BAB BOY TOBAT BAB 4

3
1
Deskripsi

Gimana caranya mau temenan. Gue ajak kenalan aja matanya malah melotot. :D

Happy reading ❤

Bel sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Lima orang cowok di pojok kelas masih setia dengan posisi duduknya masing-masing. Carel di posisi paling belakang. Memainkan ponsel. Menutup teliganya dengan headeset. Fokus pada game online kesukaannya. Di depannya, Fadly memetik gitar milikAndra ditemani Aldo, bersenandung pelan di sampingnya. Di depan mereka, Andra masih tampak serius menyalin tugas catatan matematika. Dan Boy, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Menutup kepalanya dengan hoodie. Tatatapannya sejak tadi tidak teralihkan dari layar HP, yang sebenarnya tidak ada notifikasi apapun.

Tidak ada yang istimewa di hari ini. Ulangan Fisika di pagi hari, sudah pasti nilai Boy tidak lulus remedial. Pelajaran kedua, Kimia. Tidak ada penjelasan Pak Yatno yang singgah di kepala Boy. Semua berlalu dan sirna begitu saja. Dan terakhir mata pelajaran Matematika. Tidak ada yang paling menyiksa selain mata pelajaran di hari rabu.

"Main yuk."

Aldo orang pertama memilih bangkit dari bangkunya duduk di meja Andra, menyebabkan si pemilik meja mendengkus kesal karena dengan sengaja Aldo menduduki buku catatannya. Bukannya kesal Aldo malah cekikikan tanpa dosa.

"Bokong lo, Do. Geser dikit. Wangi juga kaga," Andra menarik bukunya kasar, sedikit menggser posisi duduknya karena Aldo menghalangi pandangannya ke papan tulis.

"Yuk. Kemana-kemana?" Fadly ikut-ikutan duduk di bangku Andra. Keduanya harus duduk berhimpitan. Andra kelihatan semakin seweot dengan dua pengganggu di dekatnya.

"Ke rumah gue aja yuk. Kakak gue baru kasih hadiah PS5," ajak Andra.

Aldo mengeluarkan kotak belal abu-abu berisikan potongan buah pepaya dari tasnya. Mulutnya sibuk mengunyah buah kesukaannya itu sambil bergumam, "beda emang yang anak sultan."

Andra memutar bola mata. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan. Cowok itu paling malas jika ada yang menyinggung keadaan ekonimya. Walaupun kalau Aldo selalu bilang, harta bapaknya Andra tujuh turunan tidak akan habis. Tapi Andra tidak suka. Dia akan mengaku sebagai keturunan ke delapan.

"Boleh tuh, main PS yuk." Fadly mengangguk semangat lalu melirik Boy. "Lo bawa motor kan, Boy? Gua nebeng elu ya."

Boy menggeleng tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. "Gue gak bisa. Sorry."

"Songong banget nih bocah. Sok iya banget. Dari kemarin kerjaannya diem. Nempel ke dinding. Ngeliatin HP. Lo nggak capek nungguin notif dari Vale." Aldo tidak tahan lagi uttuk tidak berkata jujur.

Fadly dan Andra mendadak diam. Menunggu respon Boy. Namun sepertinya Boy tidak berniat menyangkal. Benar kata Aldo. Sejak beberapa hari lalu, tepatnya sejak hubungannya dengan Vale berakhir dengan alasan yang tidak masuk akal, Boy lebih banyak diam. Duduk bersandar ke dinding. Sibuk bermain ponsel. Entah apa yang dia tunggu. Semua temannya tahu, Vale menghilang. Seluruh akun sosial medianya dinonaktifkan. Nomor HP, line, dan whatsapp sudah tidak aktif. Sepertinya dia tidak hanya berusaha menghindar dari Boy. Tapi hilang dari semua orang.

"Lo gak boleh kekanakan gini. Lo ngomong sama kita. Emang lo anggap kita ini apa?" desak Aldo. Wajah bercandanya mendadak hilang. "Emang apa yang lo dapat dengan lo diem gitu?"

Andra mengangguk setuju. "Aldo bener, Boy. Mungkin kita bisa bantu lo."

Melihat kondisi keempat temannya mendadak serius. Carel mematikan ponselnya. Bergabung bersama Aldo. Duduk di meja. Melipat tangan, menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Boy menatap mereka satu persatu lalu berdecak. "Lo semua mah gak bakalan bisa."

"Lah, nih anak belagu ya." Aldo menujuk wajah Boy. "Belum juga ngomong letak masalahnya dimana, udah ngatain kita."

Andra menelengkan kepalanya ke arah Boy. "Lo cerita dulu deh mendingan."

Carel melirik kotak bekal Aldo lalu mencomot sepotong pepaya. "Lo putus karena lo bego gak tau ibukota Belgia. Terus Vale hilang. Emang aneh sih tuh mantan lo."

Boy ikut-iktan mencomot pepaya Aldo. "Karena itu. Gue gak habis pikir. Terus anehnya lagi dia nyuruh gue masuk Fakultas Kedokteran. Kalau mau balikan Lo tau dimana?! Hah?! Di UI!"

"Hah?"

Mereka berempat mendadak kehabisan kata-kata. Carel dan Andra geleng-geleng kepala. Fadly dan Aldo saling tatap lalu tiba- tiba terbahak.

"Lo, masuk FK?" tanya Aldo. Telunjuknya tepat du ujung hidung Boy. "Vale gak salah tuh?" Aldo ertawa sampai matanya menyipit.

"Eh, anjir jatuh." Fadly mengumpat. Tangannya tidak sengaja menyenggol kotak pepaya Aldo. "Ngimpi tuh emang boleh kata bokap gue, tapi ya disesiakan juga sama kapasitas otak."

Tawa Andra, Carel, dan Aldo semakin bersahutan. Boy mengernyit, merasa menyesal sudah menceritakan masalahnya pada keempat temannya yang tidak berpererikemanusiaan itu.

"Gue bilang apa. Lo semua gak ngebantu. Ngehina gue yang iyanya."

"Emang lo tau bedanya teleskop sama stetoskop?" tanya Fadly.

Boy meringis. "Kalo itu gue taulah. Kambing lu."

Andra menepuk-nepuk pundak Boy. Tawanya belum juga surut. "Kalau kelak anak gue demam, ogah deh disuntik dokter bucin kaya lo."

"Jadi rencana lo apa?" Carel mencoba menengahi.

"Belum ada." Boy memang belum ada menyusun rencana papaun untuk mencapai tujuanya itu. Mungkin dia akan meminta guru prival atau mau mendaftarkan diri di tembat bimbingan belajar. "Mau les sih gue."

Andra menggigit ujung pulpennya yang sebelummnya tergeletak di meja. Menatap keempat temannya serius. "Gue bukannya mau buat lo putus asa bsebelum mulai." Matanya manatap Boy lekat. "Maksud gue gini. Aduh." Aldo baru saka memukul kepalnya dengan gulungan buku.

"Mata lo biasa aja, dong. Udah mirik eyang gue kalau lagi ceramah ke gue," balas Aldo.

Andra berdecak. "Gini ya, Boy. Kita tuh, lo tau kan. Muka aja yang agak mendingan. Tapi lo sadar kan otak kita gimana? Nilai kita gak tertolong." Andra melirik Fadly. "Kalau aja engkongnya si Fadly gak punya andil di sokolah, kayanya kita udah dipecat deh."

"Kita gak segoblok itu juga kali, Ndra," potong Carel tidak terima. Mereka berlima diumpamakan separah itu. Meskipun kelimanya memperoleh nilai –pas-pasan.

"Gue kan mau buka pikiran dia aja."

Boy juga merasa demikian. Itulah penyebabnya beberapa hari ini, dia gemar menghabiskan waktu sendiri. Dia paham sebatas mana kemampuannya. Banyak kakak kelas yang sudah belajar habis-habisan. Dari semester satu mendapat nilai bagus. Tapi belum diterima di fakultas dan universitas yang bergengsi. Lalu, apa kabarnya dengan Boy? Namun Boy sudah bertekad mengejar apapun yang akan membuat Vale kembali padanya. Dengan cara apaun itu akan Boy raih kembali.

"Tapi gue yakin mau nyoba." Boy terkekeh. "Namanya juga usaha. Gue tuh udah insecure, lo kasih dukungan dong. Biar gue gak ngenes banget. "

"Kita dukung lo. Kalau lo udah tekad kita pasti dukung." Fadly turun dari meja Andra meraih tasnya. Disusul Carel. "Gue pikirin ide dulu deh. Buat bantuin nih bocah bucin."

Andra terbahak. "Main PS batal nih?"

"Batal," jawab mereka serempak.

***

Terlahir di keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan tak urung membuat Boy mengikuti jejak ketiga jejak abang-abangnya. Bang Leo lulusan terbaik pascasarjana teknik sipil ITB, sekarang menjadi dosen di universitas bergengsi di Jakarta bersama istrinya, Kak Mauren. Bang Arsen yang baru tahun lalu menikah dengan seorang psikolog cantik adalah lulusan NTU, kuliah menggunakan beasiswa dan tidak sepenuhnya mengandalkan uang Papi. Dan Bang Arga, dalam hitungan bulan pulang dari London dan menjadi salah satu lawyer junior di kantor konsultan hukum milik Papi. Bagaiman dengan Boy?

"Kok itu nasinya dari dari dilihat doang? Masakan Mami nggak enak?"

Boy mengerjab. "Eh, ini enak Mi. Siapa dulu yang masak. Maminya Boy." Bboy menaik-naikkan alis. Menyantap beberapa potong ayam yang sebenarnya dia tidak terlalu selera makan.

"Gimana di sekolah?" tanya Papi setelah selesai dengan makanan di hadapannya.

Boy menghela nafas. Ruangan mendadak terasa panas. Pertanyaan semacam itu memang selalu dilontarkan Papi di setiap kesempatan. Harusnya tidak sulit menjawabnya. Tapi apakan Boy yakin Papi bisa santai jika mendengar nilai ujian Fisika remedial, kuis Kimia nilainya empat puluh, dan pelajaran matematika bisa saja membuat otak Boy mendadak amnesia.

"Ya gitu, Pi."

Papi berdeham. Meneguk air putih di gelasnya hingga tandas. "Ya gitu gimana. Kamu dengan nilai kamu yang hancur itu. Papi aja sampai malu setiap tahun ambil rapor kamu ke sekolah."

"Papi, nih cobain puding jagung. Resep baru nih." Mami mengangsurkan sepotong puding jagung ke hadapan Papi, berharap Papi tidak mengungkit nilai untuk malam ini. Karena Mami tidak mau makan malam berakhir dengan Papi dan Boy saling diam, seperti yang sering terjadi.

"Kamu itu sudah kelas XII, Boy," lanjut Papi. "Harusnya kamu mulai belajar. Emangnya kamu nggak malu sama abang-abang kamu? Sama kakak ipar kamu? Mereka semua berprestasi. Lulusan kampus terbaik. Sekali-sekali kamu belajar dong sama Arga. Bagaimana caranya bisa kuliah di London."

"Pi, Boy juga belajar, kok." Mami mengusap lengan Papi.

Papi menarik nafas. "Jangan dimanjain terus, Mi."

"Boy juga bakalan kuliah kok, Pi. Di tempat yang bagus. Mungkin aja dia sudah mempersiapkan semuanya tanpa sepengetahuan kita." Mami masih bersusaha membela Boy di hadapan Papi.

"Persiapkan apa maksud mami? Papi cariin guru privat tapi sampai tiga kai ganti, tidak ada yang betah. Didaftarin di bimbel, malah bolos ke cafe papanya Fadly. Papi tidak melarang kamu main. Tapi harus bijak, dong."

Boy menatap kosong sisa makanannya. "Maaf, Pi." Boy sedang dalam keadaan tertekan. Memang akan selalu begitu jika dirinya sudah dibandingkan dengan ketiga abangnya. Boy mengakui itu. Papi bahkan hanya akan membanggakan mereka bertiga di ada acara keluarga. Atau saat pertemuan dengan kolega kerja, Papi hanya akan menceritakan pekerjaan Leo dan Arsen. Atau kuliah Arga. Boy cukup sadar diri dengan otaknya pas-pasan.

Boy ingat di awal dia masuk SMA, Papi dengan semangat mencarika guru les privat untuknya. Meskipun saat SMP dia sering mengecewakan Papi dengan nilainya yang jelek, Papi tetap berharap dia akan berubah saat SMA. Guru privatnya meminta berhenti karena Boy sulit diajari. Papi kemudian mendaftarkan bimbingan belajar di tempat bergengsi, Boy malah bolos, memilih bermain game online bersama Fadly.

"Papi tidak mau dengar kamu minta maaf. Papi hanya ingin kamu berubah. Demi kebaikan kamu."

Boy memberanikan diri mengangkat kepalanya. Menatap Papi. "Pi, Boy bakal buktiin ke Papi kalau Boy gak sepecundang itu."

Alis Papi terangkat. Dia tersenyum. Tertarik dengan pernyataan putra bungsunya itu. "Dengan cara apa?"

Dengan cara apa? Sebenarnya Boy tidak menemukan jawabannya. "Boy akan kuliah di fakultas kedokteran. Boy gak akan minta guru les privat lagi. Boy akan lulus dengan cara Boy."

Papi terlihat semakin antusias. "Yakin nggak butuh bantuan papi?"

Boy melirik mami. Kemuadian mengangguk mantap pada Papi. "Yakin."

"Papi tantang kamu. Kalau kamu bisa buktikan perkataan kamu, papi izinin kamu liburan ke Liverpool. Nonton tim bola kesayangan kamu itu bareng teman-teman kamu."

Mami mencolek lengan papi. "Gitu dong, Pi. Sekali-sekali kasih kepercayaan sama Boy." Mami kemudian menggoda Boy, "kok jadi mami yang gregetan ya?"

Boy terkekeh. "Mami ragu nih sama Boy?"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAD BOY TOBAT BAB 5
3
0
Lebih susah melupakan bayang-bayang mantan atau mengerjakan soal teori relativitas?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan