GRATIS - My Ice Boss - 1

3
0
Deskripsi

You are My Ice Boss. Dinginmu mampu menghangatkan hati...

Untuk kesekian kalinya Andinni (24 tahun) kembali gagal mendapatkan pekerjaan karena penampilannya. Apakah bertubuh gemuk itu adalah dosa? kenapa berpenampilan menarik selalu saja tertulis dalam persyaratan lowongan sebuah pekerjaan..? Dia sudah penat mengikuti ratusan wawancara yang melelahkan dan pada akhirnya Dinni tetap dikalahkan oleh para pesaing yang cantik jelita plus bantuan kekuatan orang dalam.

Frustasi karena tidak kunjung mendapatkan...

1 - Saat Putus Asa Menyapa


Karena manusia tidak selalu mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya...
-Yong Jian

___________________

___________________


"Mohon maaf, berdasarkan hasil tes dan wawancara, anda dinyatakan tidak lolos untuk bekerja di sini...."

Dinni melangkah gontai keluar dari gedung perkantoran yang tinggi menjulang. Kalimat penolakan itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Wajahnya kini berubah lesu. Matanya menatap nanar pada langit yang cerah. Gadis berbadan tambun itu terlihat seperti kehilangan semangat hidupnya.

Cukup lama Dinni berdiri mematung di sana. Hingga kemudian, dia berbalik menatap gedung perkantoran itu. Helaan napasnya terdengar sesak. Dia menatap kantor itu dengan perasaan hancur. Pupus sudah segenap harapan untuk bisa bekerja di sana.

Tatapannya lalu beralih pada beberapa karyawan yang sibuk berlalu lalang. Dinni pun menelan ludah. Dia ingin seperti mereka. Dia ingin menjadi bagian dari mereka. Dia sudah berharap terlalu banyak kali ini, namun Dewi Fortuna masih belum berpihak padanya.

Gadis itu lekas menyeka air mata yang jatuh sebelum orang lain sempat melihatnya. Sedetik kemudian Dinni merobek nomor urut wawancara yang masih melekat di pakaiannya. Dia meremukkan kertas itu, lalu melemparnya dengan gusar.

"Kamu masih di sini?"

Dinni berbalik menatap sosok itu. "I-iya, aku baru mau pulang."

Gadis bersuara cempreng itu menatap Dinni lekat-lekat. "Kamu nangis?"

"Nggak kok. Aku cuma kelilipan debu aja," kilah Dinni.

Sosok berparas cantik itu memasang wajah sendu. "Kamu nggak apa-apa, kan? aku jadi ngerasa nggak enak sama kamu."

Dinni menggeleng cepat. "Kamu emang pantes kok, ngedapetin pekerjaan itu. Sekali lagi selamat, ya, Mona."

"Kamu yakin baik-baik, aja?" Mona menggenggam tangan Dinni dan meremasnya pelan.

Dinni mengangguk seraya memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Iya, aku yakin."

Dinni mengenal Mona saat mereka sama-sama mengantarkan berkas lamaran ke kantor itu. Awalnya Dinni menyapa hanya untuk sebatas basa-basi, tapi kemudian mereka terlibat obrolan panjang dan menjadi lebih dekat satu sama lain.

Siapa sangka, sosok berbadan ramping dan cantik itu menjadi satu-satunya saingan Dinni dalam tes dan wawancara tahap akhir. Setelah perjuangan yang panjang dan melelahkan, Dinni dan Mona berhasil menyisihkan para kandidat lainnya.

Dinni sendiri sudah merasa optimis bisa mendapatkan pekerjaan itu. Hal itu lantaran performa Mona yang sedikit lemah di sepanjang tes dan wawancara. Mona bahkan tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh HRD. Jika ditelisik lebih jauh, latar belakang pendidikan Mona memang tidak cocok untuk mengisi posisi itu. Namun, ajaibnya Mona-lah yang keluar sebagai pemenang.

"Oh, itu Papa aku udah datang. Aku duluan, ya, Din." Mona pun bergegas pergi.

Dinni pun tersenyum dan melambaikan tangannya pelan.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan sana. Terlihat seorang lelaki paruh baya keluar dengan senyum merekah. Mona pun tampak bahagia saat berbicara dengan ayahnya itu. Dia merangkul sang ayah sambil melompat-lompat girang. Sementara, Dinni hanya mendesah pelan menyaksikan pemandangan itu.

Tiba-tiba seorang pria berlari tergopoh-gopoh menghampiri Mona dan ayahnya. Dinni pun membelalak kaget dan langsung menggeleng tidak percaya.

Jemarinya terangkat pelan menunjuk pria itu. "D-dia...."

Pria itu adalah HRD yang tadi mewawancarainya. Dia terlihat sedang berbicara dan menjabat tangan ayah Mona dengan penuh rasa hormat. Mereka terlihat akrab dan sepertinya sudah saling mengenal satu sama lain.

Dinni pun tersenyum getir dengan bola mata yang terasa panas. Kedua tangannya kini mengepal kuat. Dia menatap pemandangan itu dengan dada yang terasa sesak. Setetes bening pun kembali meluncur di pipinya. Sepertinya dunia memang selalu tidak adil untuknya dan akan terus begitu selamanya.
_

_

 

Langit senja kini sudah berganti nama menjadi malam. Sisa-sisa hujan yang turun masih membasahi jalanan dan dedaunan. Setelah penat berjalan tak tentu arah, akhirnya Dinni pulang ke rumahnya. Tatapannya sekarang tertuju pada rumah sederhana yang terlihat lapuk. Atapnya sudah berkarat. Sebagian dindingnya sudah rapuh dan rontok.

Di depan rumah itu terdapat sebuah gerobak dagang yang digunakan ibu Dinni untuk berjualan ketoprak setiap harinya. Kondisi gerobak tua itu pun terlihat memprihatinkan. Kayu-kayunya sudah berlubang dimakan rayap. Kacanya juga sudah pecah dan hanya diganti dengan plastik yang juga sudah menguning di terpa cahaya matahari.

"Dinni...!" pintu rumah tiba-tiba terbuka bersamaan dengan munculnya seorang wanita paruh baya yang segera berlari kecil menghampiri Dinni.

"Kenapa kamu baru pulang?"

"I-iya, Buk. Tadi aku ke rumah Ishaya dulu," jawab Dinni.

Sang ibu pun tersenyum. "Ayo buruan masuk, Ibuk udah masakin makanan kesukaan kamu."

"I-Ibuk masak buat aku?" Dinni menatap heran.

Ibunya hanya tersenyum dan segera membawa Dinni masuk ke dalam rumah.

"Kak Dinni...!" seorang gadis kecil berusia 6 tahun yang tadinya sedang asyik menggambar segera berlari menghampiri Dinni.

"Tumben Nana kelihatan seneng banget ngelihat Kakak?" tanya Dinni.

"Nana udah laper dari tadi, tapi kata Ibuk tunggu Kak Dinni pulang dulu, baru boleh makan." bocah itu langsung mengadu.

Dinni pun semakin terheran-heran. Tidak biasa-biasanya ibunya bersikap seperti itu.

"Ya udah, kita makan sekarang, yuk!" Dinni mendorong pundak mungil Nana menuju ruang makan yang langsung menyatu dengan dapur.

Sang ibu kini sibuk menyajikan banyak jenis makanan di atas meja. Dinni pun menatap heran, sekaligus menelan ludah karena mulai tergoda dengan hidangan itu.

"Kenapa Ibuk masak banyak sekali?" tanya Dinni.

Sang ibu hanya tersenyum dan ikut duduk di meja makan. "Ayo buruan makan! kamu pasti sudah lapar, kan?"

Dinni mengangguk dan mulai ragu untuk mulai dari mana karena saking banyaknya jenis makanan itu.

"Nana juga pengen cepat-cepat dewasa dan dapat kerja, ah," celetuk Nana tiba-tiba.

Tatapan Dinni pun beralih pada bocah itu. "Kenapa Nana ngomong gitu?" tanya Dinni.

Nana melipat tangannya di dada. "Biar Nana juga dimasakin banyak makanan sama Ibuk. Tadi kata Ibuk, sekarang ini adalah hari yang spesial karena Kak Dinni udah dapat pekerjaan," jawab Nana dengan wajah polosnya.

Deg.

Dinni terhenyak. Makanan yang baru saja masuk ke mulutnya seketika terasa hambar. Pandangannya beralih pada sang ibu yang kini menatapnya dengan senyum penuh arti. Ada binar bahagia yang terpancar dari matanya. Seketika dada Dinni terasa sesak melihat raut wajah ibunya itu. Dinni meneguk segelas air dan kembali meletakkan gelas itu dengan jemari bergetar.

"Jadi kapan kamu mulai bekerja, Din?" tanya sang Ibu.

Dinni langsung tertunduk. Dia tidak berani menatap wajah sang ibu. Lama kelamaan pemandangan di depannya mulai terlihat buram karena genangan air mata.

"D-Dinni...?"

Sang Ibu pun kini menatap nanar. Senyum di wajahnya perlahan surut. Suasana meja makan itu mendadak sunyi. Hanya suara dentingan sendok Nana saja yang sesekali terdengar.

Setelah cukup lama, Dinni mengangkat kepalanya bersamaan dengan air matanya yang jatuh. "Maafin Dinni, Buk," ucapnya serak.

Sang ibu terdiam. Helaan napasnya kini terdengar sesak. Raut kecewa jelas terlihat di wajah senja itu. Tanpa bersuara sang Ibu sang ibu beranjak ke dalam kamar. Dinni pun menatapnya dengan perasaan sedih. Dia tahu ibunya merasa kecewa, tapi dia juga berharap sang ibu mengerti bahwa semua memang tidak mudah.

"Kakak mau ke mana?" tanya Nana ketika Dinni ikut beranjak pergi.

Dinni tidak menjawab dan segera berlari masuk ke kamarnya.

Setiba di dalam kamar Dinni langsung membenamkan wajah ke bantal, lalu menangis terisak. Dia tadi sebenarnya sudah lelah menangis di sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah. Tadinya dia berharap sang ibu akan menghibur dan menguatkannya.

Tadinya Dinni mengira bahwa rumah akan menjadi tempat yang nyaman baginya untuk menghela napas dari sesaknya kehidupan yang mendera. Namun, ternyata semua sama saja. Dinni merasa semakin putus asa dan bertanya-tanya dalam hatinya. Apa memang tidak ada lagi tempat di dunia ini untuk orang seperti dia?

***

Pagi ini Dinni tertunduk lemas di tepi ranjangnya. Tadinya dia sudah keluar dan berniat hendak membantu sang ibu berjualan seperti biasanya. Tapi, sang ibu bersikap dingin dan memerlakukannya seperti mahluk yang tidak kasat mata. Sang ibu tidak menjawab ketika Dinni berbicara. Dia juga buru-buru mengambil alih setiap pekerjaan yang akan dikerjakan oleh Dinni.

"Semua ini bener-bener nggak adil," bisik Dinni.

Tatapannya tertuju pada sebuah figura di atas meja. Foto itu berisi potret Dinni sewaktu kecil dengan seorang wanita yang terlihat cantik dan dewasa. Dia adalah Amanda. kakak Dinni dan jugaibu kandung dari Nana. Berbeda dengan Dinni, jalan hidup Amanda terbilang mulus. Dia selalu bisa mendapatkan apapun keinginannya. Dia terkenal sebagai gadis yang cerdas dan ambisius. Kasih sayang sang ibu pun lebih tercurah padanya. Sampai akhirnya Amanda membuat kesalahan dan menghilang tanpa jejak setelah melahirkan Nana.

"Bahkan setelah semua ini, Ibuk masih terus memikirkan dia dan nggak pernah membahas kesalahan dia sama sekali." Dinni menatap potret saudarinya itu dengan wajah kuyu.

Pandangan gadis berusia 24 tahun itu kini beralih menatap cermin. Dinni merengut sebal, lemak di pinggulnya terlihat semakin membesar. Kedua pipinya juga bengkak karena semalam sudah memakan empat bungkus mie instan yang di masak sekaligus. Dinni bahkan tidak pernah lagi menimbang berat badannya karena selalu terkejut melihat pergerakan angka timbangan yang terus naik.

Sebenarnya sewaktu masih sekolah dasar, Dinni termasuk anak yang aktif dan tak kalah pintar dari kakaknya. Dia anak yang percaya diri dan juga energik. Sampai kemudian teman-teman di sekolahnya mulai mengejek dan mencemooh penampilannya. Saat itu Dinni masih belum begitu terusik. Hingga suatu hari dia mengajukan diri untuk mendaftar sebagai mayoret untuk tim drumband di sekolahnya.

Dinni pun sudah banyak berlatih dan cukup lihai mengayunkan tangkai sapu yang dijadikannya sebagai pengganti tongkat mayoret. Namun, saat itu gurunya bahkan tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Dinni untuk menunjukkan kemampuannya. Menurut gurunya bobot tubuhnya itu tidak akan membuatnya leluasa dalam bergerak. Hal itupun membuat kepercayaan diri Dinni mulai memudar.

Menginjak bangku SMP, Dinni semakin merasa minder dan menarik diri dari pergaulan. Disaat teman-temannya menjalani masa pubertas dengan cinta-cinta monyet, Dinni memilih mengasingkan diri dengan membaca buku. Karena memang hanya tumpukan buku-buku itulah yang memberikan Dinni sedikit kebahagiaan melalui kisah-kisah indah yang ada di dalamnya.

Masa SMA-nya pun jauh lebih mengerikan lagi. Dinni benar-benar merasa terkucilkan selama tiga tahun masa SMA-nya. Meski duduk di kelas yang sama, tetapi Dinni merasa terisolasi dan berada di dunia yang berbeda dengan teman-temannya. Dia tidak mengenal istilah hangout dan juga jenis hara-huru ala anak muda kekinian lainnya.

Dddrrtt... ddrrtt...

Dinni dikejutkan oleh suara getaran handphone-nya di atas meja. Dia buru-buru mengambil handphone itu dan langsung tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar.

"Halo... kamu di mana sekarang?" suara dibalik telepon itu terdengar rusuh.

Dinni tidak menjawab. Bibirnya langsung berkedut menahan tangis.

"Din... kamu dengerin aku, kan? kamu di mana sekarang?"

Bibir Dinni mulai bergerak pelan. "A-aku... a-aku...." dia berucap terpatah-patah.

"Kamu nangis...? ya ampun Dinni, kamu di mana sekarang?" sosok yang sedang menelepon itu terus mengulang pertanyaan yang sama.

Dinni masih belum menjawab pertanyaan itu. Deru napasnya kini terdengar memburu. Lama kelamaan kedua pundak gempalnya mulai bergetar bersamaan dengan suara tangisnya yang pecah.

"Juaaaaaan...!!!" jerit Dinni di sela suara tangisnya.

"Kamu kenapa, Din? kamu di mana sekarang? kita ketemu sekarang, ya?" suara lelaki bernama Juan itu terdengar semakin cemas.

Tangisan Dinni malah semakin menjadi-jadi. Wajahnya kini sudah bersimbah air mata. Dinni pun langsung mengadu tentang apa yang sudah terjadi pada Juan. Sepertinya memang hanya pada Juan dia bisa menumpahkan segala keluh kesahnya. Hanya dia yang selalu mengerti Dinni. Hanya Juan yang tetap bertahan di sisinya dan juga selalu menerima Dinni apa adanya.

Langit senja kini sudah berganti nama menjadi malam

 

Pemuda yang kini duduk di samping Dinni itu bernama bernama Juan Mahendra. Juan memiliki postur tubuh yang tinggi dan atletis. Dia memiliki hidung yang mancung, alis mata tebal dan juga brewokan di wajahnya.

Mereka sudah kenal sejak SMA, tapi keduanya baru bertegur sapa ketika melanjutkan kuliah di kampus yang sama. Dini dan Juan sama-sama kutu buku dan kerap bertemu di perpustakaan kampus. Dari sanalah awal kedekatan mereka bermula.

Sebenarnya Juan sudah pernah mencoba mendekati Dinni saat SMA. Saat itu Juan memberanikan diri menyapa Dinni yang sedang asyik membaca buku di taman sekolah, tapi Dinni malah kabur terbirit-birit. Sejak itu Dinni pun selalu melarikan diri jika berpapasan dengan Juan.

Setelah mereka kembali dipertemukan di bangku kuliah, barulah Juan bisa meyakinkan Dinni bahwa dia benar-benar tulus ingin berteman dengannya. Hingga kemudian Juan menyatakan cintanya dan akhirnya mereka pun berpacaran hingga detik ini. 

"Udah Din... jangan nangis lagi." Juan kembali menyeka air mata Dinni yang jatuh di pipinya.

"Semua ini bener-bener nggak adil, tau nggak." Dinni masih berkeluh kesah.

Juan menghela napas, kemudian menatap Dinni dengan lembut. "Itu bukan sebuah akhir... percaya aja kalau semua yang terlewat itu emang bukan rejeki kamu. Cepat atau lambat kamu pasti bakalan dapet pekerjaan." hibur Juan.

Dinni menatapnya dengan mata yang masih sembab. "Setelah dua tahun ini? sesudah semua usaha mati-matian yang aku lakuin?"

Juan terdiam. Dia tahu benar bagaimana kerja keras Dinni selama dua tahun terakhir ini untuk mendapatkan pekerjaan.

"Kenapa sih, kebanyakan pekerjaan itu menjadikan 'penampilan yang menarik' sebagai salah satu persyaratannya?" tanya Dinni.

Juan hanya tersenyum.

"Apa aku harus nurunin berat badan dan jadi cantik dulu agar jalan hidup aku jadi mudah seperti perempuan-perempuan yang lainnya?" Dinni masih berceloteh.

Juan pun masih sabar mendengarkannya.

"Bener-bener nggak adil," ucap Dinni.

Juan tersenyum tipis. "Udah ngeluhnya?"

Dinni menatapnya dengan alis berkerut. "Emangnya kenapa?"

"Semua yang kamu omongin itu ada benarnya, tapi juga nggak sepenuhnya benar. Buktinya banyak, kok orang-orang yang memiliki over weight, tapi tetap bisa survive. Ini bukan soal penampilan. Intinya, mungkin ini memang belum waktunya untuk kamu, Din. Sabar... dan usaha lagi." Juan menasehati Dinni dengan nada yang sangat berhati-hati.

Dinni terdiam.

"Jadi sekarang... lupain aja semua yang udah berlalu itu." Juan merunduk agar bisa melihat wajah Dinni yang menekur menatap tanah.

Dinni mengangkat wajah sambil menghela napas. Setelah itu dia menatap Juan lekat-lekat. "Kenapa kamu bisa suka sama perempuan seperti aku?"

Juan memejamkan matanya sebentar. Dia sudah bosan mendengar pertanyaan itu. "Setelah lima tahun, kamu masih nanya tentang hal itu?"

Dinni tersenyum. Sejauh ini Juan memang selalu menunjukkan ketulusannya. Dia benar-benar serius membangun hubungan dengan Dinni. Di awal-awal hubungan mereka, Dinni sempat risih karena sebagian orang mengolok-olok Juan yang memilih berpacaran dengan perempuan seperti dirinya. Dinni bahkan sempat meminta putus karena tidak ingin melihat Juan menjadi gunjingan orang lain, tapi saat mengutarakan keinginan itu, Juan malah memarahinya.

Saat ini Juan sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Dia lulusan dari jurusan manajemen sama seperti Dinni. Bagi Dinni, Juan adalah sosok the one yang sempurna di matanya.

"Tiba-tiba aku ngerasa lapar," ucap Dinni.

Juan tergelak. "Hahaha. Ayo kita cari makan kalo gitu." ajaknya.

Dinni berpikir sebentar. "Eh, tapi nggak deh... beberapa hari ini aku keseringan makan sebagai pelampiasan otak yang mumet.

"Kamu sih, tapi lucu juga ya... orang biasanya kalau stress selera makannya hilang. Kalau kamu malah semakin menjadi-jadi," ledek Juan.

Dinni pun menatap tajam dari sudut matanya. "Aku juga iri sama kamu tau... makan banyak tapi badannya segitu-gitu aja."

"Hahaha." Juan tertawa pelan.

"Apa aku harus coba diet lagi?" tanya Dinni.

Juan lekas menggeleng. "No... aku nggak mau kamu sakit seperti waktu itu lagi. I love every pound of you."

Dinni tersipu mendengar kalimat itu. "Kalau gitu ayo kita pergi makan," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Juan membungkukkan badannya seraya mengayunkan tangan layaknya seorang pangeran yang sedang memberi penghormatan pada sang putri.

"Ayo kita pergi." Juan menggenggam tangan Dinni sambil tersenyum manis.

"AAA...!!!" Dinni tiba-tiba meringis.

"K-kamu kenapa, Din?" tanya Juan dengan wajah berubah cemas.

"Kaki aku kesemutan lagi." rengek Dinni.

Juan tersenyum, kemudian langsung berjongkok di depan Dinni. "Ayo naik!" perintahnya.

Dinni lekas menggelang. "Nggak ah, aku nggak mau."

"Udah naik aja."

"Kamu yakin bisa?" Dinni menatap ragu.

"Aku bilang naik... sekarang!"

Dinni pun mengalungkan tangannya ke leher Juan. Setelah cukup yakin, Juan pun mulai berdiri perlahan. "Satu... dua... ti... gaaaaa."

Juan berhasil mengangkat Dinni di punggungnya. Tapi, kemudian dia sempat oleng dan hampir terjatuh.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Dinni sambil menahan tawa.

"A-aku nggak apa-apa, kok," jawab Juan.

"Aku turun aja, deh," ucap Dinni.

Juan menggeleng. Wajahnya kini memerah. Urat-urat di tangan, leher dan keningnya kini menyembul keluar. Tapi, matanya terlihat berapi-api. Dengan keyakinan dan tekad yang kuat, Juan pun mulai melangkah. Meski terseok-seok, tapi dia tetap mempertahankan Dinni dipunggungnya.

Pemandangan itu pun menarik perhatian orang banyak. Ada yang menertawakannya, ada yang memujinya, dan ada juga yang memotret pemandangan ganjil itu diam-diam dengan kamera ponselnya.

"Aku mau turun," ucap Dinni.

"Nggak."

"Turunin aku... malu tahu dilihatin orang-orang," bisik Dinni.

"Aku bilang enggak ya, enggak. Kamu bandel amat, sih. Lagian suka-suka aku dong. Yang gendong aku bukan mereka," jawab Juan.

Dinni tersenyum dan mengaitkan tangannya lebih erat.

"Juan...," bisik Dinni ke telinganya.

"Iya, ada apa?" tanya Juan sembari terus melangkah.

"Makasih ya, karena udah selalu ada buat aku," ucap Dinni.

Juan tersenyum, menghentikan langkah kakinya sebentar, lalu menoleh ke arah Dinni. "Aku akan selalu ada buat kamu untuk selama-lamanya."

"Janji?"

"Iya, aku janji."

***

***


Dinni masih senyum-senyum sendiri seiring langkah kakinya. Hari ini dia benar-benar merasa bahagia karena perlakuan manis Juan padanya. Segala resah dan gundah yang sebelumnya menghimpit dada terasa menguap. Sepertinya malam ini dia akan bisa tertidur dengan sangat lelap. Namun, begitu memasuki halaman rumahnya, Dinni terkejut.

Di depan sana terlihat beberapa orang memaksa meringsek masuk ke rumahnya. Mereka mengeluarkan perabotan berupa televisi dan juga perangkat elektronik lainnya. Sang ibu terlihat sedang memohon-mohon pada seorang wanita yang bergaya cetar dengan rambutnya yang bergelombang. Wanita itu adalah Bu Mala. Setahu Dinni, ibunya memang meminjam uang berupa koperasi harian kepada wanita itu.

Dinni pun bergegas mendekat. "A-ada apa ini, Buk?" tanya Dinni.

Bu Mala beralih menatap Dinni. "Ibuk kamu ini nggak mau bayar hutang. Ditagih malah nyolot."

Dinni menelan ludah, sementara sang ibu kini tampak merasa malu.

"Emangnya berapa hutang Ibu saya, Buk?" tanya Dinni.

"Lima Juta," jawab bu Mala ketus.

Dinni membelalak kaget. Dia beralih menatap ibunya. "I-Ibuk pinjam uang lima juta? Tapi, buat apa, Buk?"

Sang ibu terlihat gelisah. Dia tidak berani menatap mata Dinni dan hanya diam terpekur.

"Loh... katanya uang itu buat putrinya," sela bu Mala.

Dinni terhenyak. Dia mendekat pada sang ibu sambil menatapnya lekat-lekat. "Jangan bilang kalau uang itu buat Kak Amanda?"

Sang ibu membisu.

"Jawab Buk...!"  suara Dinni sedikit meninggi.

Hening. Tetap tidak ada jawaban.

"Jadi selama ini Ibuk udah tau di mana dia berada?"

Ibu Dinni semakin gelisah.

"Hahaha."

Dinni tertawa getir. Tanah yang dipijaknya kini terasa berputar. Setelah semua kesalahan yang dibuat oleh Amanda. Setelah semua kekacauan yang ditimbulkannya. Ternyata diam-diam sang ibu masih menyokong dan membantunya.

Dinni beranjak masuk ke rumah. Dia melangkah gusar ke dalam kamar, mengambil sebuah ransel gunung yang besar, lalu memasukkan semua barang-barangnya.

Sang ibu pun datang menyusul dengan wajah merah padam. Namun, Dinni tidak peduli dan terus saja mengosongkan isi lemari pakaiannya.

"Kamu mau ke mana?" tanya sang ibu.

Dinni bungkam dan melangkah pergi.

"Ibuk sudah sangat kesulitan dengan semua ini dan sekarang kamu juga akan membuat masalah, ha?" bentak sang ibu.

Dinni menatap tajam. "Apa salahnya? Apa aku nggak boleh berbuat kesalahan seperti Kak Amanda? Toh, selama ini aku juga nggak pernah menyulitkan Ibuk... aku selalu mengalah sama anak kesayangan Ibuk itu."

Ibu Dinni tersentak. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada yang terucap.

"Ibuk masih menyokong dia setelah semua dosa dan kesalahan yang dia buat... sementara aku? Ibuk bahkan ngediemin aku hanya gara-gara aku nggak mendapatkan pekerjaan." Dinni menumpahkan segala perasaannya selama ini, kemudian segera bergegas pergi.

.

.

.

"Kamu kenapa pakai acara minggat segala, sih, Din?" Gadis berkacamata tebal itu menatap prihatin. Dia bahkan meremas guling dipelukannya lebih erat lagi.

Dinni menelan ludah. "Aku juga bingung sekarang, Is. Tadi itu saking emosinya aku nggak bisa mikir apa-apa waktu keluar dari rumah." Dinni menatap Ishaya dengan bibir melengkung ke bawah.

Ishaya menghela napas. Dia turut merasa sedih akan nasib sahabatnya itu. Gadis berambut keriting itu pun menepuk pundak Dinni pelan. "Ya udah, buat sementara kamu nginap di sini dulu aja."

Dinni tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Makasih, ya, Is."

Ishaya mengangguk. "Terus apa rencana kamu selanjutnya?"

Dinni menerawang menatap langit-langit kamar yang temaram. "Ya, apalagi kalau bukan ngedapetin pekerjaan secepatnya."

Ishaya melepas kacamatanya, lalu memijit batang hidungnya yang tidak seberapa itu. Sebenarnya nasib mereka berdua kurang lebih sama. Mereka menyandang status pengangguran kelas kakap sejak keduanya sama-sama diwisuda dua tahun yang lalu.

"Oh iya, bukannya kemaren kamu ada interview lagi?" Ishaya menepuk paha Dinni dengan antusias.

Dinni menggeleng sambil tersenyum.

"Apa sebaiknya kita berdua join aja buat bikin usaha?" usul Ishaya.

Dinni menjentikkan jarinya. "Nah, aku juga mikir gitu, Is... kamu punya tabungan buat modal nggak?"

Ishaya menyeringai. "Boro-boro punya tabungan. Untuk beli kuota aja aku masih ngumpulin kembalian uang receh kalau di suruh ke pasar sama Mama."

Dinni menghela napas lesu.

"Kamu sendiri punya tabungan nggak?" Ishaya balik bertanya.

"Aku nabung di sini." Dinni terkekeh sambil mengelus-elus perut buncitnya.

Ishaya tergelak, tidak lama kemudian tawa mereka pun pecah. Dinni dan Ishaya kini saling menertawakan kemalangan nasib mereka masing-masing.

Dinni mengambil toga milik Ishaya yang tergantung di dinding, kemudian memakainya di kepala. Ishaya pun langsung berdiri di depan Dinni dengan wajah serius layaknya seorang Rektor yang akan memindahkan tali toga itu.

Ishaya menghela napas, jemarinya kini sudah memegang tali toga itu bersiap untuk memindahkannya. "Dengan ini sampean saya sahkeun menjadi pengangguran," ucap Ishaya dengan suara lantang.

Dinni pun memasang posisi tegap. "Siap, Lur," jawabnya.

"Hahahaha...."

"Hahahaha...."

Tawa keduanya pun kembali pecah. Cukup lama mereka melakukan parodi super gila itu dan terus tertawa. Hingga kemudian keduanya merasa penat dan terduduk lemas di lantai.

"Eh, ngomong-ngomong insiden minggu kemaren itu gimana ending-nya, Din?" tanya Ishaya.

Dinni melamun sekian detik, kemudian dia langsung sibuk memeriksa tasnya.

"Kamu nyari apa, Din?" tanya Ishaya dengan wajah bingung.

Dinni masih mengobrak-abrik isi tasnya. Sampai akhirnya dia tersenyum setelah menemukan secarik kertas yang sudah kusut. Dinni menatap kartu nama itu sambil menghela napas lega. Setelah itu dia langsung bangun dan menatap Ishaya dengan tersenyum penuh arti.

"Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan," ucapnya dengan penuh keyakinan.

_


Setelah sekitar tiga puluh menit menembus padatnya jalanan Ibukota di pagi hari, akhirnya gojek yang ditumpangi Dinni pun berhenti di depan sebuah rumah mewah yang berpagarkan besi berwarna emas. Dinni melepas helmnya, kemudian menatap rumah itu dan alamat yang tertera pada secarik kertas di tangannya secara bergantian. Setelah merapikan pakaian dan rambutnya yang kusut karena helm, Dinni pun segera memencet bel rumah itu.
Dinni menunggu dengan gelisah. Sekujur tubuhnya kini sudah basah bermandikan peluh. Dia terus menyeka keringatnya dan langsung tersentak begitu seorang satpam membukakan pintu gerbang secara tiba-tiba.

"Ada keperluan apa?" tanya satpam itu.

"Ah, Ini... saya mau ketemu sama Mbak Rieta." Dinni tersenyum canggung sambil menyerahkan kartu nama yang ada di genggamannya.

Satpam itu meneliti penampilan Dinni dari atas hingga bawah, lalu mengangguk pelan. "Ayo ikuti saya."

"B-baik, Pak."

Dinni langsung melongo begitu memasuki kawasan rumah elit itu. Seluruh halaman diselimuti oleh rumput hijau yang terlihat lembut. Di bagian depan rumah terdapat sebuah kolam air mancur yang dihiasi kebun mawar putih di sekelilingnya. Di sisi sebelah kanan, terdapat deretan garasi mobil yang berbaris memanjang. Langkah Dinni pun tersendat-sendat karena sibuk melihat berbagai penampakan yang menakjubkan itu. Sampai akhirnya dia menyadari bahwa pak satpam sudah jauh di depan sana.

"Tunggu akuh, Pak... tunggu!" bisiknya sambil terkekeh.

Kedua mata Dinni kembali melotot saat menatap bangunan di depannya. Bangunan utama rumah itu mengusung gaya klasik ala eropa di abad pertengahan. Ada banyak pilar-pilar besar yang berjejer menopang berandanya. Rumah itu benar-benar terlihat layaknya sebuah istana. Di bagian belakangnya, terdapat sebuah koridor yang menghubungkan bangunan utama itu dengan sebuah bangunan modern yang identik dengan dinding kaca di semua bagiannya.

Dinni terus melangkah dengan leher yang masih celingak-celinguk memerhatikan keindahan yang memanjakan matanya itu. Di sepanjang perjalanan yang tak kunjung sampai itu, Dinni kerap berjumpa dengan para pekerja yang mengenakan seragam serba hitam. Mereka terlihat super sibuk dan melangkah dengan tergesa-gesa.

"Nah... Itu Mbak Rieta." satpam itu menunjuk sosok wanita yang terlihat sedang memberikan intruksi kepada para pekerja yang kini berbaris rapi.

"Makasih ya, Pak," ucap Dinni.

Satpam itu tidak menjawab dan hanya menatap Dinni sambil memelintir ujung kumisnya.

Dinni melangkah perlahan mendekati mbak Rieta. Kedatangannya pun langsung menarik perhatian. Mbak Rieta menyipitkan matanya sebentar sebelum akhirnya menjentikkan jarinya.

"Dinni...?"

"I-iya Mbak... ini saya," jawab Dinni.

"Tapi kenapa...." mbak Rieta menghentikan kalimatnya sebentar. "Ada apa kamu datang ke sini?"

Dinni menelan ludah. "A-apa saya masih punya kesempatan untuk mengambil pekerjaan itu?" tanya Dinni sambil menahan rasa malu yang kini memuncak.

Mbak Rieta mengernyitkan dahinya. "Tapi tenggat waktunya sudah lewat tiga hari yang lalu."

Dinni menatap kecewa. Dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum, kemudian tertunduk lesu.

Mbak Rieta pun menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk pelan. "Apa kamu yakin mau mengambil pekerjaan itu?"

Pertanyaan itu membuat Dinni mengangkat wajahnya dan langsung mengangguk cepat-cepat.

"Kamu yakin?" mbak Rieta masih meragukan niat Dinni.

Dinni terdiam.

"Meskipun terdengar sepele... tapi di sini pekerjaan itu amatlah penting. Kamu akan dihadapkan pada kontrak dan sanksi yang jelas." tegas mbak Rieta.

"M-maksudnya?" Dinni masih belum bisa mencerna kalimat itu.

"Maksudnya... kamu tidak bisa datang dan pergi sesuka kamu setelah bekerja di sini. Dengan menandatangani kontrak, artinya kamu setuju untuk mengerahkan semua waktu dan dedikasi kamu untuk bekerja di sini," jelas Mbak Rieta.

Dinni tampak berpikir keras. Dia tidak mengerti kenapa pekerjaan ini menjadi terkesan menakutkan. Padahal dia hanya akan bekerja sebagai asisten rumah tangga alias ART. Tapi, dari penjelasan mbak Rieta barusan, Dinni merasa seolah-olah akan dihadapkan pada beban yang amat berat.

"Bagaimana, apa kamu masih mau bekerja di sini?" tanya mbak Rieta.

Dinni mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu menepikan segala ego dan gengsinya. "S-saya mau Mbak, bekerja di sini."

"Apa kamu bisa menjaga sikap?"

"Bisa, Mbak."

"Apa kamu bisa menjamin dan berjanji untuk tidak akan menimbulkan masalah seperti waktu itu lagi?"

Dinni menelan ludah. Matanya kini bergerak liar. Tragedi seminggu yang lalu itu kembali terbayang olehnya. Hari di mana dia benar-benar merasa dilecehkan. Saat di mana dia merasa begitu tidak dihargai. Pedih di hatinya bahkan masih terasa perih sampai hari ini. Namun, hidup terkadang memang selucu itu. Nyatanya hari ini dia sendiri yang kembali datang dan menjilat ludahnya sendiri.

Dinni tersenyum gamang, kemudian menatap mbak Rieta yang masih menunggu jawabannya. "I-iya, Mbak... saya berjanji tidak akan bertingkah seperti itu lagi."

.

.

.

Bersambung...

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
My Ice Boss
Selanjutnya GRATIS - My Ice Boss - 2
1
0
You are My Ice Boss. Dinginmu mampu menghangatkan hati...Untuk kesekian kalinya Andinni (24 tahun) kembali gagal mendapatkan pekerjaan karena penampilannya. Apakah bertubuh gemuk itu adalah dosa? kenapa berpenampilan menarik selalu saja tertulis dalam persyaratan lowongan sebuah pekerjaan..? Dia sudah penat mengikuti ratusan wawancara yang melelahkan dan pada akhirnya Dinni tetap dikalahkan oleh para pesaing yang cantik jelita plus bantuan kekuatan orang dalam.Frustasi karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, Dinni memutuskan untuk menanggalkan gengsinya sebagai seorang lulusan sarjana. Lelah dengan status pengangguran, akhirnya Dinni bekerja sebagai ART di sebuah kediaman orang kaya yang terkenal seantaro negeri. Di sanalah Dinni bertemu dengan Reyhan Prasetyo (24 tahun) sosok pria berhati batu yang kemudian menjadi bosnya. Reyhan adalah sosok yang dingin, kasar, dan tidak punya rasa empati. Dia pun mendapatkan julukan Ice Prince oleh kalangan pekerja di rumah itu. Sialnya lagi, Dinni malah mendapatkan tugas khusus sebagai pelayan pribadi Reyhan.Kehidupan Dinni sebagai ART elit pun dimulai...Apakah yang akan terjadi...?Bisakah Dinni bertahan menjadi pelayan Reyhan...?cerita ini sudah dibaca hampir sejuta kali di wattpadBeli paketan sampai tamat untuk harga lebih murah…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan