Retrouvailles [1, 2, 3]

0
0
Deskripsi

Selamat membaca 💐✨

Semoga ceritaku bisa menghibur hari-harimu. Terima kasih juga udah mampir😽🌷🦢

Bab 1. Kilas Balik 2015

Membuka dan mengingat kembali memori lama itu benar-benar butuh keberanian. Keberanian agar tidak menangis dan keberanian agar tidak tersenyum lalu terbawa perasaan 'ingin'. Ingin untuk mengulang. Padahal, semesta jelas tidak akan mengijinkan. Sekalipun kamu mengemis kesempatan.

*** 


Jakarta 2015

MASA sekolah dasar adalah masa dimana kita hanya mengenal bermain, berantem, bercanda, dan.. bahagia. Tidak ada kata cinta dalam kamus di masa itu. Kecuali, cinta untuk Sang Pencipta dan cinta untuk orangtua. Karena kita masih terlalu kekanakan dan lugu untuk mengenal cinta kepada pemilik setengah hati kita.

Saat itu hujan turun deras sekali. Langit dikukung awan gelap. Senja yang sejak tadi ditunggu sudah dipastikan tidak akan datang. Di tengah padang rumput tepat seberang stasiun, Lyodra berlarian menembus hujan. Bersama Nuca. Sesekali Nuca berteriak melawan angin dan sesekali pula Lyodra menirukan kelakuannya itu. Lalu, Nuca akan tertawa hingga kemudian menghampiri Lyodra sambil berlari.

“Mau aku ajarkan menantang langit?” bisik Nuca setelah berdiri di samping Lyodra.

“Menantang langit? Langit lebih besar daripada kak Nuca,” cibir Lyodra dengan polosnya.

Ssttt makanya jangan keras-keras ngomongnya,” balas Nuca sambil memposisikan jari telunjuknya di dekat bibir. "Ini rahasia Nuca dan Lyodra. Langit nggak boleh tahu, oke," lanjutnya.

Lyodra hanya manggut – manggut sambil mengikuti Nuca yang mulai berjalan ke arah rel kereta.

“Kita sudah sampai," kata Nuca setelah ia berdiri di tengah – tengah rel kereta sambil menunjukkan senyum lebarnya. “Ayo sini.” Ia mengulurkan tangannya pada Lyodra yang masih berdiri di dekat rel. Gadis itu seolah ragu dan masih takut-takut.

“Nggak mau. Aku takut ada kereta. Bahaya loh, kak! Nanti kalau ketabrak mati. Pokoknya aku nggak ma--Kak Nuca!!”

Belum selesai Lyodra nyerocos panjang lebar, Nuca sudah menariknya ke tengah rel kereta. Ia mengajak gadis itu berlarian melompati setiap sisi rel sambil merentangkan tangan. Awalnya Lyodra kesal dengan kelakuan Nuca. Tapi jujur.. ini lebih menyenangkan daripada mengerjakan tugas matematika.

Lyodra terus mengikuti dari belakang, berlari menembus hujan dan merentangkan tangan menantang langit seperti yang Nuca katakan.

“Aku takut ada kereta. Bahaya loh, kak! Nanti kalau ketabrak mati..” ledek Nuca sambil menirukan suara Lyodra saat gadis itu terlanjur terhipnotis oleh ide gilanya.

Lyodra merengut. Ia menatap kesal ke arah Nuca yang sudah agak jauh di depannya. Lyodra berbalik lalu menjerit. "Kak Nuca!! Awas kereta!!” teriaknya kemudian meloncat ke sisi samping rel.

Mungkin karena kaget, Nuca refleks mengikuti gerakan Luodra. Ia melompat ke pinggir. Mungkin karena gerakannya tiba-tiba, tubuhnya tidak bisa seimbang dan ia.. jatuh.

"Aduh!!"

Lyodra terbahak melihat Nuca nyusruk. Posisi jatuh Nuca memalukan sekali. Ia padahal cuma bercanda soal ada kereta tadk. Syukurin, suruh siapa nyebelin. Lyodra juga bisa lebih nyebelin.

“Kamu bohongin aku ya? Ngak lucu, Ly."

Dengan raut wajah kesal, Nuca beranjak berdiri dan meninggalkan Lyodra dengan langkan agak pincang karena lututnya kena batu tadi.

“Maaf deh maaf. Maafin aku ya," bujuk Lyodra. Ia mengikutinya dari belakang. Sedangkan Nuca masih diam saja, membiarkan gadis itu mengoceh sendiri. “Padahal kak Nuca sering loh bohongin aku, aku nggak marah! Sekarang gantian dong. Dan Kak Nuca nggak boleh marah,” oceh Lyodra panjang lebar.

Gadis itu terus mengikuti Nuca dari belakang sambil menarik-narik ujung seragam teman lelakinya itu. Sebelum akhirnya ia berhenti mendadak karena Nuca tiba-tiba berbalik dan menatapnya dengan raut panik.

"Apa?" tanya Lyodra bingung.

"Tas sama buku!!"

Lyodra yang menyadari maksud Nuca sontak melotot dan langsung berlari mengambil tas yang tergeletak di hamparan rumput lalu berteduh di ayunan bawah pohon. Ia melihat Nuca berlari menyusul sambil membawa sepedanya.

“Kenapa nggak sekalian bawakan sepedaku?” gerutu Lyodra kesal.

“Kenapa tadi nggak sekalian bawakan tasku?” balas Nuca cuek sambil meletakkan tas di sepedanya.

Lyodra mencebik. Ia membiarkan sepedanya tetap tergeletak di tengan hujan yang mulai reda. Sesekali ia mengeratkan rangkulan pada tasnya agar terlindungi dari tetesan gerimis yang tersisa. Seragam merah putih yang kita kenakan sudah basah kuyup.

“Pulang yuk, nanti pasti dicariin mama,” ajak Lyodra. Ia beranjak mengambil sepedanya kemudian kembali menghanpiri Nuca. "Ayo pulang.." rengeknya.

Nuca berdecak. “Kalau kita pulang nanti tambah dimarahin, soalnya buku kita basah semua. Kita ke stasiun aja dulu. Ngeringin buku sama sekalian duduk – duduk dulu. Siapa tahu nanti kita ketemu paman Abi, terus dibeliin coklat panas di kantin.”

Lyodra jelas antusias dan mengikuti saran Nuca. Ia kemudian menaiki sepeda dan mensejajari Nuca. Sesekali ia harus turun dan mengangkat sepeda untuk menyebrangi rel kereta, melewatinya satu persatu hingga sampai pada kursi di emperan stasiun.

Stasiun sore ini ramai calon penumpang, Nuca mulai mengeluarkan bukunya satu persatu dan mulai mengeringkannya di salah satu kursi tunggu yang sepi. Lyodra mengikuti caranya, satu persatu bukunya yang basah ia tata di atas kursi panjang tersebut, sesekali mengipasinya dengan tangan walaupun itu tidak akan memberikan efek lebih.

Nuca yang terlihat putus asa mulai duduk dibawah kursi panjang tersebut sambil mengarahkan pandangannya kedepan. Lyodra duduk disampingnya sambil mengikuti arah pandang Nuca. Di depannya, anak seumuran mereka sedang menangis sambil memeluk seorang wanita -yang sepertinya adalah ibunya- seakan enggan untuk melepaskan pelukan tersebut.

“Papa sama mama cuma pergi sebentar, kamu jangan nangis gitu dong. Anak papa nggak boleh cengeng” kata seorang pria yang rupanya ayah dari anak tersebut sambil mengusap lembut kepala anaknya.

“Nanti kalau udah pulang, mama bakalan ajak kamu dan adik kamu jalan – jalan. Tapi kamu nggak boleh nangis, malu loh sama orang – orang. Udah gede juga.” Wanita tersebut duduk dihadapan anak lelaki itu sambil mengusap airmata yang mengalir di pipi.

Kemudian, seorang perempuan tua menghampiri mereka dan menggenggam tangan anak tersebut setelah terjadi peluk perpisahan dengan kedua orangtuanya. Anak itu mengiringi menatap sendu punggu kedua orangtuanya yang baru saja masuk ke dalam loket pemeriksaan. Kemudian, setelah melewati moment menguras emosi tadi, ia berbalik bersama neneknya dan duduk tepat di sebelah kursi Lyodra dan Nuca.

“Nenek beli air dulu, kamu tunggu disini. Jangan kemana-mana ya," pamit neneknya kemudian mengacak rambut cucunya tersebut sambil berlalu pergi membeli minuman.

Anak itu mengalihkan pandangannya pada Lyodra yang sedari tadi memperhatikannya. Matanya abu-abunya yang sembab serta pandangannya yang sendu membuat Lyodra enggan memalingkan pandangan.

“Apa?” kata anak itu. Lyodra melihat sekeliling mencoba memastikan dengan siapa ia berbicara, kemudian kembali menghadap anak tersebut.

“Aku?” tanya Lyodra memastikan

“Iya. Kenapa lihat-lihat aku?" katanya nyolot sambil menyipitkan kedua matanya.

“Enggak,” jawab Lyodra sedikit salah tingkah sambil menyelipkan rambutnya yang terjuntai ke belakang telinga.

Kemudian nenek anak tersebut datang membwa dua air mineral ditangannya. “Sudah hampir malam, ayo pulang” sembari meyerahkan air mineralnya pada cucunya.

Anak itu berdiri lalu berbalik pergi setelah melayangkan tatapan menyebalkan untuk Lyodra. Sedangkan Lyodra terus mengikuti punggung anak tersebut yang mulai menjauh hingga menghilang di keramaian.

“Kenapa sih dia?” Tanya Nuca pada Lyodra yang masih mengikuti arah pergi anak tadi..

“Nggak tahu. Matanya dia bagus. Warna abu-abu.”

Nuca hanya bergumam menanggapi. Ia mengalihkan pandangannya pada langit barat. Kali, tidak ada senja di tanggal 14 Februari karena langit gelap sekali. Ia mengalihkan pandangan ke arah Lyodra di sampingnya. Sepertinya, gadis itu kedinginan sekali. Tubuhnnya menggigil. Bahkan, sekarang ia mulai memeluk tubuhnya dengan erat.

"Ayo pulang," ajak Nuca kemudian karena kasihan Lyodra kedinginan juga karena takut bundanya marah karena ia telat pulang hampir dua jam.

_______

Bab 2. Kilas Balik 2017
 

Kita memang tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan hidup kita setelah beberapa detik, menit, jam, hari, minggu bahkan tahun kemudian. Ada yang datang tiba-tiba, ada yang pergi tiba-tiba. Semuanya jelas masih misteri dan tidak bisa ditebak. Sekalipun kita ingin.
 

***


LY, lo dimana?

Pesan itu terkirim. Checklist dua. Artinya pesannya itu sudah masuk. Tunggu di baca saja. Dan sialnya, Nuca sudah menunggu empat hari lebih tanpa jawaban dari Lyodra. Gadis itu tiba-tiba menghilang. Tidak ada dimana-mana. Bahkan, Nuca berkali-kali mendatangi rumahnya tapi tidak ada siapapun disana. Sepi, dan gerbangnya tertutup rapat. Jarak rumah mereka hanya sebatas jalan depan komplek karena rumah Lyodra tepat berada di depan rumahnya. Tapi, meskipun begitu, ia dan keluarganya tidak ada yang tahu mereka sekeluarga kemana. Mereka seolah hilang di telan bumi. Termasuk satpam yang biasanya jaga disana.

Nuca sudah mencoba menghubunginya berkali-kali dan tidak pernah ada jawaban, padahal panggilannya tersambung. Tapi, Nuca tidak menyerah. Ia men-dial nomor Mirabeth, yang notabene kakak Lyodra. Meskipun akan sama saja akhirnya. Karena, terakhir ia menelfon, ujungnya akan sama, tidak ada yang menjawab. Begitupun ketika Nuca mengulang panggilannya.

Jika saja ia bukan lelaki yang sabar, mungkin ia akan membiarkan dan memilih untuk tidak peduli. Tapi, Lyodra baginya adalah sosok yang lebih dari disebut teman. Nuca begitu menyayangi dan.. mencintai gadis itu. Wajar bukan? Mereka berteman sejak kecil. Takdir seolah memberi mereka waktu yang lama untuk terus tumbuh dan melewati hampir semua hal bersama. Mustahil tidak ada perasaan cinta di antara keduanya. Pasti salah-satunya akan kalah. Atau bahkan dua-duanya. Mereka akan terlibat persoalan rumit soal pertemanan dan cinta. Lalu memilih menyimpan rapat-rapat semuanya agar tetap baik-baik saja.

Nuca tersenyum kecil mengingat semua hal tentang mereka. Begitu lucu dan memorable banget untuk diingat. Suatu saat, ia mungkin bisa menceritakan hal ini pada anak-anaknya kelak, sebagai cerita selingan disaat kumpul keluarga.

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan bermaksud membuang khayalan konyolnya. Nuca menjauhkan poselnya dari.telinga dan membiarkan ponselnya tergeletak di meja dengan layar yang tetap menampilkan id caller Mirabeth.

Jantungnya berdegup kencang begitu panggilan tiba-tiba terhubung. Entah kenapa, hari ini berbeda. Panggilan berdering, ponsel di seberang artinya aktif. Nuca masih menunggu, lima detik tidak ada jawaban, sepuluh detik masih sama, lima belas detik panggilan berakhir. Nuca menghela napas kasar. Ia mencobanya lagi dan menunggunya kembali.

"Halo?"

Suara di seberang membuat Nuca langsung sumringah. Ia tersenyum lebar sebelum menjawab. "Kak Abe?"

"Iya, kenapa, Nuc?"

Nuca berjalan ke arah balkon, menenangkan dirinya yang barusaja merasakan euforia setelah penantiannya berujung. "Kak Abe dimana? Kok rumah sepi ya? Pada kemana? Lyodra juga nggak masuk sekolah udah tiga hari," kata Nuca sambil memandang ke arah rumah Lyodra yang sepi. Biasanya, setiap sore mereka akan berdiri di masing-masing balkon kamar. Lalu mereka akan berbicara lewat talkie walkie sebelum akhirnya mereka lari dan turun ke bawah untuk beli mie tek-tek yang biasanya lewat di jalan komplek.

"Lagi pulang ke Medan," jawab Mirabeth di seberang.

"Kok mendadak?"

Terdengar krasak krusuk di seberang. Kemudian, Mirabeth seperti sedang berbicara dengan seseorang. Nuca menunggu sambil terus berpikir keras kenapa Lyodra juga belum membalas pesannya padahal jelas-jelas pesan sudah masuk dan diterima. Nuca juga sudah menghubunginya tadi tapi belum ada respon, makanya ia mencoba menghubungi Mirabeth berkali-kali juga takut ada apa-apa.

"Sampai mana dari, Nuc? Sorry tadi gue masih ngomong sama orang," kata Mirabeth membuayarkan lamunan Nuca.

Nuca menggurat abstrak railing balkon. Kebiasaannya saat bingung, cemas ataupun tidak tahu harus berbuat apa. "Di Medan ada acara apa, kak? Kok tiba-tiba? Lyodra juga nggak bisa dihubungi."

Helaan napas Mirabeth terdengar jelas. "Iya. Rencananya kita akan pindah ke Medan."

Nuca tercekat. Ia takut salah dengar, jadi ia mengulang pertanyannya. "Apa, kak Be?"

"Kita mau pindah ke Medan," kata Mirabeth. Lagi. Dan itu cukup membuat Nuca kaget. Ia bahkan tidak tahu mau menanggapinya bagaimana. "Bukan gitu. Maksudnya mama, papa, dan Lyodra akan pindah. Gue tetap di Jakarta. Kayaknya papa sudah urus kepindahan sekolah Lyodra. Emang Lyodra nggak pernah cerita ke lo?"

Tenggorokan Nuca sepeti ada yang mengganjal. Ia jadi kesusahan untuk menjawab. "Nggak."

"Eh? Serius?"

Nuca mengangguk, meskipun tahu Mirabeth tidak akan bisa melihat. "Iya. Ditelfon aja nggak diangkat," kata Nuca sambil tersenyum sumir.

"Bentar bentar, nih Lyodra udah datang. Gue kasih telfonnya."

Suara derap langkah orang berlari terdengar begitu jelas. Nuca menunggu sambil mencerna semuanya. Lyodra pindah? Bahkan gadis itu tidak pernah bercerita soal ini.

Sabtu kemarin, lima hari yang lalu, mereka memang sempat ribut. Padahal waktu itu ia ingin membahas soal konser Kahitna dan berencana nonton bareng. Nuca sudah membeli tiketnya, hitung-hitung sebagai kejutan untuk hadiah ulang tahun Lyodra. Tapi, semua rencananya tidak berjalan semestinya karena pertengkaran itu. Apalagi mendengar perkataan Mirabeth tadi. Sudah dipastikan fix tidak ada acara nobar konser bareng.

"Nuca?"

Lamunan Nuca buyar seketika. Bukan suara Lyodra yang didengarnya. Tapi, Mirabeth. Lagi.

"Ya kak?"

"Lyodra nggak mau ngomong nih. Anaknya langsung ngibrit ke kamarnya."

Nuca menghela napas, menenangkan emosinya. Sabar, Nuca. Ia berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar.

"Nggak apa-apa kak," katanya setelah duduk di kursi depan console piano miliknya.

Lyodra masih sama. Egois dan maunya sendiri. Pokoknya bodo amat dengan perasaan orang lain. Lyodra itu adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya seorang pilot sedangkan ibunya adalah auditor di salah satu perusahaan terkenal di Jakarta. Kakaknya mahasiswi di universitas swasta dengan kesibukan yang bisa dibilang di atas rata-rata. Wajar jika Lyodra tumbuh menjadi anak manja dan keras kepala. Makanya, sejak dulu, Nuca yang selalu mengalah dalam segala hal.

"Lo lagi ada masalah sama Lyodra? Masa soal kepindahannya, dia nggak cerita?" tanya Mirabeth memastikan.

Nuca bedengung. Mencari jawaban yang pas. "Ngg.. nggak, kak. Dia nggak cerita apa-apa. Gue aja baru tahu hari ini."

Helaan napas Mirabeth di seberang terdengar begitu jelas. "Mungkin dia masih kaget kali. Soalnya, waktu itu papa juga dadakan bilangnya. Apalagi, pas hari minggu kemarin, tiba-tiba kita langsung dibopong ke Medan. Padahal rencanya pindahnya bukan dalam waktu dekat ini," jelas gadis 24 tahun itu. Agar Nuca tidak salah paham nantinya.

Nuca hanya bergumam. Tidak tahu lagi harus bicara apa lagi. Ia seperti kehilangan bahan obrolan padahal masih banyak sekali pertanyaan yang menari-nari di kepalanya.

"Yaudah nanti coba dihubungin lagi. Emosi Lyodra juga belum stabil. Apalagi kayaknya dia lagi ada masalah sama pacarnya," papar Mirabeth panjang lebar.

Nuca menghembuskan napas kasar. Jika memang begini akhirnya, ya sudah. Toh, Tuhan tidak pernah membuatnya kecewa selama ini. Jadi, ini pasti yang terbaik. "Oke deh, kak. Makasih ya infonya. Take care disana."

"Iya sama-sama."

Setelah itu telfon ditutup. Nuca menatap fotonya dengan Lyodra yang berbingkaikan figura lucu warna cream di atas console piano. Ia mengambilnya dan mencoba mengingat bagaimana terciptanya moment di foto itu.

Delapan tahun lebih mereka berteman. Tidak lebih. Tidak ada yang spesial hingga semester genap tahun kemarin Lyodra resmi mempunyai pacar. Namanya Glen. Anak dari sahabat papanya di Medan.

Kemudian, sedikit demi sedikit jarak mulai membentang di hubungan mereka. Nuca dan Lyodra juga tidak lagi sedekat dulu, yang bisa sering tidur bareng ataupun jalan-jalan bareng. Mereka juga sering bertengkar karena hal sepele. Seperti yang tejadi di pertemuan terakhir mereka. Di hari sabtu lima hari yang lalu.

Permasalahannya hanya karena Glen cemburu. Dan Lyodra melimpahkan semua kemarahan padanya. Gadis itu jadi sering menangis bahkan sering kali terang-terangan menyuruh Nuca untuk menjauh.

Tapi, Nuca tidak segampang itu untuk menyerah. Sampai kapanpun, Lyodra akan selalu di sampingnya. Makanya, ia tidak terlalu ambil hati jika gadis itu mulai meributkan soal pertemanan mereka ataupun soal Nuca yang seolah mengekangnya. Karena, pada akhirnya, Lyodra akan kembali seperti biasanya. Menjadi gadis manja yang selalu bergantung padanya. Gadis itu akan selalu tahu kemana arah untuk pulang.

Dan sekarang, saat Lyodra memilih pulang ke Medan. Tanpa itikad baik untuk pamit. Setidaknya pada mama ataupun papa Nuca yang sudah dekat dengannya, Nuca jadi berpikir ulang untuk tetap mencintai gadis itu.

Nuca meletakkan fotonya kembali. Ia memejamkan mata, meletakkan jari-jarinya di atas keyboard piano lalu memainkannya. Ia menarik napasnya, mengeluarkannya perlahan untuk meredakan emosinya. Instrument piano Lullaby mengalun begitu indah sore itu. Nuca sangat menyukainya karena Lyodra sering memainkamnya dulu.

Hari ini.. 21 Juni 2017 adalah ulang tahun Lyodra yang ke 13 tahun.

Dan di hari-hari berikutnya, Nuca tidak pernah lagi bertemu gadis itu. Ia hanya melihat ayah Lyodra beberapa kali, itupun dalam rangka mengemas dan pick up beberapa pakaian serta perlengkapan lainnya. Setelah itu, rumah di depan sana kosong. Tidak ada yang menempati. Hingga, lima bulan berlalu, akhirnya rumah itu ada tuannya. Seoarang guru pelatih vokal yang sedikit menutup diri dari tetangga.

Terhitung sejak saat itu, Nuca tidak pernah tahu segala hal tentang Lyodra.

Kita memang tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan hidup kita setelah beberapa detik, menit, jam, hari, minggu bahkan tahun kemudian. Ada yang datang tiba-tiba, ada yang pergi tiba-tiba. Semuanya jelas masih misteri dan tidak bisa ditebak. Sekalipun kita ingin.

Seperti Nuca misalnya. Beberapa hari yang lalu, hubungannya dengan Lyodra baik-baik saja. Tapi, setelahnya, mereka akhirnya terbentang jarak dan tidak pernah menjadi baik-baik saja kembali.

Waktu memang semisterius dan sejahat itu.

____________

Bab 3. Titik Awal

***


"HAI, apa kabar?"

Lyodra Margaretha Ginting. Di hari pertama ia menyandang status siswi baru, ia sudah berani mencegat seorang siswa kelas dua belas di koridor sekolah. Gadis itu tersenyum lebar dengan mata berbinar.

Ada jeda sekitar lima belas detik. Lelaki di depannya itu hanya menatapnya datar. Tanpa ekspresi. Berbanding terbalik dengan dirinya, yang begitu exited dan senang sekali bertemu kembali. Senyumnya perlahan luntur. Lelaki itu tidak mengatakan apapun. Hanya memandangnya dengan sorot biasa saja.

"Hai," jawab lelaki itu. Singkat. Kemudian pergi. Tanpa permisi dan itu sedikit membuat Lyodra sakit hati.

Lyodra melongo. Respon lelaki tadi itu benar-benar di luar perkiraannya.

Padahal, tiga tahun yang lalu semuanya masih baik-baik saja. Mereka sebenarnya berteman sejak kecil, sejak masih ingusan. Kemanapun selalu berdua, seolah tidak terpisahkan. Tapi, saat keluarganya memutuskan pindah ke Medan saat ia menginjak kelas dua SMP, mereka lost contact dan bertemu kembali hari ini.

Padahal, saat ia memutuskan untuk ikut kakaknya kembali ke Jakarta. Ia sudah berharap dan memimpikan banyak hal. Termasuk semua hal tentang lelaki itu.

"Kak Nuca!! Tunggu!!" teriaknnya kemudian mengejar lelaki itu sebelum menghilang di belokan koridor.

Untung saja sekolah lumayan sepi karena masih pagi. Jadi, ia bisa lebih leluasa. Lyodra menarik lengan Nuca kemudian menahannya agar tidak kemana-mana.

"Apa?"

Lyodra menahan emosinya agar tidak meledak. Mau marah karena respon Nuca tadi tapi ia cukup sadar diri. Memangnya ia siapa?

"Kak Nuca kenapa sih?"

Nuca menaikkan sebelah alisnya. "Emangnya gue kenapa?"

Lyodra merengut. Ia jadi gregetan sendiri. "Kenapa biasa aja gitu pas lihat aku kembali?!!"

"Terus gue harus gimana?"

"Ya ngapain kek. Heboh gitu, peluk, atau apa gitu!!"

Nuca menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melepaskan cekalan tangan Lyodra dengan sedikit paksa karena Lyodra semakin mengeratkan pegangannya.

"Nggak jelas," kata Nuca pelan sambil kembali beranjak pergi.

Meninggalkan Lyodra sendiri.

Dari hari itu, Lyodra sadar bahwa ia begitu naif selama ini. Mengharapkan kisah hidupnya seperti di fairytale yang akan berakhir bahagia. Lalu, semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya.

Padahal, beberapa hal di dunia itu bukan ditentukan oleh kita. Semesta yang bekerja. Kadang, kita juga hanya perlu menerima.

Tapi, apapun itu, Lyodra sudah berencana untuk memperbaiki hubungannya dengan Nuca. Bagaimanapun caranya dan apapun resikonya, ia siap menerima.

Sekalipun Nuca menolak kehadirannya berkali - kali.

***
 


"LO adalah manusia paling gila yang gue tahu selama enam belas tahun gue hidup," kata Keisha, teman sebangkunya. Gadis cantik berambut panjang itu berbicara sambil terus menulis, tanpa melihatnya. "Gimana bisa lo dengan nggak tahu malunya nyapa kakak kelas dengan sebegitu centilnya sampe pegang - pegang segala," lanjut gadis itu.

Lyodra mengedikkan bahunya santai. Jadi, ternyata, setelah kejadian pagi tadi saat ia menyapa Nuca, hampir satu sekolah gempar karena kelakuannya. Tapi, ia cuek saja. Toh nggak ada untuknya untuk peduli. Lagipula, tidak ada yang salah dengan tindakannya. Nuca adalah temannya, lalu ia datang untuk menyapa dan memperbaiki hubungannya, lantas apanya yang salah?

"Kak Nuca itu teman gue dari kecil, jadi biasa aja lah cuma pegangan tangan doang," bela Lyodra. Ia mendengus, teman - temannya saja yang lebay.

"Bahkan Kak Nuca nggak nunjukin penerimaan atas perlakuan lo. Yang ada lo tuh dianggap halu dan ngaku - ngaku teman Kak Nuca. Secara, dia tuh salah satu most wanted di sekolah. Bahkan center of attention seantero Jakarta karena suara merdunya," kata Keisha lagi. Gadis itu menatap Lyodra. "Kalian tadi bukan pegangan tangan ya tapi lo yang pegang tangan Kak Nuca buat nahan dia setelah lo yang ngejar - ngejar dia dan ngerengek."

"Keisha!!" Lyodra merengut. Ia jelas kesal. Di hari pertama mereka berteman, kesannya sudah buruk. Keisha terlalu ikut campur dan menyudutkannya.

"Apa? Gue sih realistis orangnya." Keisha menutup bukunya dan menatap penuh ke arah Lyodra. "Kalau lo mau masa SMA lo berlalu dengan tenang, lo harus berhenti berbuat ulah konyol lagi. Jadi anak baik, yang tugasnya sekolah, masuk pagi pulang sore, ikut ekstrakulikuler dengan rajin dan jangan berurusan sama kating kecuali soal seputar sekolah," papa Keisha panjang lebar.

"Gue cuma nyapa kak Nuca doang, mereka aja yang lebay! Kampungan dan menye--"

"Berani taruhan gue, kalau lo masih suka nyolot dan susah dibilangin, setelah ini lo pasti akan banyak masalah," potong Keisha cepat sebelum Lyodra menyelesaikan ucapannya.

"Bener tuh kata Keisha, mending lo jadi anak baik - baik aja. Mulai hari ini lo nggak usah berurusan sama kak Nuca atau kating yang sekiranya banyak pasukannya. Dia tuh fansnya bejibun, lo ada masalah ataupun ada hubungan sama dia, para fans dia tuh bakal siap jadi garda depan untuk penghalang," celetuk Ziva. Gadis kecil unyu imut yang duduk tepat di depan Lyodra. Bahkan Lyodra tidak tahu sejak kapan gadis itu menghadap ke belakang dengan tangan bertumpu pada meja lalu ikutan nimbrung.

"Gue nggak peduli. Dan gue nggak takut," kata Lyodra tegas. Tipikal gadis keras kepala dan susah dibilangin.

"Ya udah, yang penting kita udah ngingetin lo di awal," balas Ziva. Sedangkan Keisha hanya geleng - geleng kepala dan melengos.

Lyodra emang keras kepala.

"Lagian lo ngejar - ngejar Kak Nuca, motivasinya apaan coba? Udah nggak dianggep juga," kata Keisha yang kini fokus ke ponselnya.

"Yaa kan---"

"Jangan bilang lo suka sama dia," potong Keisha.

"Nggak lah."

"Bagus," timpal Keisha.

"Kenapa gitu?"

"Lo sadar diri berarti," jawab Keisha dan Ziva kompak. Berhasil membuat Lyodra kesal.

Di hari pertama sekolah, ia sudah kesal terusan dari tadi. Dari soal Nuca, lalu sekarang soal kedua teman barunya yang tidak berhenti menyebalkan.

Sebenarnya, mereka sedang masuk jam terakhir sekarang, sedang menunggu guru pelajaran fisika masuk dan mengajar. Sudah setengah jam berlalu tapi guru yang ditunggu belum datang. Jadilah mereka bebas mengobrol. Beberapa murid cowok bahkan sudah menggerombol di belakang, ada yang main game, ada yang main bola, ada yang gangguin para cewek, ada juga yang nyanyi - nyanyi nggak jelas sambil menepuk - nepuk meja seolah drum.

BRAK

Kepala Lyodra terantuk ke depan ketika sebuah bola melayang tepat mengenai kepalanya. Rasanya sakit sekali karena bola tadi sepertinya bola kulit. Lyodra memegangi kepalanya yang nyut-nyutan lalu menoleh ke seseorang yang saat ini mengulurkan tangan ke arahnya.

"Mana bola gue," kata lelaki bermata sipit itu dengan tampang tidak berdosanya.

Lyodra menggeram kesal. "Kalau mau main bola tuh di lapangan dong! Jangan di kelas!! Kena kepala gue nih!!"

Lelaki itu bedecak kesal. "Bola gue mana, budeg ya lo?!"

Dengan kesal, Lyodra mengambil bola yang berada di bawahnya. Ia berdiri lalu...melempar bola tersebut ke arah lelaki di depannya. Tepat mengenai wajahnya.

"Anj*ng!!" pekik lelaki tersebut. Karena kaget dengan gerakan tiba - tiba Lyodra. Lelaki itu menatap tajam Lyodra lalu dengan napas memburu.

Keisha dan Ziva kaget. Satu kelas bungkam karena adegan.. menyeramkan tadi.

Lelaki itu menyeret Keisha untuk minggir lalu menghampiri Lyodra. Hal itu membuat satu kelas memekik karena deritan meja dan kursi yang digeser kasar.

"Mm-mau apa lo?" kata Lyodra sambil merapatkan tubuhnya ke dinding karena lelaki itu semakin memojokkannya.

"Berani lo sama gue?" Lelaki dengan nametag Samuel Cipta itu masih saja pongah. Ia bahkan tidak menghiraukan perkataan temannya yang menyuruhnya untuk menjauh dan menyudahinya

"Berani. Gue nggak takut sama cowok cup-"

Samuel mencekal kedua tangan Lyodra membuat gadis itu meronta minta dilepaskan. Beberapa orang mulai mendekat untuk melerai. Bahkan Ziva sudah menarik kerah belakang Samuel begitupula Keisha yang juga berusaha menarik lelaki itu menjauh. Tapi, gagal.

"Sam.. tahan. Dia cewek," kata lelaki berambut sedikit ikal yang notabene teman sebangku Samuel. Lyodra tidak tahu siapa namanya, tapi ia sangat sangat berterimakasih karena lelaki itu menarik Samuel menjauh. Hal itu membuat cekalan lelaki tadi itu terlepas.

"Nggak sampai sehari sekolah disini udah nyari masalah sama gue ya lo," kata Samuel tajam. Lelaki itu tersenyum sinis dengan tatapan meremehkan ke arah Lyodra.

Lyodra jelas tidak suka ditatap seperti itu. Menaikkan dagunya seakan menantang. "Lo duluan yang ngajak ribut! Bukannya minta maaf malah ngelunjak! Banci!!"

"Ngomong apa tadi?"

"Lo pengecut, banci, beraninya sama cewek!!"

Samuel kembali mendekati Lyodra. Memojokkannya ke tembok. Lalu dengan sekali gerakan ia mendaratkan ciumannya ke bibir gadis itu.

Hening.

Satu kelas tercekat. Begitupula Lyodra.

Begitu sadar Samuel sudah bergerak terlalu jauh. Lyodra mendorongnya dengan kasar. Napasnya memburu.

Samuel benar - benar kurang ajar. Lelaki itu tidak hanya menciumnya, tapi..

PLAK

"Brengs*k," desis Lyodra.

Tubuh Lyodra gemetar. Ia merasa dilecehkan dan dipermalukan. Dengan cepat, ia mengemasi barang - barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Lyodra menarik zipper tasnya lalu menentengnya.

Ia mendorong Samuel yang menghalangin jalannya. Tapi, lelaki itu malah mencekal pergelangan tangannya kembali.

"Sam, lepas!!" bentak Lyodra.

"Itu balasan biar lo nggak kurang ajar dan jaga sikap," kata Samuel enteng.

Lyodra murka. Matanya sudah berkaca - kaca. Harga dirinya seolah diinjak - injak. Ia mengamuk dan memukuli Samuel membabi buta. "Mati aja lo!!" teriaknya.

Tapi yang namanya tenaga cewek jelas kalah dengan lelaki. Sekalipun teman-temannya melerai dan Samuel hanya menghindar, Lyodra tetap kalah. Ia menangis dan terusan memukuli Samuel.

"Sam!!" pekik Lyodra ketika lelaki itu menarik bagian depan kemejanya, membuat beberapa kancingnya lepas dan menunjukkan bagian dalam bajunya. Untungnya ia memakai tank top sebagai dalaman.

"Uh oke juga. Boleh gue pegang nggak?" tanya Samuel dengan nada jenaka.

Lyodra memegangi bagian depan seragamnya karena beberapa temannya malah ada yang memvideonya.

"Gue benci lo, Sam!!"

Tidak mempedulikan panggilan teman - temannya ataupun guru yang sebentar lagi mungkin akan datang mengajar. Lyodra berlari keluar kelas.

Ia memilih pulang.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Retrouvailles [4, 5]
1
0
Selamat membaca 💐✨Semoga ceritaku bisa menghibur hari-harimu. Terima kasih juga udah mampir😽🌷🦢
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan