Mungkin setengah jam lagi baru balik dan jemput gue," jawab Lyodra.

"Naik grab kan bisa, nggak kasian kakak lo cape apa masih jemput kesini?!" ketus Keisha seperti biasa. Meskipun ada benarnya juga sih.

Lyodra menghela napas. "Biasanya gue emang diantar jemput," balas Lyodra tidak mau kalah. Lagian kakaknya tidak keberatan untuk itu karena memang kewajibannya atas perintah papanya.

"Mandiri kek. Ubah kebiasaan lo buat bergantung ke kakak lo. Dia pasti capek pulang kerja masih muter buat jemput lo."

"Kakak gue juga nggak keberatan, kenapa lo yang sewot sih?"

"Dibilangin juga, terserah lo lah," ucap Keisha. Ia membenarkan talian sepatunya. Setelah itu berdiri. "Lagian ngapain juga kesini, lo dijadiin bahan omongan tau nggak sama mereka, nggak malu apa," katanya dengan nada menjengkelkan di telinga Lyodra. Memang sih sejak ia masuk ruangan ini, semua mata seolah menyorot ke arahnya.

"Gue nggak peduli."

"Emang nggak punya malu lo. Berhenti bikin sensasi dan jadi sorotan satu sekolah. Lo belum genap sebulan udah banyak skandal tau nggak."

"Mereka aja yang lebay!"

"Lo yang lebay. Bukan mereka."

Tanpa menoleh kembali, Keisha berjalan ke tengah ruangan. Bergabung dengan anak dance lainnya. Lalu mereka kembali latihan.

Nggak sopan.

Lyodra bergegas berdiri untuk keluar ruangan. Maksud Keisha apa sih? Selalu saja sinis kepadanya, padahal maksud Lyodra nyamperin cuma pengen tahu aja gimana club dance. Sekaligus nemenin Keisha. Tapi, respon temannya itu malah bikin kesal dan ngungkit-ngungkit permasalahan yang lainnya. Kalau nggak suka ya bilang aja apa susahnya sih.

Daripada emosi dan menyulut pertengakaran, ia memilih pergi dan turun ke lantai satu.

Sebaiknya ia pulang saja.

***

SEPERTI yang Keisha anjurkan tadi, ia naik grab. Tapi, Lyodra tidak pulang ke apartement. Ia memilih menghabiskan sore dengan menyusuri jalanan komplek menuju rumahnya yang dulu. Ia memang sengaja turun di gapura depan lalu jalan kaki.

Jalanan itu masih sama dan tidak banyak yang berubah. Jejeran pohon flamboyan di sisi kanan kiri jalan masih rimbun, bunganya gugur bahkan menutupi aspal jalanan. Dulu, kalau hujan, ia suka berlarian disini bersama Nuca. Kemudian mamanya akan berteriak memanggilnya dari kejauhan. Menyerukan namanya lalu menyuruhnya pulang.

Ada banyak kenangan yang mungkin tidak berarti dulu, tapi sangat berarti jika diingat kembali. Untungnya, ia memiliki daya ingat fotografis. Bau tanah selepas hujan, gemericik dedauanan yang mengering saat kemarau, suara Nuca yang begitu lembut di telinganya, warna cat pertama di kamarnya, bagaimana detail masa sekolah saat melewatinya bersama Nuca. Dan masih banyak hal lainnya saat itu.

Lyodra masih ingat.

Semuanya.

Hampir sepuluh menit melewati jalanan panjang itu, ia berhenti di depan rumah dengan pagar yang menjulang tinggi. Rumah itu tidak banyak berubah ternyata. Hanya cat pilarnya yang diubah menjadi warna cream. Beberapa sudut bangunan juga catnya sudah berubah. Lyodra dapat melihatnya dengan jelas melalui celah-celah pagar.

Di tempat itu ia lahir dan dibesarkan. Saksi dimana kehidupannya banyak dimulai. Sayangnya, sekarang rumah itu sudah menjadi milik orang lain. Mustahil untuk ia kembali. Tiba-tiba saja ia jadi rindu keluarganya. Biasanya, setiap sore begini, ia akan duduk di ruang keluarga sambil nonton TV. Mamanya akan pulang tepat sebelum jam lima sore lalu mereka akan makan malam berdua. Kakaknya daridulu memang tinggal di apartement, sedangkan papanya jarang pulang karena pekerjaannya sebagai pilot begitu memakan waktunya. Mereka akan benar-benar berkumpul jika sudah menentukan jadwal sebelumnya. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena ada saja kendalanya.

Keluarganya bukan termasuk keluarga yang sangat harmonis. Kedua orangtuanya workaholic, meskipun begitu, mereka begitu menyayangi kedua anaknya. Meskipun..

Lyodra menggelengkan kepalanya, membuang pikirannya soal banyak hal yang telah dilewatinya saat itu. Mau bagaimanapun, semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekuat apapun memberontak, semuanya tidak akan terulang. Ia hanya perlu melanjutkan hidup dan.. menutup perlahan soal luka di masa lalunya.

Ia harus bahagia, itu kata papanya.

Kalimat yang selalu dibisikkan setiap menjelang tidur. Setiap bangun pagi, setiap sebelum papanya berangkat kerja, setiap hari.

Dirasa sudah cukup bermain dengan kenangan. Lyodra berbalik. Ia berjalan ke arah rumah di seberangnya. Ah, ternyata banyak sesuatu yang masih sama. Itu rumah Nuca. Dulu, ia sering main di halaman belakang rumah lelaki itu. Main trampolin, main domino di gazebo, main petak umpet hingga merecoki mama Nuca yang sibuk memasak di dapur.

Lyodra menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah mengumpulkan keberanian, ia memecet bel yang berada di pagar tembok sebelah gerbang.

Satu kali.. dua kali.. tiga kali.. empat kali.. lalu gerbang terbuka. Lyodra menahan napas, ia haru melihat mama Nuca sudah berdiri di hadapannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis tapi gagal. Ia menangis.

Rindu itu terkumpul hingga penuh lalu terlepas begitu saja. Rasanya lega begitu sebuah tangan membawanya ke dalam pelukan.

"Lyodra kangen Tante Nara.."

***

"KENALIN Ly, ini pacar Nuca," kata Nara dengan begitu bangganya sambil tersenyum lebar. Lyodra menatap gadis yang dimaksud mama Nuca datar. Baru saja ia merasa tenang setelah mendapat pelukan dan sambutan haru dari Nara, tapi begitu masuk sebuah pernyataan tepat menusuk hatinya. Bagaimana tidak, perkataan gamblang barusan telak membuatnya terlempar jauh. "Namanya Tiara. Dia ini satu angkatan sama Nuca," lanjutnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Kemudian, ia menoleh pada gadis bernama Tiara yang dimaksudnya tadi. "Ra, ini Lyodra. Dia temannya Nuca. Rumah dia dulu di depan itu," katanya pada Tiara.

Tiara tersenyum ke arahnya, tapi Lyodra tidak membalasnya. "Dia adik kelas aku di sekolah kok, tan," katanya sopan pada Nara. Suaranya halus banget. Bikin siapapun yang mendengarnya merasa tenang.

"Oh ya?!" Nara sedikit kaget. Ia kembali menatap Lyodra. "Kamu pindah ke BHS berarti?"

"Iya tante," jawab Lyodra sambil tersenyum kecil.

"Udah ketemu Nuca dong?! Tapi kok dia nggak cerita apa-apa ke tante?"

Gimana mau cerita, Nuca aja enggan menanggapinya di sekolah. Lelaki itu bahkan tidak segan-segan menunjukkan ekspresi risih saat didekatinya. Lyodra menatap Tiara yang saat ini juga menatapnya. Jika gadis itu menunjukkan senyum hangat pertemanan, Lyodra justru memandangnya dengan sorot tidak suka. "Umm, aku sama Kak Nuca belum ketemu di sekolah. Mungkin karena aku masih sering di kelas dan jarang keluar jadi ya gitu.." ujar Lyodra berbohong.

Nara mengangkat sebelah alisnya. Tapi, tak urung ia mengedikkan bahunya, "Hmm.. iya juga sih. Lagian Nuca juga cuek ke sekitar. Nggak menutup kemungkinan dia nggak tau kalau kamu pindah kesana," katanya. Lyodra hanya tersenyum menanggapi.

Suasana jadi tidak nyaman bagi Lyodra. Semuanya diluar ekspektasinya. Alurnya sangat plot twist. Apalagi soal Tiara. Jadi, gadis yang sering bersama Nuca itu sudah resmi menyandang status pacar Nuca? Pantas saja Nuca selalu menghindarinya. Tapi, ia masih belum bisa menerima. Bukan ini yang ia mau.

Jika Tiara bisa merebut Nuca, sahabat kecilnya, lantas kenapa ia tidak bisa merebut Nuca kembali dari gadis itu?

Tidak peduli ia akan disebut tokoh antagonis nantinya, yang jelas Nuca harus tahu arah pulang dan kembali kepadanya.

"Mama.. ayam gorengnya gosong!!"

Teriakan itu menggema dari bagian dalam ruangan rumah. Kebetulan mereka sedang berada di ruang keluarga yang letaknya lumayan dekat dengan sumber suara, jadi dengan gerakan refleks, Nara langsung berdiri dan lari tergopoh-gopong setelah pamit pada dua gadis yang sejak tadi ngobrol dengannya.

Beberapa detik kemudian, sebelum Lyodra ataupun Tiara memulai pembicaraan, sebuah suara yang sangat familiar terdengar dari arah belakang mereka.

"Lo ngapain disini?"

Lyodra langsung berdiri dan menghadap langsung ke arah lelaki yang berdiri di dekatnya.

Nuca.

Lelaki sepertinya baru selesai mandi, rambutnya basah sedikit dan wajahnya terlihat lebih fresh.

Lyodra mencoba menenangkan dirinya. Jantungnya mendadak berdegup kencang. "Aku.."

"Gue udah bilang jangan gangguin gue lagi, ngeyel banget dibilangin," kata Nuca tajam.

Lyodra menunduk. Nuca mempermalukannya di depan Tiara. Ia ingin marah tapi masih tau tempat dan cukup sadar diri.

"Lo masih punya malu kan?"

"Nuca.. udah," sela Tiara menyela sebelum Nuca berkata yang lebih menyakiti Lyodra. Tiara menghampiri Lyodra, ia menggenggam erat tangan gadis itu lalu menatap Nuca tajam. "Kamu masuk kamar aja sana, nanti kalau makanan udah siap aku panggil," katanya.

"Tir.. kamu--"

"Udah sana. Nanti ribut ketahuan tante Nara berabe urusannya, kamu ke kamar aja sana. Atau nonton TV aja nih, biar aku sama Lyodra yang pergi."

Tiara kemudian menarik Lyodra menjauh dan berjalan ke arah dapur. Iya dapur. Lyodra masih hafal tata letak ruangannya.

"Nuca emang suka ceplas-ceplos ngomongnya, mungkin dia lagi capek. Jangan diambil hati. Mending kita bantuin tante Nara masak dan siapin makanan," kata Tiara sambil tersenyum.

Lyodra enggan membalas. Ia melepaskan tangannya lalu menatap Tiara tidak suka. Entah kenapa, normal atau tidak, ia jadi kesal dan benci Tiara. Padahal gadis itu tidak bersalah.

"Nggak usah sok baik ke gue. Gue nggak butuh," ucap Lyodra songong. Mengabaikan tatapan bingung Tiara, Lyodra berjalan terlebih dahulu ke arah dapur.

Kalian pernah nggak sih, benci dan kesal kepada orang yang notabene pacar dari orang yang kita mau keberadaannya?
 

________

Bab 7. Satu Hal di Masa Lalu

Hujan, tolong jangan kurang ajar dengan membawa banyak kenangan. Otak aku mungkin siap, tapi hati aku belum. Barusaja sembuh. Nanti dulu ya turunnya, biar nggak patah lagi.
 

*** 
 
"KAMU pulangnya sama Nuca aja, sekalian nanti nganterin Tiara," kata Nara pada Lyodra.

Lyodra yang mendengarnya jadi urung menyuapkan nasi ke mulut. Ia menoleh dan tersenyum kecil ke arah Nara. "Nggak usah tante. Aku naik grab aja, kalau enggak minta jemput Kak Abe," tolaknya halus. Kalau ia menerima tawaran Nara, Nuca pasti akan keberatan dan tidak suka.

Nara menggeleng. "Di luar hujan deras. Kamu nggak kasian sama kakak kamu jauh-jauh kesini. Apalagi dia pasti cape pulang kuliah masih kerja dan sekarang jemput kamu. Kalau naik grab, ini udah malem. Bahaya. Nggak ada jaminan kamu aman sampai tujuan."

Hampir saja ia lupa, dibalik kelembutannya sebagai seorang ibu, Nara adalah sosok perempuan yang tegas dan tidak bisa dibantah.

Lyodra tidak menjawab lagi. Ia melirik ke arah Nuca. Lelaki itu sangat kentara memperlihatkan raut keberatan. Ia bahkan cepat-cepat menyudahi makannya.

"Arah rumah Tiara dan apartement kak Abe berlawanan, ma. Nanti malah ribet kalau aku masih muter sana sini," protes Nuca.

"Terus Lyodra kamu suruh pulang naik apa? Mobil satunya kan dibawa Richard sama Papa, satunya dibawa kamu. Masa iya mama yang mau anter Lyodra pakai motor?"

"Lyodra bukan anak kecil lagi. Tadi aja dia bisa kesini  dengan selamat. Kenapa pulangnya enggak?" jawab Nuca tidak mau kalah. Bukannya ia membangkang. Hanya saja rute yang harus dilewatinya nanti memang akan jauh dan ribet karena arah tempat yang berlawanan. Apalagi di luar hujan turun sangat deras. Coba saja Lyodra tidak kesini dan ngerepotin, sudah pasti keadaannya tidak seperti ini.

Nara melotot. "Kamu ini dibilangin ngeyel. Yaudah kalau gitu kamu di rumah aja. Biar mama yang anterin Tiara sama Lyodra pulang."

Nuca tidak menanggapi. Ia menjauhkan piringnya kemudian menoleh ke arah Tiara yang sudah selesai juga. "Minum terus ambil tas kamu, siap-siap pulang," perintah Nuca pada Tiara. Melihat sikon yang tidak memungkinkan, Tiara menurut. Ia meminum airnya hingga tandas. Kemudian pamit untuk ambil tasnya yang berada di ruang tamu. Sebelum benar-benar berbelok ke arah ruang tamu, ia masih dapat mendengar ucapan mama Nuca yang masih berlanjut.

"Ambil kunci mobil kamu. Selesai makan biar langsung," kata Nara.

Nuca mengusap wajahnya. Meskipun enggan, akhirnya ia mengalah. "Nuca aja yang nganterin. Mama nggak bisa fokus nyetir kalau hujan."

"Enak aja. Kamu ngeremehin mama?"

Nuca menghembuskan napas lelah. Kan. Jadinya debat. "Bukan gitu, ma. Maksudnya tuh.. ah pokoknya Nuca yang anterin mereka. Udah."

Mendengar perdebatan tersebut, Lyodra jadi tidak enak. Nafsu makannya mendadak menguap. Padahal ia belum makan sejak tadi siang.

Seharusnya ia memang tidak kesini tadi siang. Ia mengira semua keberaniannya terkumpul tapi nyatanya tidak. Menjadi pemberani dan tokoh antagonis tidak semudah yang ia bayangkan. Apalagi ketika berhadapan dengan Nuca langsung seperti sekarang ini.

Jika di awal ia bisa senekat kemarin-kemarin. Semakin kesini, ia sadar bahwa Nuca memang merasa terganggu oleh keberadaannya. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu menunjukkan ketidaksukaannya. Dan itu cukup membuatnya sadar bahwa.. Nuca tidak lagi membutuhkannya.

***
 
JALANAN Jakarta masih saja ketika hujan. Padat lalu lalang kendaraan dan bunyi klakson semakin sering terdengar. Lyodra seperti dapat merasakan hawa dingin di luar padahal jendela mobil tertutup rapat dan AC menyala dengan suhu yang lumayan tinggi. Tampias air hujan membuat kaca berembun. Ia mengguratnya dengan telunjuk. Membentuk pola abstrak. Lalu menghapusnya lagi. Membentuknya lagi. Begitupun seterusnya.


Nyatanya, ada banyak hal yang terlintas ketika hujan begini. Memori lama seolah terobrak-abrik dan muncul ke permukaan. Membuat isi kepala jadi penuh, pengap, dan berdesak-desakan keluar untuk kembali diingat. Kadang, hujan tidak mengerti, kepala tidak mau peduli bahwa hati belum siap menanggung imbasnya.

Lyodra menghentikan guratannya. Ia memejamkan mata, membuat air mata yang menggenang sejak tadi turun. Tiba-tiba saja bayangan sosok perempuan yang sudah lama tidak dilihatnya terlintas di pikiran. Ia sudah mencoba menyingkirkan bayangan itu, tapi satu persatu kilasan balik ketika mereka bersama menyusul kemudian. Saat berbincang di ruang makan, saat berjemur di rooftop rumah, saat perempuan itu memotong poninya, semuanya memaksa untuk diingat. Entah kapan terakhir kali mereka bertemu, yang jelas..

ia rindu mamanya.

Bukan tanpa alasan ia pergi dan pindah ke Medan tiga tahun lalu. Memutus kontak dengan orang-orang terdekatnya disini dan menghilang begitu saja. Semua ada alasannya. Di usinya yang baru menginjak tiga belas tahun, ia sudah dituntut untuk memikirkan banyak hal dan bisa memutuskan untuk memilih. Semuanya terlalu tiba-tiba.Padahal, sebelumnya, hidupnya baik-baik saja. Tapi, satu kesalahan besar di masa lalunya membuat hidupnya berantakan. Makanya, jika saja waktu bisa diulang, ia mau menjadi kurang ajar dan memilih untuk tidak dilahirkan saja.

"Lo mau mampir dulu nggak, Ly? Gue ada adek cowok gan--"

"Nggak usah, dia tunggu disini aja. Lagian aku nggak lama. Cuma nyamperin mama sama papa kamu habis itu pulang. Udah malem soalnya," potong Nuca sebelum Tiara melanjutkan tawarannya.

Lyodra tidak menggubris keduanya. Toh, sejak tadi mereka berbicara tentang banyak hal tanpa melibatkannya. Seoalah-olah ia tidak ada.

Ya, Lyodra memang pulang diantar Nuca. Ia duduk di kursi belakang sedangkan Tiara di samping Nuca. Ia sudah mirip obat nyamuk sejak tadi. Kedua orang di depannya itu asik berbincang soal dunianya sendiri. Kadang membahas politik, lagu yang baru rilis, pelajaran, dan banyak hal lain yang tidak ia mengerti.

Seperti itu saja cukup. Cukup menunjukkan bahwa posisinya memang sudah tidak penting lagi bagi Nuca.

Lyodra mengusap kaca mobil dengan telapak tangannya. Mereka sudah sampai di depan rumah Tiara. Dari dalam sini ia bisa melihat Nuca dan Tiara berjalan berisisian dalam naungan satu payung. Meksipun berat mengakui, tapi benar seperti yang teman-temannya katakan, Nuca dan Tiara itu cocok dan nampak serasi sekali.

Mengalihkan rasa bosannya menunggu Nuca kembali, ia membuka ponselnya dan mulai main game Candy Crush. Banyak detik dan menit yang telah ia lewati. Bahkan, ia sudah membuka sekitar sebelas kuncian level dan Nuca belum kembali. Kalau diperkirakan, sudah hampir setengah jam berlalu.

Kesal dan merasa tidak dihargai. Lyodra menutup gamenya dan memasukkan poselnya ke dalam saku kemeja. Ia menoleh ke jok depan dan mengambil payung yang berada di bawah dashboard. Mengabaikan semua kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, Lyodra membuka pintu mobil dan membentangkan payungnya.

Ia tidak mau menunggu Nuca lebih lama lagi.

Sialnya, rumah Tiara begitu jauh dari jalan raya utama. Ia sudah berjalan sekitar dua ratus meter lebih, tapi gerbang kompek yang dilewatinya tadi masih belum terlihat.

Sudah hampir jam sembilan tapi mobil Nuca belum juga terlihat melewatinya. Lelaki itu benar-benar keterlaluan. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa ia terlupakan begitu saja. Padahal bisa saja Tiara mengingatkan lelaki itu bahwa ada orang lain yang masih menunggunya di dalam mobil sendirian.

Ia memainkan payungnya sambil memperhatikan  layar ponselnya. Ia sedang membuka aplikasi grab tapi ia tidak bisa search karena jaringannya jelek. Lyodra menghela napas sambil terus berjalan. Memutar-mutar payungnya sambil melihat kembali layar ponselnya. Ia menekan tombol back, bermaksud me-restart ponselnya agar signal kembali lebih baik. Tapi, belum sempat mematikan ponsel, sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal mengurungkan niatnya. Ia mengerutkan dahinya bingung, ia sudah akan mereject panggilan tersebut tapi ia urungkan niatnya, takutnya penting.

"Halo? Ada yang bisa dibantu?" tanya Lyodra berusaha sesopan mungkin.

"Halo, babe. Sendirian aja nih jalannya. Mau gue anterin nggak?"

Deg.

Lyodra langsung waspada. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Jalanan komplek sepi, mungkin karena hujan jadi tidak ada yang keluar. Hanya ada beberapa mobil yang melintas melewatinya. Ya. Tidak ada siapa-siapa lagi kecuali mobil hitam yang terparkir sedikit jauh di belakangnya. Tepat di bawah tiang listrik, membuat lampu jalanan itu menyoroti mobil


"Nggak usah ketakutan gitu dong, gue samperin ya,"  kata orang itu lagi

Kalimat itu berhasil membuat Lyodra panik. "Jangan macem-macem lo, Sam. Gue bisa teriak!"

"Uh nggak takut," ejek seseorang -yang ternyata Samuel- seolah meremehkan.

Lyodra semakin ketakutan. Ia tahu bagaimana nekatnya Samuel. Demi apapun ia menyesal pernah berurusan dengan lelaki satu itu. Melihat lampu mobil mulai menyala, ia semakin kalut. Mau tidak mau, ia harus cepat sampai di jalan raya utama dan minta tolong satpam disana.

Mengabaikan hujan yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda, Lyodra berlari. Ia membuang payungnya agar leluasa berlari dari kejaran Samuel. Jantungnya berdegup kencang, ia tidak berani menoleh ke belakang. Yang harus ia lakukan sekarang adalah berlari sekencang mungkin. Napasnya mulai ngos-ngosan. Bagaikan sprint di awal, sekarang ia sudah tidak kuat berlari lagi.

Mobil Samuel berhasil menghadang jalannya. Hal itu membuatnya otomatis berhenti. Samuel keluar dengan jaket membungkus tubuhnya.

"Mau lari kemana hm?" tanya Samuel yang sudah berada di depan Lyodra.

"Berhenti gangguin gue brengs*k!! Gue nggak punya masalah apapun sama lo lagi!!"

"Oh ya? Gimana kalau misalnya masih ada masalah antara lo dan gue?"

"Maksud lo apa?!"

"Santai dong jangan ngegas. Harusnya gue yang marah bukan lo," kata Samuel dengan santainya.

"Brengs*k lo emang!! Orangtua lo nggak ngedidik lo ya?! Kasian ba--"

Plak

Lyodra terpental. Ponsel dan rantang yang dipegangnya sampai jatuh. Dengan kurang ajarnya, Samuel malah menendang rantang berisi sop yang dibawakan mama Nuca usai menampar gadis itu.

"Yang brengs*k itu nyokap lo, sial*n!" bentak Samuel dengan napas memburu.

"Berani banget lo ngatain nyokap gue!!" balas Lyodra kesal.

"Kenapa? Nyokap lo itu emang brengs*k, pec*n sial*n!! Gara-gara dia nyokap gue meninggal!!"

Melihat Lyodra tidak lagi berkutik, Samuel menunduk. Ia mencengkram kasar dagu Lyodra. "Nyokap lo itu pelac*r," desisnya kemudian menghempaskan Lyodra begitu saja.

Sedangkan Lyodra masih bungkam. Antara tidak terima dan shock. Ia meraih ponselnya yang sudah mati lalu berdiri. Ia memandang nyalang ke arah Samuel. "Berheti jelek-jelekin nyokap gue. Lo nggak tahu apapun!!"

Samuel berdecih. "Gimana bisa gue nggak tahu kalau nyokap lo melac*urin dirinya ke bokap gue?!" tanya Samuel sambil menyentak. Ia tersenyum sinis. Pandangannya tidak lepas dari Lyodra. "Nyokap lo itu simpenannya bokap gue!" lanjutnya tajam. Plot twist dan membuat Lyodra tercekat. Ia tidak bisa mengatakan apapun lagi.

Tuhan, tolong panggil Lyodra malam ini.

________

Bab 8. Pluviophile
 

Sederas-derasnya hujan, pasti akan ada titik redanya. Jadi, nggak perlu khawatir. Nggak perlu takut. Yang patah akan pulih. Yang hilang akan ada ganti. Yang pergi, semoga cepat kembali.
 

***

"SEMUA ada dalam kendali gue. Kalau lo macem-macem, skandal orangtua lo akan gue bongkar," ancam Samuel. Lyodra hanya diam saja. Memandang kosong ke arah layar yang menampilkan foto-foto vulgar mamanya. Air matanya tidak berhenti mengalir, meskipun ia menahannya mati-matian.
 
Sebenarnya ia sudah tahu hal ini. Sudah bukan hal yang begitu mengagetkan. Karena, alasan ia pergi dan pindah ke Medan adalah permasalahan ini. Papanya memboyong keluarganya pindah agar mamanya berhenti bekerja dan jauh dari selingkuhannya. Tapi, nyatanya gagal, belum setahun tinggal di Medan, mamanya kabur dari rumah dan sekarang tidak diketahui dimana keberadaannya. Papanya juga sudah tidak begitu peduli akan hal itu. Fokusnya sudah pada anak-anaknya saja.

Tapi, yang membuat Lyodra kaget adalah selingkuhan mamanya yang ternyata ayah Samuel. Dan.. skandal lain soal papanya yang ternyata juga sama. Entah siapa yang memulai, yang jelas kedua orang tuanya sama saja. Sama-sama selingkuh.

"Gue bukan tipikal orang pemaaf yang bisa lupa dan mengampuni kesalahan orang-orang yang pernah jahat gue. Mustahil buat gue nggak balas dendam ketika orang tersebut udah membuat kesalahan fatal yang ngehancurin hidup gue," kata Samuel lagi. Lelaki itu sudah berdiri di hadapannya lalu bersedekap.

Jadi, sekarang ia terjebak di apartement besar Samuel. Lelaki itu menyeretnya paksa meskipun ia memberontak sekuat tenaga tadi. Ponselnya jatuh dan mati. Tidak ada yang bisa dimintai tolong.

Ia sudah tidak memikirkan apapun kecuali Mirabeth. Mirabeth pasti sedang mencarinya.

"Nyokap lo itu adalah orang yang paling nggak tahu diri. Beberapa tahun yang lalu, dia nyari pekerjaan sana sini sampai akhirnya nyokap gue, yang merupakan temen sekolahnya dulu datang bawa kabar baik. Dengan murah hatinya, nyokap gue kasih jabatan auditor di salah satu perusahaan kita. Tapi, dengan brengs*knya, nyokap lo yang nggak tahu terimakasih itu godain bokap gue dan mengambil alih perhatian bokap gue. Emang basicnya jal*ng. Jadi, masalah begituan dia gampang," papar Samuel.

Lyodra memejamkan matanya. Ia jelas sakit hati mendengar semua ucapan Samuel. Anak mana yang tega ibunya dibilang jal*ng, brengsek, sial*an dan umpatan lainnya? Tidak ada.

"Dua tahun nyokap gue harus bolak-balik psikiater karena masalah itu, sampai di ulang tahun pernikahan bokap nyokap gue yang ke 14, nyokap gue mengakhiri hidupnya setelah dapat hadiah gugatan cerai dari bokap gue. Lo tahu karena apa? Karena nyokap sial*n lo itu!!"

Samuel mematikan layar di depannya. Menutup semua foto-foto sialan itu lalu memandang Lyodra yang masih bungkam sejak tadi. Samuel benci Lyodra. Wajah gadis itu mirip sekali dengan ibunya.

Di hari pertama ia melihat gadis itu, sebenarnya ka sudah tahu semuanya dari jauh-jauh hari. Tapi, ia memilih diam. Menunggu gadis itu yang memulai masalah.

Beruntungnya, ketika dengan sengaja ia menendang bola ke arah gadis itu. Emosinya langsung terpancing dan menyulut keributan. Dan ia merasa sangat puas mempermalukan gadis itu di hari pertama sekolahnya sebagai anak baru.

"Kenapa lo seolah nyalahin semuanya ke nyokap gue, padahal bisa aja bokap lo duluan yang godain nyokap gue," kata Lyodra dengan suara serak.

Samuel menyeringai, dalam keadaan seperti ini pun gadis itu masih keras kepala dan tidak mau mengalah. "Gue nggak peduli siapa yang memulai, yang jelas, nyokap lo ikut andil yang besar soal kematian nyokap gue. Kadang gue heran, motivasi nyokap lo jadi pelakor itu apa? Kurang harta atau kurang belaian karena bokap lo jarang pulang?"

Lyodra berdiri dan hendak menampar Samuel. Tapi, Samuel lebih cepat menahannya. "Harusnya sebelum meninggal, lo suruh intropeksi tuh nyokap lo kenapa suaminya sampai selingkuh!" kata Lyodra dengan suara bergetar. Ia tahu ia kurang ajar. Tapi, ia benar-benar emosi dan tidak terima orangtuanya dijelek-jelekkan jadi semua yang keluar jadi mulutnya mulai tidak terfilter.

Mendengar itu Samuel mencengkram erat pergelangan tangan Lyodra. Ia mendekatkan tubuhnya. Jarak wajah mereka hanya sejengkal. Dari  jarak sedekat itu, dapat melihat jelas sorot kemarahan di mata Samuel.

"Nggak hanya fisik. Pemikiran dan kelakuan juga nurun dari nyokap lo ternyata. Nggak salah sih ketika lo dengan nggak tahu malunya ada di antara Nuca dan Tiara, keras kepala dan susah dibilangin. Emang titisan pelakor," ucap Samuel sambil menatap tajam Lyodra.

Lyodra dengan keberanian yang entah datang dari mana, malah meludahi Samuel. Membuat lelaki itu menggeram kesal dan menyeret paksa Lyodra memasuki kamar. Lyodra berontak sekuat mungkin ketika lelaki itu menjatuhkannya ke atas tempat tidur dan menciumnya paksa.

Ia menangis kencang. Berteriak sebisa mungkin. Tangannya terus mendorong lelaki itu menjauh. Mencakar wajahnya agar berhenti, sialnya kedua tangannya ditahan dengan satu tangan. Lyodra semakin histeris ketika Samuel membuka paksa kemejanya.

"Sam, udah!! Berhenti!!"

Samuel tidak menggubris. Semuanya sudah terlanjur. Kepalang tanggung untuk dihentikan. Ia duduk di atas perut Lyodra, dengan gerakan  tergesa ia meloloskan kaosnya melewati leher kemudian menunduk dan mencium Lyodra kembali.

"Sam, udah.."

Lyodra menangis kencang begitu tangan Samuel sudah merambah kemana-mana. Tubuh bagian atasnya sudah terekspos sempurna. Harga dirinya diinjak-injak. Ini kali pertama ia diperlakukan kurang ajar begini. Cakaran serta jambakannya tidak berarti apa-apa. Hingga Samuel mencoba memelorotkan roknya, Lyodra mencoba melempari lelaki itu dengan bantal. Ia terusan berontak dan berteriak sampai tenggorokannya sakit.

"SAM!!! STOP IT!! AMPUN SAM!!" teriak Lyodra. Ia menangis kencang. Rasanya tdak ada lagi yang perlu ditutupi, Lyodra menangkup wajahnya  yang mulai sembab.

Samuel yang sadar itu langsung menghentikan kegiatannya agar tidak terlalu jauh. Ia segera beranjak dari Lyodra, membiarkan gadis itu duduk dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

Samuel merasa direndahkan. Sebelumnya tidak pernah ada yang menolaknya. Tapi, gadis sialan di depannya itu sampai histeris saat disentuh seolah jijik kepadanya.

"Sok jual mahal banget sih lo, ciuman aja nggak lulus," cibir Samuel. Ia mengambil kaosnya yang tergeletak di kasur lalu memakainya bersamaan dengan Lyodra yang langsung membelakanginya dan memasang semua pakaiannya di balik selimut.


Lyodra yang merasakan keberadaan Samuel di dekatnya langsung memilih turun, tapi Samuel lebih cepat menariknya kembali. Ia menahan tengkuk Lyodra lalu menciumnya lagi. Tidak peduli Lyodra kembali memangis, Samuel melakukan semaunya.

"Mulai sekarang, lo harus nurut sama gue. Apapun yang gue perintah harus lo lakuin. Posisikan diri lo sebagai budak gue. Gue nggak menerima bantahan, kalau lo masih berani ngelawan, gue jamin aib orangtua lo kebongkar. Bahkan gue bisa nyuruh pengawal-pengawal gue buat bunuh nyokap lo," ucap Samuel penuh ancaman. Lyodra memejamkan matanya ketika tangan Samuel mengusap air matanya yang jatuh. "Tahu hal terburuk apalagi yang bakal terjadi kalau skandal bokap lo sama pramugarinya kebongkar? Gue jamin dia bakal dipecat dan keluarga lo akan hancur. Jadi.. lo ngerti kan?"

Meksipun berat, Lyodra akhirnya mengangguk.

Samuel tersenyum penuh kemenangan. "Sekarang pulang sana. Engap apartement gue ada lo," usir Samuel sambil mendorong Lyodra menjauh.

Dengan tangis yang belum reda, Lyodra membenahi kemejanya agar kembali rapi. Hatinya sakit sekali diperlakukan kurang ajar begini. Ia keluar dari kamar Samuel, menyambar tas nya yang tergeletak di dekat sofa ruang depan lalu benar-benar keluar dari unit apartement dengan nomor 198 tersebut. Ia mengusap air matanya yang terusan keluar. Lorong sepi yang dilewatinya menjadi saksi betapa hancur dirinya sekarang.

Kalau beberapa waktu yang lalu ia bersemangat sekolah karena akan bertemu Nuca.

Besok dan seterusnya, alasan itu sepertinya sudah tidak berlaku lagi.

Ia takut. Takut pergi sekolah dan bertemu Samuel.

***

NUCA kalut begitu memasuki mobil dan mendapati Lyodra tidak berada disana. Ini salahnya. Harusnya ia tidak terbawa suasana dan terusan ngobrol dengan keluarga Tiara. Terhitung setengah jam lebih ia meninggalkan Lyodra dan sekarang Lyodra tidak ada dimana-mana. Ia sudah menyusuri jalanan komplek tapi tidak ada tanda-tanda sama sekali. Ingin menghubungi, ia tidak tahu nomor baru gadis itu.

Ia menghentikan mobilnya saat mendapati payung yang tergeletak di pinggir jalan. Itu seperti payung miliknya, untul memastikan ia menengok ke bawah. Jantungnya berdegup kencang. Benar. Payung itu sudah tidak ada di tempatnya.

Dengan perasaan yang mulai tidak enak, ia memelankan laju mobilnya sambil memperhtikan sekitar. Sekitar seratus meter dari tempat tadi, ia kembali menemukan tanda. Rantang yang dibawa gadis itu tergeletak di tengah jalan. Nuca sampai turun untuk memastikan. Pikirannya semakin kalut ketika mendapati kebenaran lagi.

Tidak ingin gegabah dan lapor polisi, Nuca kembali masuk ke dalam mobilnya lalu menghubungi Mirabeth. Tidak menunggu lama, panggilan terhubung dan diangkat.

"Halo Kak Abe?"

"Iya, Nuc. Kenapa?" suara di seberang terdengar tidak tenang. Dapat ia dengar suara rinai hujan di seberang.

"Kak Abe dimana?"

"Gue lagi di jalan. Ini lagi nyariin Lyodra. Udah jam setengah sepuluh dia nggak pulang. Ditelfon nggak aktif. Mau lapor polisi belum 24 jam," katanya. Dari suaranya sudah terdengar sangat panik.

Nuca semakin merasa bersalah. Tangannya sampai dingin karena panik dan khawatir. Memikirkan gadis itu sendirian dan kedinginan karena hujan saja ia tidak tega. Apalagi sekarang sudah larut malam. Ia mengusap wajahnnya. Harus kemana lagi ia mencari gadis itu?

Seandainya ia mengantar Lyodra dulu tadi.

Seandainya ia tidak meninggalkan gadis itu terlalu lama.

Seandainya..

Maafin gue, Ly

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Retrouvailles [9, 10, 11]
0
0
Selamat membaca 💐✨Semoga ceritaku bisa menghibur hari-harimu. Terima kasih juga udah mampir😽🌷🦢
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan