
Elena Serafina, interpreter profesional, tak pernah menyangka pagi itu ia akan bertemu kembali dengan Ethan Ravindra Pratama—lelaki yang lima tahun lalu meninggalkannya tanpa penjelasan. Kini, Ethan bukan hanya masa lalu yang kembali, tapi juga CEO dari perusahaan tempat Elena bekerja.
Di ruang rapat yang dingin dan formal, luka lama kembali menganga. Tatapan mereka saling bersitat api kenangan yang belum padam. Satu kalimat pelan dari Ethan—“Aku belum selesai bicara waktu itu, El…”—menjadi isyarat...
Bab 1 Bahasa yang Tak Pernah Selesai
Langkah-langkah sepatu hak tinggi menggema lembut di lorong marmer lantai 21 Grand Avana Tower, gedung megah yang menjadi markas salah satu perusahaan properti terbesar di Asia Tenggara: Ravindra Land Corp.
Elena mengenakan blazer hitam dan rok pensil senada, rambut dikuncir rendah, wajahnya rapi dan tenang seperti biasa. Ia baru saja tiba dari Bangkok semalam, dan pagi ini sudah dijadwalkan menjadi interpreter dalam pertemuan penting antara CEO Ravindra Land dan delegasi investor dari Jepang.
Pekerjaannya memang seperti itu—pindah dari satu ruang rapat ke ruang rapat lain, menjadi jembatan bahasa antara dua dunia. Profesional. Netral. Tak terlibat secara emosional.
Setidaknya, itulah yang ia kira—sampai pintu ruang rapat terbuka dan suara asisten menyebutkan nama itu.
"Mr. Ethan Ravindra Pratama, our CEO, will be joining shortly."
Dan saat pintu terbuka, waktu seakan berhenti.
Lelaki itu masuk dengan langkah tegap. Mengenakan jas abu gelap, dasi hitam, dan pandangan dingin penuh percaya diri. Rambutnya lebih pendek dari terakhir kali Elena melihatnya. Tapi sorot matanya masih sama—tenang, tajam, dan… menyakitkan.
Ethan....
Lelaki yang dulu ia cintai dengan bodoh. Yang bersamanya ia susun mimpi-mimpi di bangku kuliah. Yang dulu memintanya tinggal, tapi akhirnya Ethan yang justru meninggalkannya.
Lelaki yang lima tahun lalu memilih meninggalkan Elena tanpa kata yang cukup—terbang ke Amerika untuk masa depan, meninggalkan hati yang terluka di Jakarta. Lima tahun telah berlalu, tapi luka itu masih tahu cara berdenyut.
Mata mereka bertemu. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat napas Elena tercekat.
“Elena?” Ethan bicara duluan. Suaranya tak berubah. Dalam. Tenang. Berbahaya. Tapi bagi Elena, dunia terasa berputar lebih lambat dari biasanya.
Elena mengangguk kecil, menjaga sikap. “Mr. Pratama.”
Ada jeda yang menggantung di udara. Seperti ruang kosong yang menganga di antara keduanya. Lima tahun—pada akhirnya—ternyata bukanlah waktu yang cukup untuk melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup.
“Long time no see,” ucap Ethan, nada suaranya datar. Profesional. Seolah yang mereka bagi dulu hanyalah mimpi kecil yang tak penting.
“Let’s keep it professional, shall we?” balas Elena cepat, dengan senyum tipis.
Pertemuan itu pun dimulai. Elena menerjemahkan kata demi kata dengan sempurna. Tak ada yang salah dari intonasi, tempo, atau pilihan katanya. Meskipun ia terlihat profesional di luar, tapi dalam hatinya, badai kecil mulai menggeliat. Setiap kali Ethan berbicara, setiap kali ia harus menerjemahkannya, rasanya seperti luka lama dipaksa hidup kembali dalam bahasa yang berbeda.
Usai rapat, para investor keluar satu per satu sambil mengangguk puas.
“Terima kasih, Elena,” ujar Ethan pelan, suaranya lebih lembut dari yang ia duga. “Kerja kerasmu luar biasa. Profesionalisme yang kamu tunjukkan sangat mengesankan. Aku sangat menghargainya.”
Elena menatapnya sejenak, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ucapan terima kasih. Ia tersenyum tipis, tetap menjaga sikap profesionalnya. “Terima kasih, Mr. Pratama. Itu memang tugas saya.”
Namun di balik kata-kata itu, sebuah bisikan halus mengalun di antara mereka: mungkin ada lebih dari sekadar hubungan profesional di sini. Mungkin saja takdir masih ingin mengajukan pertanyaan yang belum terjawab.
“Semoga kita bisa bekerja sama lagi,” tambah Ethan dengan senyum kecil.
“Semoga begitu,” jawab Elena dengan suara tenang.
“Mungkin ini lucu ya,” kata Ethan. “Setelah semua yang kita lewati… kita bertemu lagi. Dalam ruang yang seformal ini.”
Elena menghela napas. “Lucu? Tidak. Ini cuma lelucon takdir. Dan aku sedang tidak ingin tertawa.”
Elena berbalik, melangkah pergi. Tapi sebelum pintu menutup, ia sempat mendengar Ethan berkata—pelan, nyaris tak terdengar:
“Aku belum selesai bicara waktu itu, El…”
Tapi pintu sudah tertutup.
Dan Elena tahu: mungkin bahasa cinta mereka memang pernah sama. Tapi waktu telah mengubah cara mereka memaknainya.
Atau… mungkinkah belum sepenuhnya terlambat?
Saat Elena melangkah pergi, Ethan berdiri sesaat, meresapi setiap detik yang baru saja berlalu. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, namun rasanya seolah tak ada jarak yang benar-benar bisa memisahkan apa yang pernah ada.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
