
Aku tidak mengetahui jika lelaki yang di jodohkan denganku adalah Aksa, lelaki yang telah lama menjalin hubungan asmara dengan sahabatku. Kini semuanya sudah terlambat, aku tidak bisa membatalkan pernikahan.
Aksa bertubi-tubi menyakitiku, dari segi psikis dan fisik. Dia juga tidak ingin status pernikahan kami diketahui oleh Utami – Sahabatku. Seiring berjalannya waktu, aku tidak bisa menjegah perasaan asing tumbuh dihati. Aku telah mencintai lelaki yang telah sah menjadi suamiku.
“Jangan pernah bermimpi....
Bab 33. Berani Menampar
Aku menutup mata sejenak. Menarik napas lalu menghembuskan. Tangan pun membuka pintu mobil. Aku tidak yakin bisa menang melawan Aksa. Nyaliku ciut mendengar suara lantang Aksa yang membentak. Dengan gerak yang lambat, aku keluar dari mobil. Tak Lama kemudian, Aksa juga ikut turun dari mobil.
“Cepat jalan! Kamu di depan, aku di belakang,” ujar Aksa sambil menatapku. Memancarkan aura ingin membunuh.
“Aku tidak tahu jalan menuju apartemen kamu kalau lewat sini. Kemarin aku lewat depan!” Aku berkata pelan sambil menunduk.
“Ya ampun … Dasar perempuan bodoh! Ikut aku, jangan coba lari dari sini!”
Setelah berkata, Aksa langsung melangkah. Aku ingin berlari pergi. Hanya saja, ada rasa takut jika Aksa marah dan semakin berbuat hal nekat padaku.
“Jangan coba-coba berpikir untuk kabur, Del! Kamu akan tahu akibatnya kalau nekat melakukan itu! Aku tidak bisa menarik tanganmu, karena disini banyak cctv.”
Aksa mengucapkan kalimat yang seolah menjawab pertanyaanku. Ya sudah! Tak apa aku ikuti dia. Mungkin memang Aksa ingin mengajak aku bicara. Hanya saja, dia mungkin gengsi untuk memperlakukan aku dengan baik. Sekali-kali aku sepertinya harus berpikir positif tentang Aksa.
Aku terus mengikuti langkah Aksa. Hingga tiba di dalam apartemen. Aksa berdiri sambil bertolak pinggang. Matanya menatapku.
Aku tidak berani melihat Aksa. Matanya tersirat kemarahan. Padahal tadi di dalam mobil, aku berani melawan. Kenapa sekarang rasanya aku takut dengan lelaki ini. Apa mungkin dia sudah berbicara dengan Pak Candra? Bagaimana aku bisa berpikir positif tentangnya, jika aku ditatap seperti ini?
“Apa maksud kamu bilang ke ayahku soal apartemen ini?” Aksa berkata setelah menarik napas dengan kasar.
Benar kan, apa yang sudah aku pikirkan? Aksa pasti memanggilku kesini karena Pak Candra semalam sudah menelponnya. Tetapi kenapa Aka melontarkan pertanyaan begini? Dia menuduhku sebagai orang yang sudah memberitahu Pak Candra. Padahal aku tidak pernah melakukan itu
“Kenapa kamu bilang ke ayah kalau aku punya apartemen?”ujar Aksa lagi. Karena aku tidak menjawab pertanyaannya.
Aku langsung menatap wajah Aksa. Kepala menggeleng, bibir pun berucap, “aku tidak pernah bilang ke Pak Candra kalau kamu punya apartemen. Dia tahu dari orang kepercayaannya.”
Aksa langsung tertawa sinis. Beberapa detik terdiam dan menunduk, dia lalu mengangkat wajah dan kembali menatapku. “ Kamu pikir aku akan percaya! Kamu memang perempuan munafik, Delisia! Kamu cerita ke ayah kalau aku membeli apartemen karena kamu ingin tinggal bersamaku, iya ‘kan? … Kemarin kamu datang ke sini dengan alasan ingin meminta cerai. Namun nyatanya, kamu cerita ke ayah kalau aku memiliki apartemen! Apa tujuanmu kalau bukan ingin tinggal di sini bersamaku. Perempuan macam apa kamu, Delisia! Kok bisa, di dunia ini ada perempuan murahan seperti kamu. Bahkan perempuan paling hina pun, akan malu berbuat seperti yang kamu lakukan ini … Aku tidak habis pikir, Delisia! Sudah berulang kali aku katakan, jika aku tidak suka melihatmu! Bagaimana bisa aku hidup serumah dengan perempuan seperti kamu? Harusnya kamu bisa sadar diri, Delisia!”
“Kenapa kamu selalu menuduhku melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lakukan? Aku tahu kamu tidak suka dengan pernikahan ini. Tetapi, bukan berarti kamu bisa menuduhku sesuka hati. Kamu sudah tanya ke Pak Candra, beliau tahu dari mana soal apartemen kamu ini? … Sebenarnya orang yang hina itu bukan aku, Aksa! Tetapi, kamu!” Aku berkata dengan suara yang tak kalah lantang dari Aksa.
“Kamu memang perempuan yang suka melawan, ya? Orangtua kamu tidak pernah mengajarkan tentang etika ke kamu? Oh iya, kamu ‘kan dari keluarga miskin. Kamu juga anak yang terlahir dari kampung. Orang tuamu tidak berpendidikan. Sudah pasti mereka salah dalam mendidik-“
Aku langsung menampar pipi Aksa dengan sangat keras. Dia memegang pipinya. Tamparan dengan tenaga yang kuat membuat mata Aksa sedikit memerah. Ya, tamparan yang baru saja aku layangkan ke pipi Aksa memang sedikit terkena bagian pinggir mata. Sangat wajar jika kini warna mata Aksa ikut merah
“Jangan pernah menghina orangtuaku! Mulut kotormu tidak pantas untuk menuduh orangtuaku! Kamu pikir aku mau tinggal di sini bersama kamu? … Aku lebih rela tidur di bawah jembatan, dari pada tinggal berdua dengan lelaki monster seperti kamu!” Setelah berkata, aku langsung melangkah. Ingin meninggalkan apartemen Aksa.
Tanganku langsung ditahan oleh lelaki tak bermoral ini. “Kamu pikir bisa keluar dari sini setelah menamparku!” Tanpa aku duga, setelah Aksa berkata, dia langsung menarik tanganku.
“Kamu mau bawa aku ke mana, Aksa?” ujarku sambil berusaha melepas tangan kanan yang di tarik Aksa.
“Aku akan memberi hukuman pada perempuan yang sudah berani menamparku. Hari ini aku akan mewujudkan keinginan kamu untuk tinggal di apartemenku.” Aksa tertawa lantang di akhir kalimat. Dia kini telah menjelma bagai manusia berwujud iblis.
Aku semakin ketakutan. Bibir yang bergetar mengucap kalimat, “lepas, Aksa! Aku tidak mau tinggal di sini. Aku mau ke kampus. Aku mau pulang!”
Aksa semakin tertawa mendengar suaraku yang ketakutan. Aku terus menggoyang-goyangkan tangan kanan agar terlepas dari tangan Aksa. Aku juga menggunakan tangan kiri untuk memukul mukul tangan Aksa. Tetapi, tangan kuat Aksa tak juga terlepas.
Ternyata Aksa menarik tanganku untuk di bawa ke dalam sebuah kamar. Dia lalu mendorong tubuhku agar masuk, karena aku terus saja menolak. Aku sudah tidak bisa menahan, airmata telah jatuh dari kelopak
Tak peduli jika saat ini Aksa semakin tertawa puas melihat ketakutanku. Aku sungguh tidak bisa berpura-pura kuat. Aku sangat takut – berada di dalam sebuah kamar dengan laki-laki seperti Aksa. Ya, meskipun dia adalah suami yang sudah halal secara agama dan Negara. Tetapi, perlakuan Aksa saat ini sangat tidak manusiawi. Sepertinya Aksa murka karena aku berani menamparnya.
Ya Allah, apa yang akan di lakukan lelaki ini padaku? Hambamu ini sangat takut. Tolong aku, Ya Allah. Aku terus membatin. Berdoa dalam benak dengan mata yang terus mengeluarkan air bening.
Aksa langsung mengunci pintu kamar ketika aku sudah terdorong masuk bersamanya. Dia lalu menaruh kunci pintu ke dalam saku celananya. Dia tidak lagi menarik tanganku. Kini aku dibiarkan berdiri sendiri dan Aksa mencari sesuatu yang tidak aku tahu.
“Tidak usah takut, Delisia. Aku tidak akan melakukan hal senonoh ke kamu. Kamu masih ingat ‘kan, apa yang selalu aku katakan ke kamu? Kulitku tak akan sudi bersentuhan dengan perempuan seperti kamu. Jadi tidak usah takut. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengan kamu,”ujar Aksa sambil mencari-cari sesuatu.
Ya Allah, apa lagi yang ingin di lakukan oleh lelaki ini? Kini aku mundur ke belakang karena Aksa menatapku seperti orang yang sedang kelaparan.
“Apa yang kamu ingin lakukan, Aksa?” ujarku pelan dengan wajah yang ketakutan. Suara sesegukan terdengar dari bibir. Airmataku belum berhenti keluar dari kelopak.
Bunyi dering telepon menghentikan langkah Aksa. Namun, tidak dengan langkahku. Aku terus mundur kebelakang, tidak ingin berdiri di dekat Aksa.
“Hallo, sayang!” ujar Aksa setelah mengangkat telepon. Aku tahu, itu pasti panggilan dari Utami. Hanya dengan Utami, Aksa bisa bersikap lembut.
“Iya, ini aku mau ke kampus.”
“Kalau gitu tunggu di situ, aku ke jalan sekarang.”
“Iya, sayang. Ini masih di apartemen. Kamu tunggu di situ jangan ke mana-mana.”
Setelah berbicara dengan Utami, Aksa langsung meninggalkan kamar. Dia jalan tergesa-gesa. Aku tidak tahu, apa yang terjadi dengan Utami. Hingga membuat Aksa yang berniat menyakitiku – berubah pikiran dan meninggalkan kamar.
Aku memanggil-manggil Aksa. Tetapi, tidak digubris. Hal yang membuatku kaget, Aksa ternyata mengunciku di dalam kamar.
“Bagaimana ini, aku harus ke kampus. Kemarin aku sudah tidak masuk kuliah beberapa hari. Kalau hari ini aku tidak masuk lagi, bisa-bisa dosen pengampuh matakuliah memberiku nilai rendah.” Aku berkata lirih sambil mengoyang-goyangkan ganggang pintu agar bisa terbuka.
Aku mengambil handphone dari dalam tas. Mencari nama Utami di kontak. Namun tersadar, tidak punya alasan yang bisa aku katakan ke Utami.
Aku kini telah duduk di lantai dan bersandar di pintu kamar. Menekuk lutut lalu memeluknya. Kepala tertunduk dan menjadikan lutut sebagai tumpuan. Aku pun menangis tersedu-sedu.
“Kenapa aku harus menjalani takdir seperti ini? Aku bahkan tidak pernah menyangka jika akan menikah dengan laki-laki sejahat Aksa. Setiap saat dituduh. Setiap saat di hina. Siapa perempuan yang bisa bertahan dalam rumah tangga tanpa cinta?” Aku terus berkata lirih sambil menangis.
Rok yang aku pakai sudah basa. Berkali-kali menghapus airmata menggunakan rok yang aku pakai. Aku tidak tahu, sudah berapa lama duduk di sini. Rasanya tidak ingin pindah, agar ketika Aksa membuka pintu, aku bisa langsung lari dari sini.
Handphone yang ada di tangan berdering, menampilkan nama Pak Candra. Saat ini aku tidak ingin mengangkat. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Pak Candra. Rasanya cukup untuk hari ini! Apapun itu, aku belum ingin mendengar. Bertengkar dengan Aksa selalu menguras emosi. Hatiku saat ini sudah terasa lelah.
Bab 34. Berjanji Menikahi Utami
Pov Aksa
***
Aku sedang mengendarai mobil, ingin menemui kekasihku – Utami. Aku sangat mencintainya. Meskipun sekarang telah menikah dengan seorang perempuan buluk, tetapi hatiku masih untuk Utami. Perbedaan Utami dan Delisia sangat jauh. Utami cantik, putih, dan tinggi. Dia juga sosok perempuan lembut dan manja. Aku bahkan tidak menemukan satupun kekurangan Utami. Sedangkan Delisia, ahhh, aku tidak bisa menyebutkan satu per satu kekurangannya. Terlalu banyak dan tak bisa dihitung dengan sepuluh jariku
Menikah dengan Delisia adalah nasib tersial yang telah terjadi padaku. Bagaimana mungkin aku yang fisiknya begini, berjodoh dengan perempuan seperti Delisia? Aku menyukai perempuan yang kemana-mana selalu berhias diri. Setidaknya, wajah yang jelek sedikit bisa tertutupi. Namun Delisia, tak pernah sekalipun aku melihatnya bermake up ketika ke kampus. Dia selalu memakai jilbab panjang menutup dada tanpa sedikitpun make up di wajah. Bagiku dia seorang perempuan kulot.
Sampai sekarang, benak masih di penuhi tanya. Bagaimana mungkin ayah memaksaku menikah dengan perempuan seperti Delisia? Pasti ayahku sudah kena santet. Orangtua Delisia ‘kan bukan orang yang berpendidikan, pasti mereka sudah mengirim ilmu hitam ke ayah, sehingga ayah mau menikahkan aku dengan anak mereka.
“Aksa, jika kamu tidak mau menikah dengan Delisia, ayah akan menghapus namamu dari pewaris tunggal harta kekayaan ayah. Kamu pikir ayah tidak berani melakukan itu? Lebih baik semua harta kekayaan ini, ayah sumbangkan ke panti asuhan, dari pada harus di kasih ke anak keras kepala seperti kamu!”
Kalimat yang terlontar dari bibir ayah masih terekam jelas dalam ingatanku. Ayah lebih memilih menyumbangkan semua harta kekayaannya ke anak orang lain daripada mewariskan ke aku, jika aku terus saja menolak di jodohkan dengan perempuan kampung itu. Aku sudah berkali-kali menolak. Tetapi ayah, terus saja memaksa. Aku heran, apa yang dimiliki perempuan itu, hingga membuat ayah harus memaksaku.
Dulu saat pertama kali ayah memberitahu tentang perjodohan, aku belum tahu jika perempuan yang dijodohkan denganku adalah Delisia. Betapa murkanya aku, setelah tahu dari orang suruhanku, ternyata perempuan yang dijodohkan oleh ayah ada Delisia – Sahabat kekasihku. Dia sungguh penghianat. Kok bisa melakukan ini padaku dan Utami. Aku kekasih sahabatnya, kenapa nekat melakukan segala cara agar aku menikah dengannya.
Aku tidak tahu, apa hubungan ayahku dan orangtua Delisia. Dan aku juga tidak ingin tahu. Sepertinya jika aku semakin mencari tahu tentang Delisia, aku akan semakin benci padanya. Aku sangat tidak menyangka, sosok yang terkenal polos di kampus, ternyata seorang perempuan munafik.
Aku terpaksa menerima kenyataan untuk menikah dengan Delisia, karena ayah masuk rumah sakit. Walau bagaimanapun, sekarang aku hanya memiliki ayah di dunia ini. Ibu sudah lama meninggal.
Aku tidak serius menjalani pernikahan. Tanpa ayah tahu, aku membuat kontrak pernikahan, jika setelah tiga tahun menikah, aku akan menceraikan Delisia. Aku rasa waktu tiga tahun sudah cukup.
Jika nanti waktunya tiba, aku akan membuat alasan seolah Delisia lah yang salah, agar ayah simpati padaku. Dengan begitu hubunganku dan ayah akan baik-baik saja. Sedangkan Delisia, aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi padanya, setelah perceraian kami nanti.
Semalam ayah menelponku. Aku masih mengingat jelas kalimat yang disampaikan oleh ayah. “Aksa, benar kamu membeli apartemen?”
Aku sangat kaget ketika ayah melontarkan pertanyaan itu. Ingin berbohong, tetapi takut jika kebohongan lain juga akan tercipta. Dengan pasrah, aku akhirnya jujur menceritakan semuanya ke ayah. Ya, aku beralasan membeli apartemen agar teman-teman tidak sungkan jika ingin kumpul denganku.
Selain itu, aku juga beralasan apartemen ini sebagai tempat privasiku dan Delisia. Niatnya hanya untuk menyenangkan ayah. Namun, yang aku duga sungguh di luar nalar. Ternyata ayah yang terlalu senang justru membuat petaka baru untukku.
“Bagus kalau begitu. Ayah memang berencana untuk membelikan apartemen untuk kamu dan Delisia, agar kalian bisa tinggal berdua. Awalnya ayah ingin marah setelah tahu kamu membeli apartemen tanpa seizin ayah. Tetapi sekarang, ayah justru sangat senang. Kalau begitu, besok juga Delisia akan tinggal bersama kamu di apartemen.”
Aku terpaku mendengar kalimat yang ayah ucapkan. Apa-apaan ini? Aku tidak ingin tinggal seatap dengan perempuan itu. Aku pun menolak dengan rayuan yang tidak akan membuat ayah curiga. Tetapi, ayah memiliki seribu ucapan yang membuat aku kalah melawan keinginannya.
Aku tidak habis pikir bagaimana hidupku nanti jika tinggal satu atap dengan Delisia. Bertemu dengannya saja aku tidak bersemangat untuk hidup. Apalagi harus tinggal bersama. Semua ini pasti kerjaan perempuan itu. Aku sangat yakin, dia yang melapor ke ayah kalau aku memiliki apartemen. Sebelum Delisia tahu alamat apartemenku, ayah tidak pernah tahu jika aku memiliki apartemen.
“Sayang, maaf ya aku ngerepotin kamu pagi-pagi. Aku nggak tahu kenapa mobilku bisa mogok,” ujar Utami dengan suara manja padaku.
Aku kini telah tiba di lokasi mobil Utami mogok. Dia menghampiriku dengan wajah panic. Aku langsung mengusap lembut puncak kepala kekasihku ini.
“Tadi aku sudah menelepon pihak bengkel untuk mengambil mobilmu di sini. Tidak perlu khawatir, nggak lama lagi mereka akan tiba,” ujarku sambil tersenyum lembut pada Utami. Ya, tadi di perjalan ke sini, aku sudah menelepon pemilik bengkel langgananku. Yang pastinya bengkel miliknya sangat terkenal di kota ini.
“Tetapi aku harus ke kampus sekarang, sayang. Jam setengah sembilan aku kuliah. Masa iya, aku harus nunggu sampai mobilku selesai di perbaiki.” Utami merengek. Wajahnya terlihat sangat cantik kalau sedang panik begini.
Aku kembali mengusap puncak kepalanya, lalu bibir berkata, “kalau begitu aku antar kamu dulu ke kampus. Mobil ini, biar aku yang jaga. Aku masuk kuliah jam sepuluh jadi tidak masalah menunggu sampai mobil kamu selesai diperbaiki.”
Kalimat yang keluar dari bibirku telah membuat Utami tersenyum. Dia lalu memelukku. Gadisku ini memang sangat manja. Meskipun usianya sudah menginjak kepala dua, dia masih bersikap seperti anak kecil ketika denganku. Namun, sikap manja ini pula yang membuat hatiku jatuh cinta.
Aku pun mengantar Utami menuju kampus. Kekasihku ini terus bercerita. Dia memang perempuan yang ceria dan suka bercerita. Saat bercerita, wajahnya identik dengan senyuman. Ya, ketika bercerita, wajahnya selalu tersenyum.
Setelah tiba di kampus, aku hanya menurunkan Utami, lalu kembali ke lokasi mobil mogok. Sepanjang jalan, pikiranku kembali mengingat Delisia. Ah, perempuan itu memang pengganggu sejati. Kok bisa-bisanya ingatanku memikirkan dia lagi? Padahal aku baru saja merasa senang, karena melihat tawa di wajah kekasihku. Setiap kali mengingat Delisia, aku tidak bersemangat. Dia memang perempuan pembawa sial.
Kalau saja dulu aku bersikeras untuk menolak dinikahkan dengan Delisia, pasti hidupku akan tetap bahagia. Apa yang kurang dari aku? Semua keinginanku , ayah selalu wujudkan. Apalagi aku memiliki kekasih yang sangat cantik. Aku bahkan merasa tidak memiliki kekurang dan hidupku sangat sempurna.
Namun sekarang, aku sering merasa gundah. Terkadang ada ketakutan dalam benak, jika tidak akan bisa menikahi Utami. Menikah dan hidup bahagia dengan perempuan yang aku cintai adalah mimpiku? Aku takut, jika suatu saat nanti Utami tahu aku telah menikah dengan sahabatnya, dia akan membenci dan pergi dariku.
“Sayang, kenapa kamu hari ini diam saja. Kamu ada masalah? … Kalau ada masalah, cerita ke aku. Siapa tahu aku bisa bantu?”
Kalimat itu dulu diucapkan Utami ketika dia duduk bersamaku di sofa apartemen. Aku tahu dia mengajakku bicara, namun aku hanya diam saja. Tak satupun kalimat terucap dari bibirku untuk menanggapi perkataan Utami. Ya, saat itu aku baru saja menikah dengan Delisia. Setelah mengantar Delisia pulang ke rumah, aku langsung ke apartemen.
Utami beberapa kali menelepon tetapi aku tidak mengangkat. Mungkin karena panik dan takut terjadi sesuatu denganku, Utami akhirnya datang ke apartemen. Hanya saja, aku tidak menyambutnya, seperti yang biasa aku lakukan padanya. Bahkan wajahku tidak menampakan senyum ketika melihat kedatangan Utami.
“Sayang, kamu tidak senang ya, aku datang ke sini? Dari tadi aku ajak bicara, kamu hanya diam saja. Kalau aku ada salah ke kamu, aku minta maaf. Kalau terus diam seperti ini, apa sebaiknya aku pulang saja. Mungkin kamu mau istirahat … Aku pulang ya.” Utami berkata dengan lembut. matanya menatapku penuh sayang.
Aku pun menatap mata Utami. Beberapa detik masih saja terdiam. Aku hanya ingin menatap perempuan yang paling aku cintai. Tiba-tiba Utami kaget karena aku langsung memeluknya. Pelukanku sangat erat, dia pun membalas.
“Jangan pernah tinggalin aku, sayang! Aku sangat mencintai kamu! Tidak akan pernah ada, sosok perempuan yang bisa menggantikan kamu di hatiku. Kamu harus percaya denganku, kalau hanya kamu perempuan yang aku cintai di dunia ini, selain ibu.” Aku berbisik di telinga Utami. Masih dengan tangan yang memeluk tubuhnya.
Aku terlalu takut Utami meninggalkan aku. Semua bisa saja terjadi. Dunia ini terlalu sempit. Bagaimana kalau dia mendengar dari orang lain, jika lelaki yang sudah lama berstatus sebagai kekasihnya, ternyata menikah dengan sahabatnya sendiri? Perempuan mana yang tidak akan kecewa?
Utami melepas pelukanku. Dia tersenyum lembut sambil merapikan rambutku yang berantakan.
“Kamu ngomong apa sih, sayang? Kapan aku bilang, akan meninggalkan kamu? Tidak pernah ‘kan? Aku juga sangat mencintai kamu … Setelah kuliah kita akan menikah. Kita akan tinggal bersama dalam satu kamar. Okey lah memang selama ini kita sudah sering tinggal berdua. Tetapi ‘kan kita tidur di kamar yang berbeda … memangnya ada apa sih? Kok kamu tiba-tiba ngomong kayak gini ke aku? Ada masalah apa, hem? Cerita ke aku” ujar Utami dengan lembut. Dia juga mengusap pelan pipiku sebelah kanan.
Aku menggelengkan kepala. “Nggak kok, sayang. Aku hanya memikirkan, bagaimana jika suatu saat nanti kamu meninggalkan aku. Bagaimana kalau ada laki-laki yang lebih ganteng dan kaya, mendekati kamu? Aku takut kamu akan memilihnya.”
Utami langsung memelukku. Dia pun berkata, “ itu tidak akan pernah terjadi, sayang. Aku bukan perempuan yang mudah mencintai laki-laki. Aku tidak peduli dia kaya atau apalah kelebihannya. Aku hanya mau menikah dengan kamu … Kamu adalah lelaki yang aku pilih untuk menjadi suamiku nanti.”
Aku mengusap punggung belakang kekasihku. Dia masih berada dalam pelukanku. “Aku janji ke kamu, setelah kuliah kita akan menikah!”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
