Aku Istri Kekasih Sahabatku (Bab 5 - 6)

0
0
Deskripsi

Aku tidak mengetahui jika lelaki yang di jodohkan denganku adalah Aksa, lelaki yang telah lama menjalin hubungan asmara dengan sahabatku. Kini semuanya sudah terlambat, aku tidak bisa membatalkan pernikahan.

Aksa bertubi-tubi menyakitiku, dari segi psikis dan fisik. Dia juga tidak ingin status pernikahan kami diketahui oleh Utami – Sahabatku. Seiring berjalannya waktu, aku tidak bisa menjegah perasaan asing tumbuh dihati. Aku telah mencintai lelaki yang telah sah menjadi suamiku. 

“Jangan pernah bermimpi....

Bab 5.  Pertemuan di Rumah Sakit

***

Sudah tiga hari aku berada di rumah megah ini. Tetapi, belum pernah bertemu dengan Aksa. Apa dia sangat benci denganku, sampai melihat wajahku pun dia tak ingin? Mungkinkah dia mengira jika pernikahan ini terjadi karena keinginan orangtuaku. Ahhh, tidak boleh berpikir begitu. Semua ini terjadi, karena Aksa belum terbiasa dengan kehadiranku.

Aku masih berada di balkon kamar. Menatap halaman luas di dekat kolam renang. Aku mengagumi desain rumah ini. Terlihat elegan dan indah di pandang.Tepat di taman yang terdapat banyak bunga, ada seorang asisten rumah yang sedang menyiram tanaman. Mungkin dia bertugas untuk menyiram tanaman setiap pagi karena sudah tiga hari aku melihatnya melakukan aktivitas itu.

Tok! Tok!

“Non Delisia!”

Aku langsung berdiri ketika mendengar suara memanggil. Saat membuka pintu, terlihat seorang asisten sedang berdiri sambil tersenyum.

“Ini apa, Bi? Kenapa repot-repot di bawa ke sini. Aku ‘kan bisa turun cari makan sendiri,” tuturku. Lalu mengambil makanan yang ada di tangan asisten.

“Barusan Tuan Besar menelepon, beliau menanyakan kabar Non. Kami disuruh antar makanan ke sini saat beliau dengar kalau Non belum makan,” ujar asisten sambil menunduk.

“Karena belum lapar, makannya aku masih di kamar. Tetapi, Makasih ya,” ucapku sambil tersenyum. Sebenarnya aku tidak suka melihat mereka yang sangat segan saat berbicara denganku.  

“Iya, Non. Aku permisi ya,” ucap Asisten, dia lalu melangkan setelah mendapat anggukan dariku.

Aku melihat makanan dipiring yang sekarang berada di tanganku. Roti bakar coklat dan satu gelas susu Vanila. Aku tidak mungkin makan roti ini karena elergi coklat. Hanya saja, kalau menolak saat dikasih, rasanya kurang sopan.

Aku menutup pintu kamar, setelah menaruh sarapan di atas meja. Susu vanilla aku minum sampai habis. Aku lalu berdiri untuk mengambil plastik. Jika Roti coklat ini dibuang, itu mubazir. Di luar sana, masih banyak orang yang butuh makan. Jangan mentang-mentang sekarang sudah hidup serba ada, aku mau buang-buang makanan.

Handphone berdering, aku langsung mengangkat.

“Assalamualaikum, Ibu!” tuturku lembut.

“Waalaikumsalam! Anak ibu sudah makan?” Samar-samar terdengar suara ayah yang sedang berbicara dengan seseorang.

“Sudah, Bu. Ini baru saja selesai. Kabar ibu dan ayah gimana?” ucapku sambil menyandarkan punggung belakang ke dinding sofa.

“Alhamdulillah, ayah dan ibu baik. Kabar kamu gimana, Nak?”

“Alhamdulillah baik, Bu.”

“Ibu sebenarnya ingin tanya. Tetapi jangan sampai kamu malu-malu,” ujar ibu sambil tertawa kecil.

“Haha, tanya apa sih, Bu? Kok kayak aneh gini. Biasanya kalau ibu mau bertanya langsung keintinya.” Tuturku dengan nada suara yang ceria. Namun, hati penuh was-was. Takut ibu bertanya tentang sesuatu yang sulit untuk aku jawab.

“Gimana malam pertamamu, Nak. Aksa pelan-pelan ‘kan, tidak mempelakukan kamu secara kasar? Soalnya kalian berdua baru kenal. Ibu tuh, agak takut gimana gitu,” ujar ibu. Terdengar dari nada bicara, ibu berucap sangat hati-hati.

“MasyaaAllah! Ibuku yang lembut dan baik hati …  Maafkan aku, Bu. Bukankah agama kita melarang seorang istri yang bercerita tentang persoalan ranjang. Hehe.” Hati berharap, semoga ibu tidak tersinggung dengan perkataanku.

“Iya, Nak. Sebenarnya sih ibu mengerti. Tetapi gimana yah, ibu terlalu khawatir dengan keadaan kamu. Jangan sampai kayak di flem-flem itu loo, Del. Istri disiksa saat malam pertama, karena menikah akibat perjodohan.”

Aku membelalakan mata mendengar perkataan ibu. Apakah benar karena flem? Atau karena ibu memiliki firasat yang kurang baik tentang pernikahanku?

“Pikiran ibu tidak boleh ke mana-mana. Aksa sangat baik, Bu. Malam pertama kami berjalan lancar, hehe. Aku berterimakasih sekali sama ibu dan ayah, sudah menjodohkan aku dengan laki-laki seperti Aksa. Aku tidak menyangka, berjodoh dengan lali-laki luar biasa seperti dia. Sudah ganteng, baik, soleh, kaya. Apa yang kurang dari Aksa, aku belum temukan. Dimataku dia sangat sempurna, Bu," ujarku, berusaha menghilangkan pikiran buruk ibu.

Terdengar napas berat ibu di telinga. Alisku pun mengkerut.

“Alhamdulillah, sayang. Beberapa hari ini, ibu hanya pikirkan kamu. Takut pilihan ayah dan ibu itu salah. Ibu senang dengar kalau kamu sangat bahagia sekarang. Ibu terharu, Nak. Semoga pernikahan kamu langgeng sampai maut memisahkan. Jangan lupa, cepat kasih ibu cucu-cucu yang menggemaskan.”

“Aamiin. Oh iya, Bu. Teleponnya aku matikan dulu ya. Aku mau keluar dulu. Nanti kita lanjutkan lagi ya,” ujarku dengan nada bicara yang tenang. Sungguh, kini air mata sudah berkumpul dikelopak. Sebentar lagi akan jatuh. Aku tidak ingin ibu mendengar suara yang serak.

Setelah mendapatkan persetujuan dari ibu, aku langsung mematikan telepon. Kedua tangan menutup wajah yang menangis tersedu. Dada sangat sesak menahan sakit.

Sampai kapan aku terus berbohong. Mustahil aku bisa jujur ke ibu, jika Aksa tidak memperlakukan aku istimewa. Dia sangat membenciku karena perjodohan ini. Sesekali aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menarik napas, lalu menghembuskan. Memukul-mukul dada, berharap agar perasaan sakit berkurang. Namun, air mata semakin daras keluar. saat mengingat jika ini bukanlah pernikahan impian, seperti yang aku katakan tadi pada ibu.

Namun, Aku tidak boleh berlarut. Dari pada bersedih mendingan aku ke rumah sakit. Mungkin ketika bertemu Pak Candra, rasa sakit in sedikit terobati. Setidaknya aku memiliki ayah metua yang baik. Aku mulai bersiap-siap. Mengganti gamis dan jilbab dengan pakaian layak untuk dipakai keluar rumah. Hanya sepuluh menit waktu yang aku butuhkan. Tak lupa, aku membawa roti bakar coklat untuk dikasih pada orang yang butuh.

Kini kaki melangkah ke depan gang untuk menunggu bus kota. Satu persatu asisten tersenyum menyapa. Untung saja mereka tidak sejutek tuannya. Hampir empat puluh menit perjalanan, kini aku sudah berada di rumah sakit.Aku menanyakan ruangan Pak Candra di meja pendaftaran. Setelah mendapatkan informasi, aku langsung melangkahkan kaki.

Setibanya di ruang inap yang ditempati Pak Candra, aku langsung memperlambat langkah. Terlihat sosok yang sudah beberapa hari tidak ingin bertemu denganku, sedang membaca buku sambil berbaring di atas sofa. Mataku langsung tertuju pada seseorang yang ingin aku jenguk. Pak Candra tersenyum, aku pun membalas.

“Bagaimana keadaanmu, Delisia? Hari ini tidak kuliah?” tanya Pak Candra, saat aku sudah berada di dekatnya.

“Di tunda besok, A-yah. Dosen matakuliah sedang ke luar kota. Kabar mmm-”

“Hahaha … ternyata kamu masih canggung memanggilku ayah.”

Aku hanya mengangguk malu-malu mendengar perkataan Pak Candra. Apalagi di sini ada Aksa, aku kurang percaya diri untuk memanggil Pak candra ‘ayah’. Jangan sampai Aksa akan semakin membenciku.

“Aksa, sini! Istrinya datang malah sibuk baca buku!” ucap Pak Candra, seolah marah dengan tingkah Aksa. Lalu tersenyum padaku, yang sedang menampakan wajah bingung untuk bersikap. “Kamu ini, sudah hampir seminggu menikah, teetapi masih malu-malu saja.”

“Namanya juga pengantin baru, ayah. Kayak ayah tidak pernah ngalami saja,” ujar Aksa sambil berjalan mendekati aku dan Pak Candra.

Aku coba menetralisir perasaan. Kini jarak antara aku dan Aksa sangat dekat. Aku heran, kenapa dia harus berdiri di dekatku. Apa mungkin ingin terlihat akrab di depan Pak Candra? Entahlah, aku tidak bisa menebak isi pikiran lelaki ini.

“Kenapa kalian berdua datang sendiri-sendiri di sini?” tanya Pak Candra.

Dalam waktu bersamaan, aku dan Aksa saling pandang. Dia lalu menggenggam tanganku. Seketika hati bagaikan kesetrum aliran listrik, tubuh langsung membeku.

Aksa tersenyum lembut padaku lalu berkata pada Pak Candra, “saat aku ke sini tadi istriku sedang tidur. Aku tidak mau membangunkan, karena tidak ingin mengganggu tidurnya. Iya ‘kan, sayang?” Mata Aksa lalu menatapku setelah mengucapkan kalimat terakhir.

Aku menganggukan kepala, tanpa berkata. Kini batin penuh tanya, apakah Aksa sudah bisa menerimaku sebagai istrinya?

Bab 6. Aku Kira Sudah Berbeda

“Ayah senang kamu bisa meniru sifat ayah ke ibumu. Jadi suami itu harus baik dengan istri. Karena jika perasaan istri terluka sedikit saja, hidupmu tidak akan tenang. Rezeki itu tergantung ridho istrimu. Kalau istrimu selalu bahagia dan merasa senang, maka kamu akan mudah menjali hidup. Kamu harus dengar baik-baik semua nasehat ayah. Tapi, jangan hanya di dengar, kamu juga harus lakukan,” ucap Pak Candra dengan senyum diwajahnya.

Aku melihat wajah Aksa. Dia nampak biasa saja. Aku sangat merasa canggung berada di antara mereka. Aksa yang aku kenal, namun seperti orang asing saat ini. Sedangkan Pak Candra, aku belum terlalu mengenalnya.

Aku tidak bisa menjadi perempuan yang sok akrab. Sangat sulit buatku bisa dekat dengan orang yang baru. Apalagi harus berbicara basa-basi. Dalam pikiran, aku membayangkan jika lawan bicaraku tidak suka dengan topik pembahasan yang sedang aku ucapkan. Rasanya itu sunggu memalukan dan tidak enak di hati.

Ya, aku adalah tipe perempuan yang tidak enakan. Untuk memulai suatu perkenalan, sangat tidak mudah bagiku.

“Delisia, kenapa diam saja?”

Suara Pak Candra membuatku tersadar dari lamunan. Aksa pun menoleh padaku.

“Dia mungkin masih malu-malu, Ayah. Setelah beberapa hari bersama Delisia, aku mengenalnya sebagai sosok yang pemalu dan sedikit pendiam,” ujar Aksa sambil tersenyum padaku dan Pak Candra. Senyuman yang sebelumnya tidak pernah dia berikan kepada perempuan selain Utami. Aku membalas senyum itu, lalu mengalihkan pandangan. Mataku memilih untuk melihat Pak Candra yang berada di atas ranjang rumah sakit.

Tidak bisa berbohong, aku terkesima melihat wajah Aksa yang sedang tersenyum. Dia sungguh sangat ganteng. Bibir tebal kemerahan yang tidak pernah tersentuh rokok. Alis tebal dan bulu mata lentik. Di tambah kulit putih dan betuk tubuh tinggi. Membuat fisik Aksa terlihat sangat sempurna.

Ya Allah, apakah aku salah mengagumi laki-laki yang kini sudah sah menjadi suamiku? Dosakah perasaan kagum ini, karena lelaki yang menjadi suamiku tidak mencintaiku?

Selama ini aku tidak pernah menatapnya atau berada terlalu dekat dengannya. Namun, berbeda dengan hari ini. Aku bisa melihat senyum Aksa dari jarak yang dekat.

“Delisia, duduk di sini. Kamu dari tadi berdiri terus. Nanti capek,” ujar Pak Candra sambil menunjuk satu kursi yang ada di dekat ranjang. “Kalau Aksa, biarkan saja dia. Laki-laki itu harus kuat.”

“Tidak usah, Ayah. Aku tidak capek kok,” ujarku yang masih berdiri di samping ranjang. Di tempat ini aku sebenarnya bisa mengurut-ngurut kaki Pak Candra seperti aku yang sering mengurut ayah. Tetapi, aku masih belum terbiasa melakukan itu.

Meskipun Pak Candra kini sudah menjadi ayahku juga. Tetapi, aku belum bisa menghilangkan perasaan canggung ini.

“Oh iya, Ayah. Aku dan Delisia sebenarnya mau ke acara teman siang ini. Boleh nggak kalau kami pergi sekarang?” ujar Aksa dengan kedua tangan bersembunyi di kantung celana. Dengan gaya yang seperti ini, aura kegantengan Aksa semakin terpancar. Lagi-lagi aku terpesona melihatnya. 

Aku langsung mengalihkan pandangan. Tidak ingin terlalu kagum dengan lelaki yang masih berstatus sebagai kekasih sahabatku ini. Aksa adalah sosok lelaki yang dikagumi banyak perempuan di kampus. Aku tahu itu karena Utami sering kali curhat tentang kelakuan perempuan-perempuan yang sibuk mencari perhatian Aksa.

“Boleh boleh. Ayah juga ingin istrahat … kalian jangan lupa, besok ayah sudah bisa pulang ke rumah. Kalian berdua harus menjemput ayah di sini,” tutur Pak Candra.

Aksa tersenyum padaku lalu melihat Pak Candra. Senyuman di wajahnya juga terukir ketika melihat sang ayah. Aksa ini sosok laki-laki yang sangat penyayang pada ayahnya. Itu yang bisa aku lihat hari ini.

Aku menganggukan kepala dan berkata, “iya, Ayah. Besok kami akan ke sini.”

Setelah berkata sambil melihat Pak Candra. Aku membalas senyum Aksa dengan canggung. Kenapa pikiran buruk dalam otakku tidak bisa hilang? Aku yakin keakraban yang saat ini dibuat oleh Aksa adalah bagian dari rencananya yang tidak ingin Pak Candra tahu jika pernikan kami hanyalah status di atas kertas.

“Kalau begitu kami pergi dulu ya, Ayah.” Aksa berkata dengan suara bas. Matanya lalu menlihatku. “Yuk.”

Aku dan Aksa meninggalkan kamar inap Pak Candra. Kami jalan beriringan. Namun, tak di sangka setelah pintu ruang inap tertutup. Aksa berjalan lebih dulu dengan langkah cepatnya. Kejadian ini terulang lagi. Pikiranku kembali mengingat moment di hari pernikahan, saat aku berjalan sendiri menuju parkiran.

Apakah Aksa hanya akan terlihat ramah ketika berhadapan dengan Pak Candra? Harusnya di dalam ruang inap tadi aku tidak terlalu kagum padanya.

Aksa semakin jauh. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Pulang bersamanya atau sendiri? Aku yakin jika pergi ke acara teman, hanya alasan Aksa saja. Aku tidak tahu tujuan dia apa. Mungkinkah agar aku dan dia tidak terlalu lama berada di dalam ruangan yang sama?

Kakiku masih terus melangkah. Pikiran menyuruh untuk pulang sendiri. Tetapi, hati ingin sekali berbicara berdua dengan Aksa.

Saat tiba di lobby rumah sakit, aku kaget karena melihat Aksa yang sedang berdiri. Dia seperti sedang menunggu seseorang. Apakah Aksa menungguku? Oh itu tidak mungkin. Tetapi, siapa yang dia tunggu?

Aku melangkah dengan pelan. Kini jarak antara aku dan Aksa sudah tidak terlalu jauh. Tidak lama kemudian mataku terbelalak dan langkahku terhenti melihat perempuan yang menghampiri Aksa. Siapa lagi kalau bukan Utami. Sahabatku itu sekarang sedang bergelayut manja di lengan Aksa.

Aku ternyata salah. Alasan Aksa ingin cepat pergi dari ruang inap tadi, bukan karena tidak ingin terlalu lama dekat denganku. Ada alasan yang lebih penting baginya. Harusnya aku tahu dan bisa menebak, jika Aksa ingin bertemu Utami.

“Delisia, kok kamu ada di sini?” ujar Utami saat berbalik dan mendapati aku ada dibelakang dia dan Aksa.

Aku melirik Aksa. Lelaki itu membuang muka. Dia sepertinya tidak suka dengan lirikan mataku.

Aku tersenyum pada Utami dan mendekatinya. “Harusnya aku yang tanya. Kok kamu ada di sini? ... Dan Ini obat apa?” ujarku sambil memegang plastik yang aku yakini berisi obat.

“Aku dari dokter SpOG. Kamu tahu ‘kan, aku kalau lagi haid kayak gimana. Sakitnya itu loo, Del. Aku nggak mampu kalau nggak minum obat. Makanya aku ke dokter. Karena lusa kita mau turun lapangan. Kalau aku tidak minum obat, mungkin aku nggak bisa ikut,” tutur Utami sambil tersenyum.

Utami masih bisa tersenyum meskipun kondisi badan sedang tidak sehat. Itulah yang aku suka dari sifat Utami. Perempuan murah senyum yang sangat ceria.

Aku kembali melirik Aksa. Selama aku bicara dengan Utami, Aksa membelakangi kami. 

“Kalau begitu kamu pulang sana. Banyak banyak istrahat dan jangan lupa minum obat. Kita ketemu besok di kampus karena besok ada kuis dari Pak Jamal. Jangan sampai kamu tidak masuk kuliah.”

Aku tidak ingin banyak berbasa-basi dengan Utami. Dari yang terlihat oleh mataku, Aksa sudah gelisah. Aku yakin dia tidak suka aku membuat wanita kesayangannya menahan kesakitan. Utami harus cepat istrahat dan minum obat. Kalau terus mengajaknya cerita, itu hanya akan membuatnya kelelahan dan perutnya semakin sakit.

Aku sudah tahu sejak pertama kali kenal Utami dulu. Setiap kali datang bulang, dia harus menahan sakit yang tiada tara. Aku sering menanyakan apa penyebab kesakitan itu terjadi padanya. Kesakitan yang menurutku sangat berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya. Tetapi, Utami tidak pernah menjelaskan padaku. Hampir setiap kali datang bulan, Utami harus memimun obat agar bisa menghilangkan rasa nyeri. Rasa itu biasanya terjadi di hari ke dua haid hingga menjelang hari terakhir.

“Kamu balik dengan siapa? Kamu datang di sini sendiri?” tanya Utami, kali ini dia berbicara sambil memegang perut.

“Tidak usah bertanya tentang aku. Sekarang kamu harus pulang. Kita masih punya waktu yang banyak untuk bercerita. Untuk hari ini, aku tidak ingin cerita denganmu. Karena kamu harus cepat pulang,” ujarku membuat Utami tertawa.

Utami lalu melambaikan tangan. Dia kembali mengandeng Aksa. Aku menatap mereka yang semakin menjauh dariku. Mereka jalan berdua dengan tangan yang tidak terlepas.

Aku tidak suka melihat pemandangan itu. Entahlah, aku tidak tahu kali ini apa penyebabnya. Apakah karena aku tidak suka sahabatku masih berpacaran? karena bagiku pacaran sebelum menikah adalah zina yang sekarang banyak orang menghalalkan. Ataukah aku yang tidak suka melihat Aksa jalan dengan perempuan lain? Rasanya kali ini aku tidak bisa menebak perasaanku sendiri.

Aku berjalan seorang diri meninggalkan rumah sakit. Untung saja tidak jauh dari gerbang rumah sakit ada halte bus. Jadi aku berjalan kaki tidak terlalu jauh. Kurang lebih dua puluh menit menunggu, Bus kota datang. Aku segera naik, karena dalam hitungan detik, bus sudah kembali melaju.

Sepanjang jalan aku masih memikirkan kejadian di rumah sakit. Memikirkan sikap Aksa ketika berada di dekat Pak Candra, sikap Aksa saat hanya ada aku dan dia. Dan sikap Aksa saat kami berdua berada di dekat Utami. 

Bunyi pesan di handphone membuat pandanganku beralih. Aku membuka kunci layar.

[Jangan pernah melirik aku jika ada Utami! Jangan melakukan aktivitas yang membuat kekasihku curiga! Karena kamu bukan siapa-siapaku]

Aku membaca pesan ini berulang-ulang. aku tahu pesan ini dari siapa. Tanpa diperintah, mataku mulai berkaca. Ini tidak boleh terjadi, aku tidak boleh menangis … Kenapa hatiku terasa sakit membaca pesan ini? Delisia, kamu harus sadar, cinta suamimu sudah dimiliki oleh perempuan lain. Dan perempuan itu bukan kamu!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Aku Istri Kekasih Sahabatku (bab 7, bab 8, bab 9)
0
0
Aku tidak mengetahui jika lelaki yang di jodohkan denganku adalah Aksa, lelaki yang telah lama menjalin hubungan asmara dengan sahabatku. Kini semuanya sudah terlambat, aku tidak bisa membatalkan pernikahan.Aksa bertubi-tubi menyakitiku, dari segi psikis dan fisik. Dia juga tidak ingin status pernikahan kami diketahui oleh Utami – Sahabatku. Seiring berjalannya waktu, aku tidak bisa menjegah perasaan asing tumbuh dihati. Aku telah mencintai lelaki yang telah sah menjadi suamiku.  “Jangan pernah bermimpi. Sampai kapan pun aku tidak akan mencintaimu!”Aksa berkata sambil menatapku penuh amarah.  “Maafkan aku, sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan ini," ujarku, sambil menahan sesak didada.Mampukah aku mempertahankan rumah tangga ini? Ataukah memilih untuk mengalah, demi melihat sahabat dan lelaki yang aku cintai hidup bahagia?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan