
“Tak selamanya orang yang selalu terlihat ceria memiliki hidup yang sempurna. Mungkin, itu hanya caranya untuk memendam air mata.”
Bab 24
Hari ke-51: Teman Baru
“Tak selamanya orang yang selalu terlihat ceria memiliki hidup yang sempurna. Mungkin, itu hanya caranya untuk memendam air mata.”
“Buat kelompok lima orang. Hari Jumat kumpulkan makalah bab Protista dan siapkan presentasi kelompok. Sekian pelajaran hari ini,” perintah Pak Iman di akhir jam pelajaran sebelum meninggalkan kelas. Semua murid mengucapkan salam dipimpin oleh Aryo.
“Anita, kita sekelompok, ya?” pinta Retno di sela pergantian pelajaran.
Anita mendongak. “Eh, Beneran boleh, No? Yang lain enggak apa-apa?” tanyanya terkejut mendengar tawaran Retno.
“Iya, enggak apa-apa. Nih, gue tanya, ya,” ucap Retno sambil membalikkan badan. “Girls, Anita masuk kelompok kita, ya.”
“Iya gabung aja,” ajak Sinta sambil tersenyum, diikuti anggukan temannya yang lain.
Anita membalas senyuman mereka. “Makasih banyak, ya.”
“Oke. Nanti pulang sekolah ke rumah gue, ya. Kita kerjain bareng,” ajak Retno. “Besok gue enggak bisa soalnya. Mau jalan bareng Kak Radit.”
“Uh, jalan mulu. So sweet banget sih, Kak Radit,” ujar Sinta. “Jadi pengin punya pacar.”
Anita tersenyum mendengar percakapan mereka. Tanpa sengaja, tangannya meraba tumpukan kertas di kolong meja. Ia mengeluarkannya satu per satu. Hatinya kembali muram demi melihat tulisan yang tertera di sana. Sudah beberapa hari ini muncul surat kaleng yang berisi cacian dan sindiran pada dirinya. “Centil, ganjen, sok polos, cewek genit, gembel” adalah beberapa dari sekian banyak kata jahat yang tertulis di sana.
Perlahan Anita meremas semua kertas itu menjadi sebuah bola abstrak yang tak jelas bentuknya. Ia melepaskan bola kertas itu dan membiarkannya menggelinding di atas meja sementara dirinya menutupi wajah yang seketika basah oleh air mata.
Anita tak punya ide siapa yang melakukan hal itu. Ia punya dugaan, tetapi tak berani mengakui. Hanya rasa sesak yang membungkam hati dan mulutnya. Mau tak mau ia mengakui bahwa dulu ia sangat menantikan surat di kolong meja yang selalu menyemangati, berganti dengan surat yang kini penuh caci.
Sekilas Anita mendengar suara gemerisik kertas di depannya, membuatnya terkejut. Dengan cepat ia mendongakkan wajah dan segera mengulurkan tangan mengambil bola kertas yang kini sudah menjadi lembaran kusut. Retno yang sedang membaca kertas itu tampak terlonjak.
“Anita. Ini lo yang tulis atau ada yang nulis buat lo?” Suara Retno terdengar curiga. Ia mengernyitkan dahi saat melihat mata Anita yang sembap. “Lo nangis, ya?”
Anita meremas kertas itu lagi dan melemparnya ke kolong meja. Harusnya tadi ia sobek saja kertas itu, daripada dibaca Retno.
“Nggak, kok,” sahut Anita singkat. Ia membuang pandangan keluar jendela sambil menahan air mata.
“Anita. Jangan gitu. Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Cerita aja sama gue. Sinta, Ella sama Rina juga pasti mau dengerin, kok,” ucap Retno terdengar tulus.
“Nggak apa-apa kok, No,” elak Anita tak bersemangat.
“Anita. Dulu, kan, lo sering bantu gue. Sekarang gue pengin bantu lo juga. Lo jangan anggap gue orang asing. Gue udah berusaha banget buat jadi temen lo. Jadi lo jangan diam terus.” Retno membetulkan posisinya hingga bisa menghadap ke belakang lebih leluasa. “Kertas tadi dari siapa?”
Retno terlihat sangat serius, membuat Anita tak berani beradu pandang. Ia memilih menundukkan wajah, menatap buku Biologi yang belum sempat dimasukkan ke tas.
“Gue enggak tahu.” Anita memilin ujung buku. “Kertasnya udah ada di kolong meja gue dari seminggu yang lalu,” desisnya lirih.
Retno tampak berpikir. Sejurus kemudian ia mengedarkan pandangan ke seluruh isi kelas. “Anita, lo lagi ada masalah ya sama Rika?” tebaknya lugas membuat Anita tersentak.
Anita masih menimbang apakah sebaiknya ia ceritakan pada Retno tentang masalahnya dengan Rika atau tidak. Ia takut Retno akan bertindak macam-macam pada Rika jika ia tahu. Atau nanti bisa jadi Rika tambah marah padanya. Ia hanya menunduk sambil menggigit bibir bawah. Situasinya diselamatkan oleh teriakan Aryo yang memimpin salam untuk guru pelajaran berikutnya.
“Nanti cerita, ya!” perintah Retno seusai pengucapan salam pada guru yang baru masuk.
***
Jam pelajaran terakhir berbunyi dengan nyaring. Suara riuh riang gembira terdengar dari dalam kelas yang telah berhasil menyelesaikan satu hari pelajaran yang memeras otak dan pikiran. Tak semua murid langsung pulang, ada juga yang masih asyik bertahan di kelas dan mengobrol.
“Yuk, langsung ke rumah gue aja,” ajak Retno sambil menggendong tas punggung merah muda. Teman-temannya langsung berdiri mengikuti titah ratu mereka, kecuali Anita yang masih duduk dan merapikan tas.
“Ayo, Anita,” ajak Sinta. Anita mengangguk dan segera berjalan di samping Sinta.
“Sombong banget yang punya teman baru,” sindir Rika saat mereka melewati baris kedua dari pintu. Anita, Retno dan teman-temannya spontan menghentikan langkah dan menoleh. Rika langsung membalikkan badan ke arah Hesti dan Maria yang tampak duduk dengan tegang. Selina, teman sebangku Rika, sudah tidak ada.
“Dia ngomong sama siapa, sih?” bentak Retno ikut menyindir. Ia bergegas menghampiri meja Rika, tetapi ditahan Sinta dan Ella.
“Please, ya! Jangan ada yang cari gara-gara sama kita!” teriak Rina sambil menggandeng Anita sementara Retno yang sudah berhasil ditenangkan oleh Ella dan Sinta. Kini ketiga gadis itu telah berada di luar kelas.
Anita terdiam sepanjang perjalanan menuju parkiran, memikirkan kata-kata Rika yang sengaja ditujukan untuk dirinya. Sementara itu, Retno dan teman-temannya menggunjingkan Rika sambil terbahak-bahak. Suara mereka yang nyaring dan lantang membuat beberapa kakak kelas menoleh dan menatap tajam. Keempat orang itu terlihat tak peduli, berbeda dengan Anita yang merasa risih.
Mereka tiba di mobil merah yang terparkir di bawah pohon beringin. Retno langsung duduk di belakang kemudi didampingi Sinta. Anita, Rina, dan Ella duduk di kursi belakang. Setelah menaruh tas dan menyamankan diri, Retno memakai kacamata hitam dan menyalakan mesin mobil. “Yuk, kita cabs!”
Sepanjang perjalanan, mereka tak henti-hentinya bergosip, membuat Anita jadi menyimpulkan banyak hal. Anita baru tahu kalau mereka menyebut kelompok mereka “Barbies”. Di antara anggota Barbies, tinggal Ella dan Sinta yang belum punya pacar. Pacar Rina berbeda sekolah, sekarang kelas XI. Retno, Sinta, dan Rina berasal dari SMP yang sama, sedangkan Ella satu SD dengan Retno dan Rina. Mereka suka karaoke dan berdandan.
Rute perjalanan menuju rumah Retno sudah akrab di ingatan Anita. Ia tinggal di perumahan yang sama dengan Kak Ardi, tetapi berbeda jauh bloknya. Jarak rumah Retno juga tidak terlalu jauh dari rumah Anita. Ia bisa minta dijemput Bapak nanti.
Anita begitu takjub saat mobil memasuki pekarangan yang luas dan indah. Setelah memarkir, mereka bergegas masuk ke rumah besar dan bertingkat. Anita semakin merasa minder dan canggung menginjak lantai rumah Retno yang bersih mengkilap. Terlebih melihat perabot yang terletak rapi di sudut dan sisi dinding ruangan, seolah memancarkan harga mahal. Belum lagi permadani dan sofa yang menampilkan kesan elegan dan antik.
Mereka memasuki ruang tengah. Tampak sebuah kepala menyembul dari balik sofa yang membelakangi mereka, berambut cokelat dengan potongan pendek. Sepertinya ia sedang fokus pada sebuah layar televisi besar di depannya sambil memegang stik dan bermain game sepak bola. Mendengar keributan dari Retno dan teman-temannya, cowok itu langsung menoleh.
“Dino!” pekik Anita spontan. Ia tak menyangka akan melihat cowok menyebalkan itu di sini.
“Wah! Ada Peyot?” pekik Dino nyengir.
“Kok, ada Dino?” tukas Anita masih tak percaya.
Retno melempar tas ke samping Dino dan berjalan ke dapur. “Girls, kalian duluan ke kamar gue, ya.”
Dino memberikan senyum usil pada keempat gadis yang segera beranjak, tetapi sepertinya senyuman itu hanya ditujukan pada Anita. Tatapan seolah mengatakan “siap-siap gue kerjain” membuat Anita bergidik ngeri. Ia segera berlari membuntuti tiga teman Retno yang berjalan menuju tangga.
“Dino itu sepupunya Retno,” bisik Sinta di telinga Anita saat mereka sedang menaiki tangga. “Dia sering main ke sini. Rumahnya deket. Orang tuanya broken home, makanya dia sering sendirian di rumah. Katanya, sih, papanya bule. Mamanya kerja di luar negeri gitu,” jelas Sinta panjang lebar.
Anita manggut-manggut. Pantas saja walau sering bertengkar, Retno dan Dino terlihat akrab. Selain itu, terjawab sudah sebab rambut dan mata Dino berwarna cokelat. Juga alasan tingkahnya jail dan menyebalkan. Mungkin selama ini ia kurang perhatian dari orang tuanya.
Setibanya di lantai atas, Ella membuka pintu sebuah kamar besar didominasi gradasi warna merah muda. Sebuah ranjang besar terletak di tengah ruangan, diapit lampu hias dan meja pojok. Di sudut ruangan, terdapat sofa merah muda dan karpet bulu tebal berwarna senada menghadap sebuah televisi layar datar besar. Deretan foto dan pajangan imut menghiasi dinding. Sebuah lemari besar berisi boneka bulu aneka bentuk terletak di sebelah sofa, sejajar dengan sebuah pintu yang Anita tebak membatasi kamar mandi. Dua lemari kaca besar di sisi kanan dan kiri pintu masuk, berisi ratusan boneka Barbie terpajang di dalam kotak, lengkap dengan gaun berbeda. Anita memandang takjub pada begitu banyak karakter favoritnya yang biasa hanya ia lihat di televisi.
“Bagus, kan?” sapa Retno yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Anita, membuatnya terkejut.
“Iya. Keren banget! Retno suka Barbie juga, ya?”
“Iya. Suka banget. Dari kecil gue udah nonton filmnya. Terus jadi koleksi bonekanya juga. Kalo nyokapnya Dino pulang ke Indonesia, yang dipesen oleh-olehnya pasti boneka Barbie,” ucap Retno dengan mata berbinar. “Anita suka Barbie juga?”
“Suka banget! Tapi suka nontonnya aja, sih. Nggak punya duit buat beli bonekanya.” Anita nyengir. “Sumpah ini keren banget. Bener-bener lengkap. Ini Liana sama Alexa kan, Barbie and Diamond Castle? Ini, ah. Rosela! Barbie as Island Princess. Ah, suka banget, gaunnya bagus banget. Kalau ini? Ehm ...,” Anita berpikir sambil menunjuk salah satu boneka.
“Princess Anneliese!” seru mereka bersamaan. “Barbie as The Princess and The Pauper!” lanjut Retno. Mereka tertawa bersama.
“Pada ngapain sih, seru banget?” tanya Ella yang sedang duduk di tempat tidur Retno.
“Finally, gue ketemu sama fandom Barbie juga. Kalian, sih, nontonnya sinetron doang. Jadi enggak tau Barbie.”
“Ya ampun. No. Jadul banget Barbie. Kayak anak kecil aja,” sergah Ella.
“Biarin. Seru ya, Anita,” kata Retno meminta dukungan. Suaranya berubah sinis. Anita mengangguk.
Sinta cepat-cepat mengganti topik. “Girls, udah jam berapa, nih? Kerjain, yuk!”
Mereka pindah ke sofa dan karpet bulu di sudut ruangan yang berbatasan dengan balkon, hanya dipisahkan jendela kaca yang menampakkan pemandangan taman di bawah. Retno bergegas keluar ruangan dan kembali membawa dua laptop. Mereka membagi tugas dan mengerjakan sambil memakan cemilan yang dibawa pembantu Retno. Setelah satu jam terlewati, tinggal Anita dan Rina yang masih fokus, sedangkan yang lain sibuk mengobrol dan bermain ponsel.
Retno yang sedang berbaring di atas bantal beruang tiba-tiba berteriak, “Anita! Katanya mau cerita lo ada masalah apa sama Rika?”
Teriakan Retno membuat teman-temannya kaget. Namun, mereka cepat tanggap dan langsung mengerumuni Anita demi sebuah gosip terbaru.
Anita jadi salah tingkah. “Eh, kerjain dulu tugasnya. Kalo enggak selesai gimana?” kilahnya.
“Sambil kerjain aja sambil cerita,” pinta Retno. Temannya yang lain mendukung, mengguncang bahu Anita dari belakang dan mengganggu terus menerus. Mau tak mau Anita menceritakan kejadian di lapangan basket dan di hari pertama kelas pagi.
“Wagelaseh! Rika selin banget!” komentar Sinta di akhir cerita Anita. “Keknya perlu dilabrak lagi, tuh, bocah centil.”
“Jangan!” pekik Anita spontan. “Ini sebenarnya cuma salah paham aja,” ujarnya lirih. Ia tak mau persoalan ini semakin besar dan runyam.
Semua mata melotot pada Anita.
“Lo udah digituin masih aja belain dia!” cerocos Rina.
“Gue enggak apa-apa, kok. Justru sekarang aja gue udah seneng jadi bisa kenal sama kalian dan kalian mau nemenin gue. Jadi gue enggak sendirian lagi. Makasih banget, ya,” ucap Anita tulus, membuat temannya yang lain terharu dan memeluknya. “Eh, tapi, Retno enggak marah waktu itu gue diajarin basket sama Randy?”
“Hah?” seru Retno sebelum tertawa terbahak-bahak. “Nggaklah. Randy tuh, sohib gue. Gue enggak mau dia deket sama Rika karena dia itu centil banget dan deketin semua cowok,” selorohnya.
Brak!
Suara pintu terbuka membentur dinding dengan keras, membuat semua pandangan beralih ke sumber suara. Tampak Dino merangsek masuk sambil membawa dua kotak besar piza dan melemparnya ke atas tempat tidur Retno. “Nih!”
Retno terperanjat. “Tumben amat lo beliin piza? Biasanya gue suruh enggak mau.”
“Bawel, ah, berisik. Tuh, makan aja!” semprot Dino bergegas pergi dan menutup pintu dengan keras.
Semua yang ada di kamar Retno saling berpandangan melihat tingkah Dino, kemudian berganti menatap Anita.
“Jangan-jangan?” Sinta cekikan sambil menutup mulut. Teman yang sepemikiran dengannya langsung tertawa terbahak-bahak.
Setelah berhasil meredakan tawa, Rina beranjak dan mengambil piza yang masih hangat dan membukanya. “Udah, ah. Yuk, kita makan. Laper! Ayo, Anita.”
Anita awalnya ragu, tetapi yang lain terus memaksa. Akhirnya, ia ikut menyantap piza lezat yang amat jarang dinikmatinya. Retno dan teman-temannya tertawa setiap kali melirik Anita dan memberi kode, membuatnya gelisah. Saat Anita bertanya, mereka bilang tidak ada apa-apa.
Sore hari, tugas kelompok Biologi pun selesai dikerjakan. Retno dan teman-temannya berterima kasih pada Anita. Biasanya mereka butuh berhari-hari untuk menyelesaikan tugas kelompok. Mereka pun berpisah pulang ke rumah masing-masing. Retno dan Dino bersikeras ingin mengantar Anita pulang, tetapi ditolak dengan tegas. Anita tak mau mereka sampai melihat rumahnya yang kumuh dan berbanding seratus delapan puluh derajat dengan rumah Retno. Ia beralasan rumahnya dekat dan bisa ditempuh berjalan kaki, padahal kenyataannya ia hanya sanggup berjalan kaki sampai depan gerbang perumahan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
