Bab 16-17 (Surat di Kolong Meja)

0
0
Deskripsi

Anita datang ke pemilihan ketua ekskul. Ada Kak Ardi! Tapi, kok, dia dikerubutin cewek-cewek, sih?

Bab 16

Hari ke-19: Perkelahian

"Bertemu dengan sahabat yang mengerti akan dirimu dan tulus menerimamu adalah sebuah anugerah.”

 

Anita melirik jam di dinding kelas melalui jendela tembus pandang saat dalam perjalanan menuju aula, tempat klub belajar mengadakan pertemuan. Waktu menunjukkan pukul 09.35. Belum terlalu terlambat jika ia bergegas datang ke pertemuan klub pertamanya. 

Pemilihan ketua baru ekskul Mading sudah selesai. Kak Fajri terpilih sebagai ketua yang baru. Sekarang, teman-temannya di ekskul itu menuju mall untuk perpisahan. Rencananya, mereka akan makan-makan dan karaoke bersama. Sayang sekali, ia terpaksa tak ikut. Semoga pertemuan ekskul barunya cepat selesai sehingga ia bisa menyusul.

Suara ribut terdengar di lapangan yang Anita lewati, berasal dari kerumunan kecil di tengah. Biasanya, anak basket yang sedang berlatih tidak seberisik ini. Penasaran, Anita berhenti dan matanya menyipit kala mengamati apa yang terjadi.

Tampak Retno berdiri di tengah lapangan sambil memegangi pipi. Sinta, Rina, dan Ella, sahabatnya, berdiri di sisinya sambil merangkul. Di depannya, terlihat Kak Radit, ketua ekskul basket kelas XII, sedang memegangi seorang gadis berambut panjang yang tengah berteriak-teriak. Ia berusaha melepaskan diri sambil mengacungkan kepalan ke arah Retno. Anita tak dapat mendengar jelas kata-katanya, karena berbaur dengan suara siswa dan siswi yang berkerumun menonton.

Napas Anita tertahan menyadari gadis yang dipegangi Kak Radit adalah Kak Tania! Mengapa pacar Kak Ardi yang kemarin ia lihat itu marah-marah pada Retno? Apa ia merasa tersaingi, sehingga predikat siswi tercantik pindah ke Retno?

Anita mengggeleng. Entahlah. Itu bukan urusannya. Tanpa memikirkan lebih lanjut, ia melanjutkan perjalanan menuju aula yang berada di lantai atas. 

Seketika tubuh Anita terhuyung sesaat kala dorongan kuat menyentak bahunya. Buku Campbell yang dipegangnya terjatuh menimpa kaki. Menahan sakit, ia melotot ke arah orang yang menabraknya. Seorang gadis dengan rambut tergerai memakai kaos putih yang ketat dan rok jeans pendek. Anita terkesiap saat mengetahui orang itu adalah Kak Tania.

Sorry!” ujarnya singkat saat menoleh sesaat. Ia segera berbalik dan berlalu cepat dengan tangan terkepal. Wajahnya yang putih kini berubah merah padam, dengan mata yang sembap dan basah.

Mendadak muncul rasa kesal di hati Anita. Bukan saja karena Kak Tania menjatuhkan buku tebal yang membuat punggung kakinya berdenyut, tetapi karena dia pacar Kak Ardi. Walau tak dipungkiri, ada sedikit rasa penasaran di hatinya. Apa yang terjadi antara Kak Tania dan Retno sehingga membuat wajah kakak kelas yang cantik itu berubah seperti serigala haus darah?

Anita memungut bukunya dan meneruskan perjalanan sambil menahan sakit. Ia naik tangga perlahan dan mengatur napas saat tiba di lantai tiga. Ia segera menuju aula dan mengintip dari pintu yang setengah terbuka. Bangku dan meja yang diatur di bagian depan aula masih kosong belum terisi. Ia memajukan langkah lebih ke dalam dan terlihat ruangan baru setengah terisi.

Kursi lipat di aula sudah diatur sedemikian rupa, membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Di bagian tengah lingkaran kecil terdapat sebuah meja kelas dengan sebuah segitiga bertuliskan nama klub di atasnya, yaitu Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Sosial, dan Astronomi. Baru sedikit orang yang menempati kursi-kursi di semua lingkaran itu, masing-masing berkutat dengan kesibukannya. 

Anita mendelik saat melihat lingkaran yang paling besar bertuliskan klub Matematika. Ia melihat Kak Ardi sedang dikerumuni tiga siswi, sepertinya sedang minta diajari. Hati Anita terasa kecut. Benar dugaannya, Kak Ardi memang tebar pesona dan playboy sejati. Ingin rasanya ia pergi lagi, tak kuat menahan penderitaan. Pemandangan ini amat merusak kewarasan otaknya.

“Anita!”


 

 

Bab 17

Hari ke-19: Pemilihan

“Haruskah aku percaya pada kata atau prasangka?”

 

Suara keras yang menyebut namanya membuat Anita tersentak. Sesaat ia melihat Kak Ardi menoleh ke arahnya. Tak ingin bertemu pandang, ia mengalihkan pandangan menuju sumber suara. Tampak Elsa tersenyum semringah dan melambaikan tangan. Di tengah kekalutan hati, Anita berusaha membalas senyumannya. Kakinya terasa gontai saat berjalan ke tempat Elsa.

“Kamu udah selesai ekskul Madingnya?” tanya gadis berkacamata itu ceria.

“Udah. Soalnya cuma pemilihan ketua baru. Masih ada acara perpisahan, sih, tapi aku enggak ikut.” Anita menjaga nada suaranya senormal mungkin.

Wajah Elsa berubah murung. “Gara-gara datang ke sini, ya?” 

“Nggak apa-apa, kok. Nanti kalau kita udah selesai dan mereka belum, aku nyusul,” ujar Anita menenangkan Elsa. Ia segera mengalihkan topik. “Belum mulai, ya, acaranya?” 

“Belum. Tunggu lebih banyak yang datang kayaknya. Biasa, pada ngaret,” jawab Elsa. “Oh iya, Anita. Kenalin, ini yang namanya Maya. Maya, ini Anita, anggota baru kita.” Elsa menunjuk gadis berambut pendek model bob di sampingnya. Anita tersenyum kepadanya, begitu pula sebaliknya. Mereka berjabat tangan.

Welcome to the club!” suara berat milik Maya semakin mengentalkan kesan tomboi pada dirinya.

“Klub orang gila!” seloroh Heru yang duduk sampingnya sambil tertawa.

“Elu yang gila!” pekik Maya sambil menoyor kepala Heru.

“Elu juga, kan?” Heru terkekeh.

“Oh iya, ya. Tos.” Maya dan Heru menyatukan telapak tangan untuk tos, membuat Elsa dan Anita tertawa.

“Anita, kenalan juga, yuk, sama yang lain.” Elsa mengajak Anita berkeliling.

Anita berkenalan dengan dua kakak kelas laki-laki yang duduk di lingkaran klub Biologi. Satu sedang membaca buku bernama Kak Adit kelas XII dan yang sedang memainkan ponsel bernama Kak Yuda kelas XI. Satu-satunya kakak kelas perempuan yang sedari tadi sibuk menulis bernama Kak Dara, kelas XII.

Terdengar suara riuh rendah dari luar kelas. Beberapa siswi datang sambil berbisik-bisik, tetapi ada juga yang memekik. Mereka langsung bergabung ke lingkaran masing-masing. Suara dengungan terdengar di seluruh penjuru ruangan.

“Ada apaan, sih, ribut-ribut?” tanya Kak Dara ketus pada dua siswi yang baru datang bergabung. Sepertinya ia merasa terganggu.

“Ada yang berantem, Kak! Kak Tania sama anak kelas X,” kata siswi berambut ikal antusias.

“Oh,” jawab Kak Dara tak acuh sambil melanjutkan menulis. Tampaknya ia tak tertarik dengan hal semacam itu.

Elsa mengenalkan Anita pada dua siswi yang baru bergabung tadi. Mereka berasal dari kelas XI. Siswi yang berambut ikal bernama Sandra, dan yang berambut lurus bernama Dewi. Mereka menyapa Anita dengan ramah, tetapi langsung melanjutkan obrolan tentang kejadian di lapangan.

“Kenapa emangnya pada berantem?” tanya Kak Yuda mengalihkan fokus dari ponsel.

“Kak Radit mutusin Kak Tania tiba-tiba, terus jadian sama anak kelas X,” jawab Kak Sandra. “Terus Kak Tania ngamuk, nampar si anak kelas X. Kalau enggak ditahan Kak Radit, pasti udah jambak-jambakan.”

Anita mencuri dengar percakapan mereka. Ia tersentak saat mendengar kata-kata yang masuk ke telinga. Kak Radit mutusin Kak Tania? Berarti Kak Tania sebelumnya pacar Kak Radit? Lalu Kak Ardi?

“Ah, itu, sih, gara-gara anak kelas sepuluhnya aja kecentilan. Udah tau Kak Radit udah punya pacar masih digodain juga,” seloroh Kak Dewi nyinyir.

“Kak Raditnya juga sih, cari gara-gara. Emang Kak Tania kurang cantik apa coba? Lagian kata gue cantikan Kak Tania daripada anak kelas sepuluh itu,” timpal Kak Sandra. Tampaknya mereka berdua sangat klop dalam soal pergosipan.

“Si anak kelas sepuluh juga cantik, sih. Kak Radit kan emang enggak bisa lihat cewek cantik. Dulu aja sempet godain Renata, kan? Sampe berantem juga sama Kak Tania. Heran gue, mereka bisa jadian cukup lama juga.” Kak Dewi tampak berpikir keras.

“Yah, emang cowok, kan, gitu. Sukanya lihat cewek yang cantik-cantik doang!” Kak Sandra menyindir.

“Ih, apaan, sih? Nggak semua kali!” sergah Kak Yuda tak terima.

“Kalo cowok yang kalem tapi ganteng mah, tuh, Kak Ardi! Yah, walau enggak seganteng Kak Radit sih, tapi enggak playboy,” kata Kak Dewi. “Tuh, lihat aja anak cewek baru pada ngerubung udah kayak semut.”

Kak Sandra dan Kak Yuda mengikuti arah yang ditunjuk Kak Dewi dengan wajah. Begitu juga Anita dan Elsa yang ikut mencuri dengar pembicaraan mereka.

Benar saja. Beberapa perempuan yang duduk di sisi Kak Ardi semakin mengapitnya. Kak Ardi terlihat tak nyaman, tetapi ia tetap mengajari mereka dengan sabar.

“Iya, tuh, anak baru kenapa kecentilan banget, sih? Kita aja enggak berani ngedeketin Kak Ardi padahal udah lebih duluan kenal dia.” Kak Sandra cemberut.

“Itu, mah, lu nya aja yang pada cupu,” ejek Kak Yuda terkekeh-kekeh.

Kak Sandra menjambak rambut Kak Yuda yang berteriak kesakitan.

“Sst! Berisik banget sih! Gosip mulu!” omel Kak Dara sambil melotot, sebelum kembali berkutat pada buku di depannya. Ketiga kakak kelas XI yang kena semprot itu menghentikan aktivitas sambil tertawa cekikikan pelan.

“Teman-teman, kita udah telat hampir sejam. Kita mulai aja, ya, acaranya.”

Terdengar suara dari depan aula. Seorang siswi berkacamata berdiri tegak sambil memegang kertas. Beberapa siswa segera melihat ke asal suara, tetapi banyak yang masih sibuk dengan kegiatannya. 

“Teman-teman! Mohon perhatiannya, ya!” Ia mengulangi dengan suara yang lebih keras sampai semua yang hadir melihat ke arahnya. “Baik, kita mulai saja, ya! Untuk Kak Irfan dan para koordinator pelajaran dimohon duduk di kursi depan,” lanjutnya.

Tujuh orang segera maju dan duduk di kursi yang telah disediakan, salah satunya Kak Ardi. Ia menoleh ke arah Anita sekilas dan tersenyum saat berjalan menuju tempat duduknya di depan.

“Cie, Anita disenyumin Kak Ardi,” bisik Elsa menyikut Anita.

“Ih, apaan, sih, Elsa.” Anita membalas bisikan Elsa.

Kak Sandra dan Kak Dewi cekikikan saat melihat Kak Ardi tersenyum ke arah lingkaran Biologi. Mungkinkah Kak Ardi tersenyum pada mereka dan bukan kepadanya?

Anita jadi memikirkan kata-kata Kak Sandra tadi. Jadi selama ini ia salah paham? Ia mengira Kak Ardi pacaran dengan Kak Tania, tetapi Kak Tania sebenarnya adalah pacar Kak Radit. Ah, ia jadi malu sendiri. Ia sudah menghindar dari Kak Ardi dan sering bersikap tidak menyenangkan. Sepanjang acara ia tidak bisa fokus, memikirkan sikap bodohnya selama ini.

Acara berlangsung lambat. Tidak seperti ekskul mading yang lebih santai dan ceria, suasana perkumpulan klub belajar ini lebih serius dan penuh protokol. Pertama ada pembukaan, sambutan dari ketua lama, laporan keuangan selama setahun dari bendahara, baru kemudian pemilihan ketua klub.

Pemilihan ketua klub dilakukan secara voting pada calon yang sudah ditunjuk oleh kakak kelas XII. Semua yang hadir dibagikan kertas berstempel klub dan diharuskan menulis satu dari empat nama calon yang telah mengajukan visi dan misi. Penghitungan suara dilakukan kemudian. Akhirnya terpilih Kak Adam dari klub Kimia sebagai ketua klub yang baru.

Acara selanjutnya Focus Group Discussion (FGD) untuk menentukan koordinator tiap bidang pelajaran. Tanpa banyak berdebat dan berpikir, semua anggota klub Biologi sepakat menunjuk Kak Yuda. Cowok kurus itu hanya bisa pasrah melihat semua telunjuk mengarah ke wajahnya.

Terakhir adalah ramah tamah. Koordinator lama memberikan pesan dan kesan selama mengikuti klub, dilanjutkan dengan koordinator baru memperkenalkan diri. Kak Ardi berdiri dan berbicara dengan lantang disambut riuh rendah siswi yang berbisik-bisik dan bertepuk tangan berlebihan. Anita mengedarkan pandang dan melihat anggota klub perempuan tampak antusias seperti fans yang melihat artis idola secara langsung. Tak hanya di klub Matematika, beberapa siswi dari klub lain juga tampak heboh. Termasuk Kak Sandra dan Kak Dewi.

Anita mengamati semua koordinator pelajaran. Mau tak mau ia mengakui bahwa Kak Ardi memang yang paling tampan di antara yang lain. Tiga koordinator laki-laki lainnya bertampang tipikal kutu buku yang digambarkan di film-film. Rambut belah tengah, kacamata tebal, berjerawat, dan bertubuh tidak terlalu tinggi. Bahkan ada yang terlampau kurus dan ada yang sebaliknya, berbadan gempal. Kak Arif tidak terlalu populer karena tubuhnya tidak tinggi dan tidak ada yang spesial dari wajahnya. Kak Irfan, ketua klub, juga tak jauh berbeda.

Sekotak bento cepat saji terhidang di depan Anita, membuatnya tersadar bahwa acara sudah selesai. Kak Arif turut bergabung ke lingkaran klub untuk makan bersama. Entah karena Anita baru mengenal semuanya, ia merasa anggota klub Biologi sibuk sendiri. Kak Arif, Kak Adit, dan Kak Yuda tampak seru membicarakan gim terbaru. Kak Sandra dan Kak Dewi asyik berbincang, atau mungkin bergosip, karena terkadang mereka terlihat berbisik dan menutup mulut saat berbicara. Kak Dara makan dalam diam. Heru dan Maya tak henti-hentinya bercanda sambil saling mengejek, tetapi selalu terlihat kompak. 

Anita melirik ke meja Kak Ardi. Beberapa siswi duduk mendekatinya untuk makan bersama sambil menarik perhatian.

“Aku seneng kamu ikut klub Biologi, Ta,” ujar Elsa sambil mengambil potongan chicken eggroll dan mencelupkannya ke saus. “Biasanya kalau lagi kumpul begini aku merasa sendirian,” sambungnya sebelum menggigit makanan di sumpitnya.

“Aku juga beruntung, ada kamu, Sa. Tadinya aku khawatir bakal enggak punya temen, apalagi aku baru gabung setelah beberapa minggu klub dimulai,” ujar Anita sambil mengambil potongan salad dengan sumpit. Karena tak biasa, hanya beberapa lembar wortel yang terangkat.

“Teman-teman, kita foto dulu, yuk. Semuanya kumpul di depan, ya.”

Anita mempercepat suapan dan tidak menghabiskan nasi dan salad karena tak biasa menggunakan sumpit. Ia buru-buru meneguk air mineral, kemudian bersama Elsa ikut maju berfoto. Entah mereka terlihat di foto atau tidak karena berdiri paling belakang, mereka tak peduli. Acara pemilihan ketua klub belajar yang baru pun berakhir.

“Elsa, aku boleh pinjem ponsel untuk hubungin Rara, enggak? Aku mau tanya dia udah selesai atau belum,” pinta Anita saat mereka sedang membereskan tas setelah acara selesai.

“Oh, boleh. Sebentar, ya.” Elsa mengambil ponselnya di tas dan mengutak-atiknya. “Eh, Rara tadi BBM, nih. Katanya suruh jagain kamu di klub belajar,” lanjutnya tertawa. 

“Duh, Rara kebiasaan,” celoteh Anita sambil menggaruk kepala.

Anita mengirim pesan yang secepat kilat dibalas Rara. Ia disuruh segera menyusul ke tempat karaoke. Baru saja ia mengembalikan ponsel Elsa, terdengar suara berat memanggil. Jantungnya berdegup keras saat mendapati suara Kak Ardi menerobos gendang telinga. Benar saja, saat menoleh, kakak kelas itu telah berdiri menjulang tepat di sampingnya.

“Anita! Kamu kemarin enggak apa-apa?”

“Hah?” jawab Anita singkat sambil memundurkan langkah. Ia tak dapat menutupi rasa terkejut karena Kak Ardi masih sempat-sempatnya menemui di tengah fans yang menggila.

“Hari Kamis kemarin. Kamu kelihatannya sakit. Muka kamu merah dan kamu juga enggak denger waktu saya panggil. Kamu sakit?” Kak Ardi mendekati Anita, membuat wajahnya memerah.

“Nggak, kok, Kak. Saya enggak apa-apa,” sahut Anita menunduk.

“Kak Ardi!” 

Terdengar suara nyaring dari arah lingkaran klub Matematika. Anita dan Kak Ardi menoleh. Lima siswi memanggil cowok itu sambil melambaikan tangan. 

“Kak Ardi, foto dulu, yuk!” panggil salah satunya.

“Iya, Kak. Ayo, Kak!” seru siswi lainnya saling bersahutan.

Kak Ardi dan Anita saling bertatapan. Gadis itu menyadari situasinya dan segera menyambar tas.

“Kak, saya pergi dulu, ya. Sudah ditunggu teman,” pekiknya cepat, kemudian beralih pada temannya. “Elsa, makasih, ya, udah pinjemin aku ponsel. Aku duluan, ya.”

Anita langsung berlari meninggalkan gedung sekolah. Ia segera naik angkot pertama yang ditemui, menuju tempat karaoke di mana anggota ekskul mading sedang berkumpul. Perasaannya sungguh campur aduk. Malu karena sudah salah paham dengan Kak Ardi, senang karena mendapat perhatiannya, juga kesal karena banyak sekali fansnya. Ia ingin cepat-cepat bertemu teman-temannya agar bisa menghilangkan kegundahan hati.

Rara dan Nikita menyambut Anita yang terengah-engah saat baru tiba. Tanpa basa basi, Kak Mia, salah satu anggota ekskul mading, menyodorkan mikrofon pada Anita dan memaksa untuk bernyanyi. Awalnya Anita enggan, tetapi karena terus dibujuk dan dipaksa, ia akhirnya memilih sebuah lagu yang dulu saat SD sering ia dengar dari Mbak Lina, sepupunya. Lagu Kekasih Sejati dari Monita yang selalu diulang dan nyanyikan sampai-sampai Anita turut hafal lirik dan nadanya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 1 (Handsome Boss) - The Beauty Regent
0
0
Sultan Bagaskara, cowok ganteng tebar pesona yang suka main tinju dan kuliah di USA, tiba-tiba dipanggil balik ke Indonesia dan jadi direktur utama PT Tambang Bagaskara!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan