
Terkadang kita hadir serupa tetesan embun pagi di dalam kehidupan seseorang, namun bisa saja kita menjelma serupa badai yang membikin gaduh hidup seorang manusia atau jangan-jangan kita datang selayaknya partikel dalam kehidupan orang lain: ada tapi tak pernah terlihat. Terlepas dari segala rupa kemungkinan, aku berharap datang sebagai angin sepoi-sepoi dalam hidupmu: menyapamu lembut, membelai pipimu, kemudian menghilang.
Tumbuhan paku di halaman depan mulai memperlihatkan geliatnya. Ia tumbuh dengan indah dan hijau sejak kepergianmu. Sebelumnya ia hanya tumbuhan kecil yang melengkung indah, sekarang ia sudah punya sporangium di bawah daunnya. Bisa dibilang ia telah dewasa, namun sayangnya kita tak pernah begitu.
Aku selalu menantimu dengan sisa-sisa harapan yang masih menyala kecil di dalam dadaku. Mereka bilang engkau telah mati, namun aku tak pernah percaya omong kosong mereka! Mereka memang selalu berceloteh riang, sesuka hatinya. Kupikir mengapa engkau mati? Kau adalah perempuan yang pandai menyembunyikan nyawa di setiap cela kecil ruang rumahmu. Bukankah begitu, Atmariani?
Mungkin saja kau berangkat ke luar negeri? Malaysia atau Abu Dhabi barang kali? Atau mungkin ke suatu tempat yang indah? Aku lebih percaya engkau memilih jadi TKW daripada meyakini kau telah mati! Meskipun pernah kudengar sekali kau bilang tak akan sudi jadi babu. Kau lebih suka berdagang cabai di pasar, bekerja apapun asal tak jadi pesuruh.
“Atmariani mengapa kau tak pernah bertandang barang satu kali kemari?” Aku selalu bergumam sendiri. Tentu saja tak pernah ada satupun jawaban yang kuterima. Aku selalu menunggumu Atmariani, di atas lincak setiap waktu tak henti memandang jalanan di depan rumahku, siapa tahu kau melintas dan menyapaku seperti waktu dulu.
Di suatu sore yang agak kelam dan gelap, tetiba kau datang dengan gaun yang indah. Tak pernah sebelumnya aku melihat gaun seindah milikmu. Kemolekan tubuhmu tergambar jelas, kau tak seperti biasanya. Tak akan ada yang percaya jika kau berjualan cabai sehari-hari, sering kali bau bawang. Tapi tak bisa kupingkiri bahwa kenyataannya keayuanmu, keelokan cayamu selalu memesona tiap pemuda di kampong ini, termasuk aku barang kali.
Anehnya saat kau mendekat ke lincak, suasana mendadak cerah kembali. Bukan main pesonamu bahkan memengaruhi semesta, Atmariani! Aku menatapmu sekilas. Kau tampak segar dengan warna gincu merah lembut. Bibirmu yang mungil menggariskan seulas senyum.
“Kemana saja pergimu, Atmariani?” Aku menahan segala gejolak dalam hatiku. Tentu saja aku ingin sekali langsung mendekapmu, namun setiap sudut di kampung ini punya mata! Aku tak mau kau kena fitnah.
“Aku hanya berjalan-jalan di sekitar kampung,” jawabmu tanpa ragu sedikitpun. Angin perlahan menggoyangkan rambutmu sehelai demi sehelai. Sejak kapan rambutmu begitu indah dan wangi, Atmariani? Biasanya rambutmu bau panas matahari!
“Berbulan-bulan ini?” Kau mengangguk.
“Kampung mana? Tak pernah kulihat engkau lalu lalang di depan rumahku ini!” Aku bertanya kembali. Kali ini bibirmu bergetar, Atmariani. Apakah kau hendak atau sedang berbohong?
“Ah! Barangkali, penglihatanmu kurang tajam belakangan ini.” Ia menyanggah dengan susah payah. Sore kembali hangat, tak ada mendung yang berarakan.
“Bukankah aku kekasihmu? Mengapa engkau berbohong?” Kau tak berani menatap mataku Atmariani, jelas sekali kau berusaha menyembunyikan hal besar dariku.
“Kapan aku berani berbohong kepadamu?” Kau membela diri.
“Kau hampir selalu berbohong kepadaku!” Atmariani, aku harap kau tak lagi membela diri. Angin kurasa berhembus makin dingin. Makin menusuk seluruh tulang dan harga diriku. Aku tak mampu membayangkan jika saja Atmariani benar-benar berdusta kepadaku. Aku bukan orang jujur, tapi bukan pula manusia yang gemar berbohong. Kuharap engkau juga begitu, Atmariani.
“Aku tak pernah berbohong sekalipun kepadamu.” Kau tetap bersikukuh Atmariani. Jelas sekali matamu tak pernah berani bertemu dengan mataku.
“Janganlah kau berjualan di pasar lagi!”Daripada kau terus menyiksa diri dengan kebohonganmu, lebih baik aku alihkan saja jalur pembicaraan ini.
“Lantas aku bisa apa?” Kini akhirnya kau berani menatapku. Aku rindu dengan sorot matamu yang lugu itu Atmariani! Iris matamu yang kecokelatan dan penuh dengan binar-binar yang hangat. Tak dapat kudeskripsikan sosokmu Atmariani. Tak bisa! Kau terlalu menakjubkan.
“Lanjutkan saja sekolahmu.” Aku tersenyum lembut berusaha menyentuh rambutnya yang terurai. Atmariani mencegah telapak tanganku.
“Dengan uang dari mana?” Hatiku tertegun mendengar pertanyaanmu, Atmariani.
“Tentu saja aku akan membiayaimu.” Aku meyakinkanmu. Kau tahu sendiri orang tuaku adalah yang terkaya di kampung ini. Kau menghempaskan tanganku setelah jawaban itu melucur dari bibirku. Kejam sekali kau Atmariani!
“Apa kau punya uang? Kerjamu hanya duduk di lincak ini tiap pagi, sore, dan petang!” Terdengar suaramu yang parau. Tampaknya kau meragukanku. Kalau hanya untuk sekolah sekolah menengah atas, tentu saja keluargaku mampu.
“Aku duduk di sini karena menunggumu.” Aku tak pernah mau kalah argumen denganmu Atmariani. Harga diriku tak boleh terluka, tentu saja.
“Buat apa pula kau tunggu aku?” Kau memang kejam Atmariani! Bagaimana bisa kau mempertanyakan maksudku? Tentu saja aku selalu ingin bersua denganmu. Setelah empat puluh lima hari tak pernah muncul batang hidungmu, mengapa kau datang dan membawa ratusan keraguan? Aku memang tak pandai dalam bersekolah, tapi aku pandai menilai orang lain dan kau… kau Atmariani, selalu berusaha menguji kesabaranku.
“Ismawan, masuk le. Anginnya mulai dingin.” Ibuku berdiri di mulut pintu. Aku tercengang. Mengapa pula ia tak bisa mengerti kebutuhan anak muda barang sedikit saja.
“Ibu, aku sedang berbicara dengan Atmariani. Biar aku antar dia pulang dahulu.” Aku bertutur dengan lemah lembut, senyum merekah lebar di bibir pucatku. Sejurus kemudian Ibu mengusap matanya. Ia duduk di sebelahku.
“Le, perempuan itu sudah mati.” Ibu membekap mulutnya sendiri, menahan tangis setelah berucap dengan susah payah. Aku sempat melirik sekilas, Atmariani sudah tak ada di tempatnya. Apakah ia sudah pulang?
“Baru saja ia berbincang denganku Ibu. Mengapa Ibu bilang ia telah mati?” Suaraku bergetar, kepalaku berdenyut keras.
“Ia mati karena suatu penyakit, anggap saja begitu.” Ibu mengelus kepalaku.
“Atmariani selalu sehat Bu. Tak mungkin ujug-ujug ia berpenyakit!” Tubuh Atmariani memang kecil dan ringan, namun sepengetahuanku ia bukan perempuan penyakitan seperti kata ibu.
“Anggap saja ia mati karena penyakit Le. Janganlah kau pikirkan dia lagi!” Ibu berusaha menguatkan hati, membujuk dengan tutur lirihnya. Aku tahu ia sedang berbohong!
“Jangan bohong!” Aku berdiri dengan tergesa, tak sadar membentak Ibu dengan keras. Ibu tak bisa membendung air matanya. Ia menangis dengan bisu, mulutnya terkatup erat.
“Le ayo le usaha waras.” Ibu memohon dengan memegang tanganku. Aku makin tak paham, sesungguhnya yang sakit aku atau Atmariani. Mengapa ibu meminta kepadaku? Aku berusaha mengingat kembali sosok Atmariani. Perempuan cantik yang selalu kunanti dan kuimpikan. Kepalaku berdenyut makin keras. Sakit sekali rasanya. Ingatan-ingatan tak jelas berseliweran di kepalaku: Atmariani, gudang tua, celana jeans, kawan-kawanku, Atmariani yang menjerit kesakitan! Aku yang tak berdaya. Aku berteriak. Ini sakit, ini menyakitkan. Atmariani, kau tak pernah tergenggam olehku tapi dengan tanganku sendiri aku menghancurkanmu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
