Bab 4-6 (Surat di Kolong Meja)

0
0
Deskripsi

Anita akhirnya tahu siapa kakak kelas yang tukeran surat sama dia. Ya ampun, gemetaran pas diajak kenalan!

Bab 4

Hari ke-4: Malu

“Bagaimana kau bisa membuatku berdiri membeku dengan jantung yang tak henti bertalu?”

 

Bel tanda berakhirnya jam pelajaran untuk kelas pagi belum berbunyi saat Anita melewati gerbang sekolah. Ia menyusuri gerbang kecil di selatan sekolah dan melewati koridor kelas yang masih penuh berisi murid kelas XI dan XII. Beberapa murid sekelas yang sudah datang duduk di selasar depan kelas XII IPA 2, menanti kosongnya ruangan yang digunakan bergantian. Efek pembangunan gedung baru membuat seluruh siswa kelas X masuk siang dan menumpang di kelas lain.

Melalui jendela tembus pandang, Anita melirik ke arah bangku yang biasa ditempatinya. Ia mengamati sesosok pria dengan rambut hitam dibelah pinggir yang duduk di kursinya. Matanya begitu tajam saat menatap papan tulis tempat Pak Iman menggoreskan spidol. Alisnya yang tebal nyaris bertaut karena dahinya berkerut. Bibirnya tertutup kedua telapak tangan yang saling terkepal, di bawah hidung bangir yang diapit tulang pipi tinggi. Wajah dan postur cowok itu mengingatkan Anita pada Cedric Digory di film Harry Potter.

Deg!

Jantung Anita terasa nyaris melompat keluar saat mata elang itu bertumbuk dengan pandangannya. Seluruh darahnya seolah naik ke kepala, menyentakkan listrik statis pada setiap neuron di otak. Spontan, ia berjongkok sambil menutup mulut. Astaga! Apa yang baru saja terjadi?

Anita mengepalkan tangan dan memukul-mukul kepala sendiri. Oh, betapa tindakannya tadi sangat bodoh, memperhatikan orang lain seperti seorang penguntit! Tanpa sadar, giginya beradu dengan kuat saat menahan pekikan yang berhasil menelusup di sela bibir. Semoga tidak ada yang menyadari tingkah konyolnya ini.

Anita mengatur napas yang memburu, ia melakukan inhalasi secara perlahan. Ia berusaha menenangkan diri dari lonjakan listrik yang menggetarkan saraf. Belum sempat tenang, bel berbunyi nyaring dan mengentakkan kembali tubuhnya hingga berjingkat. Seketika sel saraf di otaknya terkoneksi dan memerintahkan setiap alat gerak tubuhnya melarikan diri.

Riuh suara nyaring terdengar dari dalam kelas saat para siswa membubarkan diri. Anita berdoa jangan sampai ia bertemu dengan cowok yang memergokinya tadi. Ia mengangkat kaki yang terasa berat sekaligus lemas akibat semua tekanan perasaan bertubi-tubi. Sesaat ia hendak beranjak, terdengar suara memanggilnya.

“Anita, mau ke mana?”

Anita terkesiap. Namun, begitu menyadari suara nyaring yang terdengar begitu lekat di memori karena setiap hari berisik di telinga, ia mendesah lega. Ternyata hanya Rika.

“Mau ke toilet. Rika mau ikut?” jawabnya seraya memutar tubuh.

Seketika setiap jengkal badannya kembali menegang kala melihat sahabatnya sedang berdiri bersama seorang laki-laki. Dia … cowok yang tadi duduk di bangkunya!

“Ada yang nyariin, nih!” seru Rika sambil menaik-turunkan alis. Senyum jailnya membuat Anita ingin sekali mencubit pipi tembamnya. Uh, awas saja dia!

“Hai, kamu Anita, ya? Saya Ardi,” sapa cowok itu sambil menjulurkan tangan.

Anita berdiri membeku, seolah kakinya direndam salju. Ia melirik ke kiri dan kanan, terlihat beberapa pasang mata mengamati. Tak mungkin ia bisa kabur. Dengan susah payah, ia berhasil mengulas senyuman, atau lebih tepatnya cengiran. Tangannya terasa kaku dan dingin saat membalas jabatan hangat yang membuatnya merinding seperti digigiti puluhan ribu ekor semut. Terlebih, pita suaranya seolah terjepit saat mengeluarkan bunyi parau yang terdengar seperti lolongan serigala. “Hai, Kak Ardi.”

“Kok enggak balas suratnya? Katanya mau diajarin Matematika?”

Suara berat dan lembut menyusup gendang telinga Anita. Sesaat ia terpana, tetapi kemudian tersadar untuk melepaskan tangan yang masih tergenggam erat.

“Anu, Kak, ehm, saya … saya cuma bercanda, kok,” cicit Anita salah tingkah. Ia melotot pada Rika yang menampilkan wajah Spongebob saat memergoki Squidward makan Krabby Patty. Uh, ingin rasanya ia mencekik sahabatnya itu.

“Ciye, Ardi! Uhuy! Prikitiw! Sikat, Di!”

Sorak sorai di belakang Kak Ardi membuat seluruh tubuh Anita terasa semakin lemas. Ingin rasanya ia kabur dan menenggelamkan diri di belakang danau sekolah. Namun, yang ada, ia hanya tersenyum kaku saat Kak Ardi mengibaskan tangan ke arah teman-temannya sambil tertawa. Bukannya berhenti, godaan yang terdengar malah semakin menjadi.

“Maaf, ya. Teman-teman saya memang resek,” ucap Kak Ardi. Ia menjulurkan secarik kertas tepat di depan tangan Anita. “Ini. Nanti hubungi, ya.”

Dengan tangan gemetar, Anita menerima kertas itu. Melirik wajah Kak Ardi yang tersenyum manis, tubuhnya terasa meleleh seketika. Ia menunduk sambil menyembunyikan senyum balasan yang tak mau enyah dari bibirnya.

Setelah sepatu hitam Kak Ardi menghilang dari pandangan, baru kemudian ia berani mengangkat wajah. Tatapan Anita tak dapat lepas dari punggung cowok yang sudah bergabung dengan teman-temannya itu. Tiba-tiba, Kak Ardi berbalik dan tersenyum seraya melambaikan tangan. Tak sanggup lagi menyimpan getaran dalam dada, Anita membalas senyumannya dan seketika lari masuk ke kelas.

Suasana di kelas mendadak ramai oleh sorak sorai yang ditujukan padanya. Ia segera duduk di bangku, kemudian menelungkupkan wajah di meja sambil menutup telinga. Dalam hati ia berdoa semoga guru cepat masuk dan teman-temannya berhenti menggodanya.

“Ciye, Anita! Boleh juga, tuh, Kak Ardi! Ehem ... ehem,” ledek Rika dengan volume suara maksimal, membuat wajah Anita terasa panas.

“Apaan, sih, Rika? Malu tau!” ucapnya tanpa mengangkat wajah. Ia merasakan kertas di tangan lolos dari genggaman.

“Kak Ardi kasih nomor ponsel nih. Cie …,” ledek Rika makin menjadi.

“Ih, udah, ah! Malu!” Anita mengangkat tubuh ke posisi duduk dan merebut surat itu, kemudian memasukkannya ke kolong meja.

“Ih dasar, Anita. Masih polos aja, sih. Kita udah SMA tau. Kak Ardi mau PDKT tuh. Jangan dicuekin!” cerocos Rika penuh semangat membara.

“Biarin. Udah, ah, mau pipis,” kilahnya berusaha melarikan diri.

Anita berlama-lama di toilet, mematut diri di depan cermin. Wajah ovalnya masih merah marun, perpaduan kulit sawo matang dengan peningkatan volume darah di wajah. Matanya lebarnya tampak berbinar, sementara senyum terus merekah di bibir tipisnya. Ia meraup air dan membasuh dahi lapang hingga air menuruni hidung yang tidak terlampau mancung terus ke dagu lancipnya. Tak lupa ia menguncir ulang rambut ikal sepinggang yang belum dipotong. Terakhir, ia memasukkan ujung blus seragam kebesaran yang membalut tubuh kurus ke sela rok abu-abu. Oh, penampilan inikah yang tadi dilihat oleh Kak Ardi? Rasanya ia ingin menjadi siput, masuk ke cangkang dan tak keluar lagi.

Jam pelajaran terasa berlangsung lambat. Anita menjalani detik demi detik yang berlalu dengan menikmati setiap getar rasa yang membuncah di dada. Gulir redup rasa malu tertutup desir bahagia yang belum pernah hinggap di hatinya.

Lima menit sebelum bel pulang, Anita mengambil surat yang ada kolong meja. Ia membaca sekilas untaian kalimat di atasnya.

 

Kok ga dibalas sih? Jadi ga belajar mtknya?

081xxxxxxxx hubungi ya, Anita

 

Anita menghela napas. Sebenarnya ia enggan menjawab, tak ingin menambah rasa malu yang akan diterima. Namun, seolah bergerak sendiri, tangannya mengambil pulpen dan menulis balasan surat itu.

 

Maaf kak, saya ga punya ponsel


 

 

Bab 5

Hari ke-5: Bertemu

“Bertemu denganmu adalah sebuah keajaiban.”

 

Anita turun dari motor saat jam digital di depan sekolah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia mengibaskan rok abu-abu agar tidak terkena oli dari rantai motor butut Bapak. Setelah salim, ia berlari menuju gerbang sekolah.

Suara entakan sepatu beradu dengan lantai terdengar saat Anita bergegas menuju perpustakaan. Sekitar sembilan menit lagi bel istirahat untuk kelas pagi akan berbunyi dan koridor akan ramai oleh kakak kelas. Tiba di tempat favoritnya menunggu jam masuk sekolah jika diantar pagi oleh Bapak, ia menggantung tas di rak penyimpanan. Tangannya menggenggam novel Layar Terkembang dan kartu perpustakaan, yang langsung diserahkan pada wanita gemuk di balik meja.

“Datang pagi lagi, Nit?” sapa Bu Iin, penjaga perpustakaan dengan ramah.

“Iya, Bu. Lagi diantar pagi,” jawab Anita nyengir. Ia mengambil pulpen dan menulis di buku tamu. Serentetan namanya terpampang di sana.

“Nih, kartunya. Udah hampir penuh, tuh. Dua buku lagi yang kamu pinjam bisa mecahin rekor peminjam buku terbanyak!” kata Bu Iin sambil menyerahkan kartu perpustakaan Anita. “Tapi, yang dua lagi balikin dulu.”

“Oke! Siap, Bu! Saya mau cari buku lagi biar mecahin rekor,” canda Anita diselingi tawa sambil berlalu.

Anita menuju rak kesukaannya, bagian fiksi. Kumpulan novel, cerita pendek, puisi, dan buku-buku cerita lain berjajar rapi, menanti sentuhan tangan pembaca yang haus aksara. Setelah menamatkan beberapa judul novel lawas Indonesia, ia ingin mengganti nuansa dengan membaca novel terjemahan. Beberapa kali ia menaik-turunkan buku dan membaca blurb sekilas. Akhirnya, ia memutuskan mengambil novel Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle.

Suasana perpustakaan masih sepi. Bangku-bangku masih tertata rapi, belum ada yang menduduki. Begitu pun bagian lesehan dengan bantal-bantal alas duduk yang mengitari meja persegi, masih berada pada tempatnya. Anita mengambil posisi di meja yang terletak di ujung ruangan. Ia baru saja membuka sampul depan buku saat mendengar suara bel istirahat berbunyi. Terdengar riuh ramai suara murid-murid kelas XI dan XII yang berhamburan keluar kelas. Tanpa mengacuhkan kebisingan itu, ia mulai membaca novel di depannya dan tenggelam dalam cerita.

“Hai, Anita!” sapa seseorang membuyarkan konsentrasi.

Anita menengadahkan wajah dan matanya mengerjap kala melihat sosok di depannya.

“Kak Ardi?”

“Iya, masa kamu lupa?” jawab Kak Ardi tersenyum seraya membungkukkan tubuh dan duduk di depan Anita. “Baru kemarin kita ketemu.”

“Ng–enggak lupa kok, Kak,” balas Anita tersipu sambil menunduk. Desiran lembut yang membuat denyut jantung bertambah cepat muncul kembali. Kali ini, ditambah dengan rasa dingin di tangan dan kaki.

“Lagi baca apa?” tanya Kak Ardi santai, berbeda dengan Anita yang begitu kikuk. Gadis itu hanya menatap hampa pada buku di depannya seolah itulah lawan bicaranya.

Kak Ardi mengetuk gulungan kertas di bagian tengah novel, membuat Anita terkesiap. “Hei, Anita. Bengong aja. Masih pagi juga!”

Anita tercekat. “Eh, ini? Ehm, cuma novel kok, Kak.”

“Oh, kirain buku Matematika,” canda Kak Ardi diiringi tawa, “Novel apa?”

Sherlock Holmes, Kak.”

“Wah, suka novel detektif, ya? Saya juga suka. Seru! Udah baca Hercule Poirot-nya Agatha Christie?” sambut pria itu antusias.

“Belum, Kak. Saya baru coba baca novel detektif. Biasanya baca sastra lama,” sahut Anita mulai antusias. “Eh tapi, kayaknya tadi saya enggak nemu Agatha Christie, deh.”

“Di sini memang belum banyak. Kemarin saya lihat cuma ada dua novel. Di toko buku ada banyak. Tapi tamatin Sherlock Holmes dulu, deh. Keren. Walau kadang bikin pusing, sih, bacanya,” jelas Kak Ardi panjang lebar. “Tapi enggak sepusing Matematika kayaknya.”

Anita mengerucutkan bibir demi mendengar kata Matematika diulang beberapa kali. “Ih, Kakak, mah, Matematika mulu!”

“Lagian, kamu enggak mau belajar Matematika bareng, sih,” gumam Kak Ardi.

“Bukan enggak mau, Kak. Saya pikir Kakak cuma iseng. Nanti saya malu sendiri,” terang Anita tanpa sadar. “Lagi pula saya enggak punya ponsel.”

Dahi Kak Ardi mengernyit, menyatukan sepasang alis tebalnya. “Loh, apa hubungannya belajar Matematika sama ponsel?”

Anita mendengkus. “Ya, saya malu, Kak. Nggak punya ponsel. Semua anak sekolah, kan, punya. Lagian gimana Kakak mau hubungi saya kalau saya enggak ada ponsel?” celetuknya sambil menunduk. Tahan. Jangan sampai air matanya tumpah di depan cowok yang baru ditemui kemarin.

“Anita,” panggil Kak Ardi lembut, “Kamu enggak usah malu walau enggak punya ponsel. Prestasi belajar bukan ditentukan dari punya ponsel atau enggak. Saya memang pengin ajarin kamu, kok, kalau kamu mau. Bukan karena saya sok pintar atau gimana. Saya seneng aja kalau bisa bantu kamu, biar nilai kamu bagus.”

Setiap kata yang diucapkan Kak Ardi mengalun lembut seperti nyanyian di telinga Anita. Perlahan, ia memberanikan diri menatap cowok berbibir tipis yang tengah tersenyum itu. Oh, tubuhnya akan benar-benar meleleh sekarang.

“Ehm, makasih, ya, Kak. Duh, maaf saya jadi curcol,” ujar Anita meringis sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Nggak apa-apa, kok. Santai aja. Yuk, kapan mau belajar? Itung-itung saya belajar ulang materi kelas X buat UN,” ajak Kak Ardi. “Besok, gimana?”

“Sabtu libur, Kak,” kilah Anita mencari alasan.

“Kamu enggak bisa kalau libur?”

Gadis itu menggigit bibir. “Bisa aja, sih. Tapi … saya ada pertemuan ekskul jam delapan sampai jam sebelas.”

“Kamu ikut ekskul apa? Kalau jam satu siang aja, gimana?”

Rentetan pertanyaan Kak Ardi membuat Anita tak dapat memikirkan lagi alasan untuk menolak. “Ekskul mading, Kak,” jawabnya untuk pertanyaan pertama. “Ya udah jam satu, Kak. Tapi jangan di sini, ya, soalnya saya malu. Tapi, di mana ya?” racaunya bingung sendiri.

“Oke, jam satu ketemu di gerbang sekolah, ya. Nanti tempatnya kita tentuin lagi.” Kak Ardi tersenyum lebar.

Anita mengangguk seraya membalas senyuman indah itu. Tak ingin terlena oleh perasaan yang membuat hatinya berbunga, ia mengalihkan topik.

“Kak Ardi mau pinjam buku, ya? Kok, ke perpustakaan jam istirahat?”

“Tadi abis balikin buku, terus lihat ada kamu, jadi mampir, deh,” jawabnya sambil melihat jam tangan. “Wah, udah mau habis jam istirahatnya. Saya ke kantin dulu, ya. Laper, belum jajan.”

“Iya, Kak. Lagian, sih, pakai mampir,” ujar Anita nyengir.

Kak Ardi tertawa. “Sampai ketemu besok, ya,” pamitnya seraya beranjak.

Bibir Anita tak kuasa menahan senyum. Matanya tak luput memandang Kak Ardi yang meninggalkan perpustakaan. Entah mengapa hatinya terasa ringan, seperti kapas yang terbang ke awan. Konsentrasi membaca novel sudah hilang, berganti dengan dorongan bibir untuk membuka tiga sentimeter ke kiri dan kanan.

 

Bab 6

Hari ke-5: Sahabat?

“Mengapa hati ini terasa sendu saat ada yang lain menyebut namamu?”

 

Bel sekolah berbunyi keras, mengentak gendang telinga Anita. Novel di depannya masih terbuka dan tidak ada halaman yang berubah. Pikirannya melayang entah ke mana, membayangkan esok hari akan belajar bersama Kak Ardi. Rona samar menghiasi wajahnya yang sejak tadi tersenyum sendiri.

“Nita, kamu enggak masuk kelas?” teriak Bu Iin dari meja depan. Anita terkesiap dan menyipitkan mata, melihat jarum jam yang tergantung sekitar enam meter dari tempat duduknya. Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi.

“Loh, bukannya baru bel pulang, Bu?” tanya Anita membereskan novel di depannya dan beranjak dengan cepat.

“Udah dari tadi, Non! Sebentar lagi masuk kelas siang!” teriak wanita tambun itu. Gawat! Anita belum sempat makan siang.

 Setengah berlari, ia meletakkan buku dan kartu di hadapan Bu Iin. “Bu, aku pinjem buku ini, ya.”

Penjaga perpustakaan itu membubuhkan stempel sambil menggumam. “Makanya, jangan senyum-senyum sendiri dari tadi, Nit! Kirain Ibu kamu udah denger bunyi bel tadi.”

Anita meringis. Secepat kilat ia mengambil novel dan kartu, mencium tangan Bu Iin, mengambil tas, memakai sepatu, dan melesat ke kelas.

Terengah-engah, Anita mendesah lega saat tiba di depan kelas dan mendapati guru belum datang. Rika menyambut dengan melambaikan tangan sambil tersenyum ceria.

“Ciye, Anita! Jadi, nih, besok belajar Matematika sama Kak Ardi,” ledeknya menyodok lengan Anita begitu ia membanting tubuh di atas kursi.

“Kok, lo tau?” sela Anita sambil melirik jam di kelas. Masih ada waktu untuk makan sebelum kelas dimulai. Ia mulai sibuk mengeluarkan kotak bekal berisi nasi uduk pemberian Nek Inah, tempat Ibu membantu cuci piring. Setelah membaca doa dan menawarkan pada temannya, ia segera melahap isinya.

Rika tak mengacuhkan tawarannya, malah menunjuk kertas yang beberapa hari ini tersimpan manis di kolong meja. Tampak goresan tinta Kak Ardi di bawah tulisannya kemarin. “Ini, nih, Kak Ardi nulis di surat lo. Cie, cie ...!”

 

Jangan lupa besok jam 1 di gerbang sekolah ya. :)

 

Pipi Anita terasa panas sekadar melihat tulisan tangan itu. Namun, ia harus tetap memasang wajah datar dan mencegah senyumannya terbit kembali.

“Gimana? Bales apa, nih?” pekik Rika antusias.

“Dibalas sekarang juga dia enggak bakal baca, Rik,” ucap Anita dengan mulut penuh nasi.

“Iya juga, ya. Yuk, datang aja kalo gitu,” kata Rika sambil melipat kertas itu dan meletakkannya di kolong meja Anita. “Gue harus menjaga lo, takut diapa-apain sama Kak Ardi.”

Bulir nasi menerobos saluran pernapasan Anita saat mendengar bahwa Rika ingin ikut besok. Ia terbatuk keras, kemudian menenggak air di botol.

Setelah berhasil meredakan tersedaknya, Anita menghela napas. Ia menjaga nada suara setenang mungkin. “Lo bukannya abis ekskul tari janjian sama Randy?”

“Randy ada kumpul sama teman-teman basketnya. Nggak enak gue kalo ngikut. Baru juga PDKT,” sahut gadis bermata sipit itu enteng. “Lagian, emang lo mau, ketemu Kak Ardi sendirian? Jangan-jangan lo udah kontak-kontakan ya, sama dia?” tanyanya seraya mengernyitkan dahi.

Anita menimbang apakah ia harus menyembunyikan pertemuannya dengan Kak Ardi tadi di perpustakaan. Jika tahu, Rika pasti akan semakin meledek. Namun kalau berbohong, pasti akan sangat menyakitkan mengingat Rika adalah satu-satunya sahabat di SMA. Akhirnya, ia memutuskan untuk menceritakan semuanya.

“Wah, cie! Ada peningkatan, nih! Ihiy …,” goda Rika, sesuai perkiraan. “Kak Ardi lumayan ganteng, loh. Pokoknya besok gue ikut, ah. Pasti seru!”

Anita memutar otak bagaimana melarang Rika. Ia tak tahu perasaan apa ini, yang membuatnya merasa tidak rela jika Kak Ardi bertemu dengan sahabatnya itu. Bagaimana kalau Kak Ardi menyukai Rika?

Namun kalau dipikir-pikir, siapa dirinya? Baru kenal beberapa hari saja sudah beraninya merasa memiliki. Lagi pula, Kak Ardi hanya akan mengajari Matematika, bukan menyatakan cinta! Oh, sepertinya pulang sekolah nanti ia harus merendam kepala di dalam air di bak mandi, agar segala bentuk “kegeeran” dan rasa posesif rontok menjauh.

“Eh, tapi tadi gue belom bilang Kak Ardi kalau mau ajak teman.”

“Ya elah. Sini gue yang bilang!”

Tangan Rika merogoh kolong meja Anita, kemudian mengeluarkan kertas yang terjepit di antara jari telunjuk dan ibu jarinya. Anita tak kuasa mencegah. Ia hanya duduk mematung, memandangi Rika yang mengaduk isi tasnya sendiri. Gadis itu mengeluarkan Blackberry-nya dan segera menyimpan nomor ponsel yang tertera. Ia membuka aplikasi messages dan mencari nama Kak Ardi, kemudian menekannya dan mulai mengetik pesan.

“Nah, gue udah bilang nih. Gampang, kan?” Rika tersenyum bangga.

Ponsel Rika bergetar dan tampak notifikasi pesan muncul. Tampak nama Kak Ardi tertera dengan sebuah pesan singkat di bawah pesan sebelumnya yang dikirim Rika.

Rika            :[Hallo Kak Ardi, aq Rika temannya Anita. Besok aq ikut belajar bareng Kakak n Anita yach :)]

Kak Ardi     :[Boleh :)]

“Yeay. Boleh, kan! Cepat juga balesnya,” teriak Rika kegirangan. “Gue minta pin BB-nya, ah!”

Anita tak menjawab. Entah mengapa hatinya kecut melihat begitu mudah mereka berhubungan. Sedangkan bagi dirinya, hanya bermodalkan kertas dan pena saja.

“Dibalas, nih! Gue di-invite sama dia!” pekik Rika antusias, sedangkan Anita hanya ternganga tak mengerti. “Eh, coba lihat DP-nya, yuk!”

Rasa penasaran membuat tubuh Anita mendekat ke arah Rika dan melihat jemari sahabatnya itu menari di atas layar. Tampak foto wajah robot dengan raut galak berwarna merah.

“Yah, kirain foto Kak Ardi,” pekik Rika kecewa. Ia meneruskan dengan mengutak-atik ponsel, meninggalkan Anita yang hanya bisa diam tak bicara.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 7-9 (Surat di Kolong Meja)
0
0
Anita diajak belajar matematika bareng kakak kelasnya. Duh, kenapa jadi deg-degan begini, ya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan