
Riel datang ke Korea untuk memberikan kejutan kepada Meya, pacarnya. Justru dia yang mendapat kejutan tidak terduga dari pacar tercintanya itu.
Memo datang ke Korea untuk bertemu dengan pacarnya yang sedang menempuh pendidikan di sana. Tetapi, dia menemukan rahasia yang tidak terduga.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan dua orang itu saat musim semi yang katanya musim jatuh cinta?
MEMO 1
Seoul, 16 Maret 2019
Saat bulan Maret, di negera tropis adalah musim pancaroba. Pergantian musim dari penghujan ke kemarau. Langit tidak bisa ditebak. Kadang kala saat pagi, begitu cerah. Namun menjelang siang, langit berubah gelap. Kadang pula hujan tidak datang meski awan kelabu. Yah, paling hanya angin kencang yang membuat rambut berantakan.
Berbeda di negera yang memiliki empat musim. Terutama di Korea. Ketika bulan Maret datang, banyak yang menyambut dengan suka cita. Musim semi, selalu menjadi musim yang dinantikan. Dinginnnya musim dingin, mulai digantikan dengan hangatnya musim semi. Bahkan, beberapa orang berkata musim semi itu ibarat jatuh cinta. Banyak wisatawan, yang ingin menikmati musim semi, terutama wisatawan asing yang hanya bisa menikmati dua musim. Seperti lelaki yang satu ini.
"Mana, sih?" Lelaki dengan rambut cepak dan jaket denim belel itu berjalan sambil sibuk memegang ponsel. Nama jalanan yang asing lengkap dengan tulisan Hangeul yang tidak dimengerti, membuatnya kesusahan mencari.
Langkah Riel tiba-tiba terhenti, merasa salah lagi membaca arah. Terpaksa dia bergerak ke pinggir dan mendekap buket bunga mawar dengan lengan kiri. Sementara kedua tangannya, memegang ponsel dan melihat petunjuk arah.
Riel merasa, setiap jalanan yang dilewati selalu sama. Terlebih dengan nama yang mirip. Songong-ro, Eulji-ro. Dia merasa sudah berjalan dua kali melewati jalanan itu. Ini semua karena dia sok-sokan naik kereta bawah tanah dan lupa harus berhenti di stasiun apa. Ditambah lagi, dia agak lupa dengan nama tujuannya. Parah.
"Oke! Kali ini pasti ketemu," gumam Riel sambil membawa buket bunga di tangan kiri, sementara tangan kanannya terangkat agak tinggi dengan ponsel yang menunjukkan petunjuk arah. "Kali ini bener...."
Langkah Riel semakin mantap, kala berhasil menemukan jalanan yang dicari. Senyumnya mengembang, terbayang seseorang yang pasti akan kaget melihat wajahnya. Terlebih, dia datang membawa bunga.
Tak lama kemudian, Riel sampai di sebuah hotel bintang lima, The Plaza Seoul. Napasnya memburu, bahunya naik turun tapi dia tersenyum. Kemudian dia mempercepat langkah menuju lobi. Dia sudah memiliki informasi, di mana pacarnya itu menginap.
Belum sampai menginjakkan kaki di lobi, Riel melihat wanita dengan rambut kecokelatan yang berjalan keluar sambil menyampirkan tas di pundak. Belum sempat memanggil, wanita itu menoleh. Sesuai dugaan Riel, wanita itu mengerjabkan lalu bola matanya membesar.
"Hai...." Riel melangkah mendekat kemudian wanita itu menghampiri. "Kaget nggak?"
Wanita itu menarik tangan Riel, alih-alih memeluknya. Dia menarik agak ke pinggir jalan kemudian menatap pacarnya itu. "Ngapain kamu di sini?"
Riel mengernyit, menatap Meya yang tampak tidak suka. Dia mencoba berpikir positif, mungkin Meya buru-buru. "Ada kegiatan? Aku bisa nunggu."
"Aku tanya, ngapain kamu di sini!"
Tubuh Riel tersentak mendengar teriakan itu. "Ngasih kejutan," jawabnya sambil merentangkan tangan. "Aku tadi salah turun stasiun, jadinya muter-muter nggak jelas."
Meya memperhatikan Riel yang berusaha tersenyum. "Kamu pasti lihat dari invoce yang dikirim di email, kan? Makannya kamu bisa tahu tempatku nginap."
"Ya, tentu." Riel mengulurkan bunga yang dipegang. "Selamat, Sayang!"
Bukannya menerima, Meya justru bersedekap. "Kayaknya aku harus ngasih tahu kamu."
"Apa? Kerja samanya jadi, kan?" Riel ingat saat Meya pamit ke Korea dua hari lalu karena akan bekerja sama dengan salah satu desainer yang berasal dari Negeri Gingseng itu. Namun, melihat wajah Meya yang memerah, Riel merasa telah terjadi hal buruk. "Coba cerita ke aku," pintanya sambil maju selangkah.
Meya justru mundur. Dia memperhatikan lelaki berwajah oval dengan hidung mancung dengan bibir agak kering itu. Pacarnya itu sangat tampan, tapi tampan saja tidak cukup, kan? "Butikku butik kecil. Kerja sama sama desainer Indo aja termasuk pencapaian luar biasa," jelasnya. "Nggak mungkin aku bisa kerja sama sama desainer Korea."
"Kenapa kamu bohong?" telisik Riel. "Kamu butuh liburan? Kan, aku nggak pernah larang kamu buat liburan. Asal ngabarin."
Benar, pacarnya itu tidak pernah melarangnya liburan. Namun, terus menghubunginya dan memberi tahu ini itu. Padahal, Meya merasa tidak perlu diberi tahu. "Aku...." Tangan kiri Meya mulai terangkat. Tanpa berbicara, dia memposisikan cincin yang melingkar di jari manisnya ke hadapan Riel.
Mata Riel seketika tertuju ke cincin putih polos yang tampak mengkilat itu. Meya dari dulu sering memakai aksesoris dan sangat stylish. "Maksudnya?" Dia mencoba tidak berpikir macam-macam.
"Aku ke sini buat foto prewed," jelas Meya sambil menurunkan tangannya.
Tangan kiri Riel yang membawa buket seketika meluruh dan bunga itu jatuh begitu saja. Wajahnya yang sebelumnya panas karena berjalan cepat, kini semakin terasa. Namun, kali ini karena syok dengan penjelasan Meya. "Ini bukan hari jadian kita, kamu nggak perlu ngerjain aku. Bilang, kamu nyiapin kejutan?" Riel kemudian mengedarkan pandang. Sayang, dia tidak menemukan tanda-tanda kejutan dari Meya.
Meya membuang muka. "Tiga bulan lagi aku nikah."
Jantung Riel mencelos. Dia masih berharap Meya sedang mengerjainya, tapi ekspresi wanita itu tampak serius. "Me! Kita udah pacaran delapan tahun!" Riel menarik lengan Meya, tapi disentak. "Bilang kalau kamu bohong."
"Aku nggak bisa sama kamu!" jelas Meya dengan mata berkaca-kaca. "Inget nggak setahun lalu aku minta putus? Tapi, kamu nggak mau!"
"Terus, kamu selingkuh?" selidik Riel. Dia menatap Meya sambil menggeleng tegas. Wanita itu pacar pertama sekaligus cinta pertamanya. "Kamu lupa udah berapa lama kita barengan? Kamu setega itu?"
Meya menunduk. "Sorry," ujarnya. "Tapi, aku ngerasa kamu nggak bisa kasih kepastian."
"Aku udah bilang, tunggu...."
"... tunggu sampai film animasimu selesai? Berapa tahun lagi?"
Riel kaget melihat air mata Meya menetes. "Kamu nggak mau nunggu?"
"Ya!" Meya menyentak Riel. "Selain itu aku udah capek sama kamu. Kamu terlalu ngekang, tapi jarang nemuin aku."
"Aku kerja! Itu juga buat kamu!"
"Tapi, aku lebih butuh waktumu!"
Kepala Riel mendadak pusing. Niat ingin ke Korea untuk memberi kejutan, justru dia yang diberi kejutan. Dia menangkup kepala kemudian membungkuk. "Aku ngekang kamu gimana, sih, Me?" tanyanya frustrasi. "Aku itu peduli!"
Meya membuang muka, mencoba tidak peduli dengan tingkah pacarnya. "Aku harus hubungi kamu tiga kali sehari, tapi kamu jarang temui aku. Pas aku lagi sama temen-temenku, tiba-tiba kamu dateng tanpa dosa."
"Buat ngasih kamu kejutan!" Riel berdiri tegak dan menatap Meya lelah. "Aku nyamperin kamu karena aku sadar, waktuku buat kamu nggak banyak!"
"Tapi, di saat yang nggak tepat!" jawab Meya. "Kamu pernah minta maaf kalau nggak hubungi aku? Enggak! Kamu pernah minta maaf, udah jarang nemuin aku? Enggak!"
Hati Riel seperti diremas kuat. Memang dia sering melupakan hal itu. Namun, setiap bertemu, dia selalu berusaha mencurahkan perasaannya. "Jadi, siapa cowoknya?"
"Kamu nggak perlu tahu!" Meya berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal. "Mulai sekarang kita putus."
"Aneh, yang diputusin justru pacar asli, bukan selingkuhan," geram Riel. "Apa harus jadi selingkuhan buat menangin hatimu?"
"Udahlah. Aku nggak mau jelasin lagi." Meya melewati Riel, tapi tangannya dicekal. Dia menunduk, berusaha menarik tangan besar itu. "Sorry."
"Bilang kalau kamu cuma ngerjain aku."
"Sorry...." Meya menarik tangannya hingga terlepas dari cekalan Riel. Setelah itu dia melangkah mantap menuju lobi hotel.
Riel menunduk, melihat buket bunga di samping kakinya yang terjatuh begitu saja. Dia menginjak buket itu, kemudian berbalik menghadap Meya. Wanita itu berjalan menuju sisi samping lobi. Sungguh, penghianatan Meya membuatnya syok. Sampai-sampai, dia tidak tahu harus berbuat apa.
"Delapan tahun pacaran dan kamu milih selingkuh," gumam Riel sambil merogoh saku jaket denimnya. Dia mengeluarkan sebuah cincin yang dibeli tadi pagi setibanya di Korea. Dia ingin memberi wanita itu kejutan, karena dia mendapat bonus dari kantor. Namun, kejutan yang disiapkan berakhir sia-sia. Justru Meyalah yang memberinya kejutan hingga sekujur tubuhnya bingung harus merespons bagaimana.
Zyahriel Arsaalan atau yang akrab dipanggil Riel itu, sudah menjalin hubungan dengan Meya Hastiya sejak mereka berusia dua puluh tahun. Riel dan Meya adalah teman dari SMP. Saat itu mereka hanya menjalin pertemanan, terlebih karena Meya dilarang berpacaran. Begitu SMA, mereka kian dekat. Namun, mereka sepakat untuk menjadi kakak adik. Barulah, ketika berusia dua puluh tahun, Riel mencoba menyatakan perasaannya dan mereka berpacaran.
Tidak pernah ada pertengkaran hebat selama menjalin hubungan. Hingga setahun yang lalu Meya tiba-tiba meminta putus. Alasannya karena Riel terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, ujungnya mereka berbaikan dan kembali menjalin hubungan. Hingga, Meya berselingkuh, entah dari kapan.
***
Ada salah satu jalan yang sering dikunjungi wisatawan saat ke Korea, yaitu jalan Deoksugung Stone Wall. Sebuah jalan yang membentang di dekat Balai Kota Seoul hingga Teater Jeongdong. Sudah banyak penyanyi yang menceritakan Deoksugung Stone Wall. Begitu pula dengan drama yang syuting di tempat itu. Memang, Deoksugung Stone Wall begitu memanjakan mata dengan bangunan tembok lama yang masih berdiri kokoh dan suasana sekitar yang cukup tenang.
Tempat itu, lebih populer saat musim gugur, karena pohon ginkgo dan Zelkova yang tumbuh, berwarna kuning agak kemerahan. Meski bukan musim semi, Deoksugung Stone Wall juga ramai dikujungi. Ibarat, tempat itu tidak ada matinya. Sayangnya, di balik keindahan tempat itu, ada mitos yang masih dipercaya masyarakat.
Katanya, sepasang kekasih yang melewati tembok itu akan berakhir putus. Mitos berasal karena tempat itu dulunya pengadilan keluarga. Dan masih beredar hingga sekarang.
"Tapi, pas musim semi gini juga keren kok."
Seorang wanita yang mengenakan jas krem kotak-kotak dengan kupluk baret berwarna marun itu berjalan sambil mengedarkan pandang. Sejauh mata memandang, dia menemukan wisatawan asing yang berjalan bergerombol sambil bercanda. Terlebih jalanan dengan lampu kekuningan, membuat suasana terasa hangat.
Langkah Memo seketika terhenti. Dia menoleh ke kanan, menatap koper pink berukuran 24 inch yang menemaninya. Kemudian dia menoleh ke kiri, ada tas hitam yang hanya disampirkan di pundak begitu saja. "Sedangkan gue sendirian." Memo menghentakkan kaki.
Rimemo Arunika, atau yang biasa dipanggil Memo itu mengerucutkan bibir. Alasan awal ke Deoksugung karena penasaran. Terutama di drama Goblin, tempat itu muncul.
"Gue tahu tempat ini nggak banyak orang pacaran, tapi hati gue tetep nggak tenang," gerutu Memo sambil menghentakkan kaki.
Memo membenarkan topinya yang hampir melorot kemudian menatap tembok kokoh yang tampak unik. Dia mendekat, mengusap tembok itu sambil tersenyum. Kadang dia heran, orang zaman dulu bisa membuat bangunan yang masih awet hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Telapak tangannya kemudian mengusap tembok kotak-kotak yang tersinar lampu di bawahnya. "Gue pengen foto, tapi nggak ada yang motoin."
Pandangan Memo menyapu sekitar jalanan. Dia berharap ada orang Indonesia yang juga liburan sepertinya. Kemudian dia akan meminta tolong untuk difotokan. Sayangnya, wajah warga lokal yang ditemui dan wisatawan dari Eropa.
"Oke, mumpung di sini gue harus tetep foto."
Krekk.... Memo sedikit mengangkat koper agar menempel ke tembok kemudian bersadar di tembok. Dia mengeluarkan ponsel, berfoto dan tentu saja dengan gaya terbatas. Kemudian dia membuat video tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Udah.. Udah...." Memo masukkan ponsel ke saku celana. Dia kembali menggeret koper dan berjalan sambil setengah melamun.
Patah hati, datang ke tempat tidak banyak orang yang berpacaran, tapi tetap menyesakkan dada. Sebenarnya ini momen tidak terduga, karena dia baru putus kemarin. Padahal, dia sudah berencana akan mengelilingi Kota Seoul saat malam. Di bayangannya, pasti akan romantis. Justru, dia berakhir berjalan di Deoksugung Stone Wall sambil meratapi kisah cintanya.
"Aaaa! Gue patah hati!" teriak Memo tanpa peduli sekitar. Dia mendongak, memejamkan mata menikmati angin malam yang sedikit berembus. Satu tangannya kemudian merentang, mencoba untuk menenangkan diri.
Tak.... Tas Memo terjatuh dari pundak. Dia tetap tidak peduli dan masih merentangkan tangan. Dia juga tidak peduli akan dianggap gila.
Bugh....
Mata Memo seketika terbuka karena tiba-tiba ada yang menabraknya cukup kencang. Dia menoleh, melihat lelaki berjaket denim yang berjalan terburu-buru. "Ya!" Dia berusaha menirukan logat orang Korea, yang sering didapati di drama.
"Ck! Emang gue, sih, yang salah." Memo membungkuk, memungut tasnya kemudian kembali menggeret koper. Dia lalu menatap arloji, matanya membulat menyadari waktu telah menunjukkan pukul sembilan. "Ya ampun! Kan, gue harus ke Incheon!" Dia segera berlari sambil menggeret koper. Dia ingin segera sampai hotel, kemudian beristirahat. Besok pagi, dia harus kembali ke Jakarta.
***
Meya selingkuh.
Kalimat itu terus terngiang di kepala Riel. Sejak dia berjalan menjauh dari hotel, kalimat itu terus berputar. Rasanya ingin marah, tapi tertahan di tenggorokan.
Riel berjalan tanpa tentu arah. Entah, langkahnya akan membawanya ke mana. Satu yang jelas, semakin jauh dari hotelnya yang berada di daerah Myeongdong.
"Lo setega itu, Me!" geram Riel sambil mengacak rambut. Dia geleng-geleng, membayangkan Meya yang polos bisa berselingkuh. "Meya udah berubah."
Langkah Riel terhenti. Dia merasa ada yang disembunyikan Meya. Apakah mungkin wanita itu memiliki utang hingga menerima lelaki yang membantunya? "Enggak! Orangtua Meya kaya." Dia mencoba berpikir tenang. Tapi, bisa jadi.
"Ah, Sial!" Riel menjerit. Dia lalu mengedarkan pandang dan tidak ada orang yang memperhatikan. "Aaaaa!" Kemudian dia berteriak kencang. Setelah itu dia berlari untuk menghilangkan pikiran tentang Meya. Bahkan, karena aksi larinya terburu-buru itu, beberapa kali dia menabrak wisatawan lain. Namun, dia tidak peduli.
MEMO 2
"Huh... Huh...."
Napas Riel putus-putus. Dia membungkuk dan memegang kedua lutut. Kedua bahunya bergerak naik turun dan tenggorokannya mulai tercekat. Setelah itu dia berdiri tegak dan mengedarkan pandang. Sekarang, dia melihat jalanan yang tampak asing. Lagi.
"Ah! Gue harus ke mana ini?"
Kedua tangan Riel terkepal kemudian memilih menyeberangi jalan. Sungguh, dia tidak tahu akan ke mana. Dia terpikir untuk ke bar, minum sampai melupakan ucapan Meya. Namun, dia khawatir tidak bisa kembali ke hotel.
Saat itulah, Riel merasa salah jalan. Tepat di hadapannya, cukup banyak orang yang berjalan dan mereka tampak riang. Di salah satu sisi ada tembok kokoh dengan atap bangunan lama yang terlihat. Kemudian, ada deretan pepohonan dengan daun yang belum sepenuhnya tumbuh karena terserang musim dingin.
Riel mengedarkan pandang, mencoba mencari tahu jalan yang dilewati. "Ah, lupa tulisannya beda!" geramnya kemudian melanjutkan langkah, memilih melewati jalanan di depannya. "Entah, ujungnya gue ke mana."
Semakin memasuki jalan itu, Riel merasa atmosfirnya berbeda. Suasananya damai dan hangat. Berbeda sekali dengan kondisinya sekarang.
"Semua gara-gara lo, Me!" geram Riel. "Harusnya gue marah, kenapa, sih, gue nggak marah?" Riel memukul kepala dengan kepalan tangan.
Tring....
Saat berjalan sambil sesekali memukul kepala, Riel merasa menginjak sesuatu. Dia mengangkat kaki, melihat sebuah gantungan kunci berbahan tembaga dengan bentuk kepala kucing. Riel hendak menendang gantungan kunci itu, tapi ada tulisan kecil yang menarik perhatiannya.
Jangan patah semangat!
"Punya orang Indonesia?" gumam Riel sambil memungut gantungan kunci itu. Dia mengedarkan pandang, tapi tidak melihat wajah-wajah khas orang Indonesia. Kemudian dia menatap gantungan kunci itu. "Jangan patah semangat," bacanya dengan senyum sinis.
Entah apa yang terjadi hari ini. Riel tiba-tiba diputuskan, kemudian menemukan gantungan kunci yang seolah memberinya semangat. Riel tersenyum samar, kemudian memasukkan gantungan kunci itu ke saku celana.
"Shit! Gue di mana, sih?" Riel mengedarkan pandang dan barulah mengeluarkan ponsel.
Kembali, Riel membuka map dan mencari petunjuk agar bisa kembali ke hotel.
***
Incheon, 15 Maret 2019
Kreek.... Dap... Dap... Dap....
Wanita yang memakai jaket hitam dan kupluk berwarna senada berlari tanpa memedulikan sekitar. Di tangan kanannya, memegang gagang koper dan menyeret benda itu. Di tangan kiri, membawa tas slempang dengan tali yang mengenai lantai. Namun, dia tidak peduli dengan itu.
Begitu sampai di luar, Memo menghentikan langkah. Dia memejamkan mata sambil mengendus, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Udara Korea, nih!" gumamnya dengan senyuman. Setelah itu dia membuka mata. "Gong Yoo, Oppa!"
Memo terkekeh geli. "Ye Jin, Eonni! Adikmu datang!" teriaknya. "Son Memo datang!" teriaknya sambil melompat kegirangan.
Puk.. Puk....
Tiba-tiba Memo merasakan tepukan di pundak. Dia berbalik masih dengan senyuman. "Oppa!" ujarnya tanpa sadar. Saat melihat lelaki bersedekap dengan sorot mata tajam, senyumnya semakin lebar. "Sayangku!" Kemudian dia meloncat memeluk pacarnya.
"Daritadi dipanggilin nggak nyaut!"
Memo tidak memedulikan protes itu. Dia memeluk Saka, pacarnya yang mendapat beasiswa di Korea. Sudah setahun dia tidak bertemu pacarnya itu. Tentu saja rindu itu menggebu. Hingga sekarang, pacarnya berada di hadapannya. "Kangen nggak?" tanyanya sambil mengurai pelukan. "Akhirnya bisa samperin kamu."
Saka memperhatikan penampilan Memo yang tidak berubah. Wanita itu sering mengenakan jaket, jas atau cardigan. Kemudian, sering memakai topi atau kupluk, penampilan yang terlihat begitu santai. "Ayo! Bentar lagi aku ada kuliah," ujarnya sambil menarik koper Memo.
Memo buru-buru mengikuti. "Sayang, bisa nggak lewat jalan yang sering dibuat artis-artis syuting?"
"Selama setahun di sini nggak pernah ketemu artis syuting."
"Gitu, ya? Padahal, aku berharap lihat artis syuting," ujar Memo sambil menatap Saka yang dua langkah di depannya. "Kamu nyetir sendiri?"
Langkah Saka seketika terhenti. "Kita naik taksi," ujarnya kemudian lanjut berjalan.
"Sayang, tunggu!" Memo berlari mengejar dan mengamit lengan pacarnya. Dia melihat ada perubahan besar dari sosok Saka. Pacarnya itu lebih kurus dari setahun lalu. Kemudian, potongan rambut Saka juga ada sedikit poni. "Kamu kayak oppa-oppa Korea."
"Tanpa sadar aku ngikutin style sini, biar nggak kelihatan orang asing banget."
"Sayangnya matamu nggak sipit," canda Memo.
Saka tidak menjawab dan terus melanjutkan langkah. "Kita ke apartemen dulu, nanti malem baru jalan."
"Kamu kuliahnya lama nggak?"
"Lumayan, ada tugas yang harus aku selesaiin."
Memo mengangguk. Sudah jauh-jauh ke Korea untuk menemui pacarnya, dia ingin berkeliling kota Seoul bersama orang yang tersayang. Meski waktunya terbatas karena Saka harus kuliah.
***
Bip....
"Wah! Pintunya beneran kayak di drama."
Saka menatap Memo yang heboh. Pacarnya memang seperti itu, ekspresif. Dia mengangkat koper dan masuk lebih dulu. Sementara Memo, mendongak menatap lampu depan yang menyala. Setelah itu dia melangkah masuk dan lampu kembali padam.
"Mau komentar sama kayak di drama?" tanya Saka setelah meletakkan koper memo di samping lemari. "Apartemenku sempit."
Pandangan Memo teralih. Dia melihat sisi sebelah kiri ada pintu yang dia tebak kamar mandi. Sedangkan sisi kanan terdapat rak sepatu. Kemudian dia melangkah masuk dan hanya mendapati satu ruangan yang dijadikan kamar. Memo memperhatikan kamar Saka yang rapi. Tempat tidur ukuran single berada membelakangi jendela. Di samping kiri terdapat meja dengan buku-buku bertumpuk.
"Aku berangkat kuliah dulu. Kalau laper, di rak itu ada mi instan. Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa," jawab Memo kemudian mendekat. "Semangat belajarnya, Sayang."
Saka memeluk Memo dan mengusap pundaknya. "Aku tinggal." Kemudian dia meninggalkan Memo begitu saja.
Memo mengedarkan pandang, memperhatikan kamar Saka sekali lagi. "Dia pasti kesepian di sini," gumamnya karena merasakan hawa kamar cukup dingin. Dia mendongak dan tidak mendapati AC.
Tidak berhenti di situ, Memo meneliti setiap sudut kamar Saka. Kali ini, dia melihat tumpukan buku dengan ber-Bahasa Inggris. Dari dulu memang Saka memang pintar, sangat tidak sebanding dengan Memo.
Banyak yang bilang, Rimemo si gadis yang pintar gambar itu sangat beruntung berpacaran dengan Saka Mahendra. Mereka mulai menjalin hubungan saat SMA, tepatnya sehari setelah ulang tahun Memo. Kala itu, mereka hanya teman sekelas biasa. Saka termasuk cowok pendiam. Sedangkan Memo, tentu saja menjadi siswa yang ramai. Sudah tidak terhitung berapa kali dia dimarahi karena tertawa saat jam pelajaran.
"Ya ampun, dia masih bikin list kayak gini." Pandangan Memo tertuju ke sticky notes yang tertempel di tembok. Dia melihat beberapa tulisan Korea yang tidak dimengerti. Kemudian melihat beberapa tulisan ber-Bahasa Indonesia yang berisi jadwal mengumpulkan tugas. Hingga, Memo melihat sticky notes yang habis diremas dan tergeletak di samping mouse.
Memo mengambil sticky notes itu dan membukanya. Dia melihat tulisan tangan agak tipis dan miring ke kiri itu.
Gue harus fokus kuliah, part time terus nyari kerja. Kayaknya gue bakal agak lama di Korea. Tapi, gimana pacar gue? Gue kepikiran buat putus.
Bip....
Tepat setelah Memo membaca sticky notes itu, suara pintu terbuka. Dia menoleh dan melihat Saka berdiri dengan kantung di tangan. Napasnya tercekat, tapi berusaha untuk tersenyum. "Kok... Kok, balik?"
Saka terdiam melihat Memo yang berdiri dengan wajah kaget. Pandangannya lalu bergerak ke tangan Memo yang membawa kertas berwarna kuning. Seketika dia mendekat dan merebut benda itu. "Ngapain?"
Memo menarik napas panjang. Dia menunduk dan melihat kantung putih yang dibawa Saka. "Kamu bawa makanan?"
"Nih, aku beli makanan." Saka meletakkan kantung makanan itu di meja. Setelah itu dia memperhatikan Memo. "Kamu ngapain lihat barang-barangku?"
Pertanyaan itu mengusik Memo, terlebih Saka terkesan menyudutkannya. Perlahan dia mengangkat wajah dan tidak bisa membendung air matanya. "Kamu nggak serius, kan?" tanyanya. "Kamu nulis itu nggak serius, kan?"
Saka melirik tulisannya kemudian membuang kertas itu begitu saja. "Kamu nggak berhak acak-acak barangku."
"Intinya sekarang bukan itu!" teriak Memo. "Kamu mau putus? Setelah sepuluh tahun?"
Napas Saka tercekat. "Aku belum bisa ngasih kepastian Mo."
"Aku bisa nunggu!" jawab Memo cepat. "Selama ini aku juga nggak pernah desak kamu buat nikahin aku, kan?"
"Tapi, cewek seusiamu udah banyak yang nikah."
"Ya itu urusan mereka!" Memo menatap Saka dengan air mata mengalir. "Aku kurang apa, sih? Aku selalu dukung kamu."
Saka mengangguk. Selama menjalin hubungan, Memo selalu mendukungnya. Wanita itu selalu menghiburnya, saat Saka sering gagal menggapai tujuannya. Wanita itu terus memeluknya dan memberinya semangat. Namun, dia merasa tindakanya tidak sebanding dengan tindakan Memo. "Kamu berhak nyari kebahagiaanmu."
"Kebahagianku itu kamu!" Memo menunjuk Saka. "Aku cuma mau kamu. Coba lihat aku kurang apa?"
"Kamu nggak tahu posisiku, Mo," jelas Saka. "Papaku habis nipu orang, terus aku diminta bayar utangnya. Aku kerja keras biar dapet beasiswa terus kerja di tempat yang enak, buat nutupin utang."
"Aku bakal bantu!"
Saka menggeleng. "Butuh beberapa tahun lagi, Mo."
"Aku bisa nunggu."
"Kalau sampai lima tahun?"
Tanpa sadar Memo menghitung. Sekarang dia berusia 27 tahun, lima tahun lagi dia berusia 32 tahun. "Aku masih bisa nunggu."
"Kalau ternyata sampai sepuluh tahun?" selidik Saka.
Kali ini Memo tidak menjawab. Dia tahu masalah yang terjadi dengan keluarga Saka. Namun, tidak menyangka Saka bertindak seperti sekarang. "Aku cuma mau kamu di sampingku. Nggak kamu kasih kepastian juga nggak apa-apa."
"Aku yang nggak mau, Mo," jelas Saka sambil memegang pundak Memo. "Aku nggak mau kamu terlalu fokus sama aku. Kamu berhak kejar kebahagianmu sendiri."
"Kebahagianku itu kamu." Memo menjawab lemah. "Udah sepuluh tahun, kamu nggak sayang apa?"
"Justru karena aku sayang, Mo." Saka menangkup pipi Memo. "Tanggunganku masih banyak. Aku belum bisa nikahin kamu. Aku nggak mau kamu hidup susah sama aku."
"Makanya kamu lepasin aku?"
Napas Saka tercekat. Menjalin hubungan jarak jauh tidak mudah. Terlebih, dia terlalu sibuk. Dia tidak ingin Memo menunggu sesuatu yang belum pasti. "Ya."
Air mata Memo kembali menetes. Baru satu jam lebih Memo di Korea, tapi sudah mendapat hal buruk. "Aku bela-belain nabung buat ke Korea nemuin kamu, tapi balasanmu kayak gini."
"Mo. Maaf."
Memo mendorong pundak Saka kemudian berjalan menuju kopernya. "Aku anggap omonganmu serius."
"Mo! Jangan bikin aku makin tersiksa!" Saka mengatakan itu dengan mata terpejam. Sungguh, dia sangat lelah dengan kehidupannya.
Pandangan Memo teralih. Saka terdengar frustrasi. Itu artinya dia beban dalam hidup Saka? Kenyataan itu membuat Memo sakit hati. "Ya udah kalau kamu mau putus," ujarnya. "Yang penting aku nunggu kamu."
"Kamu ngerti nggak, sih?" Saka seketika berbalik dan menatap Memo tajam. "Aku bantuin kamu biar kejar bahagiamu dulu, Mo."
"Kebahagianku itu kamu. Udah berapa kali aku jelasin?"
"Tapi, kali ini aku nggak mau dikejar, Mo. Hidupku udah capek."
"Justru aku bisa nemenin kamu."
"Aku lagi nggak butuh ditemenin."
Memo mendengus. "Bilang aja kamu udah nggak mau pacaran lagi sama aku!" Setelah mengucapkan itu Memo berjalan keluar.
"Mo! Ke mana?"
"Pergilah! Ngapain aku di sini."
Saka seketika keluar dan menatap Memo. "Kamu nggak tahu daerah sini."
"Nggak usah peduli!" Memo menggeret koper dan berlari menuju lift. Dia tidak peduli, tetangga Saka akan marah karena aksinya. Toh, dia tidak akan kembali lagi.
Begitu sampai di lantai bawah, Memo mendongak. Apartemen Saka mirip dengan rumah susun. Jadi, terlihat bagian atasnya bagaimana. Dia melihat Saka berdiri di depan kamarnya dan menatapnya. Lelaki itu bahkan tidak mengejarnya.
"Gue tahu tanggungan lo banyak, Ka," ujar Memo. "Makanya gue tetep nemenin lo. Selain karena gue sayang, gue selalu berharap lo jadi cinta terakhir gue."
Air Memo terus berdesakan keluar. "Ternyata pikiran kita beda. Lo selalu narik diri tiap ada masalah. Dan mungkin lo anggap gue beban juga." Setelah mengucapkan itu Memo berbalik dan menggeret kopernya.
Pertama kali datang ke Korea. Musim semi pertama yang Memo rasakan. Namun, berakhir patah hati karena keegoisan Saka. Gue patah hati.
MEMO 3
Inget, kalau kesasar cari tempat yang sering dikunjungi wisatawan. Kalau nggak Myeongdong, ya, Itaewon. Minta bantuan orang sana, cari orang Indonesia di sana.
Kalimat Emita terngiang di kepala Memo. Sahabatnya itu mengingatkannya jika terjadi apa-apa di Korea, maka carilah tempat yang ramai. Memo kemarin berkilah, jika akan aman bersama Saka. Ternyata baru satu jam, dia sudah dikecewakan oleh Saka.
Berada di negara asing, tentu saja Memo takut. Untungnya, Emita yang serba prepare mengirimkan tempat-tempat yang aman dikunjungi sendiri. Bahkan, daftar hotel berbintang dengan harga cukup murah.
Sekarang, Memo berdiri di sebuah hotel dengan pantung besar dengan posisi agak membungkuk. Patung itu seolah menyambutnya, sekaligus mengucapkan terima kasih kepada pengunjung yang telah mengunjungi.
Tadi, usai keluar dari apartemen Saka, Memo menuju minimarket terdekat. Tentu saja dia tidak banyak berbicara karena keterbatasan bahasa. Dia hanya membeli minuman dingin, kemudian mencari bantuan menuju ke daerah Myeongdong. Hingga sampailah dia di kawasan dekat Myeongdong. Ternyata, tidak cukup jauh dari apartemen Saka.
"Semua gara-gara lo, Saka!" geram Memo sambil menggeret koper menuju lobi.
Beberapa saat kemudian, Memo sudah mendapat kamar. Patah hati membuatnya gegabah. Dia memesan kamar superior untuk semalam.
Sebelum balik mending nginep deket hotel. Gue tahu lo pelor.
Saran Emita kemarin juga Memo lakukan. Dia memesan hotel murah tidak jauh dari bandara. Dia hanya tiga hari di Korea, di hari ketiga dia harus pulang. Yah, bisa dibilang hanya dua hari dia bisa menikmati keindahan Negeri Gingseng itu.
"Hiks... Hiks...."
Begitu sampai kamar, Memo duduk di ranjang dan menangis sesenggukan. Sepanjang perjalanan sebenenarnya dia juga menangis. Namun, tidak bisa mengeluarkan emosinya.
"Haaaa. Lo jahat banget!" Memo tanpa sadar berteriak. Dia mengambil tisu dan mengusapkan ke sudut mata, kemudian membuangnya begitu saja.
Memo masih tidak habis pikir dengan Saka. Mengapa berpikiran picik seperti itu? Melepaskan Memo agar bahagia? Sungguh itu pembelaan agar tidak terkesan salah. Padahal, yang namanya mencintai pasti akan berusaha dipertahankan.
"Jangan-jangan dia kecantol cewek-cewek sini?" Memo mulai berpikiran buruk. "Udah pasti. Mana cewek sini cakep. Haaaa...." Tangisnya kian kencang.
Drttt.... Tiba-tiba ponsel di saku celana Memo bergetar.
Wanita itu merogoh saku sambil mengusap air mata dengan tisu. Saat melihat panggilan Whatsapp dari Emita, dia segera mengangkat. "Haaaa. Gue putus."
"Ha? Maksudnya?"
"Gue putus! Haaaa...." Tangis Memo semakin kencang. "Gila nggak? Hiks. Gue baru sampai. Hiks. Dia.. dia...."
"Tenang dulu, tenang."
"Haaa...." Bukannya tenang, Memo justru histeris. Dia mengeluarkan semua perasaan yang mengganjal. Sungguh, rindunya kepada Saka saja belum tuntas. Namun, lelaki itu menorehkan luka. Memo tidak pernah membayangkan Saka akan melakukan itu.
"Terus, lo sekarang di mana? Tahu, kan lo harus ke mana?"
Memo mengangguk. "Gue udah di hotel."
"Bagus!" jawab Emita puas. "Kok bisa, sih, putus?"
"Haaaa...."
"Aduh! Jangan nangis."
Sayangnya, Memo tidak bisa berhenti menangis begitu saja. Setiap mengingat Saka, air matanya seketika turun. Demi Tuhan, bahkan dia belum sempat duduk di apartemen Saka. Namun, semuanya terjadi begitu saja.
"Terus gimana? Lo mau pulang sekarang?" tanya Emita khawatir. "Mana lo baru ke sana. Duh, Saka brengsek, ya!"
"Gue pengen di hotel aja."
"Sayang, Mo. Udah terlanjur ke Korea," jelas Emita. "Jalan-jalan, deh, coba. Tapi, inget jangan sampai nyasar. Lupain, tuh, Saka."
"Kayaknya gue pengen pesen Soju aja!"
"Jangan macem-macem."
Tangisan Memo terhenti karena teriakan Emita. Beruntung mereka berbicara di telepon. Jika, berbicara langsung, sudah pasti kepala Memo akan mendapat pukulan bantal sofa.
"Lo jangan minum sembarangan! Gue udah kasih tahu, kan, daftar makanan yang aman buat lo? Beneran, jangan pikir pendak."
Kepala Memo tertunduk. "Selama ini Saka nggak cinta gue apa, ya?"
"Nggak usah mikirin dia dulu. Tenangin diri," saran Emita. "Lo lagi di hotel, kan? Kenapa nggak coba spa? Atau ngopi biar tenang?"
Sebenarnya Memo juga berpikir untuk melakukan itu. Namun, tubuhnya terasa lelah. Putus dari Saka membuatnya tidak ingin melakukan apapun.
***
Jung-gu, Seoul 16 Maret 2019
Hari pertama di Korea, Memo habiskan hanya berdiam diri di hotel. Iya, hotel. Anggaplah staycation, meski sayang sekali sudah jauh-jauh ke Korea. Namun, Memo hanya membutuhkan itu.
Selama di hotel, Memo hanya berbaring di ranjang. Memakan mi, nonton Netflix kemudian menangis. Sungguh, membuang banyak uang untuk melakukan tiga hal itu.
Memo bukan dari kalangan orang kaya, tapi masih tergolong lumayan. Dia bekerja sebagai desain grafis di perusahaan kosmetik terkenal di Indonesia. Selama tiga tahun bekerja, Memo hampir tidak pernah liburan. Uangnya selalu ditabung untuk membeli rumah.
Barulah setahun lalu, Saka mendapat beasiswa ke Korea. Memo terpikir untuk menggunakan sebagian uang itu untuk liburan sekaligus menemui Saka. Sialnya, dia diputuskan dengan alasan yang berbelit-belit. Memang benar kata orang, jangan terlalu berharap ke manusia, nanti sakit hati. Itulah yang terjadi dengan Memo.
Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Bahkan ibarat bayi, sepuluh tahun kemudian anak itu sekitar kelas empat sampai lima SD. Sudah bisa perkalian, hafal rumus bangun datar, bahkan sudah banyak yang ikut olimpiade di usia itu. Sedangkan Memo, sepuluh tahun seperti hidup bersama patung dan tidak ada perubahan.
Selama sepuluh tahun, sebenarnya sudah tidak terhitung berapa kali Memo dan Saka bertengkar. Wajar, Saka yang disiplin dan Memo yang suka ngaret. Sering kali mereka janjian, tapi Memo terlambat. Belum lagi jika Memo ngambek karena Saka jarang menemuinya. Yah, tipikal cowok gila kerja berpacaran dengan cewek yang selalu ingin dimanja. Tidak menemukan feel-nya. Herannya, mereka bisa bertahan sampai sepuluh tahun.
Memo bukan wanita yang ingin menikah karena usia. Teman-temannya banyak yang menikah muda, tapi dia tidak berpikiran seperti itu. Dia ingin menikah di saat yang pas. Terlebih, Saka belum ada tanda-tanda melamarnya. Dia benar-benar mengikuti arus, hingga akhirnya Saka memutuskannya.
Sruppp....
Segelas kopi yang diminum Memo telah tandas. Dia mendorong kopi itu kemudian membuang muka. Hari kedua di Korea, dia tidak mau hanya bermalas-malasan. Meski, matanya bengkak karena banyak menangis, dia memutuskan keluar. Hatinya tentu belum sembuh. Selalu saja nama Saka muncul di pikirannya.
"Ah! Gue harus beliin titipan Emita!" Memo ingat sahabatnya itu nitip make up dan beberapa baju. Seketika Memo berdiri, keluar dari Signature Tower. Yah, dia cukup beruntung hotelnya bersebelahan dengan gedung yang dijadikan perkantoran dengan restoran di lantai bawah.
Wanita dengan topi baret merah, kaus berwarna putih dan rok berwarna krem itu keluar. Di tangannya tersampir jas kotak-kotak dengan garis hitam dan cokelat kecil-kecil. Dia memakai jas itu sambil berjalan keluar, kemudian menyisir rambut dengan jari.
Memo mutuskan berjalan di sekitaran hotel kemudian menuju Myeongdeong. Setelah itu dia akan kembali ke hotel, mengambil koper dan berpindah ke Incheon. Sungguh cara cukup ribet. Namun, sebagai kaum pelor–tempel molor–mencari penginapan di dekat bandara adalah cara yang pas.
Brum....
Memo berdiri di perempatan jalan. Lampu untuk orang menyeberang masih menyala merah. Lantas dia mengedarkan pandang, melihat gedung-gedung bertingkat yang mengelilingi. Pandangannya kemudian ke sisi seberang. Terlihat beberapa orang berlalu lalang dengan kantung belanjaan.
Pandangan Memo lantas tertuju ke seorang lelaki berjaket denim dengan celana jeans senada yang berdiri sambil memperhatikan telapak tangannya. Posisi tangan kirinya sejajar dengan dada dan sepertinya, ada sesuatu yang menarik di telapak tangannya.
Memo tersenyum, menganggap lelaki itu akan menemui pacarnya, atau mungkin istrinya. Terlihat dari wajah semringah, meski dia lihat dari samping. "Nggak cuma gue, kan, yang patah hati di musim semi?" gumamnya sambil bersedekap.
Tanpa sadar, Memo memperhatikan lelaki itu. Entah merasa sedang diperhatikan, lelaki itu menoleh. Mata mereka saling bertemu, sebelum akhirnya Memo membuang muka. Dia tidak ingin membuat orang lain tidak nyaman karena diperhatikan.
Tet....
Beberapa orang di seberang mulai menyeberang. Memo ikut menyeberang sambil membenarkan topinya yang tertiup angin. Setelah di seberang, dia menoleh. Lelaki tadi masih berdiri di posisinya dan sibuk bertelepon. Memo kemudian berjalan ke arah kiri, menikmati Negeri Gingseng dengan berjalan kaki.
"Huh. Nggak nyangka kedatangan gue ke sini bikin hubungan gue sama Saka selesai," gumam Memo dengan senyum sendu. "Kalau gue nggak berangkat, mungkin masih pacaran. Tapi, risikonya Saka nggak mungkin jujur dan bikin gue makin sakit." Memo memaksakan senyuman kemudian merapatkan jas yang dikenakan.
***
Jakarta, 1 Maret 2022
Brak... Brak....
Gedoran di pintu kaca membuat lelaki yang tertidur dengan bantal leher yang melingkar miring itu tersentak. Dia duduk tegak dan tidak melihat pelaku penggedoran itu. Kemudian dia mendongak, melihat jam berbentuk kepala Naruto itu telah menunjukkan pukul tujuh.
"Hoam...." Riel menguap sambil melepas bantal lehernya. Kemudian dia mengucek mata lalu menatap komputer dan laptop yang bersebelahan. "Hoam...."
Riel mencoba berkonsentrasi, tapi rasanya begitu lelah. Ditambah, dentuman di kepala yang mulai terasa. "Butuh mandi, nih!" Dia beranjak, mengambil papperbag bekas dia membeli sepatu dan memilih keluar.
"Tidur di kantor lo?"
"Hmm...." Riel mengangkat tangan ke Josan, rekan kerjanya. "Kerjaan lo kelar?"
Josan mengangkat jempol kemudian memposisikannya ke bawah. "Lo nggak lihat mata gue kayak mau ilang?" Kemudian dia menyeduh kopi.
Riel berdiri bersandar di kusen pintu sambil memperhatikan Josan. Rekan kerjanya itu memiliki mata sipit dan kulit putih. Bisa dibayangkan, ketika Josan banyak lembur dan kantung matanya makin berisi? Yap, matanya seperti terpejam, padahal si pemilik masih melek. "Salah junior lo."
"Iya, emang junior gue salah," jelas Josan. "Udah, dong. Gue, kan, tanggung jawab."
"Ya...." Riel mengacak rambut. "Ada obat pusing?"
Josan menggerakkan dagu ke kotak obat yang tertempel di tembok. Dia lanjut menyeduh kopi sebelum memulai pekerjaannya. Sama dengan Riel, semalam dia juga tidur di kantor.
Kricik.... Riel menuangkan air dingin ke gelas kemudian mengambil obat pusing. Tanpa peduli sudah makan atau belum, dia meminum obat itu.
"Nggak sarapan dulu?" tanya Josan.
"Bentar lagi sarapan. Obatnya tahu gue butuh dia." Riel meletakkan gelas ke tempat pencucian kemudian berjalan menjauh. "Kamar mandi nggak ada orang, kan?"
"Mana gue tahu! Lo pikir gue penjaganya?"
Riel terkekeh mendengar candaan itu. Dia lantas masuk kamar mandi yang kosong.
Tidak sampai sepuluh menit, Riel keluar dengan rambut basah. Dia kembali ke ruangan dan menarik tas untuk mengambil dompet. Tring....
Perhatian Riel teralih. Dia melihat gantungan kunci yang ditemukan di Deoksugung tiga tahun lalu. Tanpa sadar dia tersenyum membaca tulisan itu.
Jangan patah semangat.
***
"Pagi-pagi ke sini pasti minta sarapan?"
Wanita yang memakai hoodie itu tersenyum lebar. Tanpa dipersilahkan dia berjalan masuk dan menuju dapur. "Aduh... Aduh, Sayangku!" panggilnya melihat bocah kecil berseragam putih, rok kotak-kotak berwarna merah dengan rambut diikat dua.
"Ma. Tante Memo bikin malu."
Emita menahan tawa. "Dia ngadu, habis diketawain sama temennya."
Memo membungkuk ke Sharon. "Masa Tante cantik gini diketawain?"
"Teriakan Tante itu yang bikin heboh," keluh Sharon kemudian membuang muka.
"Makin gemes bocah nggak ada rambutnya ini." Memo mengusap puncak kepala Sharon, tapi langsung mendapat tatapan tajam. Dia tersenyum lebar lalu mengedipkan mata. "Sekarang ada rambutnya kok."
"Rambutku emang tipis kayak mama," jawab Sharon.
Emita meletakkan nasi goreng di atas meja kemudian duduk. "Kerjaan nggak banyak?"
Memo duduk di seberang Emita dan mendekatkan nasi goreng itu. "Enggak!"
"Baguslah. Jadi, ada waktu buat kencan."
Kata kencan, hampir setiap hari diucapkan Emita. Memo sampai bosan, karena temannya itu selalu berusaha mencomblangkannya. "Gue masih pengen sendiri."
"Udah tiga tahun," keluh Emita. "Gue takut lo nutup hati."
Memo menatap Emita sambil tersenyum. "Tenang aja, gue masih kepikiran buat nikah."
"Mau nggak gue kenalin ke temen Josan?"
"Enggak!" tolak Memo kesekian kalinya. "Gue bisa cari sendiri."
"Ya udah, ajak dia ketemu gue secepatnya."
Memo menggeleng. Dia melanjutkan makan sambil berusaha melupakan Saka. Sudah tiga tahun mereka putus. Sudah tidak ada komunikasi lagi. Padahal, Memo masih menyimpan nomor Saka dan berharap lelaki itu meminta maaf. Namun, hasilnya nihil.
"Nanti anter Sharon ke papanya, ya. Gue mau ke tempat nyokap."
Kalimat Emita membuat Memo mengangkat wajah dengan mata memicing. "Lo nggak lagi comblangin gue ke temennya Josan kayak yang udah-udah, kan?"
MEMO 4
"Lo nggak lagi comblangin gue ke temennya Josan kayak yang udah-udah, kan?"
Bibir Emita berkedut melihat reaksi Memo yang berlebihan. Yah, sebelum-sebelumnya dia sering mencomblangkan Memo dengan teman suaminya, Josan. "Nyokap pagi-pagi telepon, ngeluh kesemutan mulu."
Jawaban itu membuat Memo bisa bernapas lega. "Terus, mau ajak lo ke dokter?"
"Iya, dan nggak mungkin ajak Sharon." Emita kemudian menoleh, menatap anaknya yang sibuk memakan sereal. "Bisa, kan?"
Memo menatap Sharon dengan senyum jail. "Nanti tante yang jemput."
"Udah tahu!" jawab Sharon cuek.
Memo mendengus. Menurutnya Sharon memiliki sifat yang mirip dengan Emita. Hanya wajahnya mirip dengan Josan. Namun, dia ikut senang karena wajah Sharon mirip papanya dengan mata sipit.
"Jam sepuluh Sharon balik, terus antar ke Josan. Katanya dia balik jam istirahat," ujar Emita. "Nanti sekalian gue bawain snack, biar Sharon nggak ganggu papanya kerja."
Ibu jari Memo terangkat. "Sebelum jam sepuluh gue jemput."
Emita menatap anaknya yang tidak rewel dan mudah diajak bekerja sama. Seketika dia berdiri dan mengusap sudut bibir Sharon yang belepotan. "Berangkat, yuk, mama anter! Nanti pulangnya sama Tante Memo. Jangan ngambek, ya."
Sharon melirik Memo sekilas. "Asal Tante nggak ngerjain."
"Nggak akan, Sayang," jawab Memo lalu mengedipkan mata.
"Beneran, ya, jangan telat!"
"Enggak! Masa nggak percaya?"
"Emang!"
Memo menahan tawa. Emita memang sahabatnya. Jarak usianya dengan Emita terpaut dua tahun. Dulunya, Emita seniornya di kantor. Namun, setelah Emita memiliki Sharon, wanita itu memutuskan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Kadang, masih menerima orderan desain grafis secara online.
Bagi Memo, Emita adalah kakaknya yang akan dia dengarkan nasihatnya, meski harus berdebat dulu. Dia tidak memiliki kakak maupun adik. Yah, dia anak tunggal yang kesepian, tapi tidak manja. Sifatnya dan Emita bisa dibilang bertolak belakang. Memo suka telat, Emita yang tepat waktu. Memo yang peluka, Emita yang memiliki daya ingat tajam. Satu yang membuat mereka akrab, sering gila-gilaan tanpa mengingat umur.
***
Bekerja sebagai desain grafis, membuat Memo tidak benar-benar memiliki jam kerja. Kadang di pagi hari bersantai, tapi malamnya lembur. Terlebih, jika perusahaannya akan mengeluarkan prodak kosmetik baru. Dia dan tim mendesain kemasan, desain untuk sosial media, belum lagi desain lain yang kadang diminta secara mendadak.
Seperti pagi ini, Memo tidak sibuk. Karenanya dia sempat ke rumah Emita untuk meminta sarapan. Yah, sebenarnya mamanya sudah membuat sarapan. Namun, sejak lima tahun lalu, saat mamanya terkena hipertensi sejak saat itu setiap memasak, hampir tidak ada rasanya. Jadinya, Memo makan sedikit agar tidak sakit hati. Kemudian, dia memilih membeli atau cari makan gratis di rumah Emita.
"Tante!"
Teriakan melengking itu mengejutkan Memo yang berdiri bersandar di depan gerbang sambil bermain ponsel. Dia memasukkan ponsel ke saku hoodie kemudian menatap ke halaman. Terlihat bocah kecil dengan ikat rambut yang telah turun menggeret tas kopernya dengan bibir mengerucut. "Ada masalah apa, tuh, bocah?"
"Ayo, pulang!" Sharon memberenggut.
Memo mengusap puncak kepala Sharon. "Mukanya jutek banget, Neng?"
"Capek!"
"Oke... Oke...." Memo berjalan menuju mobil dan membukakan pintu untuk tuan putri itu. Setelah gadis itu masuk, dia berlari menuju pintu kemudi. "Langsung ke kantor papa, ya! Bentar lagi Tante harus ke kantor."
"Iya," jawab Sharon sambil mengucek mata. "Hoam...."
Memo menahan tawa. Muka jutek Sharon ternyata karena mengantuk. Benar-benar mirip dengan Emita.
Beberapa saat kemudian, mobil Memo berbelok di sebuah kantor kecil dengan patung tokoh kartun membawa pedang. Dia memakirkan mobil kemudian menoleh ke Sharon yang terlelap. Seketika Memo merogoh saku dan menghubungi Josan.
Tut....
"Awas aja lo nggak angkat!" geram Memo. Dia juga cukup dekat dengan Josan. Sepasang suami istri itu, kadang kompak mengerjainya.
Tut....
Memo menghela napas berat. "Ya ampun!"
Tut... Tut... Tut.... Kemudian sambungan terputus.
Memo memasukkan ponsel kembali ke saku hoodie, kemudian turun dari mobil. Dia membuka pintu kemudi kemudian menarik tas koper Sharon. Barulah setelah itu dia menggendong bocah yang terlelap. Kemudian dia menutup pintu dengan pinggulnya.
"Nggak emak, nggak bapak, nggak anak, demen banget ngerjain gue," gerutu Memo sambil berjalan menuju pintu kaca. Beruntung, ada seseorang yang hendak keluar, jadi dia tidak susah membuka pintu itu.
Memo melangkah menuju resepsionis yang memperhatikannya begitu dia masuk. "Bisa ketemu Josan?"
"Dengan Ibu Memo?" tanya Resepsionis itu dan langsung mendapat anggukan. "Silakan ke ruangan, Beliau sudah menunggu. Perlu saya antar?"
"Tidak terima kasih." Memo membenarkan gendongan Sharon kemudian berjalan menuju lift. Kantor Jason hampir penuh dengan ornamen animasi. Sharon sebenarnya sangat suka bermain di kantor papanya, terlebih ada boneka karakter yang terjadi.
Begitu sampai di lantai tiga, Memo segera menuju ruangan di sebelah kanan. Dia mengangkat Sharon lebih tinggi, karena gendongannya terus melorot. "Josan!" panggilnya pelan. "Anak lo, nih!"
Krek....
Sebuah pintu kaca terbuka, tapi bukan ruangan Josan. Memo melirik lelaki yang memakai topi dengan kacamata bulat itu. Dia membuang muka saat lelaki itu menatapnya. Saat itulah dia melihat Josan keluar ruangan.
"Sharon tidur?" Josan segera mendekat dan mengambil alih anaknya.
Beban di tangan Memo seketika menghilang. Dia mengibaskan tangan kemudian menyerahkan tas koper milik Sharon. "Udah ada snack di dalem, sama sandwich buat lo. Itu pesen Emita."
"Oke, thanks!"
"Sama-sama. Gue balik." Memo berbalik dan melihat lelaki bertopi tadi berjalan berlawanan sambil membawa kopi. Lelaki itu kemudian berdiri di depan lift dan menyeruput kopinya. Sekilas tampak biasa saja. Sebelum akhirnya perhatian Memo tertuju ke gantungan kunci yang terlihat tidak asing.
Tring.... Pintu lift terbuka dan lelaki itu bergerak masuk.
"Loh... Loh...." Memo kebingungan. Dia menoleh ke belakang dan melihat Josan masih memperhatikannya. Seketika dia berbalik. "Cowok barusan...."
Josan melirik ke arah lift. "Siapa?"
"Dia tadi keluar dari sini." Memo menujuk ruangan di seberang ruangan Josan.
Sudut bibir Josan tertarik ke atas. "Kenapa? Ganteng?"
"Bukan itu!"
"Mau gue kenalin?"
Memo mengacak rambut karena Josan masih sempat-sempatnya berniat mencomblangkan. "Bukan itu maksud gue! Tuh, cowok siapa?"
"Aaaah...." Sharon terbangun dari tidurnya.
Josan seketika mendekap anaknya. "Ini Papa," bisiknya kemudian menatap Memo. "Nanti gue kenalin." Setelah mengucapkan itu dia masuk ruangan. Sharon gampang ngambek kalau tidurnya belum lama.
Bibir Memo terbuka, kemudian tertutup lagi. Dia menyugar rambut ke belakang kemudian berjalan cepat menuju lift. Dia yakin tidak salah. Gantungan kunci berbahan tembaga dengan bentuk kepala kucing itu pasti miliknya. Hanya satu kunci seperti itu, karena Saka yang khusus membuatkan untuknya.
"Masa Saka boong, sih?" gumam Memo. "Dia beli di pasaran kali, ya?"
Memo berdiri di depan lift sambil menggaruk kepala. "Tapi, punya gue ada tulisannya. Masa itu bukan punya gue, sih?"
***
Desoksugung Stonewall, 16 Maret 2019
Usai meratapi nasib di jalan tembok Desoksugung, Memo berhenti di ujung jalan sambil mengeluarkan ponsel. Dia membaca sekali lagi pertunjuk arah, sekaligus tempat biasa untuk memesan taksi.
"Oke! Kayaknya sebelah sana...." Memo berjalan agak jauh dari kawasan Istana. Dia mencoba menghafalkan nama jalan tujuannya kemudian mengangguk mantap. "Oke, hafal!" Barulah Memo berhenti dan menarik tasnya ke depan.
Memo hendak membuka tasnya, tapi merasa ada sesuatu yang aneh. Dia membungkuk dan mendekatkan tas itu. "Loh? Gantungan kunci gue?" Memo memeriksa sisi tas satunya dan tidak ada gantungan kunci kesayangannya. "Loh! Gantungan kunci gue!"
Mendadak Memo panik. Gantungan kunci bergambar kepala kucing pemberian Saka, adalah benda yang begitu dia sayangi. Saka membuatkan khusus untuknya dan mengukir tulisan penyemangat. Bisa dibilang, gantungan itu menjadi jimat keberuntungannya.
"Kayaknya, tuh jimat tahu gue putus sama yang bikin!" Memo menghentakkan kaki.
Memo memasukkan ponsel ke tas dan berusaha biasa saja. Namun, ada perasaan yang masih mengganjal. Memang kemarin dia putus dengan Saka, tapi kondisinya sama-sama emosi. Bisa jadi, besok atau lusa mereka membahas lagi dan berbaikan.
"Aaaah! Gantungan kunci gue!" Memo berbalik dan menyeret kopernya begitu saja. Dia bahkan hampir terjatuh, karena posisi koper itu yang agak miring dengan roda yang tidak menapaki tanah. Namun, dia tidak peduli.
Begitu sampai di Deoksugung Stonewall, Memo berjalan sambil menunduk. Dia ingat saat hendak berfoto, kemungkinan gantungan kunci itu terjatuh. Atau mungkin saat dia merentangkan tangan dan ada seseorang yang menabraknya.
"Gue tadi kayaknya berdiri di sini." Memo mengedarkan pandang, melihat cone pembatas jalan. "Atau sebelah sana?" Dia menunjuk cone di sebelahnya.
Kepanikan Memo kian bertambah. Khawatir benda itu dibuang dan dianggap sampah. "Please, itu benda kesayangan gue," gumamnya sambil terus menyusuri jalan.
Hingga sampai ujung jalan, Memo tidak mendapati benda yang dicari. Trotoar sangat bersih tanpa sampah. Sudah pasti, gantungan kuncinya dianggap sampah oleh seseorang yang menemukan. Kenyataan itu, membuat air mata Memo menetes.
"Hiks... Gantungan kunci gue!" Memo berjongkok dan menumpahkan tangisannya. Sial sekali, habis diputuskan dia kehilangan gantungan kunci keberuntungannya.
***
Rumah lantai satu dengan gaya minimalis itu tampak gelap. Lampu depan dibiarkan padam, begitu pula ruang tamu. Namun, di bagian dapur agak sedikit remang karena lampu kekuningan yang dinyalakan.
Seorang lelaki dengan rambut basah, tampak sibuk menyantap mi instan rasa sotonya. Makan mi instan saat malam memang tidak pernah gagal. Meski makan sendirian.
"Huh...." Riel kepedasan, karena menambahkan mi instan itu dengan sepuluh potongan cabai. Meski begitu, dia tetap menghabiskan kuah yang terasa pedas dan asin itu hingga tandas. Barulah dia menegak air mineral.
Perut Riel sekarang terasa kenyang. Dua porsi mi, sudah cukup membuatnya bertenaga. Yah, beginilah risikonya tinggal sendiri. Apa-apa ingin yang instan.
Sudah delapan tahun terakhir Riel tinggal sendiri. Dia tidak ingin merepotkan paman sekaligus walinya itu. Kedua orangtua Riel telah pergi sedangkan kakaknya sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri.
Riel mengedarkan pandang. Awal membeli rumah, dia pikir tempat ini akan hangat karena kehadiran Meya. Yah, dia sudah terpikir menjalani kehidupan rumah tangga dengan Meya. Namun, kandas begitu saja.
"Ngapain gue masih mikirin dia?" Riel beranjak sambil mengangkat mangkuk.
Ucapan Meya kala itu memang benar. Tiga bulan setelah putus, dia menikah dengan selingkuhannya. Riel tidak datang, terlebih karena tidak diundang. Namun, dia melihat di sosial media jika Meya tampak bahagia. Sekarang, tentu saja Meya bahagia dengan suaminya.
Drttt....
Riel hendak mencuci mangkuk, saat getar ponsel di meja terdengar. Dia meletakkan mangkuk itu begitu saja kemudian kembali duduk. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan dari Josan. "Ya, San!"
"Sibuk nggak, Bro?"
Refleks Riel menggaruk kepala. "Agak," bohongnya. Dia khawatir disuruh lembur.
"Bukan urusan kerjaan kok," jawab Josan cepat.
Tanpa sadar Riel tersenyum. "Oh, iya. Ada apa?"
"Kita udah kenal tiga tahun, nih."
"Pinjem duit?" tebak Reil. "Berapa?"
"Bukan itu maksud gue!" Josan tanpa sadar berteriak. "Ada temen istri gue, nih, single. Kayaknya dia naksir lo."
Kalimat itu membuat Riel mengerjab. "Ha? Kok dia tahu?"
"Tadi kalian papasan di kantor. Cewek yang gendong anak gue. Inget nggak?"
Riel mencoba mengingat kejadian tadi. Memang dia ingat ada seseorang yang menggendong Sharon. Dia bisa tahu karena posisinya, Sharon mengharap ke arahnya. Namun, dia tidak melihat jelas siapa yang menggendong. "Gue pikir itu istri lo."
"Ngaco!" jawab Josan. "Lo nggak jalin hubungan, kan?"
"Gue udah males pacaran."
"Kebetulan dia carinya suami."
"Pacaran aja males, apalagi jadi suami!" jawab Riel geli. "Bilang aja, gue gamophobia–rasa takut untuk menikah."
"Tolonginlah temuin dia dulu," bujuk Josan. "Istri gue khawatir banget ini. Lima tahun lalu dia hampir depresi habis diputusin."
Rasanya Riel ingin menjawab jika lima tahun lalu dia juga hampir depresi. "Sekali ketemu langsung gue tolak, ya!"
"Bolehlah, asal ketemu dulu," jawab Josan. "Besok ke kafe Maxsilove jam makan siang."
Riel geleng-geleng. "Ya, tapi langsung gue tolak."
MEMO 5
Bip....
Mendengar suara pintu dibuka, Josan segera keluar kamar. Dia melihat istrinya baru pulang dari mengantar sang mama ke rumah sakit. "Capek?" tanyanya sambil merangkul Emita.
Emita membalas pelukan suaminya. "Iya."
"Gimana keadaan mama?"
"Biasa, kolesterolnya lagi naik."
"Tapi, udah ditangani, kan?"
Emita mengurai pelukan kemudian tersenyum. "Udah," jawabnya. "Sharon tidur? Memo nganternya tepat waktu nggak tadi?"
Mengingat Memo, Josan seketika ingat sesuatu. "Kayaknya Memo suka anak di kantor."
"Ha? Yang bener."
Josan mengangguk. "Dia tadi penasaran sama Riel."
"Temenmu yang baru pindah itu?" tanya Emita dengan mata berbinar. Dia pernah berpapasan dengan Riel kala itu dan tahu lelaki itu cukup tampan. "Terus, kamu udah bertindak?"
Josan menjawil hidung istrinya. Emita sangat peduli ke Memo, karenanya selalu ingin mencomblangkan. Diapun dipaksa membanntu. "Ya udah, aku bantu apa?"
Sudut bibir Emita tertarik ke atas. "Telepon, Riel sekarang."
***
Drrttt....
Memo baru keluar dari ruangan saat ponsel di tangan kirinya bergetar. Dia mengangkat benda itu lalu, tersenyum. "Kenapa mau ajak gue makan?" tanyanya iseng. "Atau mau kasih gue kado?"
"Besok jam makan siang lo sibuk nggak?"
Senyum Memo kian lebar. "Oke, ke mana?" tanyanya sambil berjalan keluar. Ketika berpapasan dengan temannya, dia melambaikan tangan dan tersenyum.
"Besok gue kabari lagi, pokoknya lo harus dateng!" ujar Emita serius. "Pokok besok jangan telat."
"Iya, Bawel!" Memo menjauhkan ponsel dari telinga kemudian mematikan sambungan. Dia memasukkan ponsel ke tas hitamnya kemudian teringat sesuatu.
Tas yang Memo kenakan adalah tas yang sama dengan lima tahun lalu. Dia tiba-tiba teringat dengan gantungan kunci yang telah hilang. "Huh...." Dia menghela napas kala ingat gantungan kunci yang mirip dengan miliknya dikenakan orang lain.
"Besok gue harus interogasi Josan!" gumam Memo kemudian berjalan menjauh.
Begitu sampai luar, Memo mendongak. Dia melihat bulan purnama bersinar terang. Bintang-bintang juga tampak berkilauan.
Tanpa sadar Memo memikirkan kehidupannya sekarang. Dia sudah menginjak 30 tahun, tapi sedang tidak dekat dengan siapapun. Entahlah, rasanya lelah menjalin hubungan. Dia sudah pernah menjalani pacaran selama sepuluh tahun, tapi berakhir putus.
Gagal move on?
Bisa dibilang seperti itu. Ayolah, siapa yang mudah melupakan seseorang setelah sepuluh tahun bersama? Memo yakin Saka sebenarnya juga tidak bisa melupakannya. Bedanya lelaki itu selalu sibuk.
Sampai detik ini, Memo tidak menghapus kontak Saka, meski Emita pernah diam-diam menghapus kontak Saka dari ponselnya. Namun, dia sudah hafal dengan nomor lelaki yang begitu spesial. Ujungnya, dia menyimpan kontak Saka lagi. Emita sampai menyerah dengan tindakannya.
Memo juga tidak memblokir sosial media Saka, meski lelaki itu jarang aktif. Entahlah, di hati kecilnya masih berharap Saka kembali. Meski sudah lima tahun berlalu.
Tin....
Tubuh Memo berjingkat. Dia menoleh dan melihat mobil merah milik Nilam--seniornya. "Apaan?"
"Pulang sana! Malah ngelamun!"
Memo mendengus setelah itu berjalan menuju parkiran samping. Dia tidak terburu-buru, berbeda saat akan berangkat ke kantor.
Kedua orangtua Memo, bukan tipe orangtua yang selalu mengekang anaknya. Mereka juga tidak pernah memarahi Memo jika pulang terlambat. Asal Memo tidak berbuat ulah saja. Selain itu, Memo juga tidak ingin macam-macam dan membuat kedua orangtuanya bersedih.
Yah, sebenarnya hidup Memo tidak ada yang spesial. Bekerja, bermain ke rumah Emita dan nonton Netflix. Sudah tidak ada lelaki di hidupnya.
Beberapa saat kemudian, Memo sampai di rumah. Dia melihat lampu rumahnya masih terang. Kebiasan mamanya yang tidak pernah mematikan lampu sebelum Memo pulang. Kemudian, Memolah yang akan mematikan lampu begitu sampai.
"Meong...."
Pandangan Memo teralih begitu masuk garasi. Dia melihat kandang kucing di ujung ruangan dan terlihat kucing jenis persia yang menatapnya polos.
"Meka," gumam Memo sambil mendekat ke kandang kucing itu. "Laper, Sayang? Mama nggak ngasih kamu makan, ya?" tanyanya sambil mengusap bulu Meka yang lebat.
Dua bulan sebelum putus, Saka membelikan kucing untuk Memo. Dia sendiri kaget saat tiba-tiba ada yang datang dan mengantarkan kucing. Padahal, yang suka dengan kucing adalah Saka. Kata Saka, agar Memo tidak kesepian.
"Ternyata setelah itu dia mutusin gue. Kayaknya udah persiapan," gumam Memo. "Papamu jahat banget, Ka! Uggh. Geregetan!" Dia mengepalkan tangan dan membuat kucing itu memejamkan mata, Memo kemudian mengusap puncak kepala Meka dengan sayang.
***
Riel: Langsung gue tolak, kan?
Josan: Temui dulu.
Siang ini, Riel berada di kafe sesuai permintaan Josan. Tak lupa dia membawa tabletnya dan melanjutkan pekerjaan. Dia belum ke kantor, jadi belum bisa menginterogasi Josan.
"Semoga dia nggak telat!" gumam Riel sambil menatap arloji hitam di tangan kiri. Pukul dua belas lebih lima menit. "Ternyata dia telat."
Riel mengedarkan pandang, melihat pengunjung dengan setelan kantor yang berdatangan. Dia mencoba mengingat wanita yang berpapasan dengannya kemarin, tapi lupa style wanita itu bagaimana.
"Sampai setengah satu nggak dateng, gue balik," gumam Riel kemudian menatap sketsanya.
Beginilah hidup Riel setelah putus cinta. Makan sering sendirian dan menghabiskan malam minggu dengan bekerja. Di kantornya, membebaskan bekerja di rumah atau di kantor. Asal saat deadline harus selesai.
Riel terbiasa berangkat ke kantor menjelang jam makan siang. Sekaligus mampir untuk mencari makan. Dia juga sering melewatkan sarapan. Bahkan sering lupa makan.
"Ck!" Riel menatap arloji yang hampir menunjukkan pukul setengah satu. Dia mengedarkan pandang dan tidak melihat tanda-tanda seseorang akan datang.
Riel mulai malas menunggu. Dia menyimpan draft pekerjaannya kemudian memasukkan tablet ke tas. Barulah setelah itu dia berdiri. Untungnya, dia sudah menyempatkan makan alih-alih menunggu teman Josan agar makan bersama.
"Josan ngerjain gue!" geram Riel sambil berjalan menuju parkiran samping.
"Mas... Mas...."
Samar-samar, Riel mendengar ada yang berteriak. Dia tidak merasa dipanggil. Jadinya, dia tetap berjalan menuju mobil hitamnya yang tinggal beberapa langkah kaki.
"Mas!" panggilan itu semakin kencang, kemudian ada yang menarik tas Riel.
Riel sontak berbalik dan melihat seorang wanita dengan topi putih membungkuk ke arah tasnya. Refleks dia menarik tasnya menjauh. "Ngapain?"
"Emm... Itu, boleh lihat?" Wanita bertopi itu berusaha menarik tas Riel sekali lagi.
Ini tidak bisa dibiarkan. Riel segera memposisikan tasnya ke depan tubuh dan berlari menuju mobil. Begitu masuk, dia menyempatkan diri menatap wanita itu. Wajahnya terlihat kaget, Riel kemudian melepas tasnya dan memperhatikan barang-barangnya. Tidak ada yang hilang.
"Ck! Sial bener ketemu cewek aneh!"
***
Beberapa saat sebelumnya.
Sesuai dugaan Emita, Memo terlambat. Dia bangun kesiangan kemudian sibuk bermain dengan kucing. Barulah saat perutnya keroncongan, dia ingat janjinya dengan Emita.
"Dia pasti ngamuk-ngamuk, nih!" gumam Memo sambil mengemudi.
Tak lama, Memo membelokkan mobil ke kafe tempat janjian. Dia mengambil topi, perlindungan jika Emita marah dan memukul kepalanya.
Saat hendak keluar, Memo melihat seorang lelaki yang keluar dari kafe. Dia buru-buru turun dan berpapasan dengan lelaki itu. Dia menoleh dan melihat benda mengkilat yang mengalihkan perhatiannya.
"Ah, cowok itu!" gumam Memo sambil menunjuk lelaki bertas hitam dan jaket berwarna senada itu. "Mas... Mas...." Tanpa pikir panjang, Memo mengejar.
"Mas...."
Lelaki di depan Memo terus berjalan. Dia berlari mengejar sambil berteriak. "Mas...." Kemudian dia berhasil memegang gantungan kunci itu.
Memo menunduk, berusaha membaca tulisan yang tertera. Namun, lelaki di depannya segera menarik tasnya. Tidak kekurangan akal, dia ikut menarik dan menatap gantungan kunci itu saksama.
Jangan patah semangat!
Jantung Memo berdegup lebih kencang menyadari gantungan itu memang miliknya. Ternyata gantungan kuncinya memang bukan gantungan kunci pasaran. Namun, dia heran mengapa gantungan kunci itu bisa berada di tangan teman Josan?
Saat Memo baru pulih dari keterkejutannya, dia melihat lelaki tadi telah berada di mobil kemudian kendaraan itu bergerak. Memo tersenyum, tidak bisa membendung rasa bahagianya. Gantungan kunci kesayangannya ketemu, tinggal mendapatkannya kembali.
Drttt....
Perhatian Memo teralih merasakan ponsel di celana jeansnya bergetar. Dia mengambilnya dan mendapati nama Emita.
"Lo udah di kafe?" tanya Emita tidak sabaran.
"Ya, gue di parkiran," jawab Memo sambil berjalan menuju pintu masuk. "Lo di sebelah mana?"
Tidak ada tanggapan.
Memo memutuskan masuk dan mengedarkan pandang. Dia melihat beberapa meja di tempati oleh pekerja kantor yang sedang makan siang. Kemudian, dia tidak mendapati sahabatnya itu.
"Udah ketemu?" tanya Emita kemudian terdengar kekehan.
Memo masih belum mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Jika Emita tidak ada, padahal sebelumnya mengajak makan, artinya ada sesuatu.
"Lo lagi comblangin gue, ya?" teriak Memo tanpa sadar.
Pengunjung restoran seketika menatap. Seketika Memo menarik topinya lebih ke bawah kemudian berjalan keluar.
"Lo mau comblangin gue sama siapa kali ini?" geram Memo heran. ""Emita Sayang, gue lagi nggak mau jalin hubungan."
"Tapi, Josan bilang lo naksir temennya."
Langkah Memo seketika terhenti. Dia memikirkan ucapan Emita. Hingga satu kesadaran menghentaknya. "Cowok yang bawa gantungan kunci gue!"
"Ha? Maksudnya?"
"Telepon suami lo, minta nomornya!"
"Akhirnya!" Emita berpikiran Memo mau mencoba menjalin hubungan. "Gue telepon suami gue dulu. Sabar, Sayang." Kemudian sambungan telepon terputus.
Memo menghela napas panjang. Sebenarnya percuma dia mengejar kunci pemberian Saka. Namun entah kenapa, dia harus mendapatkan kunci itu kembali.
***
"Pusing gue!" gerutu Riel begitu sampai kantor. Saat masuk ruangan, dia dikejutkan dengan Josan yang duduk di kursi kerjanya. "Tuh, cewek nggak dateng. Bagus, deh!"
"Dia minta nomor lo!"
Riel menatap Josan lelah. "Apa lagi, sih, ini?" tanyanya. "Gue pusing, habis ketemu cewek aneh."
"Pokoknya iyain aja kalau Memo telepon. Bantuin gue, Bro. Apalagi, istri gue semangat banget."
Riel melepas tas dan meletakkan di meja. "Cuma sekali, ya! Ogah gue diribeti urusan cewek."
"Nomor lo udah gue kasih, bentar lagi dia bakal hubungi lo!" Josan seketika berdiri dan keluar ruangan.
Riel duduk di kursi kerjanya. Dia membingkai kepala dan mengusapnya pelan. Kemudian dia menarik tas dan memastikan sekali lagi isi tasnya tidak ada yang hilang.
"Sebenernya, tuh, cewek nyari apa?" gumam Riel heran.
Drrttt....
Ponsel di saku celana Riel bergetar. Dia merogoh saku dan melihat nomor baru. Seketika dia ingat ucapan Josan. Mungkinkah itu teman Josan?
"Ah, maleslah!" Riel meletakkan ponsel begitu saja dan mengeluarkan tabletnya.
Di tempat lain, Memo duduk di dalam mobil sambil menyeruput es kopi. Dia kembali ke kafe dan memutuskan membeli minuman, sambil menunggu pesan dari Emita. Ternyata cukup lama, tidak sesuai janji. Barulah saat dia hendak melajukan mobil, Emita baru mengirimkan pesan.
Tut... Tut... Tut....
"Ih! Nggak diangkat lagi!" geram Memo sambil menekan tombol merah. "Gue nggak minta kenalan, cuma mau ambil gantungan kunci doang. Heran, deh."
Kemudian, Memo mengirimkan pesan ke lelaki bernama Riel itu.
Memo: Halo Mas Riel, bisa ketemu? Ada yang ingin saya bicarakan.
Di ruangannya, Riel membaca pesan yang dikirimkan. Dia mengernyit, merasa teman Josan cukup agresif. "Bicara apa coba?" gumamnya kemudian membalas pesan itu.
Riel: Mohon maaf saya sibuk.
"Uhuk!" Memo yang membaca pesan itu seketika tersedak. "Sok banget lo!"
Tidak kekurangan akal, Memo mencari kontak Josan dan menghubunginya.
"Apa, Mo? Soal Riel?"
""Gue mau ketemu cowok itu!" perintah Memo. "Temuin gue sama dia! Paling lambat nanti malem."
"Lo serius, Mo?"
Memo menyeruput minumannya dengan haus. Setelah itu dia melepas topi yang membuat kepalanya semakin terasa panas. "Ya, gue harus ketemu dia."
Di ruangannya, Josan seketika beranjak dan menuju ruangan Riel. Dia melihat lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya dengan wajah serius. "Riel, nanti malem Memo ngajak ketemu."
Riel menoleh dengan lelah. "Memo apa, sih? Memorandum?"
"Memo, temen gue yang mau ketemu lo," jelas Josan. "Nanti ke tempat gue, ya, tolongin."
"Enggak!" jawab Riel.
Josan yang belum memutuskan sambungan membuat Memo mampu mendengar apa yang terjadi.
"Balikin gantungan kunci gue!" teriak Memo sekuat tenaga.
"Gantungan kunci?" gumam Josan tak mengerti.
Riel yang mendengar gumaman Josan seketika menoleh. Dia mencoba menghubungkan apa yang terjadi tadi di kafe. Kemudian, di menatap tasnya yang tergeletak dan ada gantungan kunci yang menggantung. "Jangan bilang temen lo cewek aneh itu!"
"Apa maksud lo!" teriak Memo mendengar suara Riel.
Josan yang tidak mengerti hanya menatap Riel. Kemudian dia segera keluar dan mematikan sambungan.
"Jadi, cewek aneh itu temennya Josan? Untung gue kabur," gumam Riel lega. Tapi, kenapa dia membahas gantungan kunci?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
