
Tak secantik namanya, Rhea kusnadi berkelakuan seperti bandit di sekolah. Dia terkenal sebagai pembuat onar dan menjadi siswi paling ditakuti. Banyak gelar yang sudah disematkan padanya, mulai dari biang kerok, tukang palak, ratu bully, hingga mafia abu-abu.
Sementara Raka Cahya Prasetyo adalah sosok siswa teladan yang menjadi kebanggaan sekolah. Dia bahkan berhasil menyabet gelar Student Of The Year di sekolahnya.Tak hanya dibidang akademis, Raka juga bersinar di kegiatan ekstrakulikuler basket....
P R O L O G
“Rere ...! kamu masih belum bangun juga?” mama kembali berteriak dari arah dapur.
Gadis yang dipanggil itu merentangkan kedua tangannya lalu menggeliat dengan wajah mengerut. Dia menendang selimutnya, menggaruk-garuk leher sejenak, lalu matanya kembali sayu dan tertutup rapat. Rambut keritingnya kini mengembang 10 kali lipat. Air liur yang mengering di pipinya menyisakan noda putih dengan pola menyerupai sebuah pulau di peta dunia.
“Rereeee ...! Mama nggak mau kalau harus ke sekolah kamu lagi untuk masalah yang sama.” sang mama memekik lebih keras.
Mata Rere terbuka lebar. Ancaman itu berhasil membuatnya bangun. Dia menjangkau handphonenya dan mulai memeriksa notice di hpnya dengan mata menyipit. Seketika matanya terbelalak melihat ada foto memalukan miliknya yang diunggah Adit ke grup chatting. Foto itu menampilkan potret Rere sewaktu kecil yang tengah mandi dan disensor oleh Adit dengan sebuah emoticon berbentuk hati.
“Awas lo ntar!” dengus Rere.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.45 dan bagi Rere itu terlalu pagi. Harusnya dia masih bisa bermimpi satu episode lagi. Rere menghela napas yang terdengar berat, lalu duduk di tepi ranjang menunggu sebagian jiwanya yang masih melayang. Kali ini hidungnya kembang-kempis mencium sebuah aroma yang membuatnya menelan ludah. Sedetik kemudian hentakan kakinya terdengar keras menuruni anak tangga yang meliuk kelantai bawah.
“Wah, ada gulai ikan patin featuring jengkol nih?” Rere cengengesan.
“Nih bocah kebiasaan main nyelonong aja ... mandi dulu sana!” Revan langsung menepis tangan Rere yang hendak menyendok nasi ke piring.
“Mau mandi atau nggak ... gue itu bakalan tetap terlihat cantik, kok.” Rere mengibaskan rambutnya yang terlihat seperti bulu singa.
“Please Re, lo ngaca! iler lo itu bikin nafsu makan gue hilang.” Revan mengibaskan tangannya mengusir Rere.
“Rere ... kamu mandi dulu sana! kebiasaan deh.” mama yang baru datang ikut berkomentar.
“Emangnya ada ya, hadist nabi yang bilang mandi dulu baru boleh makan?” Rere mulai nyinyir.
“Emang nggak ada, tapi sebagai manusia lo harus tau yang namanya etika dan sopan santun. Terlebih lo itu perempuan, emang rada konslet nih anak otaknya.” Revan berkata ketus.
“Jangan ngomong gitu! Bagaimana pun juga dia itu adik kamu, Van,” tegur mama.
“Dengerin Mama, tuh,” cibir Rere.
Revan menarik napas kemudian meletakkan sendok di tangannya. “Berapa kali Revan harus bilang sama mama, kalau Revan sama Rere itu cuma orang asing yang kebetulan lahir di keluarga yang sama,” jawab Revan.
“Apa lo bilang barusan?” Rere langsung menyinsing lengan bajunya.
“Eits ... jangan main kekerasan dong!” Revan langsung mengelak dari ayunan tinju Rere.
“Udah ah! kalian berdua selalu aja ribut. Kamu lanjutin makannya Revan. Dan kamu Rere ... ayo cepetan mandi sana!” mama langsung melerai pertengkaran itu dan mendorong Rere untuk pergi.
Setelah berjalan beberapa langkah, Rere kembali balik badan dan menggertak Revan dengan mengangkat tinjunya. Sang kakak pun membalas dengan ekspresi wajah menyebalkan. Rere lalu melanjutkan langkahnya sambil asyik menggaruk bokong. Pemandangan itu sukses membuat mama dan Revan membeku untuk sesaat. Keduanya saling pandang, lalu suara tawa mereka terdengar pecah beriringan.
.
.
.
01. Rere & Raka
Seperti biasa, kehadiran Rere selalu dihindari oleh murid-murid yang lainnya. Ketika akan berpapasan, mereka lebih memilih balik kanan, bertukar arah, beringsut mundur, bersembunyi, atau pura-pura tidak melihat. Rere tersenyum geli melihat gelagat mereka yang sengaja menghindarinya. Gadis itu terus melangkah dengan gaya pongah. Lengan kemejanya selalu digulung, baju seragamnya tidak pernah dimasukkan ke dalam. Sebuah plester melekat di keningnya walau sebenarnya tidak ada luka di sana. Gerakan mulutnya yang tak henti mengunyah permen karet, semakin menambah kesan brutal.
Rere memang suka berpenampilan boyish. Di luar sekolah, dia lebih sering terlihat memakai setelan baju kaos longgar dan celana kodok. Dia juga selalu disemprot Revan karena sering memakai kemeja dan boxer miliknya. Rere memang jauh dari kesan feminim. Selain bedak tabur dan doedorant, dia tidak mengenal jenis kosmetik wanita lainnya.
“Apa lo lihat-lihat?” Rere menghardik kumpulan siswa yang tak sengaja menengok ke arahnya.
Kumpulan siswa itu hanya menunduk lalu lari terbirit-birit. Rere pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas yang terletak di ujung koridor. Rambut keritingnya yang mengembang ikut naik turun mengiringi langkah kakinya. Tiba-tiba langkah kakinya itu terhenti. Rere menyipitkan matanya sejenak lalu kembali mundur sebanyak tiga langkah. Kemudian perlahan dia menoleh pada sosok yang kini menarik perhatiannya itu.
Pintu kelas di samping Rere kini menutup pelan. Rere tersenyum geli lalu mendekati pintu itu. Perlahan dia mendongakkan kepalanya ke balik pintu itu. Rere melihat seorang siswa bersembunyi dibalik pintu itu dengan ekspresi ketakutan. Siswa itu menutup matanya rapat-rapat dengan mulut komat-kamit entah apa yang tengah disebutnya. Selain itu jemarinya juga berpagutan erat seakan tengah memohon pertolongan.
“Ngapain lo sembunyi-sembunyi gitu, ha!” hardik Rere sambil menendang pintu itu dengan keras.
“M-maaf ... a-aku nggak sembunyi kok.” siswa itu tergelinjang kaget dan menjawab terpatah-patah.
Rere tersenyum sinis lalu meludahkan sisa permen karetnya ke lantai. Sementara Siswa itu menelan ludah dan kembali menundukkan wajah. Kali ini Rere menatap tajam, lalu meletakkan tangannya di atas bahu siswa itu secara perlahan. Bagai terkena aliran listrik, tubuh siswa itu langsung menggelinjang begitu tangan Rere menyentuhnya. Lututnya mulai menggigil, jemarinya bergetar saat membetulkan letak kacamatanya yang melorot.
“Oke, nama lo Danny, ya?” tanya Rere sambil menyentuh name tag milik Danny di bajunya.
“I-iya ...,” jawabnya lirih.
“Sekarang balikin uang gue!” Rere menengadahkan telapak tangannya.
“U-uang apa?” tanya Danny.
“Nggak usah pura-pura bego deh ... kemaren kan, lo minjem uang gue dua puluh ribu. Sini cepet balikin,” bentak Rere.
“A-aku nggak pernah minjem uang sama kamu,” Danny menatap heran.
“Yaelah ini kutu beras pake acara lupa. Semalam lo minjem uang sama gue,” ulang Rere.
“K-kapan? di mana?” tanya Danny.
Rere tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Danny. “Semalam ... di mimpi gue,” jawabnya.
“M-mimpi maksudnya?” Danny makin kelabakan.
Rere meniup poni keritingnya. Tatapan matanya kini berubah ganas. Dia tidak lagi bersuara dan hanya menatap Danny dengan pandangan yang mematikan. Tidak ingin memperpanjang masalah, Danny pun lekas mengeluarkan uang dari kantongnya. Setelah melihat uang kertas itu, barulah raut wajah Rere kembali melunak.
“Nah gitu dong. Pokoknya ... kalo lo di mimpi butuh uang, gue bakalan kasih pinjeman sama lo. Asalkan lo bayar keesokan harinya, oke!” Rere mengelus kepala Danny yang masih ketakutan.
_
Rhea Khusnadi atau biasa dipanggil Rere memang dikenal sebagai bandit di sekolah. Banyak gelar yang telah disematkan padanya. Mulai dari biang kerok, tukang palak, ratu bully, hingga mafia sekolah. Setiap harinya ada saja kelakuan Rere yang membuat pamornya sebagai murid paling nakal naik level. Bahkan dia telah mengukuhkan dirinya sebagai yang paling terkuat setelah berhasil mengalahkan Gilang dalam duel maut.
Sebelumnya, Gilang menyabet predikat sebagai murid yang paling ditakuti. Banyak para siswa yang berakhir menjadi kacungnya. Mereka berperan sebagai dayang-dayang Gilang yang selalu setia melayani. Mengerjakan semua PR dan tugas sekolah, membelikan makanan dan rokok, serta memijit Gilang ketika dia merasa lelah.
Namun Gilang harus menelan kenayataan pahit setelah kalah dari Rere. Gadis itu tak segan menantang Gilang untuk duel satu lawan satu. Kejadian itu menjadi tontonan menarik warga sekolah. Mereka beramai-ramai berkumpul sepulang sekolah untuk menyaksikan pertarungan antara Raja Preman dan Ratu Bully yang akan memperebutkan tahta.
Sebagai pemilik sabuk hijau Taekwondo, mengalahkan Gilang hanya perkara mudah bagi Rere. Gilang bahkan tidak punya kesempatan untuk menyerang balik. Dia berakhir dengan luka lebam dan memar kebiruan yang tersebar disekujur tubuh dan wajahnya. Bahkan Rere menutup aksi heroiknya itu dengan tendangan maut yang mengakibatkan Gilang kehilangan kesadaran waktu itu.
Peristiwa itu menyebabkan Gilang frustasi dan tidak lagi masuk ke sekolah. Hingga akhirnya tersiar kabar bahwa Gilang mengajukan permohonan untuk pindah ke sekolah lain. Sejak saat itulah Rere menjadi satu-satunya, the one and only sebagai murid paling ditakuti dan menduduki kursi kekuasaannya.
_
Setelah mendapatkan uang dari Danny, Rere malah memutar arahnya menuju kantin. Dia asyik menyeruput cappucino cincau kesukaannya dan memilih nangkring di sana sambil memakan bakwan ibu kantin yang terkenal enak. Sesekali Rere tertawa keras setelah melihat layar handphonenya. Sementara tangannya yang lain sibuk menyuap bakwan ke mulutnya. Sudah tidak terhitung berapa biji bakwan yang dia makan. Ibu kantin yang sedari tadi memerhatikannya, kini mulai gelisah dan akhirnya mendatangi Rere.
“Sudah berapa biji bakwan yang kamu makan?” tanya Ibu kantin.
“Wah, si Ibuk, kenapa buk? Ibuk takut bakwannya nggak dibayar?” Rere merasa tersinggung.
“Kamu itu kan, suka tipu-tipu! Makan bakwan 5 ngakunya 3,” ucap Ibu kantin.
“Loh kok gue yang di salahin?” tanya Rere.
“Emang kamu yang salah! Kalau begini terus bisa tekor saya jualan di sini,” jawab Ibu kantin.
“Terus itu apa maksudnya?” Rere menunjuk sebuah spanduk iklan yang dijadikan Ibu kantin sebagai pelindung dagangannya dari cahaya matahari.
“Maksud kamu?” tanya ibu kantin.
“Di situ tertulis diskon 50% artinya bayar separoh dong! Masih mending saya makan 5 bayar 3, harusnya saya makan 6 biji baru bayar segitu. Ih, si ibuk ngemakan riba,” tuding Rere.
“I-itu ... k-kamu ....” ibu kantin kewalahan menjawab nyinyiran Rere.
“Udah Buk ... jangan nyolot! udah jelas ibuk yang salah,” lanjut Rere.
“Kamu itu bener-bener kurang ajar ya! siapa sih orang tua kamu? pasti mereka nggak pernah ngajarin sopan santun.” Ibu kantin mulai tersulut emosi.
Rere memicingkan matanya sejenak. Kemudian dia bangkit dari duduknya dan menatap Ibu kantin lekat-lekat. Sang ibu kantin kini berhenti meracau melihat sorot tajam mata Rere. Dia terus berjalan mendekat sambil menghempaskan dagangan ibu kantin yang terjangkau oleh tangannya. Sementara murid-murid yang lain hanya diam. Mereka semua tidak ingin terlibat dan berurusan dengan sosok Rere.
“Ibuk boleh ngehina saya sesuka hati Ibu, tapi jangan pernah bawa-bawa orang tua saya.” Rere menekankan ujung kalimatnya.
Jemari Rere meraih pegangan kuali besar yang penuh berisi nasi goreng. Dia tersenyum sinis, lalu menatap ibu kantin yang kini menggelengkan kepala. Mengisyaratkan agar Rere tidak melakukan hal itu. Suasana kantin menjadi tegang. Seluruh mata kini tertuju pada Rere yang hendak mengamuk. Rere bersiap menjungkir balikkan kuali itu, namun tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencegatnya.
“Jangan ngelampiasin emosi lo sama makanan, nggak baik,” ucapnya.
Rere menoleh pada pemilik suara. Itu Raka, teman sekelasnya.
“Lo nggak usah ikut campur!” teriak Rere.
Raka tersenyum. “Maaf ... tapi kali ini gue harus ikut campur. Sekali lagi gue minta maaf,” ucap Raka.
Raka kemudian mengeluarkan beberapa helai uang kertas dan menyerahkannya pada Ibu kantin sambil tersenyum.
“Apa-apaan sih lo?” Rere semakin jengkel.
Raka tidak menjawab, dia hanya tersenyum lalu membawa Rere pergi dari sana.
“Sebentar lagi bel bakalan bunyi, ayo kita ke kelas,” ucapnya.
_
Raka Cahya Prasetio, siswa yang menyeret Rere itu adalah sosok yang berhasil meraih gelar Student of the year tahun ini. Bukan tanpa alasan, Raka telah berhasil mengharumkan nama sekolah dengan menyabet juara 1 tingkat nasional dalam olimpiade matematika. Selain itu Raka juga berkontribusi dengan menjabat sebagai ketua Osis yang terkenal dengan inovasi dan program-program yang gemilang. Selain prestasi dalam dunia akademik, Raka juga terkenal sebagai seorang vokalis band. Meski masih manggung dari kafe ke kafe, Raka sudah memiliki basis fans yang selalu setia dan loyal padanya.
Mempunyai otak encer dan wajah yang rupawan, semakin melengkapi kesempurnaan Raka. Dia menempati posisi nomor satu dalam survey siapa siswa yang paling diinginkan untuk berkencan. Raka berpostur atletis dengan rahang yang tegas. Bola matanya berwarna cokelat pudar, beralis tebal, hidung mancung, dan memiliki bibir berwarna merah alami.
“Lo ngapain, sih?” Rere menarik tangannya dari genggaman Raka.
“Maaf, tangan lo sakit, ya?” tanya Raka dengan wajah polos.
“Eh, lo nggak usah sok baik sama gue, okey.” Rere mendengus kesal dan bermaksud pergi.
“Emangnya salah kalau gue baik sama lo?”
Pertanyaan Raka membuat Rere kembali balik badan. Dia menatap siswa paling populer itu dengan tersenyum sumbang. Rere mendekat sambil melipat tangannya di dada. Kemudian Rere bermaksud menyerang Raka dengan tatapan mautnya.
Rere terhenyak. Dia menjadi grogi karena Raka justru membalas tatapannya. Keduanya beradu pandang dalam waktu yang cukup lama. Kali ini seulas senyuman terbentuk di wajah Raka. Rere pun mengerjapkan matanya dan segera mengalihkan tatapannya. Rere merasa ada hawa aneh yang baru saja menyergap dan membuatnya jadi merinding seketika.
“Besok gue bakalan ganti uang lo tadi.” Rere akhirnya bersuara kembali.
“Oke.” Raka menjawab singkat lalu tersenyum.
“Lo nggak usah sok-sok senyum manis sama gue!” bentak Rere.
“Jadi menurut lo senyum gue manis?” senyum Raka semakin merekah.
“Bukan gitu ... maksud gue-”
Untuk pertama kalinya lidah Rere terpeleset. Dia kesulitan meneruskan kata-katanya. Rere mendengus kesal dan segera melangkah pergi. Namun bunyi bel langsung berdentang keras. Seiring dengan itu juga Raka kembali meraih tangannya dan memaksanya masuk ke kelas.
_
“Sialan! gara-gara dia gue harus terjebak sama mata pelajaran yang gue benci.” Rere berucap pelan dengan sebuah pensil yang sudah patah di genggamannya.
Di depan kelas, bu Sukma masih sibuk menerangkan rumus Fisika yang membuat otak Rere panas. Lembaran bukunya dipenuhi coretan semberawut melambangkan isi pikirannya. Kekesalannya bertambah melihat sosok Raka yang sibuk bolak balik ke depan kelas. Karena memang hanya dia yang bisa menyelesaikan soal yang di berikan oleh bu Sukma.
“Sepertinya cuma Raka yang memerhatikan saya menerangkan pelajaran. Kenapa kalian tidak belajar seperti Raka? Dia itu selalu serius dan fokus ... makanya gampang menangkap pelajaran,” puji bu Sukma.
“Iya Buk ...!” seisi kelas menjawab serempak dengan nada lesu.
“Bu, saya izin keluar sebentar.” Rere mangacungkan tangannya.
“Terus nanti nggak balik lagi?” bu Sukma sudah bisa membaca pikiran Rere.
“Saya kebelet Bu! Ibu mau saya kencing di sini?” ancam Rere.
“Pokoknya selama jam pelajaran saya, tidak ada satu pun yang boleh izin keluar!” tutup bu Sukma.
Rere memutar bola matanya pelan. “Iya deh, bu-suk ... ma,” ucap Rere.
Seisi kelas sontak terkejut dan kini menatap padanya, termasuk Raka.
“Kamu bilang apa tadi?” tanya bu Sukma.
“BU-SUK MA!” Rere mengulang kalimatnya dengan intonasi dan penekanan lebih jelas.
“Kamu mempermainkan saya?”tanya bu Sukma.
“Oh, nggak Bu. Saya nggak suka mainin orang,” jawab Rere asal.
“Berani betul kamu, ya! Benar-benar tidak punya sopan santun. Sekarang juga kamu keluar! Kamu tidak boleh mengikuti pelajaran saya lagi!” kata bu Sukma marah.
“Oke!” Rere menjawab santai sambil mengemasi perlengkapan alat tulisnya.
Dia bersenandung pelan dan bersikap acuh pada bu Sukma yang masih menatapnya. Sementara murid-murid lainnya kini sudah tegang dan takut. Rere bahkan terkesan sengaja berlama-lama memasukkan buku ke dalam tasnya. Setelah itu barulah dia melangkah riang keluar kelas.
“Saya jamin nilai fisika kamu semester ini tidak akan tuntas!” ucap bu Sukma lagi.
Rere balik badan, lalu tersenyum.
“OKE!” jawabnya santai.
.
.
.
02. Adit
Rere harus berjinjit dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi agar bisa melihat ke dalam ruangan kelas melalui kaca jendela. Matanya sibuk mencari sosok yang semestinya duduk di bangku paling pojok itu. Kening Rere mengerut, bangku itu kosong tak berpenghuni. Adit ternyata tidak masuk sekolah hari ini. Padahal tadi pagi mereka masih sempat berkirim pesan melalui whatsapp.
“Eh, si Adit nggak masuk sekolah?” Rere langsung mencegat seorang siswi yang kebetulan keluar kelas.
“Dia izin katanya sakit,” jawab siswi itu.
“Sakit ...? Oh thanks ya,” tutup Rere.
Rere meninggalkan kelas itu dengan raut wajah kecewa. Padahal dia ingin menceritakan kekesalannya pada bu Sukma. Rere beranjak menuju pojok taman tempat biasa dia nangkring. Sesampai di tempat itu dia langsung mengeluarkan hanphone-nya dan mulai sibuk dengan benda mungil itu.
Woy, sakit apaan lo?
Eh, monyet balas pesan gue, jangan di read doang!
(Adit) Apaan sih lo?
Emangnya kenapa? Lo khawatir sama gue?
GR amat lo kutu beras.
(Adit) Terus kenapa lo ngechatt gue?
Tunggu, bukannya sekarang masih jam pelajaran? Lo nggak masuk lagi?
Nggak!
Males gue belajar ama Bu Sukma, barusan juga diusir guenya.
(Adit) Rasain! Lo sih bandel!
Udah ah! Pertanyaan gue belum lo jawab. Lo sakit apa?
(Adit) Hmmm....
Kenapa?
(Adit) Gue nggak bisa ngasih tau sama lo!
Kenapa Dit?
Penyakit lo parah?
Jangan bilang kalau umur lo tinggal sebentar lagi!
Dit...
Adiiiit...
Kenapa lo diem?
(Adit) Sembarangan lo kalo ngomong!
Abis lo nggak jawab pertanyaan gue.
Gue ke toilet barusan.
Jadi lo sakit apa?
Gue nggak bisa jawab...
Jadi bener?
Ya ampun Dit, gua nggak nyangka lo bakalan pergi secepat ini.
Gue bakalan selalu ada di sisa-sisa umur lo...
Lo jangan bikin gue naik darah, ya!
Makanya jawab! Lo sakit apa?
Sebenernya gue...
Sebenernya elo?...
Gue terkena...
Lo terkena...?
Ambeien...
Rere mematung sejenak, sekarang hanya suara desau angin yang terdengar. Matanya menyipit saat membaca jawaban itu sekali lagi. Kemudian barulah tawanya pecah. Rere tertawa keras hingga air matanya keluar. Dia kembali menyebut jawaban Adit berulang-ulang dengan suara tawa yang tak kunjung surut.
(Adit) Wooi...
Kenapa lo diem, ha?
Lo pasti lagi ngetawain gue, ya kan?
Wkwkwkwk....
Awas lo, ya!
Ngakak gue...
Lo, sih...
Suka nongkrong di toilet lama-lama sambil main mobile legend.
(Adit) Sinyal di toilet gue lancar jaya soalnya.
Somplak lo!
Udah ah, gue laper.
Bye.
Rere menyeka sisa-sisa air mata bahagia di pipinya. Bukannya prihatin, Rere malah merasa lucu terhadap musibah yang menimpa Adit. Sesekali tawanya kembali keluar, sulit baginya untuk menahan tawa. Dia sudah tidak sabar untuk mengejek Adit secara langsung. Rere menyambar ranselnya dan bergegas pergi. Dia tidak peduli pada jam pelajaran berikutnya. Yang ada dibenaknya kini hanya Adit dan juga ambeiennya.
Adit Irawan, Rere biasa memanggilnya Didit. Dia merupakan satu-satunya teman Rere di SMA Kosgoro ini. Adit adalah satu-satunya orang yang bisa menerima dan tahan terhadap jiwa keras Rere. Adit itu berwajah rupawan, dengan kulit putih bersih yang selalu membuat Rere iri. Dia juga terkenal rapi dan selalu menjaga kebersihan. Namun karena terlalu berlebihan, sikapnya terlihat seperti sosok yang phobia terhadap kuman. Karena itulah Rere memberinya gelar Mr. Higienis.
Adit yang berotak encer juga sering menjadi alternatif bagi Rere untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Meski sering menolak, namun ujung-ujungnya Adit tetap memberi contekan. Sosok Adit juga menjadi idola di sekolah. Banyak siswi populer yang jatuh hati padanya. Namun entah kenapa tidak ada seorang pun yang bisa merebut hatinya. Adit terkenal dengan sikap cuek dan dinginnya. Satu-satunya yang bisa mencairkan hatinya hanya Rere, gadis tengil yang kini menjadi sahabat karibnya.
_
Rere mangatur napas sejenak. Merapikan rambut sebentar, memasukkan pakaiannya ke dalam rok dan memeriksa wajahnya di layar handphone. Tangannya kini menjinjing sebuah kantong plastik yang berisi tiga buah pepaya berukuran besar. Setelah merasa cukup rapi, Rere pun memencet bel dengan senyum merekah.
"Eh, Rere! kamu udah pulang sekolahnya? Ayo silakan masuk dulu!" seorang wanita menyambut kedatangan Rere dan dia adalah tantenya Adit.
"Udah Tante, Aditnya ada?" tanya Rere.
"Ada di atas, samperin aja." sang tante menunjuk ke anak tangga.
"Oke, aku ke atas ya Tante," ucap Rere.
Rere segera menaiki tangga yang meliuk ke atas. Langkahnya terhenti begitu melihat sebuah potret yang digantung di dinding. Rere melihat kiri-kanan lalu mengeluarkan handphonenya. Dia memotret foto itu sambil menahan tawa. Yaitu potret Adit sewaktu kecil yang hanya mengenakan popok saja.
"Oke sekarang gue juga punya foto panas lo," bisik Rere.
Rere tiba di depan sebuah pintu berwarna putih. Dia menahan napasnya sebentar lalu membuka knop pintu itu perlahan. Terlihat sosok Adit yang tengah asik duduk di depan komputernya. Sebuah headset menutupi telinga Adit sehingga dia tidak bisa mendengar kedatangan Rere.
"Dit ...!" Rere kembali bersuara.
Hening dan tidak ada jawaban. Adit sama sekali tidak mendengar panggilan Rere. Diam-diam Rere mulai menjinjit langkah. Dia melangkah pelan mendekati Adit yang tengah serius dengan gamenya. Saat ini Rere sudah berdiri tepat di belakangnya. Perlahan gadis itu mulai memajukan wajahnya tepat di samping wajah Adit.
"Wuaaaaaaa ...!" Adit berteriak kaget.
Adit sontak langsung berdiri dan refleks mendorong Rere. Tapi secepat itu juga Rere lekas berpegangan pada lengannya. Sehingga membuat mereka berdua saling tarik untuk menjaga keseimbangan. Hingga akhirnya Adit berada di posisi yang tidak menguntungkan. Dia terpeleset dan terjatuh dengan bagian bokong mendarat keras di atas lantai.
"AAARGGGHH ...." Adit meringis kesakitan.
Rere pun terkejut dengan mata membulat. Tangannya masih mengawang setelah gagal meraih Adit. Rere kini tertegun dengan kedua tangan menutupi mulut. Sementara Adit terduduk dengan wajah meringis menahan sakit. Rere mulai merasa bersalah, dia perlahan berjongkok lalu menatap Adit yang kini menggigit bibir menahan perih di bagian belakangnya.
"Maafin gue ..." ucap Rere.
"Lo bisa nggak sih, sekali aja bersikap normal sama gue? Jangan pecicilan mulu!" bentak Adit.
"Maaf ... gue kan, juga nggak tau bakalan begini," Rere memasang wajah manyun sambil membentur-benturkan kedua jari telunjuknya
"Bantu gue berdiri cepetan," pinta Adit.
Rere dengan sigap membantu Adit untuk bangkit. Setelah itu dia melihat bagian bokong Adit dengan seksama.
"Ngapain sih, lo?" Adit segera berbalik karena merasa risih.
"Gue cuma mastiin lo nggak mengalami pendarahan," jawab Rere.
Adit memejamkan matanya sejenak. Setelah itu dia langsung mendorong kening Rere dengan telunjuknya.
"Lo pikir gue habis lahiran?"
"Mirip sih, tetangga gue Mpok Erna habis lahiran dan gaya jalannya sama kayak lo sekarang," jawab Rere.
"Ngomong sekali lagi gue bacok lo!" ancam Adit.
"Hahaha, santai Bro. Gue kaget juga sih, orang super bersih kayak lo bisa terkena penyakit itu." Rere mulai mengejek.
"Seneng ya, Lo ngeliat gue kayak gini?" Adit menatap sinis.
"O, pasti dong!" jawab Rere.
"Itu apa?" tanya Adit sambil menunjuk kantong plastik yang di bawa Rere.
"Oiya, ini gue sengaja bawain lo pepaya. Setelah gue searching di internet, ternyata buah ini bagus buat penyakit lo." Rere terkekeh lalu mengangkat kantong plastik itu ke depan wajah Adit.
"Ngaco lo, ah!"
"Seriusan!"
_
Rere mengambil handphone-nya lalu kembali membuka halaman browser yang tadi sudah di simpannya. Kemudian dia membaca ulang artikel itu dengan suara keras. Rere terus asik membaca dan tak sadar bahwa Adit kini tengah menatapnya. Sorot matanya berubah lembut. Seulas senyum juga tergurat di wajahnya. Namun begitu Rere balas menatapnya, Adit segera berpaling dan kembali memasang wajah sok cuek.
“Wah, kamar lo enak banget. Kasurnya empuk, rapi, wangi lagi,” komentar Rere
“Lebay deh,” jawab Adit.
Kali ini Rere mulai menggila. Dia melangkah mundur, bersiap-siap, lalu melompat ke atas ranjang. Gadis itu tertawa riang sambil terus mengepakkan kaki dan tangannya. Bagi Adit pemandangan itu terlihat seperti seekor ayam yang baru saja disembelih di rumah potong.
“Turun nggak, lo dari sana!” Adit mulai terganggu.
“Eh liat deh, kepala gue hampir nyentuh langit-langit,” Rere menghiraukan larangan Adit dan malah terus melompat-lompat.
“Norak banget sih, lo!” ejek Adit.
“Emang! Di rumah gue masih pake kasur kapuk. Kalau gue lompat bukannya mental ke atas, malah ambruk ke bawah,” jawab Rere.
Adit tergelak mendengar jawaban Rere, namun dia langsung menyembunyikan tawanya itu. Setelah penat, barulah Rere menghentikan atraksi gilanya. Kemudian mereka berdua beralih untuk duduk di beranda kamar Adit. Dari sana, mereka bisa melihat langit siang hari yang cerah.
“Lo nggak duduk?” tanya Rere melihat Adit yang masih berdiri canggung.
“Lo ambilin bantal di kursi gue tadi dulu deh,” pinta Adit.
Rere langsung berlari masuk mencari bantal itu. Dia kembali terkikik melihat bantal berbentuk donat yang memiliki lubang di tengahnya itu.
“Jadi kalo duduk pake itu nggak sakit?” tanya Rere lagi.
“Kalo lo masih bawel, mendingan lo pulang!” jawab Adit.
“Oiya ... serius si Mike nyatain perasaannya sama lo?” selidik Rere.
Wajah Adit langsung memerah. Dia tidak menjawab dan kembali menyumpal mulutnya dengan sepotong pepaya.
“Dan lo nolak gadis sekece dia?” tanya Rere lagi.
“Kenapa lo yang sewot sih?”
“Bukan gitu, masa iya lo nggak tertarik sama dia?” Rere mulai nyinyir.
“Gue nggak suka sama dia,” jawab Adit.
Rere menatap Adit serius. Dia terlihat ragu meneruskan kalimatnya. Mulutnya terbuka namun tak ada kata yang terucap. Setelah mengumpulkan keberanian, barulah Rere kembali berkata.
“Lo masih normal, kan?”
Sepotong pepaya langsung mendarat di kening Rere. Pertanyaannya barusan langsung membuat Adit naik pitam. Tidak mau kalah, Rere segera melakukan serangan balik. Dia memasukkan biji pepaya kemulut lalu memberondong Adit seperti sebuah meriam. Adit yang super higienis tentu saja merasa kesal dan berupaya menghentikan aksi gila Rere.
“Kan, lo yang mulai duluan,” cibir Rere.
“Sekarang udah. Oke!”
“Tapi jujur gue masih penasaran,” ungkap Rere lagi.
“Apa?” tanya Adit.
“Sebenernya tipikal cewek yang lo suka itu yang seperti apa sih? Gue bingung karena lo sering nolak mereka-mereka yang ngedeketin lo. Padahal kalau menurut gue mereka itu udah high level gitu,” tutur Rere.
Adit tidak menjawab. Dia hanya menatap Rere tanpa berkedip. Ada yang lain dengan sorot matanya itu. Seakan dia sudah memberikan jawaban melalui matanya. Sosok Rere kini terlihat jelas di bola matanya. Gadis nakal yang entah kenapa selalu bermain-main dalam pikirannya.
“Atau jangan-jangan-” Rere menggerak-gerakkan telunjuknya pelan.
“Jangan-jangan apa?” Adit menelan ludah.
“Jangan-jangan lo suka sama-” Rere menggantung kalimatnya.
Adit mendadak grogi dan pura-pura sibuk dengan handphonenya. Sementara Rere masih menatapnya tajam. Adit menjadi kian gelisah. Kerongkongannya mendadak terasa kering dan sulit rasanya untuk sekedar menelan ludah.
“Jangan-jangan lo suka sama Airin?”
Pertanyaan Rere membuat Adit syok sekaligus lega.
“Gue suka sama si cupu Airin?” Adit menunjuk dirinya sendiri.
“Nggak usah munafik! Gue tau lo seneng banget saat lo pertama kali ketemu sama si Airin. Gue juga tau lo suka curi-curi pandang ke dia. Lo pasti happy kalo gue ngajak Airin untuk ikut gabung sama kita, ya kan?” tebak Rere.
Adit meneguk gelas tehnya. Dia hanya diam mendengarkan Rere yang masih berciloteh. Gadis itu terus berucap dengan gerakan mulut yang berlebihan. Hidungnya ikut kembang-kempis, bola matanya sibuk naik turun lalu melirik ke kanan dan ke kiri. Adit menggenggam gelasnya lebih kuat. Dia berusaha menahan dirinya. Bibirnya terkatup rapat, namun hatinya kini mulai berbisik.
“Satu-satunya yang gue suka itu cuma lo Re! Gue sayang sama lo dan gue nggak mau kehilangan lo ...”
.
.
.
03. Airin
Minggu pagi. Rere sudah bangun, bergegas mandi dan selesai berganti pakaian. Mama dan abangnya Revan pun kini menatapnya heran. Biasanya minggu adalah hari dimana Rere menghabiskan waktunya di tempat tidur. Dia hanya akan bangun ketika lapar dan jika sudah kenyang dia akan melanjutkan ritual hibernasinya itu.
“Kesambet apaan lo Re, jam segini udah bangun?” tanya Revan.
“Please jangan bikin gue badmood pagi ini!” Rere langsung menatap Revan dengan wajah garang.
“Sok yes gaya lo. Baru sesekali bangun pagi aja udah songong. Biasanya juga masih ngebo,” cibir Revan.
“Kamu jadi ke rumahnya Adit?” tanya mama.
“Iya ma,” jawab Rere.
“Oh jadi karena itu lo bangun pagi. Karena mau jenguk suami lo yang lagi sakit.” mulut ceper Revan kembali kumat.
“Huss ... kamu ngomong apaan sih!” mama langsung memarahi Revan.
“Tau tuh, ya udah ma, Rere pergi dulu ya.” Rere berpamitan dan segera pergi setelah menyempatkan diri untuk mencubit lengan abangnya.
_
Rere bersenandung ria di sepanjang perjalanan. Dia menghirup udara pagi yang segar sambil memejamkan mata. Dalam setahun terakhir, inilah pertama kalinya Rere bangun pagi di hari minggu. Terlihat beberapa rombongan orang yang tengah melakukan joging. Ketika rombongan itu melewatinya, Rere ikut-ikutan berlari-lari kecil di belakang mereka. Dia tetap santai meski kini banyak mata yang menatapnya heran.
Langkah Rere terhenti di depan sebuah rumah dan itu bukan Rumah Adit. Dia merogoh handphonenya, kemudian melakukan sebuah panggilan . Matanya tertuju pada sebuah jendela di lantai dua rumah itu. Rere mendesah pendek, teleponnya tidak juga kunjung diangkat.
“Ngapain sih, lo? Gue udah nunggu dari tadi nih!” Teriak Rere.
Seorang gadis kini melambai dari jendela yang sudah dibuka itu.
“Maaf ya, tadi aku di kamar mandi. Aku ganti baju dulu bentar,” ucap gadis itu.
“Jangan lama-lama,” jawab Rere.
Gadis di jendela itu tersenyum lalu membentuk tanda OK dengan jemarinya.
Gadis berambut panjang itu bernama Airin Azzahra, dia adalah teman Rere dari kecil. Airin memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengan Rere. Dia seorang gadis yang lembut dan manis. Sewaktu kecil, Rere sering membuatnya menangis. Rere tidak pernah membiarkan Airin menonton film kartun disney dan selalu menggantinya dengan kaset power rangers dan ninja hatori. Selain itu Rere juga suka merusak boneka barbie milik Airin hingga boneka itu menjadi terlihat menyeramkan.
Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak taman kanak-kanak hingga SMP. Namun saat lulus SMP, Airin memutuskan untuk masuk SMK dan mereka pun terpisah. Namun tetap saja, sepulang sekolah Rere akan selalu datang bermain ke rumah Airin dan begitu juga sebaliknya. Kemaren Rere sudah wanti-wanti memaksa Airin untuk ikut ke rumah Adit hari ini. Rere ingin kedua temannya itu menjadi lebih akrab.
“Bener nih, nggak apa-apa kalau aku ikut?”Airin masih merasa bimbang.
“Nggak apa-apa,” jawab Rere.
“Kalau aku nunggu di luar aja gimana?” usul Airin.
“Terus lo di luar mau ngapain? Mau jagain sendal gue biar nggak dimaling orang?” celetuk Rere.
“Bukannya gitu ...” Airin memperbaiki posisi kacamatanya.
“Pokoknya lo harus ikut gue hari ini!”
“Ta-tapi....”
Rere tidak lagi menghiraukan ocehan Airin. Dia merangkul pundak sahabatnya itu lalu menyeretnya pergi. Rere tersenyum senang, sementara Airin melangkah gamang. Rere tertawa renyah, sedangkan Airin mulai merasa cemas.
_
Setiba di rumah Adit, Rere dikejutkan karena Adit sudah menanti di teras rumahnya. Sepertinya sakit kronis yang dideritanya sudah mulai sembuh. Hal itu terlihat karena kini Adit sudah mengenakan celana jeans seperti biasanya. Rere segera berlari mendekat. Semantara Airin memperlambat langkahnya dan terlihat malu-malu.
“Lo ngapain di luar?” tanya Rere.
“Gue mau pergi,” jawab Adit ketus.
Rere menatap gusar dan langsung berkacak pinggang.
“Lo tau kan, gue sama Airin mau dateng ke sini?”
“Tau,” jawab Adit santai.
“Terus kita baru aja nyampe dan lo mau langsung pergi?” tanya Rere lagi.
“Yaps.”
Jawaban Adit membuat ubun-ubun Rere mendidih. Urat-urat di lehernya mulai menyembul. Sementara Airin yang kini sudah berdiri di belakangnya hanya menunduk sambil menyelipkan rambutnya ke belakang daun telinga. Airin yang memang agak sensitif dan perasa kini mulai merasa resah. Dia merasa bahwa Adit tidak ingin dia ikut datang ke rumahnya.
“Ayok Rin masuk, lo duduk depan ya! Gue males duduk di sebelah dia,” Adit membuka pintu mobil dan mempersilakan Airin untuk masuk.
“M-masuk?” kedua mata Airin membulat.
“Iya, hari ini gue bakalan ngajak kalian jalan-jalan,” jawab Adit.
Airin segera masuk ke mobil dengan wajah linglung. Adit menutup pintu itu dan kembali beralih menatap Rere. Gadis itu berdehem sesekali lalu mengalihkan pandangannya. Dia tidak berani menatap mata Adit. Rere merasa malu karena sudah terlanjur menuduh Adit yang bukan-bukan.
“Lo mau tetep di situ marah-marah atau ikut sama gue?” tanya Adit.
Rere bergeming. Bibirnya
bergerak-gerak mencemooh kata-kata Adit. Tatapannya terpaku pada ujung sepatunya. Rere merasa gengsi untuk langsung mengiyakan. Adit mulai gusar, dia melangkah mendekat hingga wajah keduanya sangat dekat sekarang.
“Kenapa lo nggak berani lihat mata gue?” tanya Adit.
Rere hanya menunduk.
“Makanya sesekali ngemil rinso sana biar pikiran lo bersih dari noda! Kebiasaan ngejudge orang lain sembarangan,” lanjut Adit.
“Harusnya lo bilang.” Rere mencoba membela diri.
“Buka pesan lo!” perintah Adit.
Rere mengernyitkan dahinya. Namun dia menurut dan segera membuka handphonenya.
From: Didit peak
Re... hari ini kita jalan-jalan ya! Bete gue udah seminggu nggak keluar rumah. Kita langsung berangkat begitu lo sama Airin nyampe. Gue udah standby di depan rumah...
Rere tidak bisa berkata-kata lagi. Wajahnya terasa panas, tapi bukan karena emosi. Melainkan karena rasa malu yang teramat sangat. Suasana berubah canggung. Adit menyadari hal itu dan kembali bersuara.
“Lo tau nggak wajah lo sekarang kayak apa?” suara Adit terdengar ramah.
“Kayak apa?”
“Kayak dendeng balado, hahaha.” Adit tertawa keras.
Rere langsung memukul lengannya bertubi-tubi. Keduanya kembali perang mulut dan kecanggungan itu pun menghilang. Adit tersenyum senang melihat Rere kembali sangar. Rere pun kembali bebas melepas tingkah tengiknya. Sementara Airin duduk gelisah di dalam mobil dengan bulir peluh yang mulai bercucuran.
_
Adit mengajak mereka berdua pergi bermain ke taman rekreasi. Rere begitu antusias mencoba berbagai wahana permainan yang ada. Dari yang level sedang hingga ektrim semua sudah dinaikinya. Sementara Airin terus saja gugup. Dia terus menolak tawaran Adit dan Rere untuk bermain di berbagai wahana. Karena tidak enak hati, Adit pun memilih tidak ikut naik wahana viking bersama Rere. Dia memilih menemani Airin yang duduk sendirian di pojok taman.
“Lo kenapa nggak ikutan?” tanya Adit.
“Takutnya nanti pusing dan mual,” jawab Airin.
“Kayak gejala orang lagi hamil aja,” bisik Adit.
“Apa?”
“Nggak apa-apa kok. Oh iya, Rere bilang lo introvert gitu ya?”
“Hmmm ....” Airin merespon singkat.
“Wah bener-bener ya, entah apa dosa gue di masa lalu bisa dapet temen kayak kalian berdua,” kata Adit.
Airin langsung sumringah mendengar kata teman yang diucapkan Adit. Semburat rona merah mencuat di pipinya. Dia tersenyum malu dan sengaja menarik rambutnya untuk menutupi wajah. Adit mengalihkan wajahnya untuk menyembunyikan senyum. Dia merasa gemas melihat tingkah Airin yang begitu polos dan lugu.
Mata Adit kini beralih pada sosok Rere yang berteriak-teriak di atas kapal viking. Dia melambaikan tangannya dengan rambut berkibar seperti rambut singa. Suara cemprengnya mendominasi. Adit jadi teringat pada tokoh Tarzan yang sering ditontonnya. Dia mengangguk pelan dan merasa sosok Rere cocok memerankan tokoh tarzan wanita.
“Lucu ya,” kata Adit lagi.
“Kenapa?” tanya Airin.
“Yang satu malu-malu. Yang satunya lagi malu-maluin,” Adit terkekeh.
_
Hari beranjak sore. Ketiga remaja itu masih saja sibuk bermain. Airin sudah mulai terbiasa berada di dekat Adit. Sosok Adit yang sebelumnya dikira dingin dan sombong itu akhirnya bisa membuatnya tertawa. Tentu saja hal itu membuat Rere merasa lega. Berkali-kali dia sengaja diam agar tidak mengganggu obrolan antara Adit dan Airin.
"Mulai sekarang jangan malu-malu lagi," saran Adit.
"Iya," jawab Airin.
"Gue juga heran, dulu aja nih ya, pernah si Airin gue ajak makan bakso dan ternyata warungnya rame. Eh ... dia malah nggak mau masuk ke dalam karena banyak orang. Emang lo pernah di gigit sama orang?" tanya Rere.
"Kamu ngapain sih ngomongin itu." Airin merasa malu.
"Seriusan? Jangan-jangan tadi lo juga risih karena rame?" tebak Adit.
Airin hanya mengangguk pelan.
Adit dan Rere saling pandang lalu tertawa.
"Besok-besok kita bawa dia ke pasar malam terus kita tinggalin dia sendirian. Kira-kira gimana ya?" usul Rere.
"Ide bagus tuh," jawab Adit.
Airin hanya tersenyum. Adit dan Rere terus saja mengolok-oloknya. Tetapi semua ocehan itu tidak membuat Airin marah. Dia malah merasa ada sensasi hangat yang memenuhi dadanya. Dia merasa bahagia bisa mengenal Adit yang kini resmi menjadi temannya.
"Berarti besok lo udah masuk sekolah, kan?" tanya Rere.
"Masuk dong," jawab Adit.
"Kalian berdua satu kelas?" tanya Airin.
"Untungnya enggak," jawab Adit.
Airin tertawa. Adit meringis kesakitan. Rere merasa puas karena sudah menendang betis Adit barusan.
"Enak ya, kalian bisa ketemu tiap hari," ucap Airin.
Kalimat itu membuat aksi ricuh Rere dan Adit terhenti. Keduanya terdiam cukup lama. Entah mengapa pertanyaan itu terasa sulit untuk dijawab. Adit meneguk gelas teh esnya. Rere sibuk dengan daging sate yang tak mau copot dari lidinya.
"Apa kalian saling suka?" tanya Airin lagi.
Adit tercekik batu es. Rere hampir menelan lidi satenya.
"Nggak mungkin lah, gile aja gue bisa suka sama dia," jawab Rere.
"Ya elo ... gue juga ogah sama lo, taik! Ibarat kata cuma lo perempuan satu-satunya yang tersisa di dunia ini pun, gue tetep NO," dengus Adit.
"Berarti boleh dong, kalau sewaktu-waktu aku suka sama kamu Dit," Airin berkata pelan.
Semilir angin membelai kuduk Adit dan Rere bersamaan. Adit menelan ludah dengan bulu tangan meremang. Jemari Rere melemah hingga tusukan sate itu lengser dan jatuh ke tanah. Sementara Airin masih tersipu malu. Namun di mata Rere dan Adit ekspresi itu tampak begitu menyeramkan.
"Lo nggak demam kan, Rin?" Rere langsung memeriksa suhu kepala Airin.
"Gila! Kalian berdua sama sedengnya," komentar Adit.
"Loh, bukannya kamu yang bilang untuk nggak lagi malu-malu?"tanya Airin.
"Jadi sekarang lo jadi malu-maluin gitu?" tanya Adit.
"Hahahaha," Rere tertawa ngakak.
"Aku cuma becanda kok," ujar Airin.
"Becanda lo nggak lucu! Horror." Adit menggelengkan kepalanya.
Rere masih tertawa sambil memegangi perutnya. Seketika dia bersendawa dan secuil daging sate melompat keluar. Penampakan itu langsung membuat perut Adit melilit. Kehebohan pun kembali terjadi. Kali ini Adit dan Airin bersatu untuk membullynya. Suara ketiganya terdengar nyaring. Untungnya pengunjung di sana tidak merasa terganggu dan malah ikut tertawa melihat tingkah mereka.
"Pokoknya kita bertiga bakalan berteman selamanya!" Rere mengangkat gelas teh esnya yang sudah kosong.
"TEMAN SELAMANYA ...!!!"
Adit dan Airin menyambut cheers itu dan mereka kembali larut dalam senda gurau. Mereka tidak tahu, gelak tawa mereka, canda tawa mereka, senyum yang tergurat di wajah ketiganya, akan berganti dengan sebuah luka yang akan membekas selamanya.
.
.
.
Bersambung…
Kita udah selesai pengenalan semua tokoh utamanya ya. See u in next episode. “Bab selanjutnya masih gratis kok.” hehe
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
