Bab 22 - Hari ke-38: Periodik (Surat di Kolong Meja)

0
0
Deskripsi

“Sepi itu seperti kaca, jika pecah bisa menjadi ramai.”

Bab 22

Hari ke-38: Periodik

“Sepi itu seperti kaca, jika pecah bisa menjadi ramai.”

 

Sudah beberapa hari berlalu sejak kepindahan Anita ke kelas baru. Tak lagi ada surat dari Kak Ardi yang mampu menemani kesendiriannya. Ia merasa seperti tersisih, tanpa seorang pun teman yang akrab. Hampa. Ia menjadi lebih banyak berdiam diri. Sebenarnya ia tahu, ia tak bisa terus menerus seperti ini. Namun, untuk memulai pertemanan baru, rasanya begitu menakutkan. Anita tak mau apa yang terjadi padanya dan Rika, terulang kembali.

Anita merasa seolah dirinya menjadi tembok pembatas pemecah kebisingan. Dominasi suara di bagian depan dikuasai oleh Retno dan gengnya, yang sering kali berceloteh dan berteriak tanpa memikirkan apakah orang lain terganggu atau tidak dengan suara bising yang mereka hasilkan. Di bagian belakang, duo FF, Farel dan Fian yang menjuluki diri mereka satria bergitar, tak henti bernyanyi sambil memainkan gitar saat guru tidak ada. Jika tidak, mereka pasti bercanda dengan anak-anak lain yang menyebut diri mereka “barbel” alias barisan belakang, selalu membuat keributan.

Rasa bosan terasa semakin sesak menyelubungi diri Anita. Setiap hari ia hanya menatap nanar pada pemandangan jalanan di samping sekolah yang mengalami rutinitas hampir selalu sama. Sesekali Retno memanggil dan mengajaknya mengobrol, entah untuk menghibur atau sekadar basa basi. Sebenarnya, Anita ingin lebih akrab dengannya, tetapi rasa minder selalu menyelubungi bagai cangkang. Hiburan lainnya adalah tingkah jail dan menyebalkan Dino. Walau begitu, ocehannya mampu mengurangi kejenuhan yang dialami.

Kesedihan yang dialami Anita bertambah saat menyadari Rika sering kali menyindir saat lewat di dekatnya. Beberapa teman lain yang dekat dengan gadis itu ikut menatapnya sinis dan berbisik-bisik. Anita tak tahu bagaimana menghadapi mereka, apakah ia harus menjelaskan bagaimana yang terjadi sebenarnya? Anita tahu, Rika adalah anak orang kaya yang sejak kecil selalu dimanja dan mendapatkan apa yang ia mau. Apakah Rika berpikir Anita akan merebut Randy? Oh, bukankah itu ide yang sangat konyol. Di antara ratusan siswi lain yang cantik, pupil mata Randy pasti tersumbat jika memilih dirinya.

“Anita! Lo masuk kelompok mana? Nama lo doang belom ada!” pekik Aryo sambil menggebrak meja Anita, membuatnya terlonjak.

“Kelompok apaan?” tanya Anita menyadarkan diri dari lamunan. Apa yang sudah ia lewatkan?

“Dih, bengong aja, sih, lo dari tadi. Bu Yeti suruh kumpulin nama kelompok Kimia. Satu kelompok empat orang. Tapi karena ganjil jadi ada satu kelompok yang boleh lima orang. Tinggal lo doang, nih, yang belom masuk kelompok mana-mana,” jelas Aryo panjang lebar.

Anita menggigit bibir bawahnya seraya mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Pasti semua sudah punya kelompok. Apa ia minta sekelompok dengan Retno saja? Ah, tidak. Ia pasti akan menjadi obat nyamuk di kelompoknya. Atau haruskah satu kelompok dengan cowok-cowok di belakangnya? Namun, ada Dino yang pasti akan menolak.

“Woy! Anita cepetan!” teriak Aryo. “Udah ditungguin Bu Yeti, nih.”

“Iya. Iya. Sebentar,” cicit Anita gugup. Kini ia harus memilih. Baiklah. Dengan hati-hati, ia menoleh ke belakang. “Ivan, boleh satu kelompok Kimia sama lo enggak?” tanyanya pelan. 

Ivan yang sedang menulis menghentikan aktivitasnya. “Lo belum ada kelompok?” tanya cowok itu diiringi anggukan Anita. “Oy! Anita mau masuk kelompok Kimia kita. Nggak apa-apa, ya?” Ivan bertanya pada Dino dan duo FF yang sedang mengobrol.

“Boleh. Ayo, gabung aja!” ajak Farel sambil tersenyum.

“Iya, enggak apa-apa Peyot sini aja. Lo jangan diem mulu makanya, entar kesurupan!” Dino menyeringai seperti serigala yang mendapat mangsa.

“Oke, makasih, ya.” Akhirnya Anita tersenyum setelah sekian lama, tak mengacuhkan ejekan Dino. “Aryo, gue gabung sama kelompoknya Ivan.”

“Oke. Gitu, dong, dari tadi,” ucap Aryo sambil menulis. Sejurus kemudian ia meninggalkan meja Anita dan keluar kelas.

“Anita belom dapet kelompok Kimia?” tanya Retno yang baru datang bersama gengnya. “Ella, tadi nama Anita enggak dimasukin ke kelompok kita?” 

“Loh, emang Anita mau masuk kelompok kita?” Ella balik bertanya.

“Kan, tadi udah gue bilang masukin aja!” 

Merasa tak enak karena sudah menjadi sumber perdebatan, Anita menengahi. “Eh, enggak apa-apa, kok. Gue masuk kelompoknya Ivan.” 

“Yah, bareng kelompok gue aja,” sergah Retno kecewa. “Sorry, ya. Mungkin tadi Ella enggak dengar waktu gue suruh masukin nama lo.”

“Nggak apa-apa, kok, No. Sekarang udah dapat kelompok. Makasih, ya, Retno sama Ella, udah nawarin masuk kelompok bareng,” ujar Anita sambil tersenyum. Ia tak mau menambah musuh lagi karena terlihat wajah Ella mulai ditekuk.

“Eh, Nono! Biarin si Peyot sama gua aja. Lo, sih, dari tadi bukannya ngajakin dia sekelompok. Parah banget!” teriak Dino dari belakang Anita, membuat telinganya berdenging.

Seketika Retno berdiri menghadap Dino sambil berkecak pinggang. “Eh, Dinosaurus! Gue juga enggak tau kalo dia belom dapet kelompok!” 

Pertengkaran antara Retno dan Dino dimulai lagi. Setiap hari Anita harus menebalkan telinga mendengar perdebatan dua orang di depan dan belakangnya itu. Kadang, bukan urusan yang penting sebenarnya, tetapi hal remeh temeh yang ujungnya hanya akan menjadi bahan candaan mereka. Setelah beradu mulut, suasana kembali seperti semula seolah tidak terjadi apa-apa.

Terdengar suara penggaris papan tulis yang diketuk-ketuk, membuat perang Retno dan Dino berhenti seketika. Seisi kelas langsung menghadap ke depan.

“Teman-teman! Ada kabar baik dan buruk. Mau yang mana dulu?” teriak Aryo dari depan kelas, memecah kebisingan ruangan.

“Kabar baik!” teriak murid-murid bersamaan.

“Oke, kabar baiknya Bu Yeti enggak masuk kelas karena mau rapat. Tapi kabar buruknya disuruh ngerjain ini per kelompok. Harus selesai hari ini!” kata Aryo sambil menunjukkan satu jilid kertas.

“Huuu …!” sorak murid sekelas. Aryo terkekeh-kekeh sambil berkeliling membagikan kertas.

“Ayo, Anita. Sini gabung,” ajak Ivan. Ia dan Dino segera menghadap belakang.

Anita mengangkat kursi dan membawanya ke meja duo FF. Ia duduk dengan tidak nyaman, berada di antara anak-anak cowok yang tidak akrab.

“Santai aja, Anita! Lo udah kayak mau dimakan Dinosaurus. Takut banget!” komentar Fian yang duduk di belakang Dino. Anita meringis sambil menyeka keringat yang membasahi dahi. “Lo, sih, Dino! Anak orang dikerjain mulu. Jadi takut, kan, dia.”

“Ah! Biasanya enggak gitu si Peyot. Pas pindah ke sini aja jadi diem,” tukas Dino tak mau kalah.

“Gue enggak takut kok, sama Dino!” kata Anita dengan suara serak.

“Iya. Takutnya sama Pak Sanusi? Ye, kan? Masa cuma disuruh masuk ruang BK aja nangis,” ejek Dino sambil terkekeh.

“Serius lo masuk ruang BK? Gue aja belom pernah,” timpal Farel sambil tertawa.

“Eh! Enak aja. Gue enggak nangis tau! Waktu itu, kan, gue udah bilang lagi pilek!” sanggah Anita.

“Oy! Nih, kerjain dulu! Pada ngobrol aja!” seru Ivan sambil membagikan kertas tugas. “Kerjain sendiri dulu, nanti kita koreksi bareng-bareng.”

“Nah, kita udah dapet ketua kelompok, nih!” seru Fian semena-mena yang langsung ditolak Ivan.

“Iya! Setuju. Selamat kepada Ivan sebagai ketua kelompok!” sorak Dino diiringi teriakan gaduh Farel dan Fian sambil memukul-mukul meja. 

Anita hanya bisa tertawa melihat Ivan yang akhirnya pasrah. Murid-murid lain menengok ke arah mereka saat mendengar kegaduhan itu. Farel dan Fian baru berhenti saat Aryo menegur mereka dan mengancam akan melaporkan ke Bu Yeti karena mereka berisik.

Gadis berambut panjang itu mengerjakan soal sambil teringat awal mula Dino mulai menjailinya. Saat itu di awal masuk sekolah, setiap kelas diadakan sidak dan razia oleh wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan pengurus OSIS. Beberapa murid yang melanggar peraturan dibawa ke ruang BK untuk diberi hukuman. Di kelas Anita ada lima orang yang dipanggil, salah satunya Dino yang dipanggil karena berambut gondrong, tidak memakai pin, membawa pisau lipat, dan ada garis merah di sepatunya. Sialnya, Anita menjadi satu-satunya murid perempuan yang dipanggil, karena sepatunya yang dicat hitam mengelupas sehingga tampak warna putih menyembul tak rata seperti corak.

Setelah mendapat ceramah yang amat panjang dan menusuk dari Bu Eka dan Pak Sanusi, masing-masing anak diberi hukuman. Anita diharuskan mengecat sepatunya dengan spidol hitam. Ingin rasanya ia mengecat wajahnya juga dengan spidol itu, menutupi aib yang mencoreng catatan kelakuan baiknya. Ia tak dapat membendung air mata yang tertahan di pelupuk mata, seiring dengan keluarnya cairan bening di hidung, yang membuatnya seperti sedang membersit saat menghela napas. Di sisinya, Dino yang juga sedang mengecat sepatunya dengan spidol hitam mendengar suara yang sudah berupaya ia tutupi.

“Lo nangis?” tanyanya sambil tersenyum mengejek.

“Nggak,” tukas Anita dengan suara parau. Ia terus menunduk, khawatir Dino melihat matanya yang basah.

“Ah, cupu banget, sih. Baru gini doang udah nangis. Pantesan badan lo kurus gitu. Peyot,” ejek Dino sambil terkekeh-kekeh.

“Apaan, sih? Siapa juga yang nangis?” bisik Anita pelan. Ingin rasanya ia menjambak rambut Dino sebelum dipotong Bu Eka. Namun, yang bisa ia lakukan hanya diam dan tak mengacuhkan. Bukannya berhenti, cowok berambut cokelat itu malah makin menjadi mengejeknya. Bahkan sampai ia sudah kembali ke kelas, panggilan itu kerap mengusik telinga Anita. Begitu pun keesokan hari dan seterusnya.

“Ah! Pusing gue! Kerjain bareng-bareng aje, nyok!” pekik Fian sambil melempar pulpen dan merebahkan badannya ke sandaran kursi. Setelah sedikit peregangan, ia mengambil gitar dan mulai memetik senarnya.

Ivan yang sudah menyelesaikan bagiannya sedari tadi langsung angkat bicara. “Ya udah, yuk, kita kerjain bareng-bareng aja.”

Mereka mulai mengerjakan soal sistem periodik unsur bersama-sama. Namun, karena Ivan yang paling pintar, akhirnya malah ia mengajarkan materi ini pada keempat temannya.

“Kalo lo belum pada hafal urutan unsur tiap golongan, bakalan susah. Jadi, mending pake jembatan keledai ngapalinnya,” jelas cowok berkacamata itu.

“Hah? Keledai? Kayak Fian dong?” celetuk Farel bercanda. Fian yang tak terima mengelepak kepala Farel.

“Kita mulai dari golongan IA, ya. Coba buka tabel periodiknya. Nah. Ini.” Ivan membuka bagian belakang buku Kimia yang berisi tabel sistem periodik. “Kalo gue ngapalinnya gini: ‘Hai Lina Kawin Robi Cs Frustasi’. Hidrogen Litium Kalium Rubidium Cesium Fransium.”

Spontan Farel, Fian, Dino, dan Anita tertawa mendengar cara Ivan menghafal. Namun, ide membuat jembatan keledai sangat jenius. Anita sampai mencatat di belakang buku.

“Keren. Keren! Nggak kepikiran gue. Bisa jadi lagu tuh.” Farel bertepuk tangan.

“Kalo gue nyingkatnya, Hai Lina Kau Rebut Cinta Sejati Fredy,” ujar Dino tak mau kalah. Teman-temannya yang lain mau tak mau tertawa.

“Nah, ini jadi lagu keren juga!” Farel tertawa terbahak-bahak. “Mantep, ye, si Lina. Banyak yang demenin.”

“Serius Dino ngapalin tabel periodik?” sindir Anita tiba-tiba. Ia tak menyangka Dino diam-diam belajar Kimia, bahkan saat materinya belum dipelajari.

Keempat cowok itu langsung menoleh ke arahnya, membuatnya jadi salah tingkah. Apa ia salah berbicara? Dino nyaris membuka mulut, tetapi kalah cepat oleh Fian.

“Akhirnya … Anita ngomong juga!” Fian berkata sambil bertepuk tangan diikuti Farel dan Ivan. “Eh, tapi bener juga, ya. Kok, lo bisa tau, Din? Biasanya taunya game doang,” sindirnya.

“Sial! Gue udah belajar tau di tempat les,” omel Dino. “Wah! Peyot udah berani nih, ye! Awas aja, nih!” Dino mengarahkan jari telunjuk dan tengahnya ke mata kemudian menunjuk Anita.

“Hus! Jangan digituin Dino entar dia enggak mau ngomong lagi.” Ivan menengahi. “Tenang aja, Anita. Kalo diapa-apain sama Dino, bilang aja sama kita.”

Mendapat sambutan hangat dari teman-temannya, keberanian Anita mendadak muncul. “Iya, tenang aja. Gue enggak takut kok, sama Dinosaurus. Waktu itu, baru gue tendang kakinya aja, dia udah jatuh.” 

Dino membalas ejekan Anita dengan mengatakan ia cengeng, tetapi langsung dibela Fian dan Farel yang ikut mengejek Dino. Akhirnya mereka jadi saling serang ejekan, tetapi hanya sebagai guyonan tanpa ada yang sakit hati. 

“Udah mau bel, nih! Kelarin, yuk,” potong Ivan sambil melihat jam tangan.

Semua langsung kembali fokus mengerjakan soal yang belum selesai. Mereka belajar diselingi candaan yang membuat suasana kian akrab. Beberapa murid tampak kesal mendengar kegaduhan kelompok Anita, tetapi anak-anak cowok ”barbel” lain malah banyak yang ikut bergabung untuk bersenda gurau. Hingga akhirnya bel berbunyi menandakan waktu belajar sudah habis, Anita akhirnya merasa mendapat teman baru dan tak kesepian lagi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 23 - Hari ke-47: Terlambat (Surat di Kolong Meja)
0
0
“Cinta itu seperti air hujan, mampu membiaskan cahaya putih mentari menjadi gradasi warna indah pelangi.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan