Bab 7-9 (Surat di Kolong Meja)

0
0
Deskripsi

Anita diajak belajar matematika bareng kakak kelasnya. Duh, kenapa jadi deg-degan begini, ya?

Bab 7

Hari ke-6: Belajar Matematika

“Jika ini adalah saat terakhir aku melihatmu, aku tetap merasa bahagia sudah ditakdirkan pernah mengenalmu.”

 

Anita menatap bangga pada papan berlapis kaca di depannya. Majalah Dinding (Mading) yang sejak pagi ia dan teman-temannya kerjakan sudah selesai dibuat. Sebuah cerpen karyanya terpampang indah di sana.

“Nah, udah selesai mading kita. Yuk, beres-beres, habis itu boleh pulang,” kata Kak Ratih, ketua ekskul Mading. “Jangan lupa, pekan depan tugas untuk buletin sekolah harus dikumpulkan, ya.”

Semua mengangguk setuju. Mereka kembali ke ruang ekskul dan membereskan alat-alat yang berserakan di lantai. Tak lupa ruangan 2 x 3 meter itu disapu dan dipel.

“Nit, gue sama Rara mau ke toko buku. Mau ikut enggak?” tanya Nikita, teman satu ekskulnya.

“Nggak, deh, Nik. Gue udah ada janji. Emang lo mau beli apa?”

“Mau jalan aja, sih. Rara mau cari kuas sama cat minyak katanya,” jawab Nikita. Sejurus kemudian, gadis berkacamata itu mengernyitkan dahi. “Tumben lo ada janji. Sama siapa, sih? Biasanya seneng banget kalo diajak ke toko buku.”

“Ada, deh,” sahut Anita mengedipkan sebelah mata. “Lagian gue ke toko buku biasanya juga numpang baca doang. Eh, tuh, Rara udah balik dari gudang. Sana berangkat, keburu siang!” kilahnya mengalihkan pembicaraan.

Setelah Nikita dan Rara pergi, Anita berbalik menghadap Kak Ratih yang sedang merapikan tas. Ia meminta izin untuk menunggu di ruang ekskul. Ketua ekskul itu memberikan izin dengan catatan Anita harus bertanggung jawab memegang kunci sampai diserahkan kembali hari Senin.

Anita mengisi waktu dengan meneruskan membaca novel Sherlock Holmes. Membaca cerita detektif membuat jantungnya berdebar. Ia begitu penasaran saat mengikuti petualangan Sherlock Holmes dan Dokter Watson. Walaupun kadang, ia sempat bingung dan kembali ke beberapa halaman sebelumnya untuk mengikuti petunjuk yang ditemukan.

“Nita! Oy, Nita!” teriak suara dari depan pintu ruang ekskul memecah konsentrasi Anita. Gadis itu mendongak dan mendapati Rika sudah berdiri berkecak pinggang. “Kak Ardi udah nungguin, tuh, di depan gerbang!” sungutnya sambil melihat ponsel.

Dalam hati, Anita berpikir. Dari mana Rika tahu Kak Ardi sudah menunggu? Atau jangan-jangan mereka saling berkirim pesan?

Anita mengamati tubuh Rika yang padat berisi dibalut kaus merah muda berpadu celana jeans selutut. Rambutnya dikuncir samping, dengan poni yang disisir ke depan. Di pundaknya, tersampir sebuah tas selempang merah muda dengan gantungan Hello Kitty.

Penampilan Rika kontras sekali dengan dirinya. Ia hanya memakai celana jeans biru yang sudah pudar, dipadu dengan kaos hitam bertuliskan I love Jogja, oleh-oleh kakak sepupunya yang baru kembali dari bulan madu. Sepatu dan tas ransel yang ia kenakan sama dengan yang biasa dipakai ke sekolah. Mendadak Anita jadi merasa minder dengan penampilannya.

“Oy, Nita! Kok malah ngelamun, sih? Yuk, cepetan! Panas, nih!”

Anita terkesiap. Ia segera membereskan tas dan keluar ruangan. Tak lupa pintu dikunci sebelum ia beranjak. Mereka pun berjalan beriringan menuju gerbang sekolah dalam diam, karena Rika sibuk memainkan ponsel.

Desiran halus kembali merayapi tubuh Anita kala melihat Kak Ardi duduk di atas sepeda motor. Rindangnya pohon mahoni di seberang jalan melindunginya dari sengatan matahari siang. Lambaian tangan serta senyumannya membuat kaki Anita terasa berat untuk menyeberang jalan. Ia hanya pasrah saat Rika menyeret tangannya sambil memberhentikan laju kendaraan yang berlalu lalang.

“Hai, udahan ekskulnya?” sapa Kak Ardi begitu dua gadis itu tiba di depannya. “Mau ke mana, nih, kita?”

“Ke food court mall aja, yuk, yang adem. Panas banget di sini,” pekik Rika sambil mengipasi pipi putihnya yang merah merona.

Anita menelan ludah. Gawat! Kalau belajar di mall harus membeli makanan dan saat ini uangnya hanya cukup untuk ongkos pulang.

“Yah, tapi saya bawa motor. Nggak mungkin, kan, bonceng bertiga?” sahut Kak Ardi beralih pada Anita. “Anita mau di mana belajarnya?”

Gadis itu menjawab kikuk. “Di sekolah aja enggak apa-apa, Kak. Di depan perpus atau di ruang ekskul mading juga boleh.”

“Udah, yuk, ke mall aja!” sergah Rika tanpa meminta persetujuan. “Panas, nih. Kita pesan mobil online aja. Kak Ardi nyusul bawa motor,” sambarnya sambil mengibas-ngibaskan tangan ke wajah.

Anita hanya bisa menunduk pasrah. “Ya udah kalo mau di mall enggak apa-apa. Nanti ketemu di food court aja,” ucapnya menyerah. Mereka pun berpisah.

Tiba di food court mall di pusat kota, Anita mendapati Kak Ardi sudah duduk di meja dengan empat kursi. Sulur tanaman lemon artifisial menaungi bagian atasnya. Rika langsung menjatuhkan badan di kursi sebelah Kak Ardi, sedangkan Anita duduk di hadapannya.

“Beli makan dulu, yuk! Laper,” ajak Rika tiba-tiba. “Nggak bisa belajar kalau perut kosong. Iya, kan, Kak?”

Kak Ardi mengangguk. “Iya, kalian mau makan apa? Pesan aja, nanti saya bayar.”

“Ih, enggak usah, Kak. Masa Kakak yang ngajarin belajar, Kakak juga yang bayarin,” cegah Rika.

“Iya, Kak. Saya udah makan, kok, tadi habis ekskul sambil nunggu,” dusta Anita. “Kalian pesan makan duluan aja, saya tunggu tas. Nanti gantian.”

“Oke, Nita. Nitip tas, ya.” Rika mengeluarkan dompet pink dari tas. Ia bergegas menuju toko yang menjual makanan Jepang.

“Kamu enggak pesan makanan?” tanya Kak Ardi menatap Anita.

“Nggak, Kak. Beneran saya udah makan. Ini masih kenyang banget,” kilah Anita. Ia berniat membeli es teh gelas saja. Itu pun berarti ia tak bisa naik ojek dan harus jalan kaki dari jalan raya menuju rumahnya.

“Ya udah, enggak apa-apa, ya, ditinggal sendirian,” pamit Kak Ardi. Anita mengangguk sambil tersenyum.

Anita mengeluarkan buku Matematika dan memilah bab mana yang sebaiknya ditanyakan pada Kak Ardi. Lima menit kemudian Rika datang membawa nampan yang berisi semangkuk mie ramen besar dan segelas jus alpukat. Ia menawarkan untuk makan bersama, yang ditolak halus oleh Anita. Gadis bertubuh sintal itu segera menyantap makanan, sedangkan Anita menyibukkan diri dengan membaca materi pelajaran. Beberapa menit kemudian, Kak Ardi datang dengan membawa tiga gelas milkshake dan satu kotak penuh kentang goreng.

“Nih, buat makan bareng-bareng. Biar enak belajarnya,” kata Kak Ardi sambil membagikan minuman dan meletakkan kentang goreng di tengah meja.

“Makasih, Kak,” ucap Anita dan Rika hampir bersamaan.

“Sama-sama. Oh iya, kalian udah sampe mana belajar Matematikanya?”

“Bab bangun ruang, Kak. Kebetulan Senin ada ulangan,” jawab Anita sambil memperlihatkan buku di hadapannya kepada Kak Ardi.

“Oh, bangun ruang, mah, gampang. Cuma kubus-kubusan gitu paling,” sergah Kak Ardi.

“Kalo cari luas permukaan dan volume kubus mending, Kak. Kalo harus cari jarak antar titik dan diagonal gitu. Duh, pusing,” gumam Anita memijat kepala.

Kak Ardi tertawa. “Oh, bab itu. Sebenarnya, kunci ngerjain soal yang seperti itu, kamu harus paham phytagoras, sama bisa memetakan mata kamu seolah berada di tengah bangun ruang itu,” jelasnya ringan.

Anita mengernyitkan dahi. “Maksudnya, Kak?”

Kak Ardi pindah duduk ke sebelah Anita seraya mengeluarkan beberapa buku tulis dari tas. Cowok itu menyusun buku hingga berdiri bersisian dan membentuk kotak.

“Ini maksudnya. Kamu harus bisa membayangkan bentuk bangun ruang itu secara tiga dimensi. Setiap bangun ruang, kan, pasti punya sisi. Nah, sisi itu yang jadi patokan kamu selanjutnya. Misal, kamu mau cari jarak antar titik seperti ini.” Kak Ardi meletakkan satu pulpen secara diagonal dan satu lagi menyilang di dasar kotak buku. Anita berdiri supaya bisa melihat lebih jelas. “Kamu tinggal tarik garis seperti ini supaya bisa kebayang apa yang mau kamu cari.”

“Oh, iya, Kak! Ini kayak soal di buku tadi. Kalau digambar agak bingung ngebayanginnya, tapi kalau ngelihat gini jadi paham maksud soalnya!” seru Anita.

“Iya, Anita. Seperti kata pepatah, seeing is believing.”

Suara Kak Ardi terdengar seperti bisikan di telinga Anita. Ia begitu antusias hingga tak menyadari kalau kepalanya berada terlalu dekat dengan Kak Ardi. Saat menoleh, senyumannya membuat getaran aneh di tubuh Anita menjalar kembali. Seketika pipinya merona, membuatnya langsung menjatuhkan diri ke kursi.

“Ehm, mungkin kita bahas soal aja, Kak,” desis Anita memelototi buku Matematika yang tak bersalah. Semoga Kak Ardi tak menyadari keanehan tingkahnya.

Mereka meneruskan belajar dengan membahas soal dan mengaplikasikan di kotak tiga dimensi ala Kak Ardi. Rika yang masih mengunyah dengan lahap, segera menghabiskan makanan dan menaruh nampan di meja sebelah.

“Ih, kok, aku ditinggal, sih? Aku, kan, mau ikut belajar!” pekiknya manja.

“Ayo belajar, Rik. Tadi kan lo masih makan. Bawa buku, kan?” ajak Anita.

“Nggak bawa. Gue ikut lihat buku lo aja!” ujar Rika sambil pindah ke kursi yang sebelumnya ditempati Kak Ardi.

Mereka pun melanjutkan pelajaran. Konsentrasi Anita sedikit terganggu karena Rika sibuk melihat ponsel yang sering bergetar. Dua jam berlalu saat ia tiba-tiba bangkit sambil membawa tas.

“Aku duluan, ya. Makasih Kak Ardi udah diajarin. Nit, gue duluan, ya. Dadah!” pamit Rika terburu-buru, meninggalkan Anita dan Kak Ardi yang saling berpandangan tak sempat menjawab.

Jantung Anita kembali berdebar saat menyadari situasi hanya berdua saja dengan Kak Ardi. Ternyata, ada gunanya juga tadi Rika ikut untuk mencairkan suasana. Ia mengalihkan pandangan ke layar LED yang menampilkan berita. Di bagian bawahnya, tertera waktu sudah menunjukkan pukul 15.53.

“Kak, saya juga pulang, deh. Udah sore,” ujar Anita sambil menutup buku. Rasanya, ia tetap tak akan bisa belajar kalau hanya berdua saja dengan Kak Ardi. Hatinya hanya akan sibuk menikmati sensasi kebersamaan indah ini, mementahkan setiap ilmu yang diajarkan cowok di hadapannya.

“Loh, kok, buru-buru. Santai aja, nanti saya anterin pulang,” cegah Kak Ardi.

Anita berteriak panik. “Eh, jangan, Kak! Duh, malah ngerepotin nanti. Nggak apa-apa saya naik angkot aja. Makasih banget Kakak udah mau capek-capek ngajarin saya dan Rika.”

 “Kan, saya yang ngajak. Saya harus tanggung jawab. Nanti saya antar sampai rumah, saya bilang juga ke orang tua kamu. Tanggung, nih, belajarnya!” paksa Kak Ardi dengan mata yang menatap Anita begitu lekat, membuatnya tak bisa bernapas.

Anita tak berani membalas tatapannya. Ia mengalihkan pandangan ke arah lalu lalang banyak orang. Jantungnya tercekat melihat dua gadis berjalan ke arahnya sambil mengobrol dan memakan es krim. Itu Nikita dan Rara!

“Duh, maaf banget, ya, Kak. Saya harus buru-buru pergi,” pamit Anita sambil meraup buku dan alat tulis, kemudian menyumpalkan ke tas ransel. “Makasih banget untuk hari ini. Maaf banget, ya, saya ngerepotin. Saya duluan ya, Kak.”

Anita segera pergi sebelum kedua temannya tiba, khawatir kalau sampai mereka melihat bisa berpikir macam-macam. Ia meninggalkan Kak Ardi yang tertegun walau merasa sangat tak enak hati.

Biarlah. Ia yakin, setelah ini cowok itu akan kecewa dengan dirinya yang jelek dan tidak supel. Yang harus dikhawatirkan adalah bagaimana hatinya bisa menghilangkan rasa berharap. Berharap Kak Ardi akan menyukainya.

 

Bab 8

Hari ke-8: Cemburu?

“Karenamu, aku belajar bahwa cinta tak boleh tumbuh saat aku belum terlalu mengenalmu.”

 

Bel tanda pulang sekolah berbunyi saat Anita tiba di gerbang sekolah. Ia segera berpamitan dengan Bapak dan mempercepat langkah menuju kelas XII IPA 4 yang terletak di lantai dua. Anita berharap sempat bertemu Kak Ratih sebelum meninggalkan kelas.

Suasana selasar sekolah sudah ramai oleh lalu lalang kakak kelas yang baru menyelesaikan pelajaran. Anita berjalan melipir di tembok saat melewati kerumunan kakak kelas yang sedang mengobrol di teras sekolah. Ia tiba di depan kelas Kak Ratih dan menoleh ke kanan kiri, mencari sosok ketua ekskul mading tersebut. Saat melihat wajah tirus berkacamata dengan rambut lurus itu, ia melambaikan tangan yang dibalas Kak Ratih dengan keluar kelas.

“Kak, makasih, ya, udah dibolehin nunggu di ruang mading,” kata Anita sambil menyerahkan kunci ruangan.

“Iya, sama-sama. Oh iya, tadi aku udah share di grup BBM, tugas-tugas buat mading minggu depan sama buletin. Anita selain buat cerpen, bikin liputan acara lomba 17-an juga bareng Nikita. Kemarin Sabtu aku lupa bagi-bagi tugas,” jelas Kak Ratih panjang lebar.

“Oke, Kak. Nanti istirahat aku ke kelas Nikita buat omongin lebih lanjut. Aku balik ke kelas dulu ya Kak,” pamit Anita.

“Oke. Thanks, ya,” jawab Kak Ratih tersenyum.

Anita baru saja hendak membalikkan badan saat ketua ekskul mading itu berteriak nyaring di telinganya. “Ardi!”

Tubuh Anita membeku dan urung memutar. Apakah nama yang disebut Kak Ratih adalah orang yang sama, yang beberapa hari ini memenuhi cerebral-nya?

“Tadi Tania pesen ke gue, lo ditungguin di tukang mie ayam,” ujar Kak Ratih pada orang di belakang Anita.

“Loh, katanya mau ketemu di kelas?” Terdengar suara berat yang sepertinya benar milik Kak Ardi.

“Nggak tau, tuh. Tanya aja sendiri. Gue mau ke ruang mading dulu,” jawab Kak Ratih beralih pada Anita. “Eh, Anita katanya mau ke kelas?”

Anita bertambah gugup, tak menyangka akan bertemu Kak Ardi. Terlebih, indera pendengarannya panas saat mendengar cowok itu janjian dengan teman Kak Ratih yang bernama Tania.

“Anu, Kak. Ehm. Tadi ada yang mau saya tanyain ke Kakak, tapi lupa apa.”

“Eh, ada Anita? Lagi ngapain di sini?” Suara di sebelahnya bertanya lembut. Mau tak mau Anita melirik dan benar saja, Kak Ardi berdiri menjulang di sisinya.

“Eh, lo kenal Anita?” tanya Kak Ratih tiba-tiba. “Bukannya Anita cuma sendirian dari SMP-nya? Malahan dia satu-satunya yang bisa masuk SMA ini dari SMP-nya. Iya, kan, Nit?”

Anita merasa otot lidahnya terasa kelu untuk mengikuti perbincangan yang menegangkan ini. Ia malu pada Kak Ratih, tetapi tak tahu mengapa. Akhirnya, ia hanya menyunggingkan bibir dan tersenyum simpul.

“Kenal, lah. Emang lo doang yang kenal, mentang-mentang ketua Mading,” sahut Kak Ardi sambil tertawa.

“Apaan, sih? Mentang-mentang abis dapet medali. Udah, ah, gue mau ke ruang Mading,” cibir Kak Ratih. “Anita, hati-hati, ya, sama orang ini,” sambungnya sebelum beranjak pergi.

“Saya juga mau buru-buru ke kelas!” pekik Anita sebelum melesat, meninggalkan Kak Ardi yang baru akan membuka rahang untuk berbicara.

Kelenjar lakrimal Anita hampir mengeluarkan air mata saat berjalan menuju kelas. Entah mengapa ia merasa sesak saat mendengar Kak Ratih berkata bahwa Kak Ardi ditunggu Kak Tania. Siapa Kak Tania? Apakah pacar Kak Ardi? Kenapa Kak Ardi sudah punya pacar, tetapi mau berbaik hati mengajari Matematika? Apa ia tak takut pacarnya marah? Atau ia seorang playboy yang hobi mematahkan hati perempuan, setelah mengangkat tinggi-tinggi dengan memberi harapan palsu?

Anita benci dirinya, karena hatinya begitu cepat berbunga-bunga saat mendapat perhatian lebih. Orang sepertinya tidak pantas menikmati desiran cinta. Sungguh ironis mengingat ini pertama kali ia merasakan kadar hormon serotonin memuncak, menghadirkan perasaan yang seolah membuat dirinya seringan kapas, terbang bebas tersapu angin kebahagiaan.

Langkah kaki Anita seolah bergerak sendiri, membawanya tiba di kelas dan mendapati Rika belum ada. Ia duduk dengan malas, melihat surat di kolong meja. Tampak tulisan tangan terbaru dan satu pak permen kopi.

 

Semangat ya ujiannya. Nih biar ga ngantuk. :)

“Hei, Nita!” sebuah tepukan mendarat di bahu Anita, membuatnya terlonjak. Tampak Rika sedang tertawa karena berhasil mengagetkan.

“Gue udah tau, dong, DP-nya Kak Ardi gambar siapa,” ujarnya bangga.

“Siapa?” tanya Anita tak acuh.

Iron Man. Superhero gitu. Kemaren gue coba tonton. Seru, sih! Tapi, kadang sadis. Biasanya gue cuma nonton sinetron, sih,” jawab gadis berpipi tembam itu sambil terkekeh.

“Oh,” tanggap Anita singkat. Ia memutar bola mata dengan malas. “Lo BBM-an sama dia, ya?” selidiknya.

“Iya. Enak BBM sama dia. Balasnya cepat. Nggak kayak Randy, balasnya lama. Mana Sabtu kemarin nyebelin banget. Masa katanya jalan sama temen-temen basketnya, enggak taunya lagi nongkrong di warung roti bakar sama Retno dan gengnya. Kan, nyebelin banget. Untung si Hesti lewat, terus ngasih tau gue. Pas gue lihat emang bener dia lagi ketawa ketiwi sama mereka,” cerocos Rika.

“Lah, kan, Retno dan gengnya emang anak basket juga.” Anita menanggapi setengah hati.

“Iya, sih. Tapi, kenapa dia enggak bilang kalo teman basketnya itu cewek?” Rika mengerucutkan bibir. Tangannya mengepal dan wajahnya memerah. “Gue jadi malas balas BBM dia. Mending gue BBM Kak Ardi aja. Enak. Orangnya ramah terus balesnya cepat.”

Entah kenapa puncak ubun-ubun Anita terasa panas. Baru kali ini ia merasa kesal pada sahabatnya. Namun, ia harus menahan. Toh, ia bukan siapa-siapa Kak Ardi. Biarlah mereka berdua saling berhubungan, memang mereka punya ponsel. Ia tak punya hak melarang.

“Nih, buat lo. Dari Kak Ardi,” kata Anita sambil melempar permen kopi ke atas meja Rika. “Oh iya, coba tanyain ke Kak Ardi, Kak Tania itu siapanya. Gue mau pipis dulu.”

“Wah, serius, nih? Makasih, ya. Gue bagi-bagi, deh,” jawab Rika sambil merobek bungkus permen kopi. Mendapati kenyataan bahwa sahabatnya begitu tidak peka, ia segera melesat ke toilet.

Di toilet, Anita menangis.

Ia segera mencuci wajah setelah mendengar bel masuk berbunyi. Ia tak ingin orang lain melihat linangan air matanya. Walau begitu, menangis selalu menjadi obat saat dirinya dilanda kesedihan. Setelahnya, ia bisa bernapas lega dan berpikir jernih.

Anita sadar, ia tak boleh menyukai lawan jenis, mengingat siapa dirinya. Bapak dan Ibu bersusah payah menyekolahkan bukan untuk meratapi masalah percintaan, bukan? Ia harus berfokus pada sekolah. Belajar, belajar, belajar. Titik. Remaja lain mungkin boleh merasakan drama percintaan, tetapi lain dengannya. Ia harus fokus belajar demi mengubah nasib keluarga kelak.


 

 

Bab 9

Hari ke-9: Bakteri dan Virus

“Kau itu seperti virus di hatiku. Tak bisa dikatakan hidup, tetapi tak dapat pula dikatakan mati.”

 

Anita sudah duduk di depan komputer perpustakaan sejak pukul sepuluh, mengerjakan tugas cerpen untuk mading minggu depan. Ia mengambil posisi di kubik komputer paling pojok, khawatir akan bertemu dengan Kak Ardi lagi. Gadis itu tak yakin bisa menahan rasa abu-abu di hati. Entah perasaan kesal atau perasaan suka. Yang pasti, saat ini ia hanya harus menghindar.

Dua belas menit sebelum bel masuk berbunyi, Anita telah menekan tombol send dan dua detik kemudian cerpennya selesai terkirim ke email ekskul Mading. Ia bergegas berpamitan dengan Bu Iin dan meluncur ke kelas. Namun, langkahnya terhenti saat berada di depan kelas XII IPA 1.

Terlihat Kak Ardi sedang berdiri di depan kelasnya sambil bersandar di tiang. Ia memandangi layar ponsel dan sesekali menatap pintu masuk kelas. Spontan, Anita menyembunyikan diri di balik tiang depan kelas sebelahnya, sambil mengamati apa yang cowok itu lakukan. Ia pun tidak mengerti mengapa harus bersembunyi seperti ini.

“Anita, ngapain diri di situ?” 

Suara dari balik punggung membuat Anita terlonjak. Ia menoleh dan melihat Nikita berdiri sambil memegang buku.

“Eh, enggak, kok.  Ehm, anu, lagi nungguin Nikita,” jawabnya gelagapan.

“Oh, kenapa? Kangen, ya? Baru kemarin ketemu,” ledek Nikita terkikik. “Eh, tapi kayaknya ada yang mencurigakan.” Gadis berambut ikal itu mengelus-elus dagu.

“Ih, apaan, sih? Kayak detektif aja. Emang enggak boleh kangen sama Niki?” goda Anita sambil mencubit pipi teman satu ekskulnya itu.

“Ih, sakit tau!” omel Nikita. “Eh, Bu Asih udah datang, tuh. Gue masuk dulu, ya. Mau ulangan Matematika!” serunya sambil berlari masuk kelas.

“Oke, semangat, ya, ulangannya!” seru Anita sambil melambaikan tangan. Sesaat kemudian bel berbunyi.

Anita kembali mengamati sosok Kak Ardi dari balik tiang. Cowok bertubuh tinggi itu sedang berbincang dengan Rika. Sejurus kemudian mereka berpisah dan Anita mengendap masuk kelas setelah memastikan cowok itu menjauh. Tanpa diduga, ia disambut teman sebangkunya dengan wajah masam.

“Lo dari mana aja, sih? Kak Ardi nungguin, tuh, dari tadi di depan kelas!” pekiknya keras hingga menyemburkan saliva.

“Dari perpus. Emang dia nungguin gue? Lagian, kok, lo yang sewot, sih? Baru juga masuk kelas,” ujar Anita menahan diri agar tak terbawa emosi.

“Iya. Dia nungguin lo. Katanya suruh lihat kolong meja lo!” jawab Rika sambil mengeluarkan buku dan membantingnya, seolah buku itu baru saja menggigit jarinya.

Anita melirik kolong mejanya. Surat yang biasa ada di sana, tergeletak bersama sebuah cokelat batangan.

 

Anita kok gak bales? Gimana ulangan mtknya? Gampang kan? :)

 

Memang Anita akui, berkat belajar bersama Kak Ardi, baru kali ini ia lancar mengerjakan ulangan. Ia merasa sangat berterima kasih karenanya. Namun, mengingat cowok itu sudah punya pacar dan tebar pesona pada sahabatnya, membuat perasaannya tak tenang.

“Ini yakin buat gue?” selidik Anita sambil menunjukkan cokelat di tangannya.

“Iya! Kemarin permennya juga buat lo. Kenapa lo kasih gue?” tukas Rika cemberut.

Anita tercekat. Saat teman sebangku marah, kelas sehari akan berubah menjadi seperti neraka.

“Oh, gitu. Ya udah, maaf, ya. Ini cokelatnya kita bagi dua, yuk!” ujar Anita memelankan suara. “Lo marah gara-gara Kak Ardi nunggu gue dan kemaren gue kasih permen kopi dari dia buat lo?”

“Yah, itu, sih, sedikit kesal aja. Tapi, yang bikin gue marah itu tadi Retno dan gengnya ngancem gue enggak boleh BBM Randy lagi. Emang siapa, sih, cewek belagu itu? Bukan pacarnya, kan?” maki Rika tertahan.

Anita melirik ke tempat Retno dan kawan-kawan. Mereka cekikikan sambil sesekali melihat ke arah bangkunya dengan tatapan merendahkan. Sambil meletakkan kembali kertas surat dan cokelat ke kolong meja, ia merangkul pundak sahabatnya. “Sabar, Rik. Yang penting, kan, bukan Randy yang bilang ke lo.”

Rika mendengkus geram. “Iya, sih. Tapi pasti Randy kan, bakal nurut aja sama Retno. Secara dia paling cantik seangkatan.”

Anita tak dapat menjawab. Ia tak mengenal Randy dan Retno. Namun harus diakui, mereka memang pasangan tampan dan cantik yang serasi. Bahkan sejak awal orientasi sekolah, mereka sudah menjadi target kakak kelas karena rupa mereka yang menawan.

“Ulangan mendadak!” seru suara berat diiringi dentuman langkah kaki sosok tinggi besar Pak Iman sambil membawa setumpuk kertas. Mendadak semua murid terdiam sesaat.

“Yah …,” pekik kekecewaan kompak berkumandang di seantero kelas.

Pak Iman tersenyum sinis. Ia menyerahkan kertas pada siswa yang duduk di meja paling depan, kemudian dibagikan estafet ke belakang. Suara kegelisahan berdesis dari mulut murid-murid yang tak mempersiapkan diri untuk ulangan.

Anita menatap kertas di depannya. Sekilas ia mampu menjawab sebagian besar soal. Ada gunanya juga minggu lalu ia mengerjakan sendiri soal yang diperintahkan Pak Iman, sehingga ia sedikit akrab dengan bakteri dan virus.

Sesungguhnya, Anita merasa takjub dengan kedua jenis makhluk ini. Bagaimana bisa makhluk berukuran mikroskopis ini memberikan dampak begitu besar pada makhluk hidup yang lebih kompleks? Berbagai penyakit yang melumpuhkan manusia, hewan, dan tumbuhan disebabkan oleh dua makhluk ini. Beberapa film, atau bahkan mungkin di dunia nyata, menjadikan virus dan bakteri sebagai senjata bsiologis yang dapat menghancurkan suatu ekosistem. Namun, tak hanya dampak negatif, makhluk seukuran mikron ini juga banyak memberikan dampak positif untuk manusia. Yoghurt, nata de coco, cuka, obat-obatan dan berbagai produk lainnya dibuat dari bakteri dan virus.

Satu per satu soal mulai dikerjakan Anita dengan sedikit rasa percaya diri. Ia merasa Rika mencuri lirik pada kertas jawabannya. Sebenarnya Anita tak peduli, selama tak terang-terangan meminta jawaban.

“Anita! Apa itu? Kamu nyontek, ya?” teriak Pak Iman dengan suara menggelegar di belakang bahunya, membuat bulu kuduk berdiri. Spontan Anita menoleh perlahan, menghadap Pak Iman yang sudah menjulang di sampingnya.

Kepala Anita bergerak kaku mengikuti arah telunjuk tangan kanan gurunya. Pandangannya tertumbuk pada surat dari Kak Ardi yang setengah mencuat dari kolong mejanya.

“I–ini kertas, Pak,” cicit Anita gemetar. Ia merasakan pandangan seluruh murid di kelas tertuju padanya, seolah menghujamkan anak panah yang tajam.

“Iya! Saya tahu itu kertas! Kemarikan!” bentak Pak Iman. Dengan enggan, Anita meraih kertas itu dan memberikan kepada sang guru. Tangannya bergetar seolah ia adalah pengidap penyakit Parkinson.

Anita melirik sekilas, menerka ekspresi gurunya sebelum menundukkan kepala. Dahi Pak Iman berkerut saat matanya bergerak ke kiri dan kanan membaca suratnya. Napas gadis itu tertahan, seperti sedang menanti putusan hakim.

“Nanti jam istirahat, saya tunggu di ruang guru!” perintahnya dengan suara melunak. Guru bertubuh besar itu berjalan kembali ke kursinya.

Keringat dingin seolah dipompa keluar dari sekujur tubuh Anita, membuat dirinya menggigil seperti sedang mengikuti ice bucket challenge. Menghela napas panjang, ia mencoba kembali berkonsentrasi mengerjakan soal. Semoga kejadian ini tak membuat nilai satu-satunya pelajaran yang ia kuasai menjadi buruk.

Jam istirahat pun tiba. Dengan gontai, Anita menuju ruang guru. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mendapati Pak Iman sedang mengobrol dengan Bu Sofia. Sambil menganggukkan kepala, ia mengucapkan salam dan mencium tangan kedua guru muda itu.

“Tangan kamu dingin banget. Habis megang es batu, ya?” tanya Bu Sofia sambil mengisyaratkan Anita untuk duduk di kursi depan meja Pak Iman.

“Nggak, kok, Bu,” jawab Anita mencoba tersenyum walau jantungnya berdebar bagai bedug ditabuh.

“Anita lagi takut sama saya, gara-gara kertas ini,” ujar Pak Iman sambil menunjukkan kertas yang tadi diambil dari kolong mejanya. Gadis itu semakin menciut.

“Oh, surat-suratan, ya?” goda Bu Sofia seraya tersenyum jail. “Sama siapa?” koreknya.

“Sama siapa, Anita?” tanya Pak Iman sambil melinting kertas surat itu. Kini Anita seperti makan buah simalakama. Ia tak mau menyebut nama Kak Ardi dan melibatkan pada kecerobohannya. Namun, ia juga tak berani membuat gurunya marah.

“Kak Ardi,” bisiknya lirih.

“Siapa? Ardi? Kelas berapa?” Pak Iman bertanya menegaskan.

Anita berdeham sebelum mengencangkan suara yang terdengar seperti kodok terjepit. “Kak Ardi kelas XII IPA 2, Pak.”

“Oh, Ardiansyah yang kemarin dapet medali emas olimpiade Matematika, ya?” tanya Bu Sofia, pertanyaan yang tak mampu dijawab Anita.

Ia baru menyadari bahwa tak mengenal sosok Kak Ardi lebih dalam. Namun begitu, ia tercengang dan takjub. Orang sepintar Kak Ardi mau berbaik hati mengajarinya. Bagaimana bisa ia tak semakin jatuh hati? Oh, tidak. Perasaan ini lagi. Enyahlah!

 “Oh, iya. Kelas XII IPA 2 yang namanya Ardi cuma dia,” ujar Pak Iman manggut-manggut.

Anita duduk dengan tak nyaman di kursi yang terasa semakin panas. Bu Sofia dan Pak Iman seperti berkomplot menghukumnya.

“Anita ….” Pak Iman memulai ceramah dengan suara yang lebih lembut, “Kamu tahu, kan, pacaran itu bukan suatu hal yang bagus. Terlebih kalau sampai menurunkan prestasi belajar. Lagi pula, di usia segini, biasanya itu hanya cinta monyet. Jadi, jangan sampai kalian tidak konsentrasi belajar gara-gara urusan percintaan seperti ini.”

Batin Anita berteriak, ingin mengoreksi pernyataan itu. Namun apa daya, ia hanya bisa mengangguk bisu sambil memandangi tumpukan buku tugas yang menggunung.

“Ardiyansyah itu anak yang cerdas. Sejak kelas X, dia sering menang lomba Matematika. Bapak lihat kamu juga cerdas, nilai Biologi kamu selalu bagus. Bapak enggak mau, kalian jadi malas belajar. Kamu harus tunjukkan bahwa kamu juga bisa berprestasi, yang membuat orang tuamu bangga,” lanjut Pak Iman sambil mengetuk-ngetukkan kertas surat di atas meja. “Bapak mendaftarkan kamu ikut klub Biologi. Nanti Bapak kasih tahu Elsa, koordinator untuk kelas X. Besok pagi mereka ada pertemuan di perpustakaan. Kamu harus datang.”

Anita tercekat. Kali ini, ia memberanikan diri untuk menyangkal. “Maaf, Pak. Tapi saya sudah ikut ekskul Mading. Nanti kalau jadwalnya bentrok gimana?”

“Klub belajar kumpulnya hari biasa, kok. Paling sebulan sekali baru ada pertemuan hari Sabtu siang. Kamu tenang aja, nanti Bapak yang bilang sama ketua klubnya,” jelas guru itu.

Anita tak bisa mengelak lagi. “Baik, Pak,” sahutnya lirih.

“Ya sudah, kamu balik ke kelas sana. Biar ini Bapak yang kasihkan ke Ardiyansyah besok.”

Perut Anita terasa mulas. Masalahnya kini semakin runyam. “Pak, maaf. Jangan kasih ke Kak Ardi, Pak. Ini salah saya,” pintanya memelas.

“Udah, kamu tenang aja. Ardi enggak akan saya apa-apain.”

Menahan tangis, Anita mengangguk perlahan. Ia sudah tidak tahu bagaimana campur aduk perasaannya saat ini. Takut, malu, bersalah, semua perasaan itu hinggap menggerogoti tubuh kurusnya. Dengan gemetar, ia pamit pada Pak Iman dan Bu Sofia.

“Salam buat Ardiyansyah, ya!” seru guru cantik itu saat ia menyalami tangannya, membuat wajah Anita merona merah. Ingin rasanya ia lari meninggalkan ruang guru yang terlihat dua kali menegangkan itu. Alih-alih kabur, ia hanya berusaha tersenyum dan berjalan pelan keluar, menuju kelasnya.

 

(Bersambung)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 10-12 (Surat di Kolong Meja)
0
0
Loh, kenapa Anita dihukum sama guru Biologi, ya? Terus, kenapa dia jadi menghindari Kak Ardi?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan