
Scarla mahasiswa semester akhir tak hanya sibuk dengan skripsinya. Dia banting tulang demi membiayai pengobatan Zahya-adiknya. Hingga suatu malam, lelaki hangat yang terkenal di fakultasnya datang mengajukan sebuah perjanjian. Keterbatasan ekonomi, dan kewajibannya mengobati Zahya membuat Scarla memutuskan menyetujui perjanjian itu.
Nyatanya lelaki itu tak sehangat seperti yang diperlihatkan. Kerap kali lelaki itu menerbangkan Scarla ke awan, dan detik berikutnya di hempas dengan begitu saja. Lambat...
PROLOG
Diam-diam aku mengamati lelaki yang telah terlelap di sebelahku. Aku mengembuskan napas lega melihatnya terlelap, itu artinya aku bisa pulang. Telah selesai.
Pelan-pelan aku turun dari ranjang dengan mata memicing mencari pakaianku dalam kondisi kamar yang gelap. Tak berapa lama, aku melihat pakaianku tergeletak. Kausku berada di bawah ranjang sedangkan celakanaku di ujung hampir sebelah lemari. Aku menggeleng, lelaki itu membuangnya sembarangan dan membuatku memunggut dalam kondisi kamar seperti ini. Perlahan, aku memungut pakaianku satu persatu lantas kupakai dengan cepat.
Setelah memakai pakaian, aku kembali menatap lelaki yang sekarang tertidur dengan posisi tengkurap. Dia terlihat nyenyak dengan dengkuran halus dan agak serak. Entah kenapa senyumku mengembang melihat wajah polosnya.
Kemudian, aku ingat dengan tujuanku tadi, yaitu pulang. Segera aku mengakhiri mengamati lelaki itu lantas berjalan pelan keluar kamar.
Sesampainya di depan pintu, perasaanku sangat lega. Aku bersandar di tembok dekat pintu, sambil mengatur napas.
Satu malam telah terlewati.
Tinggal melewati hari tersisa yang emm masih cukup panjang.
Saat memikirkan itu, perasaan sesak seketika muncul. Rasa yang selalu hadir setelah aku melakukan pekerjaanku. Aku menunduk, tak pernah terpikirkan jika aku melakukan pekerjaan kotor.
Aku kembali menoleh ke kamar. Lelaki itu masih tidur dengan posisi sama—tengkurap. Mataku refleks terpejam, teringat saat lelaki itu mendekatiku dan menawariku sebuah perjanjian tak biasa.
Sejak tiga bulan lalu, aku memiliki pekerjaan sampingan ini. Yah pekerjaan yang sebenarnya menjijikkan, tapi tetap aku lakukan. Kalau bukan karena kepepet aku tidak akan masuk ke dunia kelam itu. Mungkin jika orang lain ada yang tahu pekerjaanku, pasti mencemoohku. Sudah pasti itu. Namun mau bagaimana lagi, aku butuh uang cepat dan hanya ini peluang yang ada di depan mata. Setidaknya kala itu. Biarlah orang menilaiku wanita murahan atau kata buruk lainnya. Bagiku mereka hanya bisa bicara dan tidak memahami bagaimana jika mereka di posisiku.
Yah, aku sendiri mengakui pekerjaanku tidak bisa dibenarkan.
"Huh...." Napasku kembali sesak.
Aku membuka mata dan segera berbalik menuju ruang tamu. Aku mengambil ranselku yang kucel di atas sofa kemudian keluar apartemen. Seiring langkahku menjauhi apartemen itu, pikiran tertuju ke kehidupanku yang sangat berbanding terbalik dengan remaja biasanya. Pemikiran itu selalu muncul setiap harinya.
Perkenalkan, namaku Scarla Heyani, anak pertama dari dua bersaudara. Kedua orangtuaku telah tenang di alam keabadian, kini aku hanya hidup bersama adikku. Aku seorang mahasiswa Pendidikan Ekonomi semester 7 di universitas ternama di Jakarta. Mahasiswa semester tujuh identik dengan persiapan untuk skripsi, aku juga seperti itu. Disamping statusku sebagai mahasiswa aku juga mencari kerja untuk mencukupi kebutuhanku dan adikku.
Aku menunduk, satu lenganku aku angkat. Aroma keringat dan parfum yang bercampur menjadi satu memenuhi hidung. Aku menutup mulut saat isi perut hendak keluar, selalu seperti ini. Aku sebenarnya jijik dengan tubuhku dan aroma seperti itu. Tapi mau bagaimana? Ganti tubuh? Itu jelas tak mungkin. Jadi yang aku lakukan hanyalah menjalani keadaan yang telah aku pilih. Meski begitu aku optimis hidupku pasti akan berubah, yang pasti lebih baik dari sekarang.
Sesampainya di lobi, aku berjalan menuju trotoar. Sejauh mata memandang, aku tak melihat ada angkutan umum yang lewat. Segera kuambil ponsel di ransel, melihat waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam.
"Ah...." Aku mendesah kesal, pantas saja tak ada angkot.
Aku lalu berjalan sambil menunggu taxi. Sebenarnya aku malas menggunakan angkutan itu. Alasannya karena aku harus mengeluarkan uang lebih hanya untuk perjalanan pulang.
Sambil berjalan aku mengamati kedai makanan cepat saji. Aku melihat remaja seumuranku sedang nongkrong bersama teman-temannya. Bibirku tertarik menjadi garis lurus. Terkadang aku ingin hidup normal seperti remaja lainnya. Nongkrong bersama teman, jalan-jalan dan bersenang-senang lainnya. Sedangkan aku?
Buru-buru aku mengalihkan pandangan sebelum pikiranku ke mana-mana. Aku berjalan cepat dengan bibir yang aku paksakan tertarik ke atas. Sambil mencoba menghilangkan rasa iri yang sempat memenuhi pikiranku. Aku tak boleh seperti itu.
Meski, memang aku telah salah memilih hidup.
PART 1 DI BALIK SIFAT HANGAT
Buku tebal di depan dada aku peluk erat sambil berlari menuju ruang dosen. Pagi ini aku ada janji bimbingan dengan Pak Bagja—dosen pembimbingku, tapi aku malah terlambat tiga puluh menit. Bukan tanpa alasan aku terlambat, aku bangun kesiangan dan harus mengurus Zahya—adikku.
“Maaf Pak saya terlambat.”
Sesampainya di hadapan Pak Bagja aku segera menunduk sebagai rasa hormat sekaligus permintaan maaf. Pak Bagja salah satu profesor di jurusan Pendidikan Ekonomi tempatku menimba ilmu. Jadi bisa kalian bayangkan, kan, betapa susahnya menemui beliau? Dan aku malah menyiakan kesempatan itu.
“Saya kira kamu tidak datang, Scarla,” ucap Pak Bagja sambil membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. “Silakan duduk.”
“Huh.... ”Aku menghela napas berat. Aku sempat berpikiran buruk kalau Pak Bagja tak mau membimbing karena keterlambatanku, tapi ternyata beliau tidak setega itu.
“Saya ingin menyerahkan proposal saya, Pak. Sebelumnya saya sudah bimbingan dengan Bu Alia. Ini proposal saya,” ucapku sambil menyerahkan proposal yang tadi aku selipkan di antara dua buku tebal.
“Rencananya mau mengambil metode kuantitatif atau kualitatif?” tanya Pak Bagja sambil membaca proposalku bagian latar belakang.
Aku lalu menjawab pertanyaan itu. “Saya menggunakan kuantitatif Pak, atas saran Bu Alia.”
Pak Bagja mengangkat wajah, menatapku ragu. Dalam hati aku harap-harap cemas, takut beliau tak menyetujui metode yang aku gunakan. Pak Bagja adalah dosen pembimbing satu, jadi beliau berhak tidak menyetujui apa yang aku rencanakan.
“Kalau menggunakan kuantitatif pastikan ada teorinya. Kebanyakan mahasiswa gagal karena tidak bisa mengungkapkan teori yang kongkret.”
“Baik, Pak. Saya sudah mencari teori yang sesuai dengan variabel yang saya gunakan.”
Pak Bagja kembali membuka proposalku dan membacanya.
Aku duduk dengan kedua tangan saling menggenggam di atas paha. Saat menunduk, dari ekor mataku aku melihat seorang lelaki tengah menarik kursi lalu duduk di sana. Aku menoleh dan tubuhku seketika kaku.
“Scarla. Kamu dengar apa yang saya katakan?”
Suara Pak Bagja membuatku mengalihkan pandang. Aku melihat Pak Bagja menatapku dengan pandangan menyelidik. “Maaf, Pak,” ucapku lalu menggigit bibir.
Pak Bagja menghela napas berat.
Ah Scarla!
Dalam hati aku memaki diri sendiri. Bagaimana bisa aku bertindak ceroboh dua kali?
“Begini, Scarla. Saya rasa untuk bagian populasi, jelaskan secara real sesuai data di lapangan. Untuk bagian sampel cukup kamu isi dengan teknik sampling beserta alasannya. Oke?”
Aku mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan lalu mencatatnya di buku agar tidak lupa dengan saran beliau. Diam-diam aku melirik ke dua meja dari meja Pak Bagja. Lelaki itu tampak serius berbicara dengan Pak Yunus yang sepertinya dosen pembimbingnya.
Tanpa sadar aku tersenyum. Ternyata lelaki itu rajin juga. Aku kira dia tipe lelaki kaya yang menganggap semua bisa terselesaikan dengan uang. Aku kira dia kuliah hanya untuk nongkrong seperti yang sering terlihat, tapi ternyata tidak. Lelaki itu sangat tak bisa ditebak.
“Ada yang perlu kamu tanyakan lagi?”
“Eh!” Aku tergagap mendengar pertanyaan Pak Bagja.
Pak Bagja duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja, mungkin sudah muak dengan tingkahku. Perhatianku lalu tertuju ke proposal skripsiku yang sudah ada di hadapan. Kapan Pak Bagja selesai ngoreksi? Ah lagi-lagi aku berbuat salah.
“Emm.. Sepertinya tidak, Pak.”
Pikiranku blank. Pertanyaan yang telah tesusun rapi di otakku sedari semalam buyar karena aku terlalu memikirkan lelaki tadi. “Terima kasih Pak untuk bimbingan hari ini. Mohon maaf jika saya tadi datang terlambat dan banyak melamun.”
Perlahan aku bangkit seraya mengambil proposalku yang masih tergeletak di meja dan aku selipkan di antara dua buku tebal.
“Nggak apa-apa. Bukan hal baru lagi ada mahasiswa melamun saat bimbingan.”
Mendengar ucapan Pak Bagja tidak membuatku tenang meski aku bukan satu-satunya mahasiswa yang melamun saat bimbingan. Aku lantas membungkuk untuk mencium tangannya. “Saya permisi, Pak. Terima kasih atas waktunya.”
“Sama-sama. Cepat kerjakan proposalmu!”
Aku mengangguk, setelah itu berbalik. Saat itulah tatapanku langsung tertuju ke lelaki itu yang sedang berbicara dengan kedua tangannya bergerak. Sepertinya sia sedang menerangkan sesuatu ke Pak Yunus.
Sebelum dia memergokiku, aku buru-buru berjalan keluar dari ruang dosen. Saat hendak mencapai pintu, aku berpapasan dengan Anjani, Laili dan Fika. Aku tersenyum saat tatapanku bertemu dengan Anjani. “Hai,” sapaku kepada tiga teman satu offering-ku.
Tidak ada respons berarti dari mereka, hanya melirik, melengos lantas berjalan masuk ke ruang dosen. Mendapati respons itu aku hanya bisa menarik napas panjang. Jangan dimasukin hati, Scarla. Bukannya itu udah biasa?
***
“Scar! Ada Avram!”
“Uhuk!”
Aku yang sedang memakan batagor seketika tersedak mendengar nama lelaki itu disebut oleh Gita—sahabatku. Aku mengambil air mineral dan menegaknya agak kasar. “Gita. Gue sampe tersedak tahu!”
Gita diam tidak menggubris ucapanku. Dia malah senyum-senyum sambil menatap ke arah kiri. Aku mengikuti arah pandang Gita. Hingga aku melihat tiga lelaki yang sedang bercanda. Pandanganku lantas tertuju ke lelaki berkemeja biru kotak-kotak yang tersenyum tipis.
Tanpa sadar aku mengamati lelaki yang tadi aku temui di ruang dosen. Dia terlihat menyimak cerita sahabatnya yang mengenakan topi. Sudut bibirku tertarik ke atas, Avram memang terlihat hangat dan bersahabat, tapi siapa sangka lelaki itu bisa berubah seratus delapan puluh derajat dengan cepat.
Tidak disangka Avram dengan tiba-tiba menoleh ke arahku. Buru-buru aku membuang muka, tidak ingin dia yang sedang terlihat bersahabat menjadi emosi karena aku menatapnya. Lantas aku melanjutkan kegiatan makanku yang sempat tertunda.
“Scar. Avram manis banget, ya, kalau senyum. Pantes banyak cewek yang ngejar-ngejar dia.” Gita kembali bersuara.
Iya, Git.
Aku melirik Gita yang tidak lagi menatap Avram, tapi menatapku dengan kedua tangan menyatu dan dagu bersandar di atas tangan. Aku diam tidak menggubris ucapannya meski dalam hati aku mengiakan.
“Setelah ini lo ke mana? Kalau mau balik bareng gue aja.”
Aku mengunyah batagor terakhir lalu menelannya sebelum menjawab pertanyaan itu. “Ke perpus dulu. Mau belajar teknik sampling.”
“Yah gue kira lo pulang. Gimana proposal lo?” tanya Gita yang tampak penasaran.
“Baru aja dicek Pak Bagja. Ya gitu, ada yang harus gue benerin.”
“Semangat, ya!”
Aku mengangguk. Gita sahabatku dari SMA, tapi sekarang dia satu tingkat di bawahku. Setelah lulus SMA dia tidak langsung kuliah, melainkan mencari kerja. Penasaran, itu yang Gita bilang saat aku tanya alasan memilih bekerja. Namun, setahun kemudian Gita memilih kuliah, katanya, sih, lelah dianggap sebelah mata oleh karyawan tempatnya bekerja karena hanya lulusan SMA.
“Oh, ya, gimana kabar adik lo?”
Perlahan aku mengangkat wajah. Gita menatapku dengan kedua tangan terlipat di atas meja. “Baik. Yah meski sering murung,” jawabku sedikit lesu dikata terakhir.
“Tapi setidaknya nggak kayak tiga bulan yang lalu, kan?”
“Iya. Udah agak mendingan.”
Aku tersenyum tipis. Membahas Zahya membuatku ingat dengan kehidupan berat yang kualami dan adikku satu-satunya. Aku duduk bersandar lalu tatapanku tertuju ke lantai dengan pandangan menerawang. Aku tidak tahu, kehidupan berat ini sampai kapan akan berakhir.
“Kok muka lo jadi murung gitu?”
Aku tersentak mendengar suara Gita. Aku kembali menatapnya. Ternyata dia menatapku khawatir. Aku menggeleng dengan senyuman yang aku paksakan. “Nggak kok.”
“Gue kira lo inget kejadian tiga bulan lalu. Jangan terlalu dipikirin. Nanti lo nggak bakal gendut.”
Bibirku mengerucut mendengar dukungan sekaligus menjatuhkan dari Gita. “Itu hinaan atau pujian?”
“Hinaanlah. Masa lo nggak bisa bedain mana pujian mana hinaan. Hahaha.”
“Salah terus, ya, Git ngomong sama lo.”
“Haha.... ”
Gita terbahak mendengar ucapanku. Begitulah Gita. Dia selalu bisa menghiburku dengan caranya sendiri. Mendengar candaan sederhananya membuat hidupku yang tegang menjadi sedikit berwarna. Inilah yang aku butuhkan dari sahabat, yang bisa membuatku melupakan sejenak semua permasalahanku.
“Lo mau ke mana, Git?” tanyaku saat melihat Gita memakai tasnya.
“Balik, udah sore. Beneran lo nggak mau bareng?”
Aku menggeleng. “Makasih, Git. Tapi gue mau ke perpus dulu.”
Gita berdiri di seberang meja. Dia membenarkan rambutnya yang diikat kuda setelah itu mengulurkan tangan. Aku pun berdiri dan membalas jabatan itu.
“Kalau gitu gue balik dulu. Hati-hati lo!”
“Lo juga hati-hati, Git. Jangan ngebut.”
Terlihat anggukan dan dua jempol yang diangkat oleh Gita. Setelah itu Gita meninggalkanku di meja kantin seorang diri. Aku kembali duduk dan meminum air mineral. Lebih baik aku segera pergi ke perpustakaan dan bisa segera pulang.
Aku ambil tas punggung yang tadi tergeletak kursi sebelah. Saat aku hendak berdiri ponselku di atas meja bergetar.
A: Gue tunggu di apartemen! Gue butuh lo.
Refleks Aku menoleh ke tempat Avram, lelaki itu tidak ada di sana. Aku menghela napas panjang. Rencanaku ke perpustakaan gagal karena panggilan itu. Aku berdiri dan berjalan cepat keluar kantin.
***
Sebuah kecupan bibir pertanda permainan kali ini telah selesai. Tak lama tubuh yang menimpaku bangkit dan berguling ke samping. Aku bangkit dari posisiku dan menarik selimut biru laut untuk menutupi tubuhku.
“Kenapa lo pakai selimut? Nggak panas emang?”
Aku menoleh sekilas ke Avram. Lelaki itu turun dari ranjang, sepertinya mencari pakaian yang tadi dia buang asal.
“Nggak panas kok. AC lo kenceng,” bohongku.
“Tadi bimbingan sama Pak Bagja?”
Mendengar dia kembali berbicara aku menoleh. Kini Avram duduk menghadapku dengan bantal di atas paha. Dia terlihat penasaran menunggu jawabanku.
“Ya. Gue bimbingan sama Pak Bagja,” jawabku. “Oh ya, Pak Yunus dosen pembimbing lo? Kok bisa sama Pak Yunus. Beliau, kan, dosen jurusan ekonomi. Sedangkan lo....”
“Pak Yunus, kan, juga dosen manajemen.”
“Oh gitu. Gue baru tahu.”
Tatapanku lalu tertuju ke lantai. Aku tidak melihat tanda-tanda pakaianku berserakan di sekitar ranjang. Lelaki itu membuangnya ke mana sih?
“Nyari pakaian? Bentar gue ambilin.”
Aku menoleh dan Avram turun dari ranjang. Usai turun dari ranjang, dia bertolak pinggang. Sedetik kemudian dia berjalan beberapa langkah dan menunduk. Sepertinya dia telah menemukan pakaianku.
“Nih.” Avram melemparnya ke ranjang.
“Makasih, Vram.” Segera aku mengeratkan selimut yang menutupi tubuh. Sedangkan satu tanganku bergerak memakai pakaian.
“Gue ke dapur. Kalau udah nyusul ke sana.”
Aku menganggung. Setelah mendapat respons, Avram berbalik dan berjalan keluar kamar.
“Huh.... ”Aku menghela napas lega karena lelaki itu telah keluar. Aku langsung turun dari ranjang. Meski di kamar sendiri, aku tidak melepas lilitan selimut itu. Hanya sekadar antisipasi, jika lelaki itu tiba-tiba masuk..
Tak sampai lima menit, aku kembali berpakaian. Aku menyisir rambutku yang pasti berantakan dengan kedua tangan. Setelah itu menuju dapur, sesuai permintaannya.
Saat keluar kamar, aroma kopi menguar. Perlahan aku berjalan ke dapur. Avram duduk di kursi makan sedang menyeduh secangkir kopi yang masih mengepul.
Bibirku terbuka ingin menyapa, tapi tertutup lagi. Rasa canggung itu selalu muncul. Sudah berkali-kali aku mencoba mengatasi, tapi selalu tidak bisa.
“Huh....” Aku mengusap dada kemudian semakin mendekat. “Vram.”
Avram mendongak. Dia memintaku mendekat lewat gerakan tangannya. Aku mendekat lantas duduk di depannya.
“Gue udah buatin teh, buat lo.”
Tatapanku tertuju ke gelas bening berisi teh di depanku. Tanpa sadar aku tersenyum, dia sedikit perhatian. Aku menarik gelas itu dan mengangkatnya hingga ke depan bibir. “Lo bikin ini buat gue?”
“Menurut lo?”
Senyumku pudar mendengar kalimat Avram yang diucapkan dengan datar. Baru saja dia terlihat manis, tapi selanjutnya menyebalkan.
“Bayaran lo udah gue transfer setengah. Sisanya akhir bulan.”
Aku yang sedang meminum teh mendadak berhenti mendengar ucapan Avram. Aku menatap Avram yang menyandarkan tubuh dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Makasih, Vram.”
“Hem..”
Kali ini senyumku tidak lagi pudar mendengar ucapannya. Aku senang, bayaran minggu ini telah cair.
“Keliatannya lo seneng banget.” Avram tersenyum samar.
“Ya begitulah.”
“Hemm..”
Aku menoleh ke jam dinding di atas kulkas. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku tersentak, ternyata hari sudah semakin malam. Aku menatap Avram dengan menggigit bibir. “Vram. Gue bisa pergi?”
Satu alis Avram terangkat. Aku menunduk, takut dia tidak mengizinkaa. Aku ingat dengan perjanjian yang telah kami sepakati, bahwa aku boleh pergi atas persetujuannya.
“Nggak mau di sini dulu?”
Aku tersenyum tipis. “Gue mau balik. Itupun kalau lo ngizinin.”
Aku tadi sempat merencanakan akan ke perpustakaan setelah dari apartemen Avram. Namun, melihat waktu telah berjalan cepat rencanaku gagal, lagi pula perpustakaan sudah pasti tutup.
“Ya udah lo boleh pergi.”
Mendengar izin dari Avram aku tersenyum lebar. Aku menatap Avram yang perlahan berdiri dan berjalan menuju wastafel.
“Makasih, Vram.” Aku menghabiskan teh buatannya dan buru-buru berdiri.
PART 2 SEMUA DEMI ZAHYA
Dari kejauhan aku melihat rumah tua yang sangat kontras dengan rumah di sebelahnya. Pagarnya tampak mengganggu pemandangan jika dibandingkan dengan pagar besi berukir milik tetangga. Namun rumah tua itu, amatlah berarti bagiku.
Di rumah itu aku tumbuh dengan limpahan kasih sayang dari kedua orangtuaku. Di rumah tua itu, aku saling berbagi kebahagiaan, pengorbanan, perjuangan dan kesedihan. Sekaligus, rumah yang begitu hangat.
Krek!
Bunyi engsel pagar kayu selalu terdengar kala pagar itu terbuka. Aku berjalan masuk, tak lupa menutup kembali pagar kayu yang hampir reot. Usai menutup pagar, aku berbalik. Tatapanku tertuju ke halaman luas khas rumah kuno.
Dua pohon mangga berada di tengah halaman luas itu. Tampak asri? Tidak! Kondisi halaman sangatlah buruk. Tanah kering terlihat jelas meski saat ini sudah malam dan minim penerangan. Tatapanku lantas tertuju ke dua pohon mangga yang tersisa batang pohon tanpa daun. Rumahku buruk? Mungkin bagi sebagian orang iya. Tapi bagiku, rumahku tetap yang terbaik.
Aku berjalan masuk menginjak paving yang membelah tanah kering sampai ke teras rumah. Dari kejauhan aku melihat lampu ruang tamu masih menyala.
Ceklek!
Aku mendorong pintu dengan pelan. Tatapanku seketika tertuju ke sofa. Senyumku terbit melihat seseorang tengah tidur meringkuk. Tampak pulas meski panjang sofa itu tidak bisa menampung keseluruhan tubuhnya.
Perlahan aku mendekati seseorang yang sedang beradu dengan mimpi itu. Aku menyentuh lengan kurusnya, dan mengguncangnya pelan. “Mbak....”
“Ehm...” Tak lama kelopak mata itu bergerak, dan sepenuhnya terbuka. “Scarla! Udah pulang? Aduh maaf, ya, Mbak ketiduran,” ujarnya sambil bangkit duduk.
“Nggak apa-apa kok, Mbak.” Aku duduk di sofa yang tadi menjadi ranjang Mbak Sarti. Perhatianku tertuju ke mata Mbak Sarti yang memerah. Dia pasti sangat lelah. “Oh ya, ini ada nasi goreng,” kataku sambil menyodorkan kresek putih yang masih aku pegang.
“Aduh, Scar. Nggak usah repot-repot. Buat kamu aja. Kamu pasti belum makan, kan?”
Lihatlah, wanita itu masih memikirkanku. Membuatku terharu. “Aku udah makan kok, Mbak. Ini buat Mbak Sarti sama anak-anak.”
Dia terlihat mulai bimbang. “Ini, Mbak. Buat anak-anak,” bujukku.
“Makasih ya, Scar.”
“Sama-sama. Kalau Mbak Sarti mau pulang nggak papa kok. Kasihan anak-anak di rumah, pasti udah nungguin.”
Mbak Sarti menggenggam tanganku dan mengusapnya pelan. “Makasih ya Scar. Mbak pulang dulu kalau gitu.”
“Iya, Mbak. Terima kasih bantuannya.”
Mbak Sarti mengangguk sebelum keluar rumah. Aku berdiri, berjalan menuju pintu dan menguncinya dari dalam. Aku bersandar di daun pintu lalu mengusap wajah.
Mbak Sarti adalah pembantu di rumahku. Bukannya aku sok karena punya pembantu dengan kondisi ekonomi yang sulit. Aku meminta jasa Mbak Sarti, untuk membantu Zahya selama aku tidak ada. Mbak Sarti janda dua anak yang dari dulu selalu perhatian denganku dan Zahya. Saat Ibuku meninggal, Mbak Sartilah yang selalu menguatkan. Aku tak lagi punya siapa-siapa ayah, ibu, kakek dan nenek juga telah tiada. Sanak saudara lainnya, mereka sibuk sendiri demi menyambung nasib.
Zahya.
Buru-buru aku berjalan masuk saat ingat dengan adikku. Aku membuka pintu kamar Zahya dengan pelan dan menengok ke dalam. Seorang gadis tampak terlelap dengan selimut yang hanya menutupi kaki.
Perlahan aku masuk dan mendekatinya. Aku menarik selimut Zahya hingga sebatas dada. Setelah itu aku duduk di pinggir ranjang dan menatapnya yang terlelap.
Aku mengusap keningnya lembut. Saat ini, hanya Zahya satu-satunya harta berharga yang aku punya dan aku sangat menyayanginya. Tatapanku lantas tertuju ke kursi roda yang berada di dekat jendela. Kepalaku langsung tertunduk. Tiga bulan ini, Zahya hidup dengan bantuan kursi roda.
Tes.
Tanpa sadar air mataku menetes membasahi pipi. Melihat adik yang aku sayangi hidupnya tidak bebas lagi membuatku sakit. Aku mengangkat wajah, dan saat itulah tatapanku tertuju ke bingkai foto yang menempel di dinding.
Melihat wajah lelaki dengan tindik di telinga yang ada di bingkai itu membuat emosiku memuncak. Lelaki itu membuatku sangat kecewa. Bahkan sampai saat ini.
***
Puk... Puk....
Aku menyapukan bedak di wajah Zahya. Dia tersenyum setelah aku menepukkan tanganku ke pipinya. Zahya sangatlah cantik. Kulit putih warisan ibu ditambah dengan mata cokelatnya yang berbinar. Berbeda denganku yang mewarisi gen ayah. Kulitku tidak seputih Zahya dan warna mataku lebih gelap.
“Semalem Kakak pulang jam berapa?”
“Jam berapa, ya? Lupa.” Tentu saja aku berbohong.
“Zahya nungguin Kakak, tapi nggak dateng-dateng.”
Aku bersimpuh di depan Zahya. Aku menatap Zahya yang kecewa karena semalam aku tak kunjung datang. Aku menyentuh rambutnya dan membelainya pelan. “Maaf ya.”
“Zahya yang harusnya minta maaf. Harusnya Zahya lebih kuat lagi nunggu. Bukan malah ketiduran.”
Lihat, adikku baik bukan? Meski kami lahir dari rahim yang sama, sifat kami sangatlah berbeda. Zahya memiliki hati yang tulus. Hal yang mungkin tidak ada dalam diriku.
“Kak. Malah ngelamun, sih?”
Aku tergagap. Zahya mencebikkan. Aku mencubit hidung mancungnya karena gemas. “Siapa yang melamun, sih? Enggak!”
Zahya mengusap hidungnya yang pasti berdenyut karena cubitanku. Aku terkekeh pelan.
“Kemarin di rumah ngapain aja?”
Rutinitasku saat pagi hari adalah menanyakan aktivitas Zahya. Meski aku tidak bisa menemaninya seharian, aku selalu memantau kesehariannya. Baik itu tanya ke Zahya langsung atau bertanya ke Mbak Sarti.
“Kemarin nonton sinetron India, sih, sama Mbak Sarti. Tahu sendiri Mbak Sarti suka banget nonton itu. Terus ngajarin Omar ngerjain PR.”
Akhirnya ada kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukan Zahya. Setidaknya melihatnya berinteraksi dengan orang lain membuatku sangat senang. “Oh ya? Seru, ya, ngajarin Omar. Kalau Opam nggak kamu ajarin juga?” tanyaku. Omar dan Opam adalah anak Mbak Sarti yang sering datang usai pulang sekolah.
“Opam kemarin nggak ke sini. Ikut neneknya jualan di pasar.”
“Oh gitu. Kurang seru kalau nggak ada Opam.” Tatapanku lalu tertuju ke bedak yang tergeletak di pinggir ranjang. Lantas memindahnya ke lemari kecil sebelah ranjang.
“Kalau hari Kak Scarla gimana? Ada hal seru nggak waktu kerja?”
Gerakanku yang menutup pintu seketika terhenti mendengar pertanyaan itu. Hal seru? Bahkan pekerjaanku tidak ada seru-serunya. Aku berbalik, melihat satu alis Zahya tertarik ke atas. Sepertinya dia penasaran dengan keseharianku.
“Biasa aja kok,” jawabku sambil mengibaskan tangan. “Za, kakak udah masak nasi goreng.”
“Bener?”
“Bener. Sarapan dulu yuk.” Aku berjalan ke balik kursi roda Zahya dan mendorongnya keluar kamar. Maafin kakak, Za. Kakak nggak mau kamu tahu pekerjaan kotor kakak. Aku menarik napas panjang dan mencoba menghilangkan rasa bersalah yang sempat mengganjal.
Sesampainya di meja makan, aku mengambil balok kayu dan memasangnya di depan Zahya. Dia kesulitan jika makan di meja makan yang cukup tinggi. Maka dari itu aku berinisiatif, membelinya balok yang aku letakkan membentang ke tangan kursi roda. Dengan cara seperti itu Zahya bisa makan tanpa kesusahan.
Bisa saja aku membantu Zahya untuk pindah ke meja makan. Namun, Zahya selalu menolak. Alasannya karena dia tidak ingin terlalu merepotiku. Padahal, aku tidak akan pernah merasa direpoti jika itu menyangkut Zahya.
“Ini nasi gorengnya.” Aku meletakkan nasi goreng di atas balok kayu itu lalu menunduk menyejajarkan wajah dengan Zahya. Melihat mata itu kembali berbinar, rasa lelahku selama ini terbayar. Jika mengingat tiga bulan yang lalu, rasanya aku hampir putus asa. Takut tidak bisa melihat binar di mata Zahya.
“Kak. Kakak nggak makan?”
“Eh...” Aku tersentak. Aku berdiri tegak lantas berjalan ke meja makan. “Ini mau makan,” jawabku dengan cengiran.
Zahya kembali melanjutkan makannya. Melihat Zahya yang begitu lahap, membuatku ikutan lapar. Aku mengalihkan pandang dan mulai menyantap nasi goreng super sederhana buatanku.
***
Aku membuka mataku perlahan, rasa kantuk masih terasa membuat mataku sebenarnya enggan terbuka. Sekarang jam berapa? Aku mencoba memaksakan mata untuk terbuka lalu bangkit duduk. Tubuhku terkena angin, dengan cepat menarik selimut yang menggantung di pinggang dan menariknya sampai bawah leher.
Pandanganku menjelajah kamar yang tidak seperti kamarku. Lalu, tatapanku tertuju ke lelaki yang terlelap memunggungiku. Seketika aku tersadar sedang berada di kamar siapa. Aku ingat, semalam dia berbuat kasar kepadaku. Entah apa yang sedang dia alami hingga melampiaskan kekesalannya kepadaku. Tatapan hangat yang selalu ada di mata Avram semalam lenyap berganti tatapan amarah. Aku tidak berani bertanya, aku merasa tidak berhak menanyakan itu.
Perlahan aku turun dari ranjang lantas mengambil pakian yang berceceran di lantai. Aku buru-buru memakainya agar bisa segera pulang. Aku ingat dengan Zahya, pasti dia semalam bingung karena aku tidak pulang. Maafkan kakakmu ini.
Usai berganti pakaian aku menuju pintu. Aku membuka pintu pelan lalu menelusup keluar. Saat menutup pintu aku menyempatkan diri menatap Avram. Dia tampak damai dalam tidurnya. Setelah itu menutup pintu aku berjalan ke ruang tamu, mengambil tas ransel yang di atas sofa lalu keluar dari apartemen.
Saat di luar, aku amati nomor pintu apartemen. 0606, apartemen yang selama sebulan ini aku kunjungi. Aku menarik napas panjang sambil balik menjauh. Aku berjalan ke arah lift dengan pikiran berkelana sebelum aku melakukan perjanjian dengan Avram. Sebelumnya hampir setiap malam aku berganti lelaki, mencari yang kaya setiap malamnya agar bayaranku cukup tinggi.
Aku mengenal dunia ini karena dikenalkan Kak Linsi temanku di kafe dulu. Kak Linsi sudah setahun bekerja sampingan, sama sepertiku. Awalnya Kak Linsi yang mencarikan lelaki untukku, tapi sejak aku mulai tahu di mana aku bisa mencari lelaki, aku mulai bekerja sendiri.
Rata-rata aku bersama karyawan kantoran. Ada juga mahasiswa, tapi aku hanya mau sekali saja. Karena aku takut kedokku akan terbongkar di kalangan teman-temanku.
Berbeda dengan Avram, aku memiliki perjanjian hitam di atas putih dengannya. Aku memintanya agar tidak membocorkan pekerjaan sampinganku.
“Scarla!”
Saat sedang di lobi aku mendengar ada yang memanggilku. Aku menoleh ke belakang dan menemukan wanita yang tadi sempat hinggap di pikiranku. “Hai, Kak,” sapaku saat Kak Linsi sudah berdiri di depanku.
“Hai, Scar. Ada kerjaan di sini?”
Aku tersenyum seraya mengangguk. “Iya. Kakak sendiri?”
“Sama. Gimana? Lo baik-baik aja, kan?”
Aku mengalihkan pandang. Baik-baik saja? Jika mau jawaban jujur aku akan menjawab tidak baik-baik saja, tapi aku tidak mungkin menjawab seperti itu. “Baik-baik aja kok, Kak.”
Raut Kak Linsi berubah sedih. Dia menarik tanganku dan menggenggamnya erat. “Maafin gue, ya. Harusnya gue nggak nawarin kerjaan ini ke lo.”
“Udahlah, Kak jangan mikir yang aneh-aneh.”
“Lo sering minum pil, kan? Jangan sampai lupa, loh.”
Aku mengangguk.
“Scar, kenapa lo berhenti kerja di kafe? Gue nggak punya temen curhat.”
“Capek, Kak. Apalagi bentar lagi skripsi, mau fokus dulu.”
Aku tentu tidak akan menjawab jujur kalau sebenarnya Avram yang melarangku. Apalagi di perjanjian itu aku harus siap sedia jika Avram memintaku sewaktu-waktu.
“Semoga setelah lo lulus dapat kerjaan yang enak, deh. Jangan lanjutin kerjaan ini.”
“Iya, Kak, semoga,” kataku. Aku dan Kak Linsi lalu keluar dari lobi.
Aku dan Kak Linsi bernasib sama. Sama-sama bekerja demi menyembuhkan orang yang kami cintai. Bedanya aku mengobati adikku sedangkan Kak Linsi menyembuhkan suaminya. Aku berharap aku dan Kak Linsi suatu saat nanti bisa berhenti dari kerjaan kotor ini.
PART 3 PERDEBATAN
“Kok Kakak minum obat? Sakit?”
Air minum yang hampir aku telan sedikit muncrat mendengar pertanyaan itu. Buru-buru aku meletakkan gelas ke atas meja lantas menghapus air yang membasahi pipi. Aku menoleh ke penghubung dapur dengan ruang tengah. Zahya menatapku penasaran.
“Eh. Enggak kok. Kakak baik-baik saja,” jawabku sambil menyentuh tengkuk.
“Terus tadi minum apa?”
“Vitamin,” jawabku cepat. Aku tersenyum terpaksa ke Zahya agar tidak curiga.
“Oh, gitu. Di luar ada Kak Gita.”
“Oh, ya? Kita ke depan, yuk!” Aku mendekati Zahya, memutar kursi roda dan mendorongnya. Saat mencapai ruang tamu, Gita duduk bersandar sambil mengipas wajah dengan kedua tangan. “Hai, Git!”
Gita menoleh. Dia bangkit berdiri dan mendekati. “Hai, Scar.”
Aku menjabat tangan Gita saat gadis itu telah berdiri di depanku. “Duduk yuk!”
Gita kembali duduk.
Akudorong kursi roda Zahya ke sebelah sofa single sebelah Gita. Setelah itu aku duduk di sofa depan Gita. “Baru pulang dari kampus?” tanyaku. Tatapanku tertuju ke wajah Gita yang terdapat bintik keringat.
“Iya,” jawabnya sambil mengusap peluh di pelipis. “Scar. Gue pinjem catetan lo semester empat dong.”
“Oh iya, bentar gue ambilin.”
Aku bangkit dan berjalan masuk. Aku melewati kamar dan menuju ke dapur. Aku memang sengaja tidak langsung mencari buku yang akan Gita pinjam dan memilih untuk membuatkan minum. Tidak pantas kalau sebagai tuan rumah tidak menyediakan minum.
Beberapa menit kemudian, aku selesai membuatkan Gita minuman. Aku keluar dapur dengan membawa nampan berisi segelas es teh. Samar-samar aku mendengar suara obrolan. Namun, saat aku datang seketika mereka menghentikan obrolannya.
“Kok diem? Lanjutin aja,” ucapku sambil memindahkan segelas es teh dari nampan ke atas meja.
“Kita lagi ngomongin lo. Nggak enak dong ngomongin kalau ada orangnya.”
Aku duduk di sofa single berhadapan dengan Gita. Aku menatap Gita dan Zahya bergantian dengan pandangan menyelidik. Apa benar mereka sedang membicarakanku? Tak lama senyum keduanya terbit lalu berganti terbahak.
“Haha. Bercanda, kali. Nggak usah gitu juga natapnya,” jawab Gita.
“Kalian ngerjain gue?” Aku menatap Gita dan Zahya yang masih terbahak.
“Scar, catetan lo mana?”
Aku menepuk kening, lupa tidak sekalian membawa catatanku. “Bentar gue ambil dulu,” ucapku. Aku bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar.
Sesampainya di kamar aku mendekat ke meja belajar. Seingatku buku catatan itu aku letakkan di meja belajar. Aku cari satu persatu buku yang berjajar rapi. Lalu tatapanku tertuju ke buku pink yang berada di pojok meja belajar.
Aku mengambil buku itu dan membuka isinya. Ternyata benar materi perkuliahan tahun lalu. Kubuka bagian akhir. Biasanya saat aku bosan dengan materi kuliah aku membuat coretan di belakang. Entah itu curhatan atau kata-kata penuh semangat.
Saat melihat bagian belakang kosong, aku menutup kembali buku itu dan membawanya keluar kamar.
Tring....
Namun, saat sampai di depan pintu aku mendengar ponselku berbunyi. Aku berbalik dan berjalan ke ranjang. Ada pemberitahuan pesan masuk.
A: Ke apartemen gue jam 6.
Jemariku bergerak membalas pesan balasan untuk Avram. Setelah itu aku beranjak dan kembali ke ruang tamu.
“Ini, Git. Seinget gue nggak lengkap, deh. Kadang gue juga males nulis,” kataku sambil mengulurkan buku ke Gita.
“Nggak apa-apa kok. Masih mending lo nulis, gue enggak. Ngandelin ingatan doang. Haha.”
Aku geleng-geleng mendengar ucapan Gita. Dia memang memiliki ingatan yang cukup kuat. Meski jarang memiliki catatan, dia selalu masuk lima besar saat SMA.
Aku mengernyit melihat mata Gita yang berbinar. “Kenapa Git?”
“Ini, nih, yang gue cari. Gue pinjem, ya. Nggak lo pakai, kan?”
Aku menggeleng. “Pake aja. Gue belum butuh.”
Tatapanku lantas beralih ke Zahya yang menatap Gita dengan wajah murung. Aku tersenyum miris, dia selalu seperti kali melihatku dengan Gita. Dia pernah cerita jika rindu dengan aktivitasnya. Sejak saat itulah aku semakin semangat mencari uang demi kesembuhan Zahya.
“Ya udah gue balik dulu, ya. Gue mau ngerjain tugas dulu.” Gita memasukkan buku catatann ke atas. “Kak Gita balik, ya!” pamitnya ke Zahya.
Aku ikut berdiri saat melihat Gita berdiri sambil memakai ransel. Aku berjalan ke Zahya dan mendorong kursi rodanya keluar rumah. Aku dan Zahya berada di depan pintu menatap Gita yang mulai memanasi motor.
“Hati-hati, Git!” teriakku.
“Gue balik dulu, Scar. Za, Kakak balik dulu ya,” pamit Gita kepadaku dan Zahya.
“Hati-hati, Kak.”
Aku menunduk, melihat Zahya yang melambaikan tangan. Gita dan Zahya cukup dekat. Gita yang mudah bergaul bisa membuat Zahya yang sedikit pemalu sedikit ekspresif.
“Kak. Kok ngelamun?”
Tepukan di lengan membuatku tersadar. Aku menunduk dan melihat Zahya tengah mendongak. Aku menarik kursi roda ke belakang, lalu memutarnya ke dalam rumah. Setelah itu aku mendorong menuju ruang tengah. “Mau nonton?
Aku memposisikan kursi roda di depan sofa ruang tengah. Setelah itu aku berjalan ke depan tv dan menyalakannya. “Kamu cari sendiri. Kakak nggak tahu di nomor berapa,” kataku sambil berjalan ke Zahya untuk menyerahkan remot.
“Oh ya, Za. Kakak bentar lagi berangkat kerja,” kataku saat ingat pesan Avram.
“Kakak nanti pulang jam berapa?”
Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Semalam aku pulang larut karena Avram yang kasar. Hari ini aku tidak tahu mood Avram, bisa jadi masih buruk.
“Nggak tahu. Nanti kalau lembur Kakak telepon Mbak Sarti biar nginep sini.”
Wajah Zahya tampak kecewa, meski begitu kepalanya mengangguk. Aku tahu Zahya kurang nyaman dengan Mbak Sarti. Dia sering sungkan ke Mbak Sarti jika meminta tolong untuk membantu ke kamar mandi.
“Tetep usahain pulang, ya, Kak. Kalau nggak gitu bilang ke bos Kakak jangan lembur-lembur terus. Hehe.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar permintaan itu.
***
“Hiks... Hiks...”
Aku mendengar isak tangis.
“Hiks.”
Isak tangis itu semakin terdengar kencang.
Aku memakai tas slempangku lantas keluar kamar. Aku lihat di depan tv Zahya sedang menunduk sambil terisak. Aku berjalan mendekat dan mengusap pundaknya.
“Kenapa nangis, Za?”
Zahya mendongak. Kedua tangannya dengan cepat melingkar ke pinggangku. Zahya terisak hebat di perutku. “Za, ada apa? Cerita sama Kakak.”
“Inget Ahmar, Kak. Semalam aku mimpi Ahmar.”
Tubuhku menegang mendengar nama lelaki itu. Seketika aku melepas pelukan Zahya dan menatapnnya tajam. “Kamu masih memikirkannya?”
Zahya mengangguk. Aku tersenyum tipis. Zahya mendadak sangat keras kepala jika menyangkut Ahmar—cinta pertamanya.
“Udahlah, Za. Jangan terus memikirkan hal yang sudah berlalu. Semua sudah tenang. Kakak nggak suka kamu mikirin dia terus.”
“Kak, kakak masih benci Ahmar?”
Pertanyaan Zahya membuatku tersentak. Benci? Jika digambarkan aku tidak membenci Ahmar. Hanya saja aku masih kecewa dengan lelaki itu.
“Masih! Dia berjanji ke Kakak bisa menjagamu, tapi lihat apa yang dia buktikan,” jawabku tidak menutupi rasa kecewaku terhadap Ahmar.
“Jangan membencinya, Kak. Semua nggak kayak yang Kakak pikirkan. Dia nggak seburuk yang Kakak kira.”
“Sudahlah jangan ngomongin Ahmar. Kamu tahu sendiri Kakak nggak suka ngomongin dia. Kita selalu bertengkar tiap bahas Ahmar,” ucapku menyerah.
Zahya menghapus air matanya. Setelah itu dia menatapku. “Zahya mohon lupain semuanya, Kak. Nggak pantas diungkit lagi keburukannya.”
“Dan nggak pantas juga diungkit lagi kenangannya.”
“Kenapa Kakak jahat banget, sih? Mau sampai kapan Kakak kecewa ke Ahmar?”
Aku mundur beberapa langkah saat mendengar teriakan Zahya. Sebelumnya dia tidak pernah berteriak seperti ini di depanku. Namun karena membahas Ahmar, dia bisa bertindak seperti itu. Cinta selalu membuat orang mendadak keras kepala.
“Sebelumnya kamu nggak pernah teriak di depan Kakak kayak gini, Za.”
Zahya menunduk. Aku menggeleng, masih kaget dengan apa yang tadi Zahya lakukan.
“Zahya cuma pengen Kakak nggak benci Ahmar. Lupain rasa kecewa itu, Kak.”
Mataku terpejam setelah mendengar ucapan Zahya. Lupain? Andai melupakan semudah itu. Aku tidak tahu sampai kapan rasa kecewaku terhadap Ahmar akan hilang. Rasa itu tumbuh semata-semata karena aku begitu menyayangi Zahya. Hingga saat lelaki itu mengecewakanku dan membuat Zahya menjadi seperti ini, aku tak terima. Apa itu salah?
“Sudahlah, Za. Kalau dibahas terus nggak bakal selesai kan?” kataku. Aku kembali mendekati Zahya. Aku menunduk dan mencium puncak kepalanya. “Kakak pergi dulu.” Setelah itu aku berjalan keluar rumah.
Ucapan Zahya membuatku merenung. Memang tidak sepantasnya aku kecewa sampai detik ini, tapi aku bukan gadis yang mudah melupakan, terlebih jika dikecewakan. “Huh....” Aku menarik napas panjang sambil mencoba melupakan sedikit perdebatanku dengan Zahya.
***
Tiga bulan sebelumnya.
Jarum jam telah sampai di angka dua belas tepat. Tanda waktu semakin malam, bahkan telah berganti hari. Malam semakin larut, tapi tidak membuatku segera menjemput mimpi. Aku berjalan mondar-mandir di ruang tamu sambil mencoba menghubungi Zahya.
Tut... Tut.. Tut....
Terdengar nada sambung terputus. Entah ini sudah panggilan ke berapa, selama dua jam terakhir dan Zahya sama sekali tidak mengangkat panggilanku.
“Zahya! Kamu ke mana, sih?” Aku menghempaskan tubuh ke sofa panjang. Aku lelah sendiri berjalan mondar-mandir di ruang tamu.
Tatapanku tertuju ke jam di ponsel yang telah menunjukkan pukul dua belas lewat lima menit. Aku menoleh ke jendela rumah, melihat halaman rumahku. Belum ada tanda-tanda kepulangan Zahya.
“Ini lebih dari jam sepuluh, Za!”
Hari ini di Zahya ada acara perpisahan dengan teman-temannya di sebuah kelab. Sebelum berangkat, Zahya berjanji akan sampai rumah pukul sepuluh. Ternyata, sampai jam dua belas lebih belum ada tanda-tanda Zahya pulang.
Sebenarnya aku tidak setuju Zahya pergi. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan Zahya. Mengingat dia yang begitu polos dan gampang dibujuk, aku hanya tidak ingin adikku kenapa-kenapa.
Apa yang aku khawatirkan sepertinya tidak dimengerti Zahya. Dia memohon agar bisa menghadiri perpisahan itu. Bahkan pacar Zahya yang badboy sampai memohon kepadaku agar aku mengizinkannya pergi. Hingga akhirnya, aku mengizinkan dengan syarat dia tidak boleh pulang lebih dari pukul sepuluh.
Mengingat pacar Zahya, sebenarnya aku kurang srek Lelaki bertindik di telinga itu kurasa tidak baik untuk Zahya. Aku sudah mencoba menasihati, tapi adikku satu itu sedang jatuh cinta ke badboy itu. Bisa kalian tebak, Zahya tidak mendengar nasihatku. Menasihati orang yang jatuh cinta itu percuma.
Berulang kali Ahmar meyakinkanku jika dia adalah lelaki yang terbaik untuk Zahya. Beberapa kali aku hampir tersentuk dengan sikapnya. Namun entah kenapa aku tetap merasa Ahmar bukan lelaki baik-baik.
Drttt....
Ponsel yang aku genggam bergetar. Aku melihat nama Zahya muncul di layar. Rasa kesalku kembali memuncak, karena Zahya ingkar janji dan tidak memberiku kabar. Aku menggeser layar hijau lantas mengangkat panggilan itu dengan rasa kesal. “Kamu ke mana saja? Ini sudah jam dua belas lebih, Za! Cepat pulang!”
“Apa benar ini keluarga Zahya? Saya Banu dari pihak kepolisian.”
Seketika aku berdiri mendengar siapa yang berbicara. Kepolisian? Apa yang terjadi sampai polisi menghubungiku dengan nomor Zahya? Jantungku berdetak cepat. Dadaku tiba-tiba sesak entah kenapa.
“Benar, Pak. Saya Scarla kakak Zahya. Ada hal yang terjadi, Pak?”
“Zahya mengalami kecelakaan.”
Prak....
Ponsel yang aku pegang meluruh begitu saja. Kalimat Pak Banu membuat sekujur tubuhku kaku. Darah seolah berhenti beberapa saat. Aku tidak bisa bereaksi. Terlalu syok dengan apa yang aku dengar.
Hingga beberapa detik, aku kembali menguasai diriku. Aku membekap mulutku sambil terisak hebat. Zahya. Zahya kecelakaan?
Aku menunduk, dan melihat ponselku yang berada tidak jauh dari kaki. Buru-buru aku mengambil ponsel dan menempelkan ke telinga.
“Halo.. Halo..” Pak Banu kembali memanggil.
“Sekarang Zahya di mana, Pak? Bagaimana keadaannya? Saya ke sana sekarang!”
Seiring dengan kalimatku, aku berlari ke kamar untuk mengambil tas. Setelah itu aku keluar rumah, masih dengan berlari. Aku mendengar Pak Banu memberi tahu, di mana Zahya dirawat.
Aku memasukkan ponsel di saku celana dan berlari cepat di kampung yang telah sepi. Air mataku menetes, dan aku biarkan tetesan itu membasahi pipi. Tidak penting untuk menghapus air mata. Sekarang, yang terpenting aku harus cepat sampai di rumah sakit Zahya.
“Pak! Ojek, Pak!” teriakku ke tukang ojek di pangkalan pertigaan kampung yang untungnya masih ada di tengah malam.
Aku buru-buru naik ojek. Kedua tanganku gemetar, air mataku masih mengalir. Selama menunggu Zahya, aku tidak pernah berpikiran akan terjadi hal buruk seperti ini.
“Hiks.”
Aku menutup kedua mataku dengan tangan. Ini ketiga kalinya aku merasakan hal menegangkan dalam hidupku. Pertama saat mengetahui ayahku kecelakaan. Kedua saat mendapat kabar ibuku meninggal. Dan yang ketiga, saat ini.
Kumohon Tuhan, jangan sampai kejadian ketiga seperti kejadian pertama dan kedua. Aku tak ingin kehilangan adikku.
Kini, aku berlari di halaman rumah sakit. Sial! Siapa yang membuat halaman rumah sakit seluas ini? Membuatku membutuhkan waktu untuk sampai ke ruangan Zahya.
“Huh.. Huh..” Deru napasku terdengar putus-putus.
Aku menunduk saat perutku terasa ditusuk. Tak berapa lama, aku paksakan untuk berlari tapi tidak sekencang tadi.
“Mbak, di mana ruangan, Zahya? Korban kecelakaan,” tanyaku ke petugas resepsionis.
“Silakan cek di ruang IGD,” jawab suster sambil menunjuk ke sebelah kanan.
Aku menoleh dan melihat dua orang polisi berdiri di sana. Tak ingin buang-buang waktu, segera aku dekati dua polisi itu. “Permisi Pak. Apa Zahya adik saya ada di dalam?”
Pertanyaanku membuat dua polisi yang sedang berbincang itu seketika menoleh.
“Mbak yang tadi di telepon?” tanya polisi berkumis.
Banu.
Aku lihat name tag di pakaian dinas polisi itu. Aku mengangguk mantap. “Iya, Pak. Adik saya di dalam? Saya boleh melihatnya?”
“Adik, Anda sedang ditangani dokter. Bersabar sebentar.”
Aku menghela napas berat. Sebenarnya aku ingin menerobos masuk dan cepat bertemu Zahya untuk memastikan keadaannya. Beruntung masih ada sisa kewarasanku, sehingga aku tidak melakukan tindakan gegebah itu, yang aku lakukan adalah berjalan ke kursi tunggu yang tersedia di depan ruangan.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pak?” tanyaku ke Pak Banu, setelah beliau duduk di kursi sebelahku.
“Mobil yang ditumpangi Adik Anda diduga kehilangan keseimbangan hingga bertabrakan dengan truk dari arah berlawanan.”
Air mataku yang sempat berhenti kini mulai turun membasahi pipi. Apa yang diucapkan Pak Banu membuat pikiran yang tidak-tidak mulai berkecamuk. Bagaimana dengan kondisinya sekarang? Parahkah? Bagian mana yang terluka?
Aku menoleh ke dua polisi yang menatapku kasihan. “Lalu bagaimana mana dengan si pengemudi, Pak? Apa Zahya bersama lelaki bertindik?”
Aku ingat, Zahya berangkat bersama Ahmar. Dan lelaki itu berjanji kepadaku untuk mengantar Zahya pulang tepat waktu.
“Benar. Dugaan, pengendara dalam pengaruh alkohol.”
Mataku melotot mendengar penejelasan itu. Dipengaruhi alkohol? Aku mendengus. Ketidaksukaanku kepada Ahmar terbukti. Dia memang bukan lelaki baik.
Mulai sekarang aku tidak akan membiarkan Zahya dekat dengan lelaki itu. Dua kali aku dikecewakan oleh janji-janji Ahmar yang katanya mampu melindungi Zahya. Kenyataannya apa? Dia malah membuat Zahya terluka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
